II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI JAHE Berdasarkan taksonomi, jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk dalam divisi Spermatophyta, Bagian subdivisi Angiosperma, kelas Monocotyledoneae, ordo Zingiberales, dan famili Zingiberaceae, serta genus Zingiber. India dan Cina termasuk negara pemanfaat jahe sejak bertahun-tahun silam. Oleh karenanya, India diduga sebagai negara tempat jahe berasal. Nama botani Zingiber berasal dari bahasa Sansakerta: Singaberi, dari bahasa Arab: Zanzabil, dan dari bahasa Yunani: Zingiberi. Tanaman ini merupakan tanaman terna tahunan dengan batang semu yang tumbuh tegak. Tingginya berkisar 0.3– 0.75 meter dengan akar rimpang yang bisa bertahan lama di dalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan tunas baru untuk menggantikan daun dan batang yang sudah mati (Paimin dan Murhananto 2007).
Gambar 1. Tanaman jahe (Wikipedia 2012)
Gambar 2. Rimpang jahe (Wikipedia 2012)
Menurut Paimin dan Murhananto (2007), tanaman jahe terdiri dari atas beberapa bagian, diantaranya adalah akar, batang, daun, dan bunga. Berikut ini akan diuraikan satu per satu bagianbagian tersebut. 1. Akar, merupakan bagian terpenting dari tanaman jahe. Pada bagian ini tumbuh tunas-tunas baru yang kelak akan menjadi tanaman. Akar tunggal (rimpang) ini tertanam kuat di dalam tanah dan makin membesar dengan pertambahan usia serta membentuk rhizoma-rhizoma baru. Rimpang jahe memiliki aroma khas, bila dipotong berwarna putih, kuning, atau jingga. Sementara bagian luarnya berwarna kuning kotor, atau bila agak tua menjadi agak cokelat keabuan. Bagian dalam rimpang jahe umumnya memiliki dua warna yaitu bagian tengah (hati) berwarna ketuaan dan bagian tepi berwarna agak muda. 2. Batang, merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus. Batang itu sendiri terdiri dari seludang-seludang daun tanaman dan pelepah-pelepah daun yang menutupi daun. Bagian luar batang agak licin dan sedikit mengkilap berwarna hijau tua. Umumnya batang dihiasi titik-titik berwarna putih. Batang ini umumnya basah dan banyak mengandung air sehingga jahe tergolong tanaman herba.
3.
Daun, berbentuk agak lonjong dan lancip menyerupai daun rumput yang besar. Daun itu sebelah-menyebelah berselingan dengan tulang daun sejajar sebagaimana tanaman monokotil lainnya. Daun bagian atas lebar dengan ujung agak lancip, bertangkai pendek, berwarna hijau muda, dan berbulu halus. Panjang daun sekitar 5–25 cm dengan lebar 0.8–2.5 cm. Tangkainya berbulu atau gundul dengan panjang 5–25 cm dan lebar 1–3 cm. Ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0.3–0.6 cm. Bila daun mati, pangkal tangkai akan tetap hidup di dalam tanah, lalu bertunas dan tumbuh akar rimpang baru. 4. Bunga, berupa bulir yang berbentuk kincir, tidak berbulu, dengan panjang 5–7 cm dan bergaris tengah 2–2.5 cm. Bulir itu menempel pada tangkai bulir yang keluar dari akar rimpang dengan panjang 15–25 cm. Tangkai bulir dikelilingi oleh daun pelindung yang berbentuk bulat lonjong, berujung runcing, dengan tepi berwarna merah, ungu, atau hijau kekuningan. Bunga terletak di ketiak daun pelindung dengan beberapa bentuk, yakni panjang, bulat telur, lonjong, runcing, dan tumpul. Panjangnya berkisar 2–2.5 cm dan lebar 1–1.5 cm. Daun bunga berbentuk tabung memiliki gigi kansil yang tumpul dengan panjang 1–1.2 cm. Daun mahkota bagian bawah berbentuk tabung yang terdiri dari tiga bibir dengan bentuk pisau lipat panjang secara runcing yang berwarna kuning kehijauan. Daun kelopak dan daun bunga masingmasing tiga buah yang sebagian bertautan. Pada bunga jahe, benang sari yang dapat dibuahi hanya satu buah, sedangkan sebuah benang sari yang lain telah berubah bentuk menjadi daun. Staminiodstaminiodnya membentuk tajuk mahkota beruang tiga dengan bibir berbentuk bulat telur berwarna hitam belang. Menurut Syukur dan Herniani (2002), jahe terutama dibudidayakan di daerah tropika dengan ketinggian tempat antara 0–1,700 m dpl, dan yang terbanyak berada pada ketinggian menengah, yaitu antara 350–600 m dpl. Di Indonesia, pertanaman jahe yang baik umumnya berada pada daerah yang memiliki curah hujan antara 2,500–4,000 mm dalam setahun. Secara umum, lokasi yang baik untuk pertanaman jahe terletak pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan hampir sepanjang tahun sehingga waktu tanam dapat dilakukan sepanjang tahun. Tanah yang banyak mengandung humus, subur, dan gembur dengan drainase yang baik merupakan lahan yang disukai jahe. Tanaman ini dapat ditanam di berbagai tipe tanah, tetapi akan lebih baik pada jenis latosol dan andosol. Sedangkan menurut Kartasubrata (2010), temperatur rata-rata tahunan untuk budidaya jahe adalah 25–30 oC, dengan intensitas cahaya matahari sebesar 70–100%, dan pH tanah sebesar 6.8–7.4.
B. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN JAHE Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya. Ketiga jenis itu adalah jahe putih/kuning besar, jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih kecil biasa disebut jahe sunti, jahe putih besar sering disebut jahe gajah atau jahe badak (Paimin dan Murhananto 2007). Berikut ini adalah penjelasan mengenai perbedaan jahe putih besar, jahe putih kecil, dan jahe merah, seperti yang tertera pada Tabel 2. Jahe yang dipanen muda, berusia 3–4 bulan, umumnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga, jahe segar, atau jahe awet. Jahe yang dipanen muda umumnya adalah jahe gajah. Jahe yang dipanen tua pada umumnya dipanen setelah berumur 8–12 bulan. Bagi tanaman jahe yang dipanen tua, ciri siap panen adalah berupa layu atau matinya batang semu. Selain itu, pemanenan juga dapat dilakukan saat daun-daun hijau telah berubah menjadi kuning sebagai tanda berhentinya pertumbuhan vegetatif (Paimin dan Murhananto 2007). Untuk tujuan produksi jahe kering, sebaiknya panen dilakukan pada umur 8–10 bulan. Jika pemanenan terlambat maka akan lebih banyak mengandung serat kasar, dimana hal ini akan menurunkan harga jual di pasaran (Purseglove et al. 1981).
4
Tabel 2. Perbedaan jahe putih besar, jahe putih kecil, dan jahe merah No.
1.
2.
Jahe putih besar
Jahe putih kecil
Jahe merah
(Z. officinale var officimarum)
(Z. officinale var amarum)
(Z. officinale var rubrum)
Mempunyai rimpang besar
Mempunyai rimpang kecil
Mempunyai rimpang kecil
berbulu
berlapis
berlapis
Berwarna putih kekuningan
Berwarna putih kekuningan
Berwarna jingga muda sampai merah
3.
Diameter 8.47–8.50 cm
Diameter 3.27–4.05 cm
Diameter 4.20–4.26 cm
4.
Aroma kurang tajam
Aroma tajam
Aroma sangat tajam
5.
Tinggi dan panjang rimpang 6.20–
Tinggi dan panjang rimpang
Tinggi dan panjang
11.30 cm dan 15.83–32.75 cm
6.38–11.10 cm
rimpang 5.26–10.40 cm dan 12.33–12.60 cm
6.
7.
Warna daun hijau muda, batang
Warna daun hijau muda,
Warna daun hijau muda,
hijau
batang hijau muda
batang hijau kemerahan
Kadar minyak atsiri 0.82–2.8%
Kadar minyak atsiri 1.50–
Kadar minyak atsiri 2.58–
3.50%
3.90%
Sumber: Kartasubrata (2010)
Menurut Paimin dan Murhananto (2007), panen dapat dilakukan dengan dengan menggunakan cangkul atau garpu. Panen perlu dilakukan secara hati-hati, agar hasil panen tidak lecet atau terpotong. Rimpang kemudian dibersihkan dari dari kotoran dan tanah yang menempel. Setelah itu, jahe diangkut ke tempat pencucian untuk dilakukan penyemprotan dengan menggunakan air. Jahe tidak boleh digosok ketika pencucian untuk menghindari lecet. Selanjutnya dilakukan penyortiran sesuai dengan tujuan penggunaan. Jahe segar dan jahe kering mempunyai komposisi kimia yang berbeda, namun secara umum Koswara (1995) mengatakan rimpang atau rhizoma jahe mengandung beberapa komponen kimia antara lain: air, pati, minyak atsiri, oleoresin, serat kasar dan abu. Jumlah masing-masing komponen berbeda-beda pada jahe dari berbagai daerah penghasil, yang tergantung pada iklim, curah hujan, varietas jahe, keadaan tanah dan faktor-faktor lain. Adapun komposisi kimia dari jahe segar dan jahe kering per 100 gram bahan tersaji pada Tabel 3. Terdapat beberapa istilah yang umumnya digunakan dalam perdagangan jahe yang menggambarkan ragam bentuk fisik dari jahe kering (Purseglove et al. 1981), diantaranya: 1. Scraped ginger, yaitu irisan jahe yang dikeringkan sesudah dilakukan pengupasan kulit luarnya tanpa merusak lapisan dalam dari jaringan rimpangnya. Umumnya dijual dalam bentuk bubuk untuk bumbu. 2. Coated ginger, yaitu jahe yang diiris dan dikeringkan tanpa dilakukan pengupasan kulit terlebih dahulu, umumnya digunakan sebagai bahan baku minyak atsiri. 3. Bleached ginger, yaitu jahe yang diolah dengan pencelupan ke dalam larutan kapur sebelum dilakukan pengeringan. Perendaman jahe dalam larutan kapur sebelum dilakukan pengeringan memperbaiki penampakan dan meningkatkan daya tahan jahe kering. 4. Black ginger, yaitu jahe yang diolah dengan mencelupkan ke dalam air mendidih selama 10–15 menit sebelum dikeringkan.
5
Tabel 3. Komposisi kimia jahe segar per 100 gram berat basah dan jahe kering per 100 gram berat kering Komponen
Jumlah Jahe segar
Jahe kering
Energi (kJ)
184.0
1,424.0
Protein (g)
1.5
9.1
Lemak (g)
1.0
6.0
Karbohidrat (g)
10.1
70.8
Kalsium (mg)
21
116
Phospor (mg)
39
148
Besi (mg)
4.3
12
Vitamin A (SI)
30
147
Thiamin (mg)
0.02
-
Niasin (mg)
0.8
5
Vitamin C (mg)
4
-
Serat kasar (g)
7.53
5.9
Total abu (g)
3.70
4.8
Magnesium (mg)
-
184
Natrium (mg)
6.0
32
Kalium (mg)
57.0
1,342
Seng (mg)
-
5
Sumber: Depkes RI (1979); Farrel (1985); Watt dan Annabel (1975) dalam Koswara (1995)
C. PENGERINGAN JAHE Menurut Paimin dan Murhananto (2007), jahe kering dapat dibedakan berdasarkan cara pengupasannya, yaitu tanpa dikuliti, setengah dikuliti, dan dikuliti seluruhnya. Pembuatan jahe kering tanpa dikuliti merupakan yang paling sederhana. Sesudah jahe dibersihkan langsung dilakukan pengirisan. Suhu yang digunakan untuk proses pengeringan diatur sesuai kebutuhannya nanti. Jika akan digunakan sebagai rempah, dianjurkan suhu sebesar 57 oC. Jika akan digunakan untuk pengambilan atau penyulingan minyak atsiri dan oleoresin, suhu untuk pengeringannya sekitar 81 oC. Kadar air dari jahe kering ini berkisar 10–12%. Untuk jahe setengah dikuliti, hanya permukaan datarnya saja yang dilakukan pengupasan. Jahe kemudian diiris sesuai dengan kebutuhan dan dididihkan selama 15 menit lalu direndam dalam air selama kurang lebih semalam. Jahe ini sering disebut jahe kasar. Sedangkan untuk proses jahe yang dikuliti seluruhnya tidak jauh berbeda dengan pembuatan jahe yang dikuliti sebagian, hanya saja jahe ini dikupas seluruhnya sehingga daging rimpang jahe yang berwarna putih kekuningan terlihat. Pengeringan jahe dapat dilakukan pada suhu 48.5–81.0 oC. Pada umumnya pengeringan dilakukan dibawah suhu 57 oC, sedangkan untuk tujuan ekstraksi dapat dilakukan sampai suhu 81 oC (Purseglove et al. 1981). Penelitian yang telah dilakukan oleh Hanapie (1988) mengenai pengeringan jahe dengan menggunakan pengering kabinet dan dengan sumber panas listrik pada suhu pengeringan 70 oC memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 13.5 jam, kadar air akhir 8.25% basis basah
6
dan efisiensi pengeringan sebesar 61.43%. Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (1988) dengan menggunakan pengering tipe sumur dan dengan menggunakan bahan bakar biomassa (kayu) pada suhu pengeringan 67.9 oC memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 12.0 jam, kadar air akhir 9.55% basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 3.97%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rokhani (1989) dengan menggunakan pengering tipe rak dan berbahan bakar minyak tanah pada suhu pengeringan 72.3 oC memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 22 jam, kadar air akhir 8.84% basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 27.23%. Menurut penelitian Rusli (1986) diacu dalam Rochman (1996), jahe dikeringkan dalam bentuk irisan yang dilakukan secara slices atau splits. Pada pengirisan secara slices, jahe dipotong melintang setebal 3–4 mm, sedangkan secara splits jahe dibelah dua sejajar dengan arah serat. Maksud pemotongan splits adalah mempercepat pengeringan serta mengurangi kehilangan minyak atsiri selama pengeringan dan penyimpanan. Berdasarkan penelitian Rusli dan Rahmawan (1988) diacu dalam Rochman (1996), diketahui bahwa pengeringan dengan menggunakan oven dengan suhu pengeringan 60 oC akan lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan alat pengering energi surya. Sedangkan irisan jahe secara slices lebih cepat kering bila dibandingkan dengan irisan secara splits. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Hanapie (1988) diketahui bahwa jahe slices irisan tebal (4–6 mm) menghasilkan mutu yang lebih baik dibandingkan jahe slices irisan tipis (2–3 mm). Berikut adalah sifat kimia dan fisik dari jahe kering, seperti yang tertera pada Tabel 4. Menurut Ketaren (1985), sebelum dilakukan proses pengeringan, di beberapa negara produsen jahe dicelup ke dalam larutan kapur 10% selama 3 menit pada suhu 100 oC dan jahe yang dihasilkan berwarna pucat dan agak putih. Penelitian yang dilakukan oleh Rokhani (1989) menyimpulkan bahwa pemberian konsentrasi kapur yang digunakan untuk perendaman sebaiknya tidak lebih dari 5% agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Yuliani dan Risfaheri (1990) menyimpulkan bahwa pemberian larutan kapur dengan konsentrasi 7% terhadap jahe emprit masih memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Perendaman jahe dalam larutan kapur sebelum pengeringan memperbaiki penampakan yang ditunjukkan dengan warna rimpang jahe kering yang putih dan meningkatkan daya tahan jahe yang dihasilkan. Tetapi perendaman tersebut cenderung menurunkan kadar minyak atsiri dan meningkatkan kadar abu dari jahe kering. Sedangkan menurut Ketaren (1985), pencelupan bertujuan antara lain untuk mematikan enzim di dalam rimpang sehingga aktivitas metabolisme akan terhambat, menghilangkan bau mentah, mengurangi waktu pengeringan, terjadi gelatinisasi pati sehingga diperoleh hasil akhir yang keras dan memberikan warna yang lebih baik dan merata. Jahe kering (simplisia jahe) banyak digunakan oleh industri obat tradisional seperti jamu atau diolah lebih lanjut menjadi produk antara seperti bubuk jahe, minyak jahe, oleoresin dan mikrokapsul (Yuliani dan Intan 2009).
D. MINYAK ATSIRI Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang sering disebut “minyak terbang”. Minyak atsiri dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah menguap. Selain itu, minyak atsiri juga disebut essential oil (dari kata essence) karena minyak tersebut memberikan bau pada Tanaman asalnya. Minyak atsiri itu berupa cairan jernih, tidak berwarna, tetapi selama penyimpanan akan mengental dan berwarna kekuningan atau kecoklatan. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh oksidasi dan resinifikasi (berubah menjadi damar dan resin). Untuk mencegah atau memperlambat proses oksidasi dan resinifikasi tersebut, minyak atsiri harus dilindungi dari pengaruh sinar matahari yang dapat merangsang terjadinya proses oksidasi dan oksigen udara yang dapat mengoksidasi minyak atsiri (Koensoemardiyah 2010).
7
Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti di dalam rambut kelenjar (pada famili Labiatae), di dalam sel parenkim (misalnya famili Piperaceae), di dalam saluran minyak yang disebut vittae (famili Umbelliferae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada famili Pinaceae dan Rutaceae), terkandung di dalam semua jaringan (pada famili Coniferae). Pada bunga mawar, kandungan minyak atsiri terbanyak terpusat pada mahkota bunga, pada kayu manis dalam perikap buah, pada Menthae sp. terdapat dalam rambut kelenjar batang dan daun, serta pada jeruk dalam kulit buah dan dalam helai daun (Gunawan dan Mulyani 2004). Jenis minyak atsiri yang telah dikenal dalam dunia perdagangan berjumlah sekitar 70 jenis, yang bersumber dari tanaman, antara lain akar, batang, daun, bunga dan buah. Khususnya di Indonesia telah dikenal sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri, namun baru sebagian dari jenis tersebut telah digunakan sebagai sumber minyak atsiri secara komersial, yaitu sereh wangi, nilam. Kenanga, pala, dauh cengkeh, cendana, kayu putih, akar wangi, jahe dan kemukus (Ketaren 1985). Minyak atsiri mempunyai sifat antara lain: Tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa, memiliki bau yang khas, umumnya bau ini mewakili bau tanaman asalnya, mempunyai rasa getir, kadang-kadang berasa tajam, menggigit, memberi kesan hangat sampai panas, atau justru dingin ketika terasa di kulit, tergantung dari jenis komponen penyusunnya, dalam keadaan murni (belum tercemar oleh senyawa lain) mudah menguap pada suhu kamar, bersifat tidak bisa disabunkan dengan alkali dan tidak bisa berubah menjadi tengik (rancid), bersifat tidak stabil terhadap pengaruh lingkungan, baik pengaruh oksigen udara, sinar matahari dan panas, indeks bias umumnya tinggi, pada umumnya bersifat optis aktif dan memutar bidang polarisasi dengan rotasi yang spesifik karena banyak komponen penyusun yang memiliki atom asimetris, tidak bercampur dengan air, tetapi cukup dapat larut hingga dapat memberikan baunya kepada air walaupun kelarutannya sangat kecil, serta sangat mudah larut dalam pelarut organik (Gunawan dan Mulyani 2004). Dalam tanaman, minyak atsiri mempunyai 3 fungsi, yaitu: 1) membantu proses penyerbukan dengan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, 2) mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan dan 3) sebagai cadangan makanan dalam tanaman. Minyak atsiri dalam industri digunakan untuk pembuatan kosmetik, parfum, antiseptik, obat-obatan, flavoring agent dalam bahan pangan atau minuman dan sebagai pencampur rokok kretek (Ketaren 1985). Minyak atsiri yang disuling dari jahe berwarna bening sampai kuning tua bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama penyulingan dapat berlangsung sekitar 10–15 jam, agar minyak atsiri dapat tersuling semua. Kadar minyak atsiri dari jahe sekitar 1.5–3%. Standar mutu minyak atsiri jahe masih mengacu pada ketentuan EOA (Essential Oil Association).
E. KANDUNGAN ABU Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat organiknya tidak, karena itulah disebut dengan abu (Winarno 2008). Abu merupakan residu organik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian, serta kebersihan dari suatu bahan yang dihasilkan. Abu dalam bahan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tidak terlarut. Bentuk mineral dalam abu sangat berbeda dengan bentuk asalnya dalam bahan pangan. Sebagai contoh kalsium oksalat dalam makanan berubah menjadi kalsium karbonat dan bila dipanaskan lebih lama lagi akan menjadi kalsium oksida. Meskipun demikian, analisis kadar total abu dan pengabuan pada suatu bahan menjadi penting karena berbagai alasan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai
8
gizi suatu bahan pangan. Pengabuan adalah tahap persiapan sampel yang harus dilakukan pada analisis mineral. Selain itu bagi beberapa produk pangan yang memiliki kadar mineral tinggi, kandungan abu menjadi penting seperti misalnya pada produk-produk hewani (Andarwulan et al. 2011). Beberapa tujuan dilakukannya pengujian kadar abu terhadap suatu bahan hasil pertanian atau bahan pangan antara lain: 1. Menentukan baik atau tidaknya proses pengolahan terhadap suatu bahan hasil pertanian. Sebagai contoh pada gandum, apabila kadar abunya tinggi berarti masih banyak katul atau lembaga yang terikut saat tahap penggilingan gandum. 2. Mengetahui jenis bahan yang digunakan. Sebagai contoh penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan dalam marmalade dan jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar asli atau sintetis. 3. Sebagai parameter nilai gizi pada bahan makanan. Sebagai contoh yaitu adanya kandungan abu yang tidak terlarut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain. Pengabuan dapat dilakukan dengan metode langsung dan tidak langsung. Pengabuan langsung yang umum dilakukan adalah pengabuan kering dengan panas tinggi dan adanya oksigen serta pengabuan basah dengan menggunakan oksidator-oksidator kuat. Sedangkan pengabuan tidak langsung dilakukan dengan menggunakan metode konduktometri dan metode pertukaran ion (Andarwulan et al. 2008).
F. KALSIUM HIDROKSIDA (Ca(OH)2) Kapur merupakan istilah umum yang mencakup CaO (kalsium oksida) dan Ca(OH)2 (kalsium hidroksida). Kalsium oksida merupakan senyawa kimia yang diperoleh melalui hasil reaksi pemanasan Kalsium Karbonat (CaCO3), sementara kalsium hidroksida dihasilkan melalui reaksi kalsium oksida (CaO) dengan air (H2O) (Chang dan Tikkanen 1988). Kapur tohor merupakan material berwarna putih berbentuk amorfos dengan rumus kimia CaO dan mempunyai titik cair 2,570 oC serta titik didih 2,850 oC. Batu kapur tohor berbentuk bongkahan berwarna putih, dan mempunyai umur simpan yang relatif pendek yaitu sekitar 60 hari. Selama penyimpanan, CaO akan berubah sedikit demi sedikit menjadi Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk putih karena bereaksi dengan uap air yang ada di udara (Chang dan Tikkanen 1988). Batu kapur tohor (CaO) terbentuk jika batu kapur (CaCO3) dipanaskan pada suhu di atas 650 oC. Batu kapur (CaCO3) adalah batuan sedimen yang dapat dibentuk oleh rombakan batu kapur yang lebih tua, endapan larutan CaCO3 atau pelonggokan cangkang dan kerangka binatang. Reaksi pembentukan CaO merupakan reaksi endoterm dan bersifat reversibel. Jika CO2 yang terbentuk disingkirkan, maka CaO yang terbentuk akan semakin banyak (Mackenzie dan Sharp 1970). Reaksi yang terjadi adalah: CaCO3(s)
CaO(s) + CO2(s)
∆H = 178 kJ
Gaspary dan Butcher (1981) membagi tiga kelas kapur tohor berdasarkan derajat panas yang diberikan pada waktu pembakarannya, yaitu: 1. 2.
Soft burnt lime, dihasilkan dari pembakaran pada kisaran suhu yang paling rendah. Produk yang dihasilkan sangat reaktif. Hard burnt lime, dihasilkan dengan pembakaran pada kisaran suhu yang tinggi dan waktu yang lebih lama sehingga terbentuk kristal dan produk yang dihasilkan mempunyai reaktifitas yang rendah.
9
3.
Medium burnt lime, yaitu produk yang dihasilkan dari proses dengan waktu dan suhu diantara kedua proses di atas. Batu kapur tohor atau CaO merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air dan akan membentuk Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk. Reaksi CaO dengan air membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan kalor dan menghasilkan bahan yang berbentuk bubuk putih (Chang dan Tikkanen 1988). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: CaO(s) + H2O(l)
Ca(OH)2(s)
∆H = -64.8 kJ
Reaksi yang bersifat eksoterm menyebabkan penyimpanan kapur tohor penuh resiko karena secara teoritis suhu dapat mencapai 700 oC pada reaksi antara CaO dengan air. Ca(OH)2/kapur mati (slaked/hydratedlime) dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama dari CaO. Waktu simpan Ca(OH)2 lebih kurang tiga bulan, walaupun akan terdekomposisi juga karena bereaksi dengan CO2 dan menghasilkan CaCO3 yang merupakan bahan awal CaO. Pemanfaatan kapur dalam skala besar adalah untuk pembangunan gedung dan untuk pertanian. Sekarang pemanfaatan kapur telah semakin berkembang, khususnya untuk industri kimia. Batu kapur tohor digunakan dalam pembuatan natrium karbonat, soda kanstik, peleburan baja, kalsium karbida, pembuatan gelas, pulp, kertas, dan pengolahan gula. Kapur tohor juga digunakan untuk penanganan air dan penanganan limbah untuk pemulihan dan pemurnian (Mackenzie dan Sharp 1970).
G. TEORI PENGERINGAN Pengeringan merupakan suatu proses pindah panas dan kandungan air bahan yang yang berlangsung secara simultan. Panas yang dibawa oleh media pengering (udara) digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air tersebut akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara pengering (Brooker et al. 1974). Sedangkan menurut Henderson dan Perry (1976), pengeringan adalah proses penurunan kadar air sampai pada kadar air kesetimbangan dengan udara normal atau kadar air tertentu sehingga penurunan mutu akibat jamur, aktivitas enzim dan serangga dapat diabaikan. Menurut Henderson dan Perry (1976), beberapa keuntungan yang mungkin diperoleh dari pengeringan antara lain adalah daya simpan yang menjadi lebih lama, harga menjadi lebih tinggi setelah beberapa bulan masa panen, nilai ekonomi menjadi lebih tinggi, mutu hasil menjadi lebih baik dan limbah dapat dikonversi menjadi bahan yang berguna. Adapun kerugian yang mungkin timbul akibat adanya proses pengeringan antara lain adalah terjadinya perubahan sifat fisik, kimia, penurunan mutu dan pada beberapa bahan tertentu diperlukan perlakuan tambahan sebelum bahan kering dimanfaatkan. Henderson dan Perry (1976), menyatakan bahwa proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu: (1) periode laju pengeringan tetap, dan (2) periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan tetap terjadi sampai air bebas hilang dari permukaan dan kemudian laju pengeluaran air akan menjadi berkurang. Kadar air dimana laju pengeringan tetap berhenti dikenal sebagai kadar air kritis (critical moisture content), yaitu kadar air terendah yang dicapai oleh pengeringan selama periode tersebut. Berikut adalah tipe kurva yang umum digunakan dalam menggambarkan proses pengeringan, seperti yang tersaji pada Gambar 3.
10
Tabel 4. Sifat kimia dan fisik jahe kering
Karakteristik
K. A. (%) Kadar minyak atsiri (ml/100 g) Kadar abu (%) Berjamur dan berserangga Benda asing (%)
Penjemuran
Kamar pengering
Oven
energi surya
SNI jahe kering
Splits
Slices
Splits
Slices
Splits
Slices
11.8
11.4
12.0
11.8
11.0
10.5
12.0 maks
2.4
2.2
2.6
2.4
2.4
2.2
1.5 min
8.4
8.4
7.8
7.5
7.8
7.8
8.0 maks
-
-
-
-
-
-
-
2.1
2.3
1.1
1.3
1.3
1.3
2.0 maks
Sumber: Rusli dan Rahmawan (1988)
Gambar 3. Kurva pengeringan (Kemp et al 2001) Laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan bagi produk biologis dengan kadar air awal lebih besar dari 70% basis basah dan merupakan fungsi dari suhu, kelembaban (RH) serta kecepatan udara pengering. Tumbuhan biji-bijian tidak memperlihatkan laju pengeringan konstan kecuali jika dipanen terlalu muda atau masih mengandung air kondensasi atau air hujan pada permukaan (Brokeer et al. 1974). Rimpang jahe segar mempunyai kadar air antara 85–91% basis basah (Rusli 1986 diacu dalam Rochman 1996), sehingga pada proses pengeringan rimpang jahe diperkirakan akan terlihat adanya laju pengeringan konstan. Menurut Heldman dan dan Singh (1981), setelah mencapai kadar air kritis, proses pengeringan akan menghasilkan laju pengeringan menurun. Kadar air kritis suatu produk bergantung pada
11
karakteristik padatan bahan seperti bentuk, ukuran dan kondisi pengeringan (Brooker et al. 1974). Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses, yaitu: (1) perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan bahan, (2) perpindahan uap air dari permukaan bahan ke udara sekitarnya (Henderson dan Perry 1976). Proses pengeringan dapat diasumsikan sebagai proses adiabatis, sehingga panas yang diperlukan untuk menguapkan air dari bahan (rimpang jahe) hanya didapat dari udara pengering yang dihasilkan dari hasil pemanasan. Ilustrasi proses pengeringan secara adiabatis tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi proses pengeringan dalam kurva psychrometric (Rokhani 1989). 1.
Kadar Air Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Metode pengukuran kadar air jahe ada dua, yaitu kadar air basis basah (wet basis) dan kadar air basis kering (dry basis) (Henderson dan Perry 1976). Kadar air basis basah adalah perbandingan antara berat air dalam bahan pangan dengan berat bahan total. Kadar air basis kering adalah perbandingan berat air dalam bahan dengan berat keringnya (padatan). = = dimana: Mbb Mbk mair mpadat
100%
100%
......................................................................... (1)
.................................................................................. (2)
= Kadar air basis basah (% bb) = Kadar air basis kering (% bk) = Berat air (gram) = Berat bahan kering (gram)
Apabila perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven, maka persamaan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
12
=
x 100% ................................................................................... (3)
dimana: Mbb = Kadar air basis basah (% bb) = Berat awal bahan (gram) mo m1 = Berat bahan setelah dikeringkan (gram) 2.
Rendemen Nilai rendemen jahe merupakan perbandingan antara jahe kering dengan jahe segar dalam persen. Jahe segar ditimbang sebelum pengeringan dilakukan dan kemudian jahe kering ditimbang kembali di akhir pengeringan. Rendemen dari jahe kering dapat dinyatakan dengan persamaan: Rendemen =
x 100% ............................................................................... (4)
dimana: mo = Berat awal bahan (gram) m1 = Berat bahan setelah dikeringkan (gram) 3.
Laju Pengeringan Laju pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu. Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan dinyatakan dengan: !
= dimana: LP M1 M2 ∆t
∆#
................................................................................................... (5)
= Laju pengeringan (%bk/jam) = Kadar air awal (%bk) = Kadar air akhir (%bk) = Selang waktu untuk menurunkan kadar air dari M1 ke M2 (jam)
4.
Laju Volumetrik Udara Pengering Laju aliran udara pengering yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan dapat dihitung dengan persamaan (Taib et al. 1987 diacu dalam Amelia 2007): %& ' (
$ = )*
+ * , ' #
-& = dimana: Q Wa v H3 H1 t m1
) ! ,
).//! ,
............................................................................................... (6)
-0
..................................................................................... (7)
= Laju volumetrik udara pengering (m3/jam) = Jumlah air bahan yang diuapkan (kg) = Volume spesifik udara (m3/kg u.k) = Kelembaban mutlak udara keluar alat pengering (kg/kg u.k) = Kelembaban mutlak udara alat pengering (kg/kg u.k) = Waktu pengeringan (jam) = Kadar air awal (% bb)
13
m2 Wo 5.
= Kadar air akhir (% bb) = Berat bahan awal (kg) Laju Penguapan Air Laju penguapan air dapat dihitung dengan persamaan berikut: -=
% #
......................................................................................................... (8)
dimana: W = Laju penguapan air (kg/jam) = Laju uap air yang dikeluarkan bahan (kg) Wa t = Lama pengeringan (jam) 6.
Energi Panas Elemen Listrik Energi panas yang dihasilkan oleh elemen listrik dapat dihitung dengan persamaan berikut: 1 = 3.6 5
............................................................................................. (9)
dimana: q = Energi panas elemen listrik (kJ) P = Daya yang digunakan (Watt) t = Waktu pemakaian (jam) 7.
Panas Jenis Bahan Panas jenis bahan (Cpb) dihitung dengan menggunakan persamaan Siebel (1892) diacu dalam Heldman dan Singh (1987): 67 = 0.837 + 0.034). , .......................................................................... (10) dimana: Cpb = Panas jenis bahan (kJ/kg.oC) M1 = Kadar air awal (% bb) 8.
Konsumsi Energi Konsumsi energi merupakan jumlah energi panas yang dihasilkan oleh elemen listrik dibagi dengan jumlah air bahan yang diuapkan selama pengeringan: KE =
>
%
........................................................................................................ (11)
dimana: KE = Konsumsi energi (kJ/kg) q = Energi panas elemen listrik (kJ) Wa = Jumlah air bahan yang diuapkan (kg)
14
9.
Efisiensi Pemanasan Efisiensi pemanasan merupakan jumlah energi panas yang efektif digunakan untuk memanaskan udara pengering dibagi dengan jumlah energi panas yang dihasilkan oleh elemen listrik. ?@ =
A
q. =
C
x 100%
A
D
........................................................................................ (12)
x )hF − h. , x t.................................................................................... (13)
dimana:
ηp q1 q t
= Efisiensi pemanasan (%) = Energi udara pengering yang digunakan (kJ) = Energi panas yang dihasilkan oleh elemen listrik (kJ) = Waktu pemakaian (jam)
10. Efisiensi Penggunaan Panas Efisiensi penggunaan panas merupakan jumlah energi panas yang efektif digunakan untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan, dibagi dengan jumlah energi panas efektif yang digunakan untuk memanaskan udara pengering. ?@@ =
A! A
x 100 %
....................................................................................... (14)
qF = wJ x hfg ................................................................................................. (15) dimana: ηpp q2 q1 wa hfg
= = = = =
Efisiensi penggunaan panas (%) Energi panas untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan (kJ) Energi udara pengering yang digunakan (kJ) Jumlah air bahan yang dilepaskan selama pengeringan (kg) Panas laten penguapan air yang dikandung bahan (kJ/kg) (asumsi: panas laten penguapan yang dikandung jahe sama dengan panas laten penguapan dari air bebas; Lampiran 6)
11. Efisiensi Pengeringan Total Efisiensi pengeringan total merupakan jumlah energi panas yang efektif digunakan untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan (q2) dibagi dengan jumlah energi panas yang dihasilkan oleh elemen listrik (q). ?@M =
A! A
x 100%
........................................................................................ (16)
dimana: ηpt = Efisiensi pengeringan total (%) q2 = Energi panas yang digunakan untuk menguapkan air bahan yang dikeringkan (kJ) q = Energi panas yang dihasilkan oleh elemen listrik (kJ)
15
H.
COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)
CFD dapat dibagi menjadi dua kata-kata, yaitu “computational” yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika dan metoda numerik atau komputasi, dan “fluid dynamics” yang berarti dinamika dari segala sesuatu yang mengalir. Ditinjau dari istilah di atas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat-zat yang mengalir. Secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaanpersamaan matematika (Tuakia 2008). Sebuah perangkat lunak CFD memberikan kekuatan untuk mensimulasikan aliran fluida, perpindahan panas, perpindahan massa, benda-benda bergerak, aliran multifasa, reaksi kimia, interaksi fluida dengan struktur dan sistem akustik hanya dengan pemodelan di komputer. Perangkat lunak ini dapat membuat virtual prototipe dari sebuah sistem atau alat yang ingin dianalisis dengan menerapkan kondisi nyata di lapangan; CFD akan memberikan data-data, gambar-gambar, atau kurva-kurva yang menunjukkan prediksi dari informasi keandalan sistem yang didesain. Hasil analisis CFD sering berupa prediksi kualitatif meski terkadang kuantitatif (tergantung dari persoalan dan data yang dimasukkan) (Tuakia 2008). Pada umumnya terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan dalam simulasi CFD, yaitu preprocessing, solving, dan postprocessing. Preprocessing merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis sebuah model CFD. Teknisnya adalah membuat model dalam paket CAD (Computer Aided Design), membuat mesh yang sesuai/cocok, kemudian menerapkan kondisi batas dan sifat-sifat fluidanya. Solvers (program inti pencari solusi) CFD menghitung kondisi-kondisi yang diterapkan pada saat preprocessing. Postprocessing adalah langkah terakhir dalam analisis CFD. Hal yang dilakukan pada langkah ini adalah mengorganisasi dan menginterpretasi hasil simulasi CFD yang bisa berupa gambar, kurva, dan animasi (Tuakia 2008). Adapun prosedur berikut terdapat pada semua pendekatan program CFD, yaitu: 1. Pembuatan geometri dari model/problem. 2. Bidang atau volume yang diisi oleh fluida dibagi menjadi sel-sel kecil (meshing). 3. Pendefinisian model fisiknya, misalnya persamaan-persamaan gerak, entalpi dan konservasi spesies (zat-zat yang didefinisikan, biasanya berupa komponen dari suatu reaktan). 4. Pendefinisian kondisi-kondisi batas, termasuk di dalamnya sifat-sifat dan perilaku dari batas-batas model/masalah. Untuk kasus transien, kondisi awal juga didefinisikan. 5. Persamaan-persamaan matematika yang membangun CFD diselesaikan secara iteratif, bisa dalam kondisi tunak atau transien. 6. Analisis dan visualisasi dari solusi CFD. Menurut Anderson (1995) persamaan-persamaan yang digunakan dalam proes numerik meliputi persamaan kontinuitas, persamaan gerakan, dan persamaan energi yang dapat digunakan untuk menentukan persamaan diferensial pada aliran fluida atau panas dengan didasari pada hukum kekekalan massa dan energi. 1. Kekekalan massa 3 dimensi steady state Semua persamaan diferensial dasar gerak fluida dapat diturunkan dengan meninjau neraca massa pada elemen volume kontrol dalam sistem yang letaknya tetap yang dilalui oleh fluida tersebut. Neraca massa pada elemen volume dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut. [laju perubahan massa dalam sistem]= [laju massa masuk sistem]-[laju massa keluar sistem] Dalam bentuk matematis dapat ditulis sebagai berikut:
16
OP
OP
N O' + Q OR + S
OP
= 0 ........................................................................ (17)
OT
2. Persamaan momentum dalam kondisi 3 dimensi steady state Persamaan momentum merupakan persamaan Navier-Stokes dalam bentuk yang sesuai dengan metode finite volume. Momentum arah X: OW
OW
OW
O! W
OP
O! W
O! W
U[N O' +Q OR +S OT ] = O' + X [ O' ! + OR ! + OT ! ] + SMx
............ (18)
Momentum arah Y:
U[N
O(
O'
+Q
O(
OR
+S
O( OT
]=
OP OR
+X[
O! (
O' !
+
O! (
OR !
+
O! ( OT !
] + SMy .............. (19)
Momentum arah Z: OY
OY
U[N O' +Q OR +S
OY
OP
O! Y
O! Y
] = OT + X [ O' ! + OR ! + OT
O! Y OT !
] + SMz .............. (20)
3. Persamaan energi dalam 3 dimensi steady state Persamaan energi diturunkan dari hukum pertama termodinamika yang menyatakan bahwa laju perubahan energi partikel fluida sama dengan laju penambahan panas ke dalam partikel fluida ditambah dengan laju kerja yang diberikan pada partikel. Dalam bentuk persamaan matematis dapat ditulis sebagai berikut. OZ
OZ
OZ
OW
O(
U[N O' + Q OR + S OT ] = p[O' + OR +
OY OT
O! W
O! (
] + [[ O' ! + OR ! +
O! Y OT !
] + Si ................. (21)
Paket CFD telah banyak beredar baik yang komersial maupun open source. Beberapa paket komersial CFD antara lain adalah PHOENICS, Fluent, FLOW3D, CFD 2000, serta SolidWorks®. Kode program CFD yang rumit tidak lagi menjadi masalah karena pengguna tinggal menggunakan interface untuk memasukkan parameter dan untuk memeriksa hasil simulasi. Semua paket CFD memiliki tiga tahap proses utama, yaitu pre-processor, solver dan post-processor (Versteeg dan Malalasekera 1995). Gambar 5 memperlihatkan diagram alir proses simulasi CFD.
I. SOLIDWORKS® SolidWorks® merupakan sebuah program Computer Aided Design (CAD) yang menggunakan sistem operasi Microsoft Windows. Program ini dikembangkan oleh SolidWorks Corporation, yang merupakan anak perusahaan dari Dassault Systems, S. A. SolidWorks® merupakan program penting yang mulai banyak digunakan pada industri saat ini. Program ini relatif lebih murah dan mudah digunakan dibandingkan program-program sejenisnya (Uthami 2010). Solidworks® adalah software CAD 3D yang sangat mudah untuk digunakan (easy to use). Software tersebut adalah software automasi desain yang berbasis parametrik yang memudahkan penggunanya dalam mengedit file-file gambar yang sudah dibuat. SolidWorks® biasa digunakan untuk membuat gambar sederhana maupun gambar yang kompleks atau rumit (Prabowo 2009).
17
Mulai
Pembuatan geometri (part)
Pendefinisian material geometri
Penyusunan struktur geometri (assembly) Pre-processor Set kondisi umum (ambien)
Set domain, boundary condition dan goal parameter
Run
Meshing Solver Calculation
Konvergen Tidak Ya
Plot kontur, grafik, dan data dari goal parameter
Post-processor
Selesai
Gambar 5. Diagram alir proses simulasi menggunakan CFD
18