4
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) termasuk dalam kelas monokotiledon, ordo Glumaceae, family Graminae dan genus Saccharum. Beberapa spesies tebu yang lain
adalah
Saccharum
officianrum,
Saccharum
robustum,
Saccharum
spontaneum, dan Saccharum barberi. Saccarum officinarum merupakan spesies tebu paling modern dan paling banyak dibudidayakan (James, 2004). Menurut James (2004), tanaman tebu terbagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu akar, batang, daun, dan bunga. Tanaman tebu memiliki perakaran serabut, yang dapat dibedakan menjadi akar primer dan akar sekundar. Akar primer adalah akar yang tumbuh dari mata akar buku tunas stek batang bibit. Karakteristik akar primer yaitu halus dan bercabang banyak. Sedangkan akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari mata akar dalam buku tunas yang tumbuh dari stek bibit, bentuknya lebih besar, lunak, dan sedikit bercabang. Menurut Supriyadi (1992) pertumbuhan akar ada yang tegak lurus ke bawah dan ada yang mendatar dekat permukaan tanah. Tebu memiliki tipe batang beruas-ruas. Di antara ruas-ruasnya terdapat buku-buku ruas dan terletak mata tunas yang tumbuh menjadi pucuk tanaman baru. Susunan ruas-ruas pada batang tebu dapat berliku atau lurus. Bentuk ruas yang menyusun batang dibedakan menjadi enam bentuk, yaitu silindris, tong, kelos, konis, konis berbalik, dan cembung cekung. Tinggi batang dipengaruhi oleh baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Tinggi tanaman tebu antara 2-5 m. Pada pucuk batang tebu terdapat titik tumbuh yang penting untuk pertumbuhan meninggi (Supriyadi, 1992). Daun tebu terdiri atas dua bagian yaitu helai daun dan pelepah daun. Helai daun berbentuk pita yang panjangnya 1-2 m (tergantung varietas dan keadaan lingkungan),dan lebar 2-7 cm. Tebu tidak memiliki tangkai daun. Diantara pelepah dan helaian daun terdapat sendi segitiga daun dan pada bagian sisi dalamnya terdapat lidah daun yang membatasi helaian dan pelepah daun. Warna daun tebu bermacam-macam ada yang hijau tua, hijau kekuningan, merah
5 keunguan dan lain-lain. Ujung daun tebu meruncing dan tepinya bergerigi (James, 2004). Bunga tersusun dalam malai yang terbentuk setelah pertumbuhan vegetatif. Bunga berkembang pada pagi hari dengan jangka waktu pembungaan pada satu malai berlangsung beragam antara 5 sampai 12 hari. Bunga tebu termasuk bunga sempurna. Tangkai sari dan tepung sari menjurai keluar setelah bunga cukup matang. Kepala putik berambut yang umumnya berwarna keunguan. Buahnya termasuk buah padi-padian, bijinya berukuran kecil memiliki panjang antara 1.0-1.5 mm dan lebar 0.5 mm (James, 2004).
Ekologi Tanaman Menurut James (2002), tebu pada umumnya dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki iklim tropis dan sub tropis dengan daerah penyebaran 390 LU dan 350 LS. Dibutuhkan suhu rata-rata tahunan di atas 210 C, apabila kuarang dari 200 C maka pertumbuhannya akan terhambat dan pertumbuhan akan terhenti pada suhu 160 C. Suhu perkecambahan tunas stek tebu antara 32-380 C. Suhu yang diperlukan untuk dapat menghasilkan sukrosa yang tinggi adalah antara 26-270 C. Curah hujan tahunan yang dikehendaki adalah 1 500- 2 500 mm per tahun dengan penyebaran merata. Kelembaban yang baik bagi pertanaman tebu adalah 63-85%. Ketinggian tempat yang memenuhi syarat pertumbuhan tebu adalah tidak lebih dari 600 m dpl. Tanaman tebu menghendaki penyinaran matahari langsung. Penyinaran matahari penting bagi tanaman tebu untuk pembentukan gula, tercapainya kadar gula yang tinggi pada batang, dan mempercepat proses pemasakan. Menurut Supriyadi (1992) kadar sukrosa tertinggi dapat dicapai pada penyinaran matahari selama 7-9 jam per hari. Selain itu, menurut Siswoyo at al (2007), kandungan sukrosa juga dipengaruhi oleh pascapanen tebu, yaitu penyimpanan. Intensitas cahaya yang baik untuk fotosintesis tebu adalah 3 000-4 500 footcandle. Tanaman tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur dan mudah menyerap serta melepaskan air. Menurut Sutardjo (2002) tanah yang baik untuk pertumbuhan tebu adalah tanah lempung liat dengan solum dalam atau tanah lempung berpasir dengan lempung berdebu. Tebu dapat ditanam pada tanah
6 dengan kisaran pH 5.5-7.0. Pada pH di bawah 5.5 dapat menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat menyerap air sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di atas 7.0 tanaman akan sering kekurangan unsur fosfor . Pertumbuhan
tebu
dibagi
menjadi
empat
tahap,
yaitu
tahap
perkecambahan, pemunculan anakan, pemanjangan batang, dan pengisian sukrosa di batang (pemasakan). Kebutuhan air yang diperlukan pada setiap tahapan berbeda. Fase awal pada perkecambahan dan pemunculan anakan membutuhkan air sedang. Fase pemanjangan batang membutuhkan air yang cukup banyak. Fase kemasakan membutukan air dengan jumlah sedikit. Fase perkecambahan dimulai saat tanam sampai 1 BST. Fase pemunculan tunas pada 1-3 BST. Fase pemanjangan batang pada 3-9 BST. Fase kemasakan pada 9-12 BST (Sutardjo, 2002)
Tanah Salin Salinitas tanah adalah suatu kondisi dimana kadar garam terlarut tanah mencapai tingkat meracuni tanaman (Santoso, 1993). Pada umumnya tanah salin tergolong ordo Aridisol, yaitu tanah yang terbentuk pada daerah kering atau dengan curah hujan rata-rata kurang dari 500 mm/tahun. Jumlah air hujan tidak cukup untuk mengimbangi air yang hilang melalui tanah dan tanaman (evapotranspirasi). Pada waktu air diuapkan ke udara, garam tertinggal di lapisan permukaan. Proses akumulasi garam berlangsung terus yang disebut proses salinisasi. Garam-garam yang diakumulasikan diantaranya adalah NaCl, Na2SO4, CaCO3 dan MgCO3. Di daerah iklim basah (humid) salinisasi hanya terjadi di delta sungai yang terpemgaruh air laut dan pantai yang telaknya rendah. Salinisasi juga dapat terjadi secara setempat dan membentuk tanah salin tipe intrazonal, seperti misalnya tanah-tanah yang direklamasi dari dasar laut dan tanah-tanah di daerah pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut ( Tan, 1991). Ciri kimia tanah salin tidak dapat didasarkan atas nilai pH saja. Tanah salin mempunyai pH 8,5 atau lebih. Tanah salin ditentukan berdasarkan jumlah garam terlarut dan garam yang dapat dipertukarkan. Parameter yang diukur adalah daya hantar listrik (DHL) atau electrical conductivity (EC) untuk kandungan garam dan presentase pertukaran garam atau exchangeable sodium percentage
7 (ESP). Tanah salin dicirikan oleh nilai EC lebih dari 4 mmho/cm pada 250C dengan ESP kurang dari 15%, dan pH kurang dari 8,5 (Tan, 1991). Proses salinisasi umumnya terjadi pada daerah iklim kering sampai agak kering, berupa tanah-tanah yang biasanya ditumbuhi vegerasi Halophyta sampai semak. Selama musim kering permukaan tanah ditutupi oleh efflorescense atau kerak garam, yang larut di dalam air tanah setiap kali tanah tersebut basah. Proses salinisasi terjadi tidak hanya karena curah hujan yang kurang untuk melarutkan dan mencuci garam, tetapi juga karena penguapan yang menyebabkan terkumpulnya garam dalam tanah dan dalam air tergenang di atas permukaan tanah. Drainase yang buruk menyebabkan evaporasi lebih besar daripada perkolasi. Hal ini merupakan faktor utama berlangsungnya proses salinasi. Tentang lambatnya perkolasi air tanah, dapat disebabkan oleh keadaan tekstur yang sangat halus, struktur mampat atau adanya lapisan padas kedap air. Sebagai akibat perkolasi yang sangat menghambat, air yang menguap dari dalam tanah akan menarik air tanah yang melarutkan garam keatas, sehingga waktu menguap akan meninggalkan garam, berbentuk kerak di permukaan tanah atau lapisan yang banyak mengandung garam yang disebut horizon silikan, atau kristal (Santoso, 1993).
Pengaruh Salinitas Terhadap Tanaman Pengaruh utama salinitas terhadap tanaman adalah ganguan penyerapan air (Shalhevet dan Bernstein, 1985). Konsentrasi yang tinggi dari garam-garam netral seperti NaCl dan Na2SO4 akan mengganggu penyerapan air oleh tanaman. Hal ini diakibatkan oleh tekanan osmotik yang tinggi dalam larutan tanah yang melampaui tekanan osmosis dalam sel akar (Santoso, 1993). Menurut Tan (1991), kepekatan garam yang tinggi menyebabkan tanaman mengalami plasmolisis, sehingga air dalam tanaman bergerak keluar menuju larutan
tanah.
Tanaman
yang
keracunan
garam
mengalami
hambatan
perpanjangan sel dan daun berwarna hijau kotor (berbintik hitam). Mekanisme gangguan garam terhadap tanaman dapat melalui ketidakseimbangan hara. Kelebihan bikarbonat
dapat menyebabkan kahat
Fe.
Kelebihan garam
8 menyebabkan kahat Ca dan Mg. Kondisi pH yang tinggi dapat menyebabkan kelarutan unsur mikro berkurang, sehingga menyebabkan kahat unsur mikro. Keberadaan ion Na dalam jumlah tinggi menyebabkan tanah tersuspensi. Bila tanah dikeringkan seakan-akan menjadi gumpalan kompak dan keras, dan membentuk lapisan keras dipermukaan. Hal ini menyebabakan penurunan porositas tanah dan menghambat kelancaran udara, sehingga dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan tanaman. Bahaya bagi tanaman bisa juga datang dari garam terlarut walaupun konsentrasinya belum cukup untuk memengaruhi penyerapan air. Masuknya ion unsur hara ke dalam bulu akar dipengaruhi oleh sifat dan konsentrasi ion lain yang ada. Oleh karena itu, garam dapat menimbulkan kesulitan nutrisi tanaman karena tanaman tidak mampu menyerap hara yang diperlukan dari tanah. Tanaman yang tumbuh pada tanah salin terlihat terganggu dan mempunyai daun-daun tebal serta warna daunnua hijau tua. Pengaruh salinitas pada tanaman pertama kali terlihat pada penyebaran energi dari proses pertumbuhan dalam mempertahankan tingkat tekanan osmosis yang berbeda. Proses yang pertama kali dari energi pertumbuhan adalah penghambatan dari perpanjangan sel. Sel-sel daun secara kontinu akan membelah tetapi tidak memanjang. Dari serangkaian kejadian, sebagian sel-sel tiap unit daun dicirikan dengan warna hijau gelap yang disebabkan oleh tekanan osmosis tanaman (Santoso, 1993). Cekaman salinitas berakibat pada penurunan produksi tanaman, termasuk pada tebu. Menurut Putri (2011), tebu tidak mengalami penurunan hasil pada nilai EC tanah 1.7 dS/m. Ketika nilai EC tanah sebesar 3.3 dS/m akan menurunkan hasil tebu sebesar 10 %. Hasil tebu akan menurun sebesar 25% pada nilai EC tanah sebesar 6 dS/m. Penurunan hasil tebu lebih besar terjadi pada nilai EC 10.4 dS/m,yaitu sebesar 50%. Pada nilai EC 18.6 dS/m tebu tidak dapat bertahan hidup.
Upaya Pemanfaatan Tanah Salin Drainase yang baik diperlukan dalam pemanfaatan tanah-tanah salin (reklamasi tanah salin). Dalam proses reklamasi sangat penting untuk mengusir kelebihan garam dari zone akar. Hal ini hanya dapat dikerjakan dengan
9 penggunaan air secukupnya untuk mencuci garam ke dalam lapisan tanah bagian bawah. Dengan kondisi drainase yang tidak baik, penambahan air yang banyak akan meningkatkan permukaan air tanah dan menyebabkan meningkatnya akumulasi garam di tanah permukaan, sehingga akan memperburuk kondisi tanah salin. Drainase yang cukup harus disediakan untuk mereduksi permukaan air tanah hingga di bawah zone akar tanaman, yaitu tidak kurang dari 2.4-3 m di bawah permukaan tanah (Santoso, 1993). Metode reklamasi tradisional adalah metode telaga (ponding) yaitu membuat parit lebar di sekeliling lahan. Kedalaman air 0,3 m atau lebih diharapkan dapat menampung garam yang tercuci dari tanah. Metode ini relatif kurang efektif karena laju pengurangan garam berjalan sangat lambat. Metode pencucian yang lebih efektif adalah metode kolam-alur (basinfurrow method). Tanah diratakan dan air irigasi dilewatkan melalui parit yang dibuat di sekeliling lahan. Air dipertahankan sekitar seminggu sampai seluruh lahan dapat diresapi air. Kepekatan garam dalam tanah menurun karna pencucian aliran air irigasi. Kebutuhan air dengan metode ini lebih sedikit daripada metode telaga. Ion garam divalen (umunya Ca) diharapkan tersedia selama reklamasi. Untuk itu diperlukan penambahan gipsum (CaSO4.2H2O). Penambahan gipsum dapat mencapai beberapa ton per hektar dan dapat diulang setelah 2 atau 5 tahun atau sesuai kadar sodium tanah. Bila pencucian tidak mungkin dilakukan, misalnya air tidak tersedia, maka upaya mencari tanaman yang toleran garam adalah jalan yang terbaik. Rekayasa para pemulia tanaman sangat berperan dalam menciptakan varietas-verietas yang toleran garam ( Dirjen Pendidikan Tinggi, 1991).