4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Pisang Pisang adalah salah satu jenis tanaman pangan yang sudah dibudidayakan sejak dahulu. Pisang berasal dari kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, kemudian menyebar luas ke kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Pisang (Musa spp.) berasal dari genus Musa, family Musaceae, ordo Zingiberales, dan kelas Monocotyledonae (Chomchalow, 2004). Pisang merupakan tanaman herba yang berbatang semu (pseudostem), tingginya bervariasi antara 1-4 meter tergantung jenisnya. Daunnya melebar panjang, tulang daunnya besar dan tepi daun mudah robek. Daun yang baru menggulung muncul dari tengah batang semu dan terus tumbuh memanjang, pada ujung batang terdapat kuncup bunga yang tersusun dalam cluster (sisir). Tiap sisir bunga dibungkus oleh seludang (bractea) berwarna merah kecoklatan. Seludang tersebut akan rontok apabila bunga telah membuka. Sisir bunga tersusun spiral dalam tandan, keluar pada ujung batang dan hanya sekali berbunga selama hidupnya (monokarpik) (Ashari, 200 dan Samson 1980). Buah pisang yang dikonsumsi saat ini merupakan turunan dari dua spesies liar yaitu Musa acuminata (AA) dan Musa balbisiana (BB), yang keduanya diploid. Berdasarkan genom tersebut (A dan B), pisang dibagi menjadi beberapa kelompok yang berbeda yaitu diploid (AA, BB, AB), triploid (AAA, AAB, ABB, BBB) dan tetraploid (ABBB) (Chomchalow, 2004). Semua jenis pisang yang dapat dimakan tergolong ke dalam genus Musa, sedangkan yang dimanfaatkan sebagai bahan penghasil serat, tepung dan sebagai sayuran yang dimasak dikelompokkan ke dalam genus Entese. Buah pisang yang dimakan umumnya buah partenokarpi, yaitu buah yang berkembang tanpa terjadinya pembuahan (Sunarjono, 1989). Pisang Mas termasuk jenis pisang diploid (AA Group) dengan kultivar acuminata (Robinson, 1999). Pisang mas berukuran kecil dengan diameter 3-4 cm. Kulit buahnya tipis dan berwarna kuning cerah saat masak. Daging buahnya lunak, rasanya sangat manis, dan aromanya harum. Pisang mas cocok
5
untuk hidangan buah segar, dalam satu tandan terdapat 5-9 sisir. Satu sisir bisa berisi 18 buah. Berat per tandan 8-12 kg. Salah satu varietas pisang mas yang terkenal adalah pisang mas kirana (Redaksi Agromedia, 2009). Robinson (1999) menyatakan bahwa tandan buah pisang Mas kecil dan menghasilkan buah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis pisang triploid. Secara alami buah pada sisir pertama (pangkal) lebih cepat matang dibandingkan dengan buah pada sisir berikutnya, pada buah pisang pematangan bermula dari ujung buah dalam satu tandan. Ukuran fisik buah relatif mengecil setelah sisir pertama (bagian pangkal tandan), tetapi ternyata kadar pati tidak ada perbedaan (Antarlina et al., 2005).
Pasca Panen Pisang Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai pengolahan primer (primary processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan dari panen sampai komoditas dapat dikonsumsi segar atau untuk persiapan pengolahan berikutnya. Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk penampilan atau penampakan, termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi (Mutiarawati, 2007). Mutu pisang yang baik sangat ditentukan oleh tingkat ketuaan buah dan penampakannya. Secara fisik sebenarnya mudah dilihat karena tanda-tanda ketuaan mudah diamati (Satuhu dan Supriyadi, 1992). Buah pisang harus dipanen setelah tua benar agar mutunya tinggi. Buah pisang merupakan jenis buah yang dapat diperam karena mengeluarkan gas etilen yang memacu proses pematangan. Buah yang matang karena diperam mempunyai mutu yang rendah (Sunarjono, 2004). Setelah panen produk hortikultura buah maupun sayuran segar tetap melakukan aktivitas metabolisme yaitu respirasi. Respirasi terus berlangsung untuk memperoleh energi yang digunakan untuk aktivitas hidup pasca panennya (Chomchalow, 2004). Penanganan pasca panen hasil hortikultura yang umumnya dikonsumsi segar dan mudah rusak (perishable), bertujuan mempertahankan kondisi segarnya
6
dan
mencegah
perubahan-perubahan
yang
tidak
dikehendaki
selama
penyimpanan, seperti pertumbuhan tunas, pertumbuhan akar, batang bengkok, buah keriput, terlalu matang, dll. Perlakuan dapat berupa pembersihan, pencucian, pengikatan, curing, sortasi, grading, pengemasan, penyimpanan dingin, pelilinan, dan sebagainya (Mutiarawati, 2007). Penyebab turunnya kualitas buah pisang antara lain disebabkan karena buah pisang dipetik tidak tepat waktu, kurangnya perawatan tanaman dan kebersihan baik waktu masih di kebun maupun selama waktu penyimpanan dan pemasaran, sehingga mudah terserang penyakit pasca panen. Buah yang terserang penyakit daya simpannya menurun sehingga sulit untuk pemasaran jarak jauh. Infeksi penyakit merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas dan susut bobot yang besar. Jika penyakit pasca panen dapat diatasi maka kualitas akan terjaga dan daya simpan semakin lama (Murtiningsih et al., 1991).
Penyakit Pasca Panen Penyakit pasca panen adalah penyakit yang muncul dan berkembang selama periode pascapanen, tanpa mempedulikan kapan terjadinya inokulasi. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan pasca panen yang berat pada buah pisang adalah akibat pembusukan oleh jamur pada ujung tangkai buah dan antraknosis (Martoredjo, 2009). Penyakit-penyakit yang sering menyerang pisang selama pasca panen diantaranya adalah antraknosa (bercak buah), tip rot, dan crown rot. Penyebab penyakit antraknosa pada buah pisang raja, sere, emas dan lampung adalah cendawan colletotrichum sp. sewaktu buah mulai masak cendawan mulai berkembang dengan sporanya berwarna merah bata. Pada kulit buah yang terserang timbul noda bulat berwarna coklat tua dengan permukaan agak cekung ke dalam, kemudian noda tersebut membesar dan menyatu dengan noda lainnya sehingga seluruh permukaan buah tertutup noda tersebut. Pada serangan yang telah lanjut mengakibatkan daging buah menjadi busuk. Tip Rot (busuk ujung buah) disebabkan oleh cendawan Botryodiplodia sp. yang menyerang ujung buah. Bagian buah yang diserang berwarna coklat, tekstur buah menjadi lebih lunak dan mengeluarkan bau yang khas. Crown Rot (busuk telapak) pada pisang raja sere,
7
emas, dan lampung disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. dan Botryodiplodia sp. Gejala pembusukan dimulai dari potongan tangkai tandan yang menjalar ketelapak dan tangkai jari pisang akhirnya menjalar keseluruh buah, hingga buah menjadi busuk dan terlepas dari tangkainya (Murtiningsih et al., 1991). Mikroorganisme pembusuk pada pasca panen buah dan sayuran umumnya disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi awal oleh mikroorganisme tersebut dapat terjadi selama pertumbuhan dan perkembangan produk tersebut di kebun (disebut sebagai infeksi laten). Infeksi sering terjadi akibat adanya kerusakan mekanis selama operasi pemanenan, atau melalui kerusakan fisiologis akibat dari kondisi penyimpanan yang tidak baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya sebagai akibat infeksi jamur sedangkan pada sayur-sayuran lebih banyak diakibatkan oleh bakteri. Hal ini disebabkan oleh keasaman buah yang tinggi (pH kurang dari 4.5) dibandingkan dengan sayuran yang keasaman umumnya rendah yaitu pH lebih besar dari 5.0 (Kitinoja dan Kader, 2003). Penyakit pasca panen pada pisang dapat disebabkan oleh infeksi jasad renik sebelum maupun setelah panen. Infeksi mikrobiologis yang terjadi sewaktu buah masih di kebun disebut infeksi laten. Pada saat tersebut gejala serangannya belum terlihat. Namun, setelah buah menjadi masak, organisme yang menyerang tersebut menjadi aktif dan berkembang biak sehingga tanda-tanda serangan penyakit mulai tampak. Infeksi mikroorganisme setelah panen biasanya masuk ke dalam buah melalui luka yang dapat terjadi pada saat pemetikan, pengangkutan, penyisiran, ataupun selama dalam penyimpanan (Sunarjono, 1989).
Proses Pematangan Pisang Selama pematangan buah mengalami beberapa perubahan dalam warna, tekstur dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan-perubahan dalam susunannya. Perubahan warna dapat terjadi baik oleh proses perombakan maupun proses sintetik. Pemanenan dan penanganan perlu dilakukan dengan hati-hati untuk dapat mempertahankan mutu buah-buahan. Penanganan yang tidak baik dapat memicu berkembangnya patogen atau penyakit pasca panen (Thompson et al., 198).
8
Tekstur buah ditentukan oleh senyawa-senyawa pektin dan selulosa. Selama pematangan buah menjadi lunak karena menurunnya jumlah senyawa tersebut. Selama itu jumlah protopektin yang tidak larut berkurang sedang jumlah pektin yang larut menjadi bertambah, jumlah selulosa buah pisang yang baru dipanen adalah 2–3 % dan selama pemasakan buah jumlahnya akan berkurang (Noor, 2007). Selama pematangan buah terjadi perubahan warna kulit buah dari hijau ketika masih mentah menjadi kekuningan sampai kuning merata ketika matang penuh dan akhirnya timbul bercak coklat yang semakin melebar (Sjaifullah et al., 1997). Sebagian besar zat padat dalam buah adalah karbohidrat. Karbohidrat utama jaringan tanaman yang tidak ada hubungannya dengan dinding sel adalah senyawa pati. Pati terdapat dalam plastid intraseluler atau granula yang mempunyai ukuran dan bentuk khusus. Metabolisme pati mempunyai peran yang penting pada proses pemasakan buah. Selama periode pasca panen, pati dapat diubah menjadi gula sederhana seperti sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Dalam penyimpanan suhu rendah, terjadinya akumulasi gula adalah akibat dari aktivitas enzim (Noor, 2007). Pengeringan atau kehilangan air dapat mengakibatkan penyusutan jaringan atau bahkan dapat mengakibatkan gejala-gejala lainnya. Pengkerutan pada buah pisang dapat diakibatkan oleh suhu yang tinggi maupun pada tingkat kelembaban yang rendah. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan pematangan yang tidak normal. Untuk menghindari pengaruh kehilangan air, buah pisang sebaiknya disimpan pada suhu yang rendah dan kelembaban antara 90-95 % (Pantastico et al., 198).
Penyimpanan Pisang Berdasarkan aspek penyimpanan di daerah tropis diperoleh kondisi optimum, baik untuk buah pisang tua hijau maupun matang pada suhu 14-150C dan RH 85-95 %. Suhu rendah di bawah 140C menyebabkan chilling injury. Tingkat kelembaban (RH) di dalam kamar pemeraman sangat mempengaruhi mutu buah pisang. Kelembaban yang rendah di bawah 85 % akan menyebabkan
9
mutu kulit buah yang rendah pula, disamping pengaruh terhadap susut bobot, tekstur dan kepekaan terhadap chilling injury (Sjaifullah et al., 1997). Tujuan penyimpanan adalah untuk mengontrol permintaan pasar, tanpa menimbulkan banyak kerusakan atau penurunan mutunya. Fasilitas penyimpanan diperlukan bila produksi buah meningkat. Penyimpanan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyimpanan buah secara alami tanpa menggunakan sarana-sarana atau perlakuan tertentu dan penyimpanan menggunakan sarana tertentu misalnya penyimpanan pada suhu rendah, bahan kimia, kontrol atmosfer dan radiasi (Satuhu dan Supriyadi, 1992). Penyimpanan pisang dapat dilakukan dengan berbagai perlakuan, misalnya dengan KMnO4. KMnO4 merupakan salah satu bahan kimia yang mampu mengoksidasi etilen yang diproduksi oleh buah sehingga proses pematangan buah dapat dihambat. Perlakuan ini cukup baik dan buah yang diberi perlakuan KMnO4 dapat menjadi matang normal (Satuhu dan Supriyadi, 1992). Ketahanan simpan merupakan hasil dari karakter biokimia tanaman dan pengendalian genetik terhadap beberapa penyakit dalam penyimpanan. Pedagang menghendaki buah yang tahan lama disimpan untuk menghindari kerusakan selama dalam transportasi dan distribusi. Karakter ketahanan ini penting karena dalam waktu yang singkat dapat merubah produk yang bernilai tinggi menjadi tidak berguna sama sekali (Santoso, et al., 2005). Umur simpan buah-buahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemulusan buah, intensitas respirasi, dan kondisi penyimpanan (Sjaifullah et al., 1997).
Peran Etilen dalam Proses Pematangan Buah Ditinjau dari tipe respirasinya, buah pisang termasuk buah klimakterik yaitu dalam proses pemasakan ditandai oleh peningkatan laju respirasi kemudian mengalami penurunan. Hal yang sama juga terjadi pada laju produksi etilen yang disertai dengan terjadinya perubahan fisik dan kimia buah. Perubahan tersebut meliputi susut bobot, rasio bobot daging per kulit buah, kelunakan, warna kulit buah, total asam tertitrasi dan kandungan gula. Tingkat laju respirasi buah yang tinggi selama pemasakan biasanya terkait dengan cepatnya proses deteriorasi (kemunduran). Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyumbang kepada
10
kehilangan hasil. Faktor lain yang mempengaruhi kehilangan hasil yaitu mikroorganisme dan penanganan pasca panen yang tidak tepat (Purwoko dan Suryana, 2000) Karakteristik laju respirasi produk pasca panen hortikultura segar beragam sesuai dengan stadia perkembangan dan pertumbuhan bagian tanaman yang dipanen tersebut. Bagian tanaman yang aktif mengalami pertumbuhan dan perkembangan mempunyai laju respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tanaman yang sedikit dan tidak lagi mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat laju kemunduran mutu dan kesegarannya. Hubungan yang erat antara laju respirasi dengan laju kemunduran mutu dan kesegaran menyebabkan laju respirasi sering dijadikan indikator masa simpan atau masa hidup pasca panen produk segar hortikultura (Kitinoja dan Kader, 2003). Penyimpanan produk hortikultura segar perlu dicermati beberapa hal yaitu adanya gas etilen yang mempercepat proses pelayuan. Etilen adalah sejenis gas yang berhubungan erat dalam banyak proses fisiologis di dalam tanaman termasuk proses pematangan. Etilen adalah senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4), secara alami dihasilkan oleh aktivitas metabolisme buah dan sayuran. Untuk melindungi kepekaan buah terhadap etilen, maka keberadaan etilen dalam atmosfer sekitar buah harus diikat atau diubah menjadi bentuk yang tidak aktif (Sjaifullah dan Dondy, 1991). Etilen merupakan zat yang dihasilkan buah, berfungsi untuk mempercepat proses pemasakan. Peran etilen dapat merugikan terutama pada buah yang memerlukan waktu penyimpanan yang cukup lama dan pengiriman jarak jauh. Pada buah klimakterik, laju respirasi meningkat cepat. Peningkatan respirasi ini dipengaruhi oleh jumlah etilen yang dihasilkan, Pada fase pematangan, buahbuahan memiliki laju respirasi minimum. Ketika memasuki fase awal pamasakan, laju respirasi meningkat terus sampai mencapai puncak klimakterik, kemudian menurun secara perlahan-lahan (Winarno dan Aman, 1981).