2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jarak Pagar
Jarak pagar (Jatropha curcas, L.) merupakan tanaman dengan beragam potensi pemanfaatan. Tanaman ini dapat hidup pada areal dengan curah hujan rendah hingga tinggi, dapat dijadikan sebagai tanaman reklamasi lahan, sebagai tanaman pelindung dan bahkan terus berkembang menjadi tanaman komersial. Pengembangan dan pemanfaatannya dapat menciptakan lapangan pekerjaan, memperbaiki kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan (Openshaw, 2000). Syah (2006) menyatakan bahwa tanaman ini tahan kekeringan dan dapat tumbuh di tempat dengan curah hujan 200-1500 mm/tahun. Suhu optimum yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jarak adalah 20-26
o
C. Tanaman jarak
memiliki sistem perakaran yang mampu menahan air sehingga tahan terhadap kekeringan. Tanaman ini dapat tumbuh di atas tanah berpasir, tanah berbatu, tanah lempung, atau tanah liat. Tanaman jarak termasuk dalam keluarga Euphorbiaceae. Empat spesies tanaman jarak yang terkenal ada di Indonesia diantaranya yaitu jarak kaliki/kastor (Ricinus communis), jarak pagar (Jatropha curcas L.), jarak gurita (Jatropha multifida), dan jarak landi (Jatropha gossypifolia). Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah dan saat ini banyak dibudidayakan di Amerika Selatan dan Tengah, Asia Tenggara, India dan Afrika (Gubitz et al., 1999). Heyne (1987) melakukan klasifikasi tanaman jarak pagar dengan tatanama sebagai berikut : Divisi
: Spermatohyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas Linn.
6
Menurut Padua et al. (1999), tanaman jarak pagar merupakan tanaman perdu dengan tinggi sekitar 2 m, memiliki tekstur daun yang kasar dan bertajuk majemuk, bijinya yang masih muda berwarna hijau muda, namun setelah tua akan berubah menjadi kuning dan akan mencapai kadar minyak optimum ketika bijinya berubah menjadi kehitaman. Tanaman jarak pagar dapat menghasilkan beragam produk yang berguna. Produk dari tamanan jarak terutama diturunkan dari pemanfaatan bijinya sebagai penghasil minyak melalui proses ekstraksi. Minyak yang dihasilkan dari biji jarak pagar memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan minyak sawit (Openshaw, 2000). Tanaman jarak pagar telah sejak lama dipergunakan sebagai salah satu alternatif untuk penyembuhan tradisional. Pemanfaatan tanaman ini adalah seperti untuk antiseptik, antiradang, penyembuh luka, pengobatan lainnya dan juga sebagai insektisida.
2.2 Minyak Jarak Pagar
Minyak jarak pagar diperoleh dari hasil ekstraksi daging biji jarak pagar. Kandungan minyak dalam biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) sebesar 25-35% (Hambali et al., 2006). Heyne (1987) menyatakan bahwa minyak jarak pagar tidak digolongkan sebagai minyak makan, berwarna kekuningan dan menjadi kemerahan jika terkena udara. Syah (2006) menyatakan bahwa minyak jarak pagar yang berasal dari biji umumnya diperoleh dengan menerapkan dua metode dasar yaitu metode pengepresan dan ekstraksi pelarut. Proses pengepresan biasanya dilakukan dengan pengepresan hidrolik atau ulir yang digerakkan secara manual atau dengan mesin. Proses pengepresan biasanya meninggalkan ampas yang masih mengandung 7- 10% minyak, sedangkan proses dengan ekstraksi pelarut mampu mengambil minyak optimal sehingga ampasnya hanya mengandung minyak kurang dari 0,1% berat keringnya. Senyawa kimia yang terkandung dalam biji jarak pagar antara lain: alkaloida, saponin, tripsin dan sejenis protein beracun (kursin). Menurut Gubitz et al. (1999) biji jarak mengandung 35-45 % minyak yang terdiri dari berbagai trigliserida asam oleat, linoleat, dan linolenat. Kandungan asam lemak pada
7
minyak jarak pagar didominasi oleh asam lemak non jenuh yaitu asam oleat dan asam linoleat dan dalam jumlah kecil asam palmitoleat dan linolenat. Priyanto (2007) menyatakan bahwa minyak jarak berwarna kuning muda dan memiliki bilangan iod yang tinggi (105,2 mg I2/g minyak), dimana semakin tinggi bilangan iodnya maka kandungan minyak tak jenuhnya juga tinggi. Komposisi lengkap minyak jarak pagar ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar
Asam lemak
Komposisi (% berat)
Asam miristat (14:0)
0 – 0,1
Asam palmitat (16:0)
14,1 – 15,3
Asam palmitoleat (16:1) Asam stearat (18:0)
0 – 1,3 3,7 – 9,8
Asam oleat (18:1)
34,3 – 45,8
Asam linoleat (18:2)
29,0 – 44,2
Asam linolenat (18:3)
0 – 0,3
Asam arakhidat (20:0)
0 – 0,3
Asam behenat (22:0) Sumber : Gubitz et al. (1999)
0 – 0,2
2.3 Hand & Body Cream
Krim merupakan bentuk emulsi dari dua jenis cairan yang tidak dapat bercampur seperti air dan minyak yang dibentuk menjadi suatu sistem dispersi yang stabil dengan menjadikan salah satu bahan sebagai fase terdispersi dan bahan lainnya sebagai fase pendispersi dengan bantuan emulsifier. Mitsui (1997) menyatakan bahwa produk krim (yang biasanya bersifat semi padat) memiliki peran yang sangat penting dalam aplikasi untuk kosmetik perawatan kulit. Hal ini karena bentuk sediaan krim memiliki kestabilan yang lebih baik dibandingkan bentuk sediaan losion terhadap beragam kondisi. Bahkan minyak, humektan dan air dapat ditambahkan dalam proporsi yang cukup besar pada bentuk sediaan krim. Menurut Schmitt (1996), umumnya produk krim berbentuk O/W dengan fase minyak dan humektan yang lebih banyak dari produk losion. Terdiri dari 15-40 % fase minyak dan 5-15 % fase humektan, karakteristik penampakannya hampir sama dengan produk losion.
8
Emulsi O/W biasanya mengandung 10-35 % fase minyak, emulsi dengan viskositas rendah biasanya mengandung fase minyak rendah sekitar 5-15 %. Air dalam fase eksternal emulsi membantu melembabkan lapisan korneum kulit. Emulsifier gabungan dengan nilai HLB antara 7-16 umum digunakan untuk membentuk sistem emulsi O/W. Gugus hidrofilik harus menjadi gugus dominan pada emulsi untuk menghasilkan sistem emulsi yang baik. Campuran gliserol monostearat dan campuran polioksietilen stearat merupakan emulsifier yang paling dipilih untuk kondisi diatas (Epstein, 2009). Emulsi O/W merupakan jenis produk yang paling banyak digunakan. Tipe emulsi ini lebih banyak disukai karena tidak terasa berlemak dan memiliki biaya produksi yang lebih murah terkait besarnya kandungan air dalam produk. Emulsi W/O secara historis tidak terlalu dipilih karena sifatnya yang berlemak dan terasa berminyak saat diaplikasikan ke kulit (Epstein, 2009). Sediaan krim merupakan produk sederhana dan mudah digunakan oleh manusia. Dalam pembuatan sediaan krim, diperlukan beberapa bahan dasar diantaranya adalah pengemulsi, pengental, emollient, humectant, pengawet, air dan bahan aktif lainnya. Hand & body cream merupakan jenis krim O/W yang memiliki fungsi utama menjaga kelembutan dan kelembaban kulit terutama sebagai pelindung terhadap kondisi lingkungan. Menurut Mitsui (1997), bahan utama pembuatan krim diantaranya adalah bahan fase lemak, fase air, surfaktan atau emulsifier, pengawet, bahan pengkelat, parfum dan bahan aktif farmasi. Metode umum dalam pembuatan sediaan krim tipe O/W diawali dengan pencampuran humektan dan bahan yang larut air kedalam air murni dan dipanaskan hingga suhu 70 oC. Dibagian lain bahan yang tergolong kedalam fase minyak dilarutkan dan dicampur terpisah juga pada suhu 70 oC. Setelah semua bahan bercampur homogen, fase lemak dituangkan sedikit demi sedikit sambil diaduk untuk mempersiapkan proses emulsifikasi. Emulsi yang sempurna dibentuk dengan bantuan alat emulsifikasi seperti homomixer. Setelah terbentuk emulsi yang sempurna selanjutnya dilakukan deaerasi, penyaringan, pendinginan dan penyimpanan sebelum ketahap akhir filling dan pengemasan (Mitsui, 1997). Syarat mutu bentuk sediaan krim mengacu pada salah satu SNI yang berlaku di Indonesia yaitu SNI sediaan tabir surya seperti ditampilkan pada Tabel 2.
9
Tabel 2 Syarat mutu sediaan tabir surya menurut SNI 16-4399-1996 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kriteria Uji Penampakan pH Bobot jenis, 20°C Viskositas, 25°C (cp) SPF Bahan aktif Pengawet
Persyaratan homogen 4,5-8,0 0,95-1,05 2.000-50.000 min 4 sesuai permenkes No.376/Menkes/Per/ VIII/1990. sesuai permenkes No.376/Menkes/Per/ VIII/1990.
Total lempeng (koloni/g) maks. 10 2 Mikroba i
2.4 Komponen Hand & Body Cream
Mitsui (1997) menguraikan beberapa komponen utama yang umumnya ada dan ditemukan pada sediaan krim. Secara global komponen sediaan ini dikelompokkan kedalam 4 golongan yaitu fase air, fase minyak, surfaktan dan bahan lainnya seperti terangkum pada Tabel 3.
Tabel 3 Komponen utama produk krim Komponen
Jenis Bahan
Fase minyak
Minyak/lemak : minyak zaitun, minyak kastor, lemak coklat Wax ester : bees wax, lanolin Hidrokarbon (>C15) : parafin, squalan, petrolatum, ceresin Asam lemak : asam stearat, asam oleat, asam miristat Lemak alkohol : setil alkohol, stearil alkohol Ester : IPM, gliserin triester, pentaeritritol tetraester Lainnya : minyak silikon (dimetikon, siklometikon)
Fase air
Humektan : gliserin, propilen glikol, sorbitol Bahan pengental : pektin, turunan selulosa, xanthan gum, karagenan, alginat Alkohol : etanol, isopropil alkohol Air murni : aqua DM
Surfaktan
Nonionik : glycerin monostearat, ester asam lemak sorbitan Anionik : sabun asam lemak, sodium alkil sulfat
Bahan lainnya
Antioksidan, agen sekuesteran, pewarna, parfum, alkalis, pengawet, buffer, bahan aktif farmasi (vitamin, UV absorber, asam amino, agen pemutih)
10
Penggunaan minyak nabati sebagai komponen fase lemak pada sediaan krim dimaksudkan untuk memanfaatkan karakteristik khas dari asam lemak yang dikandungnya. Asam lemak pada minyak jarak pagar didominasi oleh asam oleat dan asam linoleat. Aplikasi asam oleat pada kosmetik berfungsi sebagai bahan pelembab yang sangat efektif. Masyarakat Italia dan Greece telah rutin menggunakan asam oleat dalam bentuk alami melalui aplikasi langsung minyak zaitun pada kulit. Asam linoleat semakin dikenal dan banyak digunakan oleh industri produk kecantikan terkait dengan karakteristik manfaatnya terhadap kulit. Fokus penelitian telah menemukan manfaat asam linoleat sebagai anti inflamasi, pengurangan jerawat, serta fungsi sebagai penjaga kelembaban saat diaplikasikan pada kulit (Anonim, 2010). Mitsui (1997) menyatakan bahwa dimetikon atau polidimetilsiloksan (PDMS) adalah turunan dari minyak silikon yang merupakan minyak transparan tidak berwarna, dapat berwujud minyak dengan viskositas rendah sampai tinggi tergantung bobot molekulnya. Umumnya bahan yang digunakan pada produk adalah dimetikon dengan kekentalan yang rendah karena lebih aplikatif. Dimetikon berfungsi untuk menurunkan kesan lengket yang umumnya dibawa oleh minyak sehingga memberi kesan ringan saat digunakan. Dimetikon juga banyak digunakan berbagai jenis produk kulit dan rambut terkait sifatnya yang mudah menyebar. Pada sistem emulsi, dimetikon juga berfungsi sebagai defoaming agent yang dapat menurunkan pembentukan gelembung udara pada sediaan emulsi. Fase lemak lainnya yang digunakan umumnya adalah seperti asam stearat dan setil alkohol sebagai penstabil dan pembentuk kekentalan. Menurut Mitsui (1997), asam stearat dapat diproduksi melalui dua cara yaitu : (1) dengan mengekstraksi cairan asam (asam oleat) dari asam lemak yang berasal dari lemak sapi; atau (2) dengan proses destilasi asam lemak yang berasal dari minyak kacang kedelai atau minyak biji kapas serta beragam minyak nabati lainnya. Asam stearat yang tersedia secara komersial seringkali merupakan campuran asam-asam lemak rantai C16 dan C18. Setil alkohol berbentuk butiran atau serpihan kecil dan licin, berwarna putih, tidak larut dalam air, berfungsi sebagai stiffening agent atau bahan pengeras,
11
pelembut dan emulgator lemah. Selain itu, setil alkohol juga dapat memperbaiki stabilitas emulsi O/W, memperbaiki konsistensi atau zat pembentuk, serta sebagai surfaktan nonionik dan bahan pelembut efektif pada produk krim. Setil alkohol merupakan lemak putih agak keras yang mengandung gugus hidroksil dan digunakan sebagai penstabil emulsi pada produk seperti krim dan losion (Mitsui, 1997). Gliserin, propilen glikol dan sorbitol merupakan komponen humektan yang banyak digunakan pada sediaan kosmetik karena karakteristik khas yang dimiliki bahan-bahan ini. Loden (2009) menyatakan bahwa aplikasi gliserin pada produk perawatan kulit berfungsi sebagai humektan dan pelindung kulit. Gliserin bahkan digunakan sebagai moisturizer untuk perawatan kulit kering dan penggunaannya pada produk kosmetik atau perawatan kulit dapat meminimumkan terjadinya iritasi kulit. Propilen glikol berwujud cairan jernih, tidak berwarna, kental dan tidak berbau serta memiliki rasa manis dan sedikit tajam seperti gliserol. Pada kondisi normal bersifat sangat stabil, serta dapat bercampur sempurna dengan gliserin, air maupun alkohol. Propilen glikol umum digunakan sebagai pelarut pada pembuatan produk kosmetik dan farmasi. Terutama sebagai pembawa bahan yang tidak larut dalam air. Propilen glikol memiliki fungsi sebagai humektan, keratolitik (pengelupas lapisan tanduk pada kulit), anti bakteri dan anti jamur (Loden, 2009). Sorbitol adalah alkohol hexahydric berwujud kristal bubuk berwarna putih, tidak berbau, dan memiliki rasa segar dan manis. Sorbitol terbentuk secara alami dalam buah dan sayuran dan diproduksi secara komersial melalui modifikasi glukosa. Sorbitol umum tersedia dalam bentuk larutan sorbitol 70% dalam air, yang berwujud jernih, tidak berwarna, dan kental. Sorbitol mudah larut dalam air, tetapi tidak begitu baik dalam alkohol. Sorbitol praktis tidak larut dalam pelarut organik. Sorbitol digunakan dalam tablet farmasi dan permen. Sorbitol juga digunakan sebagai pemanis pada makanan diabetes dan pasta gigi. Sorbitol berguna juga sebagai pencahar dan dipercaya menghasilkan efek samping yang lebih kecil dibandingkan gliserin. Sifat higroskopisnya pun lebih rendah dibandingkan gliserin. (Loden, 2009). Penggunaan sorbitol pada sediaan krim
12
juga berfungsi untuk mencegah hilangnya air dari bahan sehingga akan menjaga kelembaban kulit saat digunakan. Bahan anti mikroba umum ditambahkan pada produk pangan, obat-obatan dan kosmetika karena sangat penting sebagai media perlindungan terhadap mikroba. Bahan anti mikroba hasil sintesis kimiawi yang paling banyak atau umum digunakan pada produk kosmetik dapat dikelompokkan dalam 5 golongan dan ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Pengawet kosmetik yang umum digunakan Ester dari golongan asam para-hidroksibenzoat (paraben) Metil paraben Etil paraben Propil paraben Butil paraben Golongan formaldehida Imidazolidinil urea Diazolidinil urea Dimetil dimetilol hidantoin (DMDM hidantoin) Kuarternium 15 (triaza-azoniaadamantin klorida) Golongan isothiazolinon Klorometil isothiazolinon/metil isothiazolinon Golongan asam organik (termasuk dalam bentuk garam logam) Asam benzoat Asam Sorbat Asam dehidroasetat Alkohol organik Etil alkohol Benzil alkohol Fenoksietil alkohol Golongan lainnya Benzalkonium klorida Benzotenium klorida Klorheksiden diglukonat Iodopropenil butilkarbamat Geis (2006)
2.5 Stabilitas Emulsi
Emulsi merupakan suatu sistem heterogen yang mengandung dua fase cairan, yaitu fase terdispersi sebagai globular-globular dalam medium pendispersi. Emulsi yang baik tidak membentuk lapisan-lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan memiliki konsistensi yang tetap. Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi
13
adalah keseimbangan antara gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antara partikel dalam sistem emulsi. Sistem emulsi yang stabil tidak mengalami satupun kondisi seperti pengendapan atau kriming dari fase terdispersi, pengumpulan (agregasi) atau flokulasi globula emulsi dan penggabungan (koalesen) globula-globula emulsi menjadi bentuk globula yang lebih besar (Greenwald, 1955). Lebih lanjut, Greenwald (1955) menyatakan bahwa stabilitas terhadap flokulasi dan koalesen sangat dipengaruhi oleh kekuatan lapisan emulsifier pada globula emulsi, sedangkan kecepatan proses kriming sangat ditentukan oleh rata-rata ukuran globula emulsi, dimana semakin kecil ukuran globula maka emulsi akan semakin stabil terhadap proses kriming. Ukuran distribusi globula yang semakin kecil pada sistem emulsi akan meningkatkan luas permukaan total globula emulsi sehingga untuk menjaga kestabilan emulsi ini maka emulsifier yang dibutuhkan menjadi lebih banyak. Ilustrasi proses demulsifikasi ditampilkan pada Gambar 1.
Koalesen
Flokulasi
Sistem emulsi Kriming
Pemisahan
Gambar 1 Proses terjadinya kerusakan emulsi (demulsifikasi)
Proses kriming dapat diminimalisasi dengan memperkecil perbedaan nilai densitas antara fase terdispersi dan fase kontinu. Kondisi ini dapat dicapai dengan memililih bahan-bahan yang memiliki nilai rataan densitas berdekatan antara
14
kedua fase yang akan dibentuk emulsi. Teknik penting lainnya adalah dengan memperkecil ukuran distribusi globula melalui proses homogenisasi. Kondisi ini didukung oleh hukum Stokes, dimana kecepatan proses kriming akan meningkat seiring dengan peningkatan ukuran globula (Binks, 1998). Flokulasi dan koalesen merupakan dua hal yang saling terkait. Proses koalesen dapat terjadi dengan didahului oleh flokulasi globula emulsi. Proses koalesen sangat ditentukan oleh kekuatan emulsifier dalam menurunkan tegangan antar muka dari fase terdispersi dan pendispersi. Semakin tinggi penurunan tegangan antar muka maka akan semakin stabil emulsi terhadap proses koalesen. Sehingga pemilihan jenis emulsifier yang sangat sesuai dengan karakteristik bahan penyusun suatu emulsi menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan. Sistem emulsi yang telah mengalami flokulasi, koalesen dan kriming dapat diatasi dengan memperbaiki karakteristik emulsi. Proses yang dapat dilakukan adalah dengan penambahan emulsifier untuk menurunkan tegangan antar muka, pengadukan dan homogenisasi untuk menurunkan ukuran globula serta penambahan bahan polimer yang akan meningkatkan viskositas sistem emulsi yang dapat menurunkan pergerakan globula pada sistem emulsi. Salah satu kondisi pengujian yang perlu dilakukan terhadap produk kosmetik adalah kondisi penyimpanan. Kondisi ini mencakup karakteristik iklim pada wilayah dimana suatu produk kosmetik dibuat serta dipasarkan, termasuk didalamnya kondisi distribusi atau pengangkutan yang dilakukan terhadap produk. Beberapa teknik pengujian kestabilan suatu sediaan kosmetik pada kondisi penyimpanan yang paling umum dilakukan adalah (1) pengujian penyimpanan produk pada suhu ruang atau suhu normal; (2) pengujian penyimpanan produk pada suhu tinggi (37, 40, 45 dan 50 oC) atau suhu rendah (5, -5 dan -10 oC); (3) penyimpanan produk dengan terkena langsung paparan sinar matahari atau menggunakan penyinaran buatan yang serupa dengan panjang gelombang sinar tampak; dan (4) pengujian siklus freeze thaw dimana produk disimpan dengan interval waktu yang tetap pada suhu dingin dan pada suhu panas, misalnya : 24 jam pada suhu ruang/40 oC/45 oC /50 oC dan 24 jam pada suhu 5 oC/-5 oC/-10 oC (National Health Surveillance Agency, 2005).
15
2.6 Kulit
Kulit merupakan bagian organ terluas pada tubuh manusia yang berfungsi untuk melindungi organ tubuh dari radiasi sinar ultraviolet, mengatur suhu tubuh, sebagai tempat saraf bekerja, dan sebagai indera peraba (Schmitt, 1996). Menurut Santoso dan Gunawan (2003) kulit manusia berfungsi untuk menutupi dan melindungi permukaan tubuh serta merupakan pembungkus elastis yang melindungi tubuh terhadap pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan komponen penyusun tubuh yang paling berat, yakni sekitar 15% dari berat badan. Rata-rata tebal kulit manusia 1-2 mm. Kulit manusia yang paling tebal terletak di telapak tangan dan kaki, yaitu 6 mm. Bagian-bagian kulit ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Bagian-bagian kulit (Anonim, 2010)
Epidermis merupakan bagian kulit terluar yang kontak langsung dengan lingkungan, yang terdiri dari beberapa lapisan meliputi stratum corneum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale. Stratum corneum adalah lapisan terluar epidermis dan merupakan bagian yang paling diperhatikan oleh ahli kimia kosmetik. Stratum corneum terdiri dari 15-20 lapisan dari keratinosit yang dapat terangkat ke atas sebagai kulit mati.
16
Lapisan epidermis bergantung pada lapisan dermis dalam hal suplai makanan. Dermis merupakan jaringan penghubung yang memberikan sistem penunjang pada epidermis. Semua darah dikulit, syaraf, struktur luar seperti folikel rambut terletak pada dermis. Dermis juga merupakan susunan dari komponen serat. Material serat utama pada dermis adalah kolagen, diikuti oleh elastin dan struktur lainnya. Kumpulan serat ini membentuk jaringan yang mendukung fleksibilitas, kekenyalan dan kelenturan pada kulit. Sinar matahari dari hari ke hari membantu percepatan proses penuaan kulit sehingga kulit menjadi keriput. Lambat tetapi pasti sinar ultraviolet akan menghancurkan protein kulit, seperti kolagen dan elastin. Umumnya orang Indonesia mudah mengalami pigmentasi, tetapi sukar untuk terbakar surya (sun burn). Sinar ultraviolet A pada matahari berperan utama dalam proses pigmentasi dan menyebabkan kulit terlihat bercak-bercak hitam. Sementara ultraviolet B diketahui menyebabkan kulit menjadi kasar dan kering. Sifat ini dapat dikategorikan sebagai proses penuaan kulit (Santoso dan Gunawan, 2003). Kekeringan dan sifat kurang lentur pada lapisan korneum dapat diperbaiki apabila kandungan air dapat dinaikkan lebih dari kondisi normal (10 %). Pemakaian krim kosmetik yang mengandung hidrofilik emollient dapat memperbaiki kulit kering. Krim pelembut (emollient) akan meninggalkan film yang rapat pada kulit, menjadikan permeabilitas terhadap air rendah, dan mensuplai komponen hidrofilik sehingga mampu menahan dehidrasi air dari kulit sehingga akan menjaga kelembutan kulit. Emulsi jenis O/W merupakan bentuk emulsi yang baik untuk menghasilkan film yang lembut pada kulit yang mampu mengurangi evaporasi (Tronnier, 1962).
2.7 Analisis Sensori
Analisis sensori atau pengujian dengan indera atau pengujian organoleptik telah ada sejak manusia mulai menggunakan inderanya untuk menilai kualitas dan keamanan suatu makanan dan minuman. Selera manusia sangat menentukan dalam penerimaan dan nilai suatu produk. Barang yang memiliki kesan subjektif yang menyenangkan dan memuaskan harapan konsumen disebut memiliki kualitas sensori yang tinggi (Setyaningsih et al., 2010).
17
Analisis sensori bertujuan untuk mengetahui respon atau kesan yang diperoleh oleh pancaindera manusia terhadap suatu rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu produk. Analisis sensori umum digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kualitas suatu produk dan pertanyaan yang berhubungan dengan pembedaan, deskripsi, kesukaan atau penerimaan (afeksi). Pada prisipnya terdapat 3 jenis metode analisis sensori yaitu uji pembedaan (discriminative test), uji deskripsi (descriptive test), dan uji afeksi (affective test). Pengujian analisis sensori dapat menggunakan satu jenis atau penggabungan beberapa metode yang dirancang sesuai dengan tujuan (Setyaningsih et al., 2010). Sedangkan Lawless dan Heymann (1999) menyatakan bahwa dua bidang utama dari analisis sensori adalah uji analitis dan uji afeksi, dimana uji pembedaan dan uji deskripsi digolongkan sebagai bagian dari uji analitis. Sedangkan uji afeksi dibagi lagi menjadi uji kualitatif dan uji kuantitatif. Uji preferensi (preference) dan uji penerimaan (acceptance) merupakan bagian dari uji kuantitatif (Meilgaard et al., 1999). Tujuan utama dari uji konsumen (afektif) adalah untuk mengukur tanggapan atau kesan pribadi (preferensi, tingkat kesukaan dan atau penerimaan) oleh pelanggan potensial atau pelanggan yang sudah ada dari suatu produk, ide pengembangan produk, atau atribut produk tertentu (Guinard, 1998). Uji konsumen telah terbukti sangat efektif sebagai alat utama dalam merancang produk atau jasa yang akan dijual dalam kapasitas besar atau memiliki harga jual yang tinggi (Meilgaard et al., 1999). Uji konsumen merupakan metode yang sangat tepat dalam memprediksi keberhasilan produk di pasar dan manfaat atau khasiat yang dapat diperoleh dari produk berdasarkan umpan balik atau tanggapan dari konsumen. Uji konsumen dapat menggunakan panelis tidak terlatih dalam ukuran sampel yang besar. Nilai sensori kulit yang sangat baik dari suatu produk perawatan kulit (personal care) merupakan faktor penting yang menjadi potensi suatu produk kosmetik di pasaran. Manfaat dan kegunaan suatu produk kosmetik dapat disimpulkan dari hasil pengujian secara klinis. Namun demikian, jika hasil uji klinis ini dapat didukung dengan hasil analisis sensori yang baik tentu produk ini akan lebih disukai dan laku di pasaran (Wortel dan Wiechers, 2000).
18
Pengembangan formula produk yang memiliki tingkat penerimaan optimal oleh konsumen merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh industri kosmetik. Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka produk yang dikembangkan tentu tidak akan dipilih untuk digunakan, walaupun mereka memiliki efek biologis yang diperlukan (Loden et al., 1992). Aplikasi langsung suatu produk kosmetik pada kulit akan menimbulkan perubahan karakter kondisi dan penampakan permukaan kulit. Senyawa-senyawa volatile dari produk akan mudah menguap sedangkan bahan-bahan lainnya berinteraksi dengan sel-sel dan komponen penyusun kulit. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi karakteristik krim yang akan diaplikasikan terhadap kulit diantaranya adalah seperti rasio minyak dan air, jenis dan jumlah minyak pada emulsi, serta jenis dan jumlah bahan penyusun lainnya (seperti emulsifier, humektan dan bahan lainnya). Kombinasi bahan-bahan yang terkandung pada krim ini akan mempengaruhi sensasi awal kulit saat digunakan, mempengaruhi karakter penyebaran sediaan pada kulit, kemudahan dan kecepatan penyerapannya, dan bagaimana rasa yang tinggal setelah produk digunakan (Loden et al., 1992). Beberapa komponen penting untuk dapat dilakukannya analisis sensori terhadap suatu produk atau barang diataranya adalah panelis, laboratorium pengujian dan ketersediaan contoh atau sampel uji. Kepekaan panelis dalam proses analisis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, kondisi fisiologis, faktor genetis dan kondisi psikologis. Ruangan yang mutlak ada pada laboratorium pengujian untuk analisis sensori diataranya adalah bagian persiapan, ruang cicip/ruang uji, dan ruang tunggu atau ruang diskusi. Sampel uji perlu memperhatikan cara penyajiannya dimana sampel harus seragam dalam penampilannya. Lebih lanjut Setyaningsih et al. (2010) menyatakan bahwa pada pengujian terdapat empat unsur yang terlibat yaitu penguji, panel, peralatan dan bahan yang diuji. Sebelum dimulai, penguji harus menjelaskan secara umum tujuan pengujian, cara melakukan pengujian, dan bagaimana cara mengisi lembar hasil pengujian. Pemberian penjelasan ini harus tepat sehingga tidak menimbulkan bias.