TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jarak Pagar Jenis dan Morfologi Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar/kastor (Ricinus communis L), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha gossypifolis L), dan jarak pagar (Jatropha curcas). Diantara jenis tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai penghasil minyak bakar (biofuel) adalah jarak pagar (Jatropha curcas L). Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan pada tanaman jarak ini antara lain jarak kosta, jarak budeg (Sunda), jarak gundul, jarak pager (Jawa), kalekhe paghar (Madura), jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomone (Sulawesi), ai huwa kamala, balacai, katodo (Maluku) dan lainnya (Hariyadi, 2005). Jatropha curcas Linn (jarak pagar) adalah tanaman multiguna yang berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah, dan telah ditanam di daerah tropis Amerika, Afrika, dan Asia. Madagaskar, Dahomey (Benini) dan Kepulauan Tanjung Verde (Cape Verde Island) merupakan negara pengekspor produk tanaman jarak pagar. Tanaman ini dapat ditanam di daerah tropis, terutama di daerah lahan kritis. Tanaman ini membutuhkan curah hujan hingga 900-1.200 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 8 m, dengan biji sebagai produk utamanya mengandung 55-60% minyak (Becker dan Makkar, 2000). Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Pohonnya berupa perdu dengan tinggi tanaman 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu silindris, bila terluka mengeluarkan getah. Daunnya berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari dengan 5-7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian bawah lebih pucat dibanding bagian atas). Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul diujung batang atau ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan
rendemen sekitar 30-40% (Irfan, 2006). Tanaman jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) (www.jatropha-investment fund.eu/en/) Klasifikasi ilmiah jarak pagar adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Familia
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: curcas
(Wikipedia, 2006) Potensi Pemanfaatan Jarak Pagar Potensi tanaman jarak pagar yang dapat dimanfaatkan terdiri dari buah, daun, batang, dan seluruh tubuh tanaman jarak pagar (Gambar 2). Produk utama yang dihasilkan tanaman jarak pagar adalah minyak yang dihasilkan dari proses ekstraksi biji jarak dan produk limbahnya berupa bungkil biji jarak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Jatropha curcas L menghasilkan bungkil yang dapat digunakan sebagai sumber protein karena mengandung protein yang tinggi jika kandungan racun dihilangkan (Makkar et al., 1997).
Kandungan Nutrisi Bungkil Biji Jarak
Komposisi kimia dari biji, kulit dan sekam pada jarak pagar (Jatropha curcas L) berbeda. Biji Jatropha curcas terdiri dari lemak dan protein kasar dengan kadar air dan abu yang rendah. Kadar protein kasar pada biji Jatropha curcas berkisar antara 22,2-27,2%. Buah jarak pagar yang berumur 7 tahun atau sampel yang segar memiliki rasio biji dengan kulit 63:37, protein kasar 25,6%, lemak 57% dan abu 3,4%. Kulit tersusun atas serat (NDF 83% dan ADF 74%) dan lignin (45%) dengan kadar protein yang rendah yaitu 6%. Bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan abu sekitar 10%, serat (NDF 10% dan ADF 7%) (Makkar et al.,1997). Biji jarak pagar mengandung berbagai macam senyawa kimia seperti sukrosa, rafinosa, stakiosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, protein, minyak (50-60%), toxalbumin curcin yang berbahaya dan asam oleat dan linoleat dalam jumlah besar. Selain kandungan nutrisinya yang baik untuk ternak, juga terdapat beberapa anti nutrisi
yang
menghambat
penggunaannya
antara
lain
lectin/curcin,
phorbolester/diterpene esters, tanin, phytat, saponin dan anti trypsin (Makkar et al., 1997; Trabi et al., 1997). Racun pada Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas) berbahaya bagi manusia, hewan dan serangga karena mengandung beberapa racun, seperti curcin, sedangkan yang lainnya adalah phorbolesther (Becker dan Makkar, 2000). Tanaman jarak pagar mengandung senyawa yang daya racunnya cukup tinggi. Pada bagian biji, terkandung senyawa curcin dan toksalbumin, sedangkan di bagian daun ditemukan senyawa kaemfesterol, sitosterol, stigmasterol, amirin, dan tarakserol. Meskipun sudah diambil minyak, ampas biji jarak pagar tidak bisa dipakai langsung untuk pakan ternak karena masih mengandung racun (Purwantoro dan Purbani, 2007). Pemberian bungkil jarak segar pada ternak akan menyebabkan kematian yang cukup singkat (Aregheore et al., 2003). Gejala keracunan berupa rasa mual, muntah,sakit perut, sesak nafas, pusing, keringat dingin dan akhirnya meninggal (Sinaga, 2007).
TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L)
BUAH
DAUN
BATANG
SELURUH TANAMAN
1. Agen anti-inflamasi 2. Silvikultur 1. Sumber tannin 2. Bahan pewarna BIJI
1. Kontrol erosi 2. Tanaman pembatas 3. Tanaman pelindung 4. Pencegah hama tikus 5. Tanaman obat
KULIT BUAH 1. Bahan bakar 2. Mulsa 3. Biogas KULIT BIJI
DAGING (KERNEL)
BUNGKIL
1. Pakan ternak 2. Pupuk organik 3. Pencegah hama tikus (repellent) MINYAK
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Biodiesel Iluminasi Minyak pangan Produksi sabun Bahan kosmetik Bahan obat Pelumas Phorbolesters-biopeptida
Gambar 2. Pemanfaatan Bagian-Bagian Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) (Becker dan Makkar, 2000)
Curcin
Curcin atau lectin adalah fitotoxin atau toxalbumin yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun, menyerupai struktur dan fisiologi racun bakteri. Fitotoxin tidak tahan terhadap panas karenanya dapat diukur dengan metode penguapan. Lectin merupakan protein yang berikatan secara spesifik dengan karbohidrat (Pfander, 1984 dalam Marni, 1991), beberapa diantaranya sangat beracun bagi manusia dan ternak karena dapat menghambat sintesis protein di dalam ribosom. Susunan asam amino curcin, ricin rantai A dan trichosanthin adalah sama (Lin et al., 2003). Struktur kimia curcin (C19H22O2) dapat dilihat pada Gambar 3. Lin et al. (2003) mengatakan bahwa curcin dapat berfungsi sebagai pengikat dari glycoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukaan sel. Mekanisme curcin berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. N-glycosidase merupakan enzim glycosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, antibakteri dan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, curcin bersifat aksi anti inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein. Curcin dapat menggumpalkan sel darah merah pada semua spesies hewan dan semua tipe darah (Cheeke, 1989). Curcin dari Jatropha curcas tidak terlihat sebagai penyebab pada toksisitas jangka pendek (Makkar dan Becker, 1997b; Becker dan Makkar, 1998), tetapi efek toksik akan meningkat jika bergabung dengan toksin lain seperti phorbolester (Makkar dan Becker, 1997b).
Gambar 3. Struktur Kimia Curcin (C19H22O2) (www. Giftpflanzen.com/Jatropha curcas/html) Phorbolester
Phorbolester (phorbol-12-myristate 13-acetate) merupakan racun yang utama pada Jatropha curcas (Makkar dan Becker, 1997a; Becker dan Makkar, 1998). Phorbolester atau diterpene ester terutama terkandung pada biji dan akar jarak pagar (Heller, 1996). Diterpene ester tahan panas (heat stable), terdapat pada minyak yang masih tersisa pada bungkil, sebanyak ± 11% (Wink, 1993). Struktur kimia phorbolester dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Kimia Phorbolester (www.proteinkinase.de/assets/images/PMA.gif) Aktivitas Biologis Phorbolester Phorbolester dapat menyebabkan efek biologis yang luar biasa walaupun dalam konsentrasi rendah. Pengaruhnya menyebabkan iritasi kulit dan pemacu terjadinya tumor karena menstimulasi PKC (Protein Kinase C), yang mempengaruhi penyaluran sinyal dan perkembangan sel dan jaringan serta berbagai efek biologis yang kuat terhadap organisme (Goel et al., 2007). Protein kinase C (PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi dan memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap aktivitas sel. Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan bersifat stabil serta tidak dapat terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC, sehingga menyebabkan aktivasi yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Aksi utama phorbolester adalah terhadap membran biologis. Phorbolester merupakan molekul amphipilik dan mempunyai kekuatan untuk mengikat reseptor
membran phospholipid. Reseptor tersebut menjadi tujuan utama phorbolester. Pengaruh awal pada membran termasuk memodifikasi aktifitas reseptor sel, meningkatkan intake 2-deoxyglucose dan nutrisi lain, mengubah adesi (pelekatan) sel, induksi asam arachidonic dan sintesis prostaglandin, menghalangi pelekatan faktor pertumbuhan epidermal terhadap reseptor permukaan sel dan mengubah metabolisme lemak (Weinstein et al., 1979). Aktivitas lain dari phorbolester adalah mengikat dan mengaktifkan PKC, yang berperan dalam penyaluran sinyal dan mengatur differensiasi serta pertumbuhan sel (Clemens et al., 1992). Kerja phorbolester yaitu mengubah PKC menjadi bentuk aktif yang tidak dapat keluar membran apabila telah masuk kedalam membran (Mosior dan Newton, 1995). Pada kondisi penyaluran sinyal normal, enzim diaktifkan oleh DAG (Diacylgliserol) dan dengan cepat dihidrolisis. DAG merespon dengan mengaktifkan fungsi PKC dengan meningkatkan daya ikat phospatdyliserine (PS) dalam membran. Enzim PKC dipindahkan menuju plasma membran oleh RACK (Reseptor for Activated C Kinase) protein (membran dikelilingi reseptor protein untuk mengaktifasi PKC), untuk menyalurkan berbagai sinyal. Phorbol menirukan aktivitas DAG dan merupakan aktivator PKC yang kuat yaitu memetabolisme sel dengan cepat (Segal et al., 1975). Phorbol secara berlebihan dalam mengaktifkan PKC dan perkembangan sel, kemudian memperkuat terjadinya karsinogen. Phorbol dapat mengaktifkan PKC dan setelah lama kemudian mengatur enzim ( Silinsky dan Searl, 2003). Phorbol tidak menyebabkan terjadinya tumor tetapi memacu pertumbuhan tumor (sebagai cocarcinogen). Pada Euphorbiaceae ditemukan bahwa minyak croton mempunyai kemampuan membentuk tumor ketika diujikan pada kulit tikus, phorbolester merubah phorphorilasi dari protein sel dan meningkatkan transkip dari gen sel (Berenblum, 1941). Mekanisme terjadinya tumor karena interaksi antara phorbol dengan PKC , yang lebih mengarah pada penyaluran sinyal dan proliferasi sel. TPA (4β-12-O-tetradecanoylphorbol-13acetate) sebagai zat aktif phorbol berpengaruh terhadap differensiasi sel (Weinstein et al., 1979). Mereka melaporkan bahwa phorbol tidak melibatkan ikatan kovalen terhadap sel DNA, dalam
kenyataannya phorbol menirukan pengaruh transformasi, seperti merubah bentuk membran, meningkatkan kepadatan jenuh, merubah permukaan fukosa sel glycopeptida,
meningkatkan
level
aktivator
plasminogen
dan
ornithine
decarboxylase. TPA menghasilkan perubahan menyeluruh terhadap bagian-bagian fisik lemak dalam membran, yang hasilnya meningkatkan laju alir dalam membran, perubahan bentuk permukaan sel, adhesi sel, melepaskan asam arachidonic dari membran phospolipid, dan juga merangsang sintesis prostaglandin. PMA (phorbol 12-myristate 13-acetate) mempengaruhi aktivitas berbagai enzim yang berinteraksi dengan PKC. PMA memancing konsentrasi dan penurunan waktu
pengkodean
mRNA
untuk
enzim
seperti
phosphophenol
pyruvate
carboxykinase, enzim kunci dalam gluconeogenesis (Chu dan Granner, 1986). Kemudian merangsang secara berlebihan terhadap cAMP dan glucocorticoid dalam proses trankipsi. Phorbol ester juga mempengaruhi aktivitas tyrosine hydrolxylase phosphorylation (THP), yang berperan dalam biosintesis catecholamine. TPA phosphorylates phosphoprotein, meningkatkan hasil dari dihidroxyphenylalanine diikuti dengan peningkatan aktifitas THP (Pocotte dan Holz, 1986). Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar Pengolahan dengan pemanasan dilaporkan antara lain oleh Wink (1993); Makkar dan Becker (1997b); Aderibigbe et al. (1997); Aregheore et al. (2003). Pemanasan 1000 C selama 30 menit belum mampu menurunkan aktifitas lectin, namun pemasakan (disertai penguapan panas) selama 5 menit mampu mendeaktivasi lectin (Wink, 1993). Pemanasan 1210 C selama 30 menit (autoclave) dapat menghambat aktivitas trypsin dan lectin sehingga meningkatkan kecernaan protein (Aregheore et al., 2003). Pengolahan secara kimia dengan penambahan 4% NaOH dan 10% NaOCl diikuti dengan pemanasan berhasil menurunkan kadar phorbolester bungkil biji jarak varietas toxic dari 1,78 mg/g menjadi 0,13 mg/g. Pengolahan dengan 3,5% NaOH tanpa NaOCl berhasil menurunkan kadar phorbolester menjadi 0,18 mg/g. Percobaaan bungkil biji jarak pagar yang telah diolah secara kimia sebanyak 16% dalam ransum tikus menunjukkan respon yang kurang baik yaitu konsumsi ransum dan pertumbuhan rendah. Disimpulkan bahwa kandungan phorbolester 0,13 mg/g belum dapat ditoleransi oleh ternak. Perlakuan pemanasan yang tinggi (1210C selama
30 menit) dan dicuci selama 4x dengan 92% methanol menurunkan phorbolester sampai 0,09 mg/g dan kadar ini dapat ditoleransi oleh ternak (Aregheore et al., 2003). Fermentasi adalah proses yang menghasilkan komponen kimia yang kompleks sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba (Muchtadi et al., 1992). Pengolahan biologis (fermentasi) dengan Rhizopus oligosporus terhadap bungkil biji jarak pohon (Ricinus communis L) menghasilkan bungkil biji jarak yang dapat dijadikan bahan baku pakan alternatif. Penggunaaan sampai 12% dalam ransum ayam broiler tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein ransum dan dapat mensubstitusi bungkil kedelai (Aisjah, 1998). Kapang yang memegang peranan terbesar pada peningkatan nilai gizi protein kedelai pada pembuatan tempe
adalah Rhizopus oligosporus. Hal ini karena selama proses
fermentasi , Rhizopus oligosporus mensintesa enzim protease lebih banyak (Anshori, 1989). Enzim protease akan merombak senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar protein dan asam amino (Ganjar, 1977). Perkembangan Penelitian Bungkil Biji Jarak Tanpa Pengolahan Penelitian bungkil biji jarak pagar tanpa pengolahan terhadap performa broiler telah dilakukan oleh Nurhidayah (2007), dengan level pemberian bungkil biji jarak dalam ransum sebesar 5%, 10% dan 15%. Performa ayam broiler dengan pemberian bungkil biji jarak pagar sebesar 5% pada umur 7 hari dan 21 hari pemeliharaan menyebabkan penurunan konsumsi ransum sebesar 63,91% dan 68,86%, penurunan bobot badan sebesar 34,69% dan 78,03%, dan penurunan pertambahan bobot badan sebesar 56,29% dan 97,91% dibandingkan dengan kontrol, kemudian terjadi peningkatan konversi ransum pada umur 21 hari sebesar 81,46% dengan angka kematian sebesar 100% dibandingkan dengan kontrol.
Ayam broiler Ayam broiler yang dikenal sekarang berasal dari berbagai galur (strain). Strain secara umum didefinisikan sebagai sekelompok unggas hasil seleksi dalam
satu bangsa atau varietas yang mempunyai sifat-sifat khusus yang dipelihara khusus dan dipertahankan dari generasi ke generasi (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Karakteristik ayam broiler modern adalah pertumbuhan yang cepat, banyak penimbunan pada bagian dada dan otot-otot daging, disamping itu relatif lebih rendah aktifitasnya bila dibandingkan jenis ayam yang digunakan untuk produksi telur (Pond et al., 1995). Menurut Feltwel (1992) strain ayam broiler yang unggul antara lain Arbor Acres, Cobb, Hubbard, Indian River, Isa Vedette, Peterson, Pilch, Ross 1,208 PM 3 dan Shaver Strabo. Beberapa strain yang ada di Indonesia antara lain Ross (Fanbelle, 2006), Cobb (Cobb Vantress, 2003), Avian (Cobb Vantress, 2006) dan ISA-i757 (Jahan et al., 2006). Strain tersebut mempunyai sifat cepat dalam pertumbuhan dan memiliki pertumbuhan bulu lambat. Performa ayam broiler dari beberapa strain pada tahun 2000-an dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Performa Ayam Broiler dari Beberapa Strain pada Tahun 2000-an Strain
Peubah Umur
Rossa
PBB Harian (g)
Konversi Ransum
Bobot Akhir (g)
35
52,55
1,59
1.871,5
34,5
50,75
1,55
1.700
Avianc
34
41,9
1,65
1.420
ISA-i757d
35
56,47
2,06
1.511
Cobb
b
Keterangan: aFanbelle, 2006 b Cobb Vantress, 2003 c Cobb Vantress, 2006 d Jahan et al., 2006
Strain Ross 308 memiliki periode pemeliharaan yang terbagi atas starter (010 hari), grower (11-24 hari) dan finisher (25-70 hari) dengan energi metabolis 3025 kkal/kg (starter), 3150 kkal/kg (grower) dan 3200 kkal/kg (finisher). Protein yang digunakan dalam periode starter adalah 22-25%, grower 21-23% dan finisher 1923%. Imbangan energi dan protein periode starter adalah 121-137,5; grower 136,9150 dan finisher 139,1-168,4 (Aviagen, 2007).
Konsumsi ransum Konsumsi dihitung sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tillman et al., 1998). Parakkasi (1999) menyatakan konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu dan tingkat konsumsi ini menggambarkan palatabilitas. Pada umumnya palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna dari bahan pakan. Palatabilitas yaitu daya tarik suatu pakan atau bahan pakan yang dapat menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak (Pond et al., 1995). Menurut Widodo (2002), agar jaringan daging tumbuh lebih cepat maka protein dalam ransum harus diberikan secara maksimal. Energi dalam ransum juga harus diberikan secara maksimal karena energi digunakan untuk menggerakkan kegiatan dan menghasilkan daging. Konsumsi energi dan protein strain Ross 308 pada umur berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi Energi dan Protein Strain Ross 308 pada Umur Berbeda Umur (Minggu)
Konsumsi Energi (kkal/ekor)
Protein (gram/ekor)
0-2 Minggu
1611,5
112,7-126,1
2-5 Minggu
8670,8
537,4-626,8
10282,3
650,1- 752,9
Kumulatif Sumber : Aviagen, 2007
Leesons
dan
Summers
(2001)
mengemukakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi konsumsi ransum adalah bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat-zat nutrisi, kecepatan pertumbuhan dan stress. Menurut NRC (1994) faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah besar tubuh ayam, aktivitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Selain itu konsumsi ransum dipengaruhi bobot badan, strain, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktifitas ternak, mortalitas, kandungan energi dalam ransum dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1990). Konsumsi pakan strain Ross 308 menurut Aviagen (2007) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Konsumsi Ransum Strain Ross 308 pada Umur dan Jenis Kelamin Berbeda Umur
Konsumsi Ransum (gram/ekor)
(Minggu)
Jantan
Betina
1
162
160
161
2
542
504
523
3
1.203
1.095
1.149
4
2.170
1.960
2.065
5
3.415
3.081
3.248
Rataan Jantan dan Betina
Sumber : Aviagen, 2007
Pertambahan bobot badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Menurut Rose (1997), pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh dan peningkatan sel-sel individual dimana pertumbuhan itu mencakup empat komponen utama yaitu adanya peningkatan berat otot yang terdiri dari protein dan air, peningkatan ukuran kerangka, peningkatan total lemak tubuh dalam jaringan adipose dan peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Scott et al. (1982) menyatakan bahwa pertumbuhan ayam broiler sangat cepat dimulai dari menetas sampai berumur 8 minggu, namun setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun. Pertumbuhan ayam broiler sangat sensitif terhadap tingkat nutrisi yang diperoleh sehingga keseimbangan zat nutrisi sangat penting. Pemberian pakan dengan kualitas yang lebih rendah terutama saat pertumbuhan akan menurunkan laju pertumbuhan. Protein dan asam amino merupakan nutrisi yag dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan produktifitas yang maksimal. Pencapaian pertumbuhan dan produktifitas yang maksimal mungkin tidak selalu dapat menghasilkan ekonomi yang tinggi, khususnya jika harga rata-rata protein tinggi. Rendahnya kandungan protein ransum awal (starter) dapat menyebabkan pertumbuhan terganggu pada awalnya dan akan mempengaruhi penurunan bobot tubuh serta akibat pada performa saat dewasa. Rendahnya konsumsi ransum akan mengakibatkan rendahnya pertumbuhan, tetapi hanya sedikit yang menyebutkan terjadi penurunan akibat tingginya protein dalam ransum (NRC, 1994). Menurut North dan Bell (1990), peningkatan bobot badan setiap minggunya tidak terjadi secara seragam. Setiap minggu pertumbuhan ayam mengalami peningkatan hingga mencapai pertumbuhan maksimal, setelah itu mengalami
penurunan. Pertambahan Bobot Badan strain Ross 308 menurut Aviagen (2007) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pertambahan Bobot Badan Strain Ross 308 pada Umur dan Jenis Kelamin Berbeda Umur (Minggu)
Pertambahan Bobot Badan (gram/ekor) Jantan
Betina
Rataan Jantan dan Betina
1
142
138
140
2
429
397
413
3
878
786
832
4
1.463
1.276
1.370
5
2.131
1.827
1.939
Sumber : Aviagen, 2007
Bobot badan akhir merupakan bobot badan ayam broiler yang dicapai pada masa akhir pemeliharaan. Menurut Gordon dan Charles (2002), target bobot badan akhir tidak hanya berdasarkan kriteria ketercukupan kebutuhan pertumbuhan fisiologis selama masa pembesaran dalam rangka menopang produksi, tetapi setiap organ tubuh dan otot mengikuti kurva pertumbuhannya masing-masing. Menurut Bell dan Weaver (2002) bobot badan akhir dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Bobot Badan strain Ross 308 menurut Aviagen (2007) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Bobot Badan Strain Ross 308 pada Umur dan Jenis Kelamin Berbeda Umur (Minggu)
Bobot Badan (gram/ekor) Jantan
Betina
Rataan Jantan dan Betina
1
184
180
182
2
471
439
455
3
920
828
874
4
1.505
1.318
1.412
5
2.173
1.869
2.021
Sumber : Aviagen, 2007
Konversi ransum Menurut Lacy dan Vest (2000), konversi ransum didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh dalam
kurun waktu tertentu. Semakin tinggi konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas pakan, jenis ransum, penggunaan zat additif, kualitas air, pengafkiran, penyakit, dan pengobatan, serta manajemen pemeliharaaan. Selain itu, konversi ransum dipengaruhi faktor kualitas ransum, teknik pemberian pakan dan angka mortalitas (Amrullah, 2003). Konversi ransum strain Ross 308 menurut Aviagen (2007) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Konversi Ransum Strain Ross 308 pada Umur dan Jenis Kelamin Berbeda Umur (Minggu) 1
Jantan
Betina
0,880
0,889
0,885
2
1,148
1,151
1,149
3
1,322
1,308
1,315
4
1,487
1,442
1,462
5
1,648
1,572
1,607
Rataan Jantan dan Betina
Sumber : Aviagen, 2007
Mortalitas North dan Bell (1990) menyatakan bahwa persentase kematian minggu pertama selama periode pertumbuhan tidak lebih dari
4 %. Kematian minggu
selanjutnya harus relatif lebih rendah sampai hari terakhir minggu tersebut dan terus dalam keadaan konstan sampai berakhirnya periode pertumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase kematian antara lain bobot badan, bangsa, tipe ayam, iklim, kebersihan lingkungan dan penyakit. Menurut Lacy dan Vest (2000), angka mortalitas diperoleh dengan perbandingan antara jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam yang dipelihara. Angka mortalitas normal pada ayam pedaging sekitar 4%. Faktor seperti umur, temperatur, air minum, aliran udara, panas, cahaya, nutrisi, temperatur lingkungan dan kelembaban dapat menyebabkan kematian (Swich, 1998). METODE Waktu dan Tempat