5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tanaman Jahe Zingiberaceae berasal dari bahasa Sanskerta “zingiber” yang artinya berbentuk seperti tanduk. Zingiberaceae berpangkal pada bentuk cabang rimpang yang mulai tumbuh menjadi batang yang bentuknya seperti tanduk. Warga dari famili Zingiberaceae dikenal sebagai penghasil rimpang yang umumnya mempunyai nilai sebagai rempah-rempah, digunakan sebagai campuran bahan makanan (manisan, permen, minuman) maupun sebagai ramuan dalam obat tradisional. Disamping itu ada pula yang menghasilkan malai bunga yang dapat dimakan sebagai sayur dan sebagai tanaman hias yang cukup indah dan harum baunya (Rismunandar 1988). Sebagian besar Zingiberaceae merupakan tumbuhan berumur panjang yang besar, berbatang basah dengan rimpang dan daun yang besar, gundul dan tidak berambut, dengan pelepah yang besar dan tangkai yang nyata dan tidak jarang beralur disisi atasnya. Helai daun biasanya asimetris, bertulang menyirip. Bunga umumnya besar dan berwarna menarik, hemaprodit, zigomorf, berbilangan tiga, mempunyai kelopak dan mahkota. Daun mahkota tiga, pada pangkalnya melekat. Benang sari dalam dua lingkaran, tiap lingkaran terdiri dari tiga benang sari. Bakal buah tenggelam, kebanyakan beruang tiga dengan satu bakal biji dalam tiap ruangannya. Biji banyak dan tidak mempunyai endosperma besar. Tangkai putik sangat langsing, dengan ujung terjepit diantara kedua benang sari. Kepala sari melebar. Buah kotak kebanyakan berkatup tiga, kadang kadang tidak pecah (Steenis et al. 2006). Sebagian besar keluarga Zingiberaceae yang berada di Indonesia digunakan sebagai bahan obat-obatan, kosmetik dan bumbu masak. Di pulau Jawa lebih banyak dikenal dengan tanaman empon-empon. Diantara species penting yang dikomersialkan dari suku ini adalah jahe, kunyit, temulawak dan lengkuas (Rismunandar 1988). Kuntorini (2005) menyatakan bahwa penggunaan lengkuas, temulawak, temu ireng dan temu kunci untuk obat-obatan masih dibawah 20 % dari total temu-temuan, sedangkan kunyit dan jahe yang paling dominan. Jahe
6
digunakan secara luas di Jepang, Timur Tengah, India, Bangladesh, Taiwan, Jamaica and Nigeria (Anon 1999). Jahe merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh pada lahan dataran rendah sampai menengah (300-900 m dpl). Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe yang didasarkan atas ukuran dan warna rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah.
Jahe putih kecil dan jahe merah sebagian besar
dimanfaatkan dalam industri minuman penyegar dan bahan baku indutri OT, herba terstandar maupun fitofarmaka (Bermawie et al. 2006). Jahe putih besar, di Jawa Barat dikenal dengan nama umum jahe badak tapi di Sumatera disebut jahe gajah. Nama lainnya yaitu jahe ganyong dan jahe lempung di Kuningan, jahe kapur di Jawa Timur. Ukuran jahe ini jauh lebih besar dan bentuknya lebih gemuk, demikian pula aroma dan rasanya kurang tajam dibanding kedua jenis lainnya. Jahe ini banyak digunakan untuk sayur, makanan, minuman, permen dan rempah-rempah (Januwati 1991). Jahe putih besar mempunyai rimpang yang tumbuh bergerombol pada pangkal batangnya, berdaging dan berukuran tebal serta bercabang tidak beraturan. Ukuran panjang dan lebar rimpang jahe putih besar berkisar antara 15.83 – 32.75 cm dan 6.20 – 11.30 cm. Jahe putih kecil 6.13 – 31.70 cm dan 6.38 – 11.10 cm, sedangkan jahe merah 12.33 – 12.60 cm dan 5.26 – 10.40 cm (Rostiana et al. 1991). Berdasarkan pengamatan sitologi, berjumlah 2n=22 (Ajijah et al. 1997)
kromosom jahe
kecuali pada species Zingiber mioga
berjumlah 2n=55 (Peter et al. 2007). Tanaman jahe mempunyai batang semu (pseudostems) yang berbentuk bulat. Tegak, tidak bercabang, berwarna hijau muda, sering kemerahan pada bagian dasar. Setiap batang umumnya terdiri dari 8 -12 helai daun (Rostiana et al. 1991; Sumeru 1995; Peter et al. 2007). Tinggi tanaman ini rata-rata 68.63 ± 12.5 cm.
Perbanyakan Tanaman Jahe Perbanyakan tanaman jahe umumnya dilakukan secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan rimpang berukuran 2.5 – 5 cm, dengan bobot 25 – 60 gram. Perbanyakan vegetatif pada tanaman jahe menyebabkan keragaman genetik jahe
7
sangat rendah. Penggunaan rimpang sebagai bahan perbanyakan jahe mempunyai beberapa kendala yaitu: 1) dapat
membawa penyakit tular benih
Ralstonia
solanacearum, dan Fusarium serta nematoda sehingga penyebaran penyakit dan nematoda sulit dihindari; 2) rimpang yang berukuran besar/voluminous mempersulit penanganannya (sortasi, penyimpanan, pengemasan, transportasi dan lain-lain) dan mengakibatkan kebutuhan benih yang cukup tinggi, sekitar 2-3 ton/ha; 3) tidak tahan disimpan lama karena daya berkecambah benih turun sampai 50 % dalam waktu 3 – 4 bulan (Sukarman et al. 2004 ). Apabila tidak dilakukan langkah-langkah penanganan benih yang memadai, maka benih jahe paling lama dapat disimpan 2 – 3 bulan. Penyimpanan lebih dari waktu itu mengakibatkan benih mengkerut dan sudah bertunas. Benih yang sehat, walaupun bertunas, panjang tunasnya tidak lebih dari 1 cm. Untuk menghindari tumbuhnya jamur atau kapang, penyimpanan benih akan lebih baik kalau diberi perlakuan abu dapur yang ditaburkan. Pada kondisi demikian benih dapat disimpan selama 4 bulan (Januwati et al. 1991). Menurunnya kadar air benih setelah penyimpanan erat kaitannya dengan proses penguapan benih/rimpang jahe selama penyimpanan. Karena benih/rimpang bersifat higroskopis maka benih/rimpang tersebut akan menyerap atau melepaskan air sampai kadar airnya mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya (Sukarman et al. 2008). Standar Nasional Indonesia mengenai persyaratan mutu benih (rimpang) JPB yang layak untuk ditanam yakni ≥ 70%, diharapkan dengan kadar air tersebut kemampuan benih (rimpang) untuk tumbuh masih tinggi (Anon 2006). Pada umumnya pengadaan benih masih menggunakan benih dari kebun sendiri, dan belum mengacu kepada standar mutu benih yang berasal dari budidaya untuk produksi benih sehingga mutunya kurang terjamin. Selain itu benih jahe juga rentan terhadap serangan penyakit dan hama gudang. Benih jahe juga akan mudah keriput apabila dipanen tidak cukup umur, dan mudah bertunas apabila kondisi simpannya kurang baik. Kondisi demikian tentu akan berpengaruh kurang baik terhadap produksi dan kualitas jahe yang dihasilkan. Di Jawa Barat petani jahe belum ada yang dikhususkan untuk menanam benih jahe karena resikonya cukup besar (Hasanah et al. 2004).
8
Induksi Pembungaan Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor besar, yaitu faktor eksternal /lingkungan (suhu, cahaya, kelembaban, curah hujan, dan unsur hara) dan faktor internal (fitohormon dan genetik). Perubahan lingkungan tersebut dapat mengubah respon pembungaan suatu tanaman (Darjanto dan Satifah 1990). Setiap species tanaman dapat mempunyai respon yang berbeda terhadap lingkungan untuk berbunga (Thomas 1993). Ashari (2006) menyatakan bahwa sedikitnya ada 2 unsur yang mempengaruhi pembungaan yaitu: curah hujan dan distribusi hujan dan tinggi tempat dari permukaan laut. Selain unsur iklim di atas, menurut Guslim dalam Nasution (2009) produksi tanaman juga dipengaruhi oleh radiasi matahari dan suhu. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Kondisi lingkungan yang sesuai selama pertumbuhan akan merangsang tanaman untuk tumbuh cepat, berbunga dan menghasilkan benih. Kebanyakan spesies tidak akan memasuki masa reproduktif jika pertumbuhan vegetatifnya belum selesai dan belum mencapai tahapan yang matang untuk berbunga. Ada dua rangsangan yang menyebabkan perubahan itu terjadi, yaitu suhu dan panjang hari (Mugnisjah dan Setiawan 1995). Adanya rangsangan ekternal transformasi
menyebabkan akan terjadi
pertumbuhan indeterminat pada ujung pucuk yang dirubah ke
bentuk pertumbuhan determinat yang sama sekali berbeda, yaitu alat reproduktifnya (Harjadi et al. 1988). Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya sehingga pertumbuhan vegetatif lebih dominan. Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem lateral (primordia bunga) untuk mulai membentuk kuncup-kuncup bunga dan melangsungkan proses pembungaan. Selain itu, pada umumnya pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status air dalam tanah. Cekaman (stress) air dapat menginduksi inisiasi bunga, dengan diikuti oleh hujan maka primordia bunga yang terinisiasi akan berkembang pada tanaman tahunan tropika. (Mugnisjah dan Setiawan 1995).
9
Tanaman yang mengalami masa kering menyebabkan pasokan nitrogen pada tajuk tanaman berkurang sehingga jumlah nitrogen pada tajuk tanaman lebih kecil daripada karbon.
Jumlah nitrogen pada tajuk tanaman lebih kecil dari
karbon menyebabkan metabolisme tanaman meningkat sehingga laju fotosintesis bertambah, jumlah karbohidrat yang dihasilkan tentu meningkat. Kondisi itu dapat terjadi bila tanaman mengalami masa kering sehingga pasokan nitrogen berkurang, sehingga pada beberapa tanaman seperti jambu air, perlakuan stres air pada tanaman akan memicu keluar bunga (Sandra 2009). Suhu, curah hujan, cahaya dan keadaan lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembungaan. Adanya perbedaan antara suhu maksimum pada siang hari dan suhu minimum di waktu malam dapat merangsang pembentukan bunga yang baik. Pada Zingiberaceae, bunga dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang lembab, karena tidak cepat layu (Darjanto dan Satifah 1990). Paclobutrazol merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang terjadinya pembungaan. Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosintesa giberelin (Terri dan Millie 2000) yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Sedgley dan Griffin 1989). Paclobutrazol diserap oleh tanaman melalui daun, pembuluh batang atau akar, kemudian ditranslokasikan secara akropetal melalui xylem kebagian tanaman yang lain (Wattimena 1988). Pada meristem sub apikal senyawa ini akan menghambat biosintesis giberelin, yang selanjutnya akan menyebabkan
penurunan
laju
pembelahan
sel
sehingga
mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan vegetatif, dan secara tidak langsung akan mengalihkan fotosintat ke pertumbuhan reproduktif yang diperlukan untuk membentuk bunga. Paclobutrazol juga berperan sebagai zat yang dapat memperlambat pertumbuhan yang mengakibatkan bagian–bagian tanaman akan mengecil dan dapat merangsang tumbuhnya bunga. Aplikasi zat pengatur tumbuh ini diperlukan untuk
mempercepat
keberhasilan
pembungaan
penyilangan
atau
tanaman
hibridisasi.
mangga Aplikasi
dan
meningkatkan
paclobutrazol
dapat
merangsang pembungaan mangga 57-83 hari setelah aplikasi (Husen dan Ishartati 2007). Paclobutrazol dan atonik merupakan zat pengatur tumbuh untuk perbaikan
10
kualitas dan kuantitas bunga. Penggunaan paclobutrazol ternyata efektif terhadap pembungaan mangga, apel, dan melati (Purnomo et al. 1989; Herlina et al. 2001). Pemberian paclobutrazol pada jahe hias ‘ Chiang mai Pink” dengan konsentrasi 20 mg/pot dapat mempercepat keluarnya bunga pertama dari pada tanaman kontrol (Maria et al. 2001). Ashrafuzzaman et al.(2009) menyatakan bahwa perendaman umbi bawang sepanjang malam dengan 80 ppm paclobutrazol tidak dapat meningkatkan jumlah bunga dan mempercepat pembungaan bunga bawang.
Biologi Bunga Sebagian besar famili Zingiberaceae menghasilkan bunga. Bunga pada Zingiber sp berada di ujung tangkai bunga yang muncul secara langsung dari rimpang.
Bunga berbentuk kerucut tertutup oleh rangkaian braktea. Braktea
merupakan kantong tempat munculnya bunga, satu bunga dalam satu braktea. Beberapa species mempunyai braktea berwarna hijau sewaktu muda dan berubah warna menjadi merah setelah terjadi pembuahan. Bunga biasanya mekar pada siang hari dan bertahan hanya beberapa jam saja.
Ciri paling unik adalah
bunganya dapat menyediakan serbuk sari dalam waktu yang lama (Larsen et al. 1999). Berdasarkan penelitian-penelitian yang sebelumnya menyatakan bahwa viabilitas serbuk sari tergolong rendah, walaupun demikian belum ada informasi yang menyatakan lamanya masa viabilitas serbuk sari. Bunga pada genus Zingiber jarang menghasilkan buah. Penyebab kegagalan produksi buah dan biji diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kegagalan penyerbukan akibat terbatasnya vektor penyerbukan. (Peter et al. 2007). Ramachandra (1982) melaporkan bahwa ratio serbuk sari fertil dan serbuk sari berkecambah tergantung pada banyaknya serbuk sari yng berkecambah pada stigma atau ada tidaknya self incompatibility. Rahman (1998) melaporkan bahwa fertilitas serbuk sari pada jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum) sangat bervariasi tetapi cukup tinggi (6-45 %) sehingga menjamin terjadinya pembuahan.
cukup
Fertilitas semacam ini jauh lebih tinggi
daripada fertilitas serbuk sari dari jenis Curcuma yang bersifat steril (2 – 7 %), sehingga tanaman ini tidak menghasilkan biji. Fertilitas yang rendah ini diduga disebabkan oleh ketidaknormalan selama proses miosis .
11
Menurut Bermawie dan Martono (1997) jahe jarang berbunga, bila terjadi bunga mekar pada siang hari, dan gugur pada keesokan harinya, sehingga periode untuk penyerbukan sangat pendek. Bunga tersusun dalam spika yang langsung muncul dari rimpangnya, sama halnya dengan batang semu. Setiap bunga dilindungi oleh braktea (daun pelindung) berwarna hijau, berbentuk bulat telur atau jorong. Setiap braktea akan muncul satu bunga (Purseglove et al. 1981 ). Peter et al. (2007) menambahkan adakalanya terdapat dua bunga, bunga bisexual, tidak beraturan, berwarna kuning dengan bintik-bintik ungu gelap. Pada bunga hermaprodit dengan posisi yang berdampingan, ketika kotak sari pecah tidak dapat menjangkau kepala putik karena posisinya berjauhan dan kotak sari menempel pada pangkal kepala putik. Bunga keluar 2-3 bulan setelah tanam, inisiasi bunga berasal dari pembentukan rhizome- rhizome baru. Ketika bunga gugur dan bagian yang lainnya mengering, rhizome menjadi dorman. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada tumbuhan. Fase-fase tersebut berlangsung sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless 2006). Fenologi perbungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola perbungaan dan perbuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas
2004).
Pengamatan
fenologi tumbuhan yang seringkali dilakukan adalah perubahan masa vegetatif ke generatif dan panjang masa generatif tumbuhan tersebut. Ini biasanya dilakukan melalui pendekatan dengan pengamatan umur bunga, pembentukan biji dan saat panen.