II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak zaman pendudukan Jepang yaitu sekitar tahun 1942. Jarak pagar termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Jarak pagar merupakan tanaman yang berasal dari Amerika (Pramanik, 2003). Namun pada umumnya tanaman jarak pagar dapat tumbuh di negara beriklim tropis dan sub-tropis, seperti Afrika, India, Asia Tenggara, dan Cina (Tamalampudi et al., 2008). Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak, antara lain: jarak kepyar (Ricinus communis), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.). Pada umumnya jenis tanaman jarak yang paling sering digunakan untuk biodiesel dan produk oleokimia adalah jarak pagar dan jarak kepyar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2006). Tanaman jarak merupakan tanaman perdu dengan ketinggian mencapai 3 hingga 7 meter. Tanaman ini memiliki cabang yang tidak teratur. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0-1.700 di atas permulaan laut dan suhu 1938oC. Kisaran curah hujan pada daerah penyebarannya bervariasi antara 200-2.000 mm/tahun, tetapi ada pula yang sampai lebih dari 4.000 mm/tahun. Secara umum, jarak pagar dapat tumbuh pada daerah yang kurang subur (Heyne, 1987). Tanaman jarak pagar dan bijinya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman jarak pagar dan biji jarak pagar
Jarak pagar memiliki buah yang terdiri dari daging buah, cangkang biji, dan inti biji. Buah berbentuk bulat dengan diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning apabila sudah masak. Biji jarak biasanya sudah matang pada 3-4 bulan setelah pembungaan dan masing-masing tanaman akan menghasilkan biji selama 50 tahun. Menurut Ketaren (2008), ketepatan waktu panen sangat penting. Hal ini dikarenakan jika terjadi keterlambatan dalam pemanenan maka kulit biji akan pecah dan biji terlempar keluar. Biji jarak mengandung sekitar 40% minyak (Jain dan Sharma, 2010). Klasifikasi tanaman jarak pagar menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta
3
Subdivisi : Angiospermae Class : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas L. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan. Tanaman ini dapat dibudidayakan di hampir semua lahan di Indonesia. Tanaman jarak pagar dapat menghasilkan minyak nabati yaitu minyak jarak, yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Pembudidayaan tanaman jarak pagar selain memberikan keuntungan sebagai penghasil minyak jarak, juga merupakan salah satu upaya konservasi lahan (Waluyo, 2007). Keuntungan tanaman jarak pagar lainnya adalah penggunaan minyak jarak pagar untuk menghasilkan biodiesel. Dalam hal ini minyak jarak pagar tidak termasuk dalam kategori minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak mengganggu persediaan kebutuhan minyak makan (Jain dan Sharma, 2010). Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia secara langsung sebelum melalui proses detoksifikasi, mengingat kandungan racun yang disebabkan adanya senyawa forbol ester dan cursin (Gubitz et al., 1999). Minyak jarak pagar mengandung 21 % asam lemak jenuh dan 79% asam lemak tak jenuh (Nanewar, 2005). Standar mutu minyak jarak pagar terdapat pada Tabel 1. Sedangkan komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Spesifikasi mutu minyak jarak pagar Parameter 0
-3
Nilai
Densitas pada 15 C (g cm )
0.920
Viskositas 300C (cSt)
52
0
Titik nyala ( C)
110-240
Bilangan asam (mg KOH/g)
0.92
Kandungan energi (MJ/kg)
39.6-41.8
0
Titik beku ( C)
2.0
Monogliserida (% massa)
Negatif
Digliserida (% massa)
2.7
Trigliserida (% massa)
97.3
Fosfor (mg/kg)
290
Kalsium (mg/kg)
56
Magnesium (mg/kg)
103
Besi (mg/kg)
2.4
Sumber : Khan (2002) dan Gubitz et al. (1999)
4
Tabel 2. Komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar Asam lemak Struktur Komposisi (%) Asam palmitat
C16
13.4-15.3
Asam stearat
C18
6.4-6.6
Asam oleat
C18:1
36.5-41
Asam linoleat
C18:2
35.3-42.1
Asam lainnya
0.8
Sumber : Jain dan Sharma (2010) dan Pinzi et al. (2009)
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) memiliki produktivitas yang tinggi. Klasifikasi teknis usaha tani jarak pagar dapat dibedakan menurut status teknologinya yaitu: (1) tingkat rendah dengan produktivitas mencapai 4.35 ton/ha/tahun, dimana jarak pagar ditanam tidak teratur, presentase tumbuh ± 65%, pemakaian pupuk dan obatobatan lebih sedikit; (2) tingkat sedang dan tinggi dengan produktivitas mencapai 6.5 ton/ha/tahun, dimana jarak pagar ditanam teratur, jumlah bibit 2750 bibit, ukuran lubang teratur (10 x 20 cm), presentase tumbuh lebih tinggi 80% untuk teknologi sedang dan 90% untuk teknologi tinggi, pemakaian pupuk dan obat-obatan lebih banyak, tenaga kerja lebih tinggi dari status teknologi rendah; dan (3) teknologi tinggi dengan produktivitas sebesar 8.7 ton/ha/tahun (Departemen Pertanian, 2008).
B. METIL ESTER (BIODIESEL) Metil ester atau biodiesel merupakan salah satu jenis bahan bakar yang bersifat terbarukan karena bersumber dari sumber daya hayati, seperti minyak nabati. Minyak nabati mempunyai potensi sebagai bahan bakar yang terbarukan, sekaligus sebagai alternatif bahan bakar minyak yang berbasis minyak bumi (Korus et al., 2000). Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar diesel petroleum (Haryanto, 2007). Kelebihan tersebut antara lain (1) merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan dapat dibiodegradasi, (2) mempunyai bilangan setana yang tinggi, (3) mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan NOx, dan (4) terdapat dalam fasa cair. Juan et al. (2010) menambahkan bahwa penggunaan biodiesel memiliki keuntungan antara lain emisi biodiesel yang bebas sulfur, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi beban impor akan bahan bakar, serta karakteristik biodiesel tidak berbeda jauh dengan solar. Dengan keunggulan-keunggulan di atas, biodiesel dapat menjadi bahan bakar minyak yang dapat dikomersialisasikan dan memiliki nilai tambah lebih tinggi daripada solar. Berikut ini adalah komposisi metil ester asam lemak biodiesel dari minyak jarak pagar ( Tabel 3).
5
Tabel 3. Kandungan metil ester asam lemak pada biodiesel jarak pagar Jenis asam lemak
Konsentrasi (%)
Metil palmitat (16:0)
15.6
Metil palmitoleat (16:1)
0.9
Metil stearat (18:0)
6.7
Metil oleat (18:1)
42.6
Metil linoleat (18:2)
33.9
Metil linolenat (18:3)
0.2
Metil arachidat (20:0)
0.1
Sumber : Pramanik (2003)
Legowo (2001) menjelaskan karakteristik biodiesel secara umum meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester, densitas, viskositas, kadar abu, bilangan setana, kalor pembakaran, titik tuang, titik pijar, dan titik awan. Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak. Bilangan asam digunakan untuk mengukur asam lemak bebas yang terdapat pada minyak serta dihitung berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak (Ketaren, 2008). Bilangan penyabunan adalah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan sejumlah contoh minyak. Bilangan penyabunan dinyatakan dalam jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram minyak. Besarnya bilangan penyabunan dapat tergantung dari berat molekul. Minyak dengan berat molekul yang rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang tinggi. Bilangan ester adalah jumlah asam lemak yang bersenyawa sebagai ester. Bilangan ester dapat dihitung sebagai selisih antara bilangan penyabunan dengan bilangan asam. Berat jenis adalah perbandingan berat contoh pada suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Berat jenis minyak biasanya diukur pada suhu 250 C, akan tetapi dapat pula diukur pada suhu 400C atau 600C untuk minyak dengan titik cair yang tinggi (Ketaren, 2008). Densitas biodiesel berkaitan dengan proses penginjeksian bahan bakar melalui pompa ke ruang bakar sehingga diperoleh jumlah bahan bakar yang tepat pada proses pembakaran. Jumlah bahan bakar yang diinjeksikan, waktu injeksi dan pola penyemprotan dipengaruhi oleh densitas bahan bakar. Meningkatnya densitas akan meningkatkan droplet bahan bakar. Bahan bakar dengan densitas rendah akan meningkatkan atomisasi sehingga dicapai campuran bahan bakar dan udara yang baik. Semakin besar densitas bahan bakar maka akan semakin besar daya yang dihasilkan, namun demikian densitas bahan bakar juga mempengaruhi emisi yang dihasilkan. Densitas berkaitan dengan particulat matter dan emisi NOx. Bahan bakar dengan densitas tinggi akan menghasilkan particulate matter dan emisi NOx yang juga tinggi (Canakci dan Sanli, 2008). Densitas biodiesel dipengaruhi oleh jumlah tri-, di- dan monogliserida dalam biodiesel. Semakin rendah jumlah senyawa tersebut dalam biodiesel maka akan semakin kecil nilai densitas, artinya semakin banyak trigliserida yang terkonversi menjadi metil ester maka akan semakin rendah nilai densitas biodiesel (Ehimen et al., 2010). Viskositas merupakan ukuran kemudahan bahan bakar untuk mengalir dalam mesin. Viskositas kinematis yang ditetapkan ASTM D445 antara 1.9-6.0 cSt pada suhu 40oC. Knothe (2005) menyatakan bahwa viskositas meningkat seiring dengan panjang
6
rantai asam lemak dan derajat kejenuhan, semakin banyak asam lemak tidak jenuh maka viskositas semakin rendah. Sistem pembakaran membutuhkan bahan bakar yang dapat membentuk partikulat halus ketika bahan bakar tersebut diinjeksi. Viskositas berpengaruh secara langsung pada penetrasi pola semprotan pada bilik pembakaran, sehingga juga berpengaruh pada atomisasi bahan bakar, efisiensi pembakaran, dan faktor ekonomi lainnya. Menurut Van Gerpen (2004), jika viskositas bahan terlalu rendah, akan menyebabkan kebocoran sehingga daya pembakaran berkurang, dan jika viskositas terlalu tinggi, maka bahan bakar akan sulit di suplai ke ruang pembakaran. Kadar abu merupakan salah satu parameter biodiesel yang penting. Kandungan abu yang tinggi menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel sisa penggunaan katalis basa. Proses pencucian biodiesel yang kurang sempurna dapat mengakibatkan tingginya kadar abu pada biodiesel yang dihasilkan. Kandungan abu dalam biodiesel dapat mengakibatkan penyumbatan pada sistem bahan bakar (Tyson, 2004). Bilangan setana adalah bilangan yang menunjukkan kemampuan bahan bakar motor diesel menyala dengan sendirinya dalam ruang bakar motor. Bilangan setana juga menunjukkan indeks kualitas pembakaran atau kemudahan bahan bakar untuk terbakar jika diinjeksikan dalam ruang bakar motor (Mahfud, 2009). Spesifikasi Baku ASTM untuk Minyak Bahan Bakar Biesel (D975) menyatakan bahwa syarat bilangan setana bergantung pada rancangan mesin, ukuran, sifat variasi kecepatan dan beban, dan kondisi atmosferik pengawalan (starting mesin). Bahan bakar diesel dengan bilangan setana yang lebih rendah dari syarat minimum mesin dapat menyebabkan operasi mesin yang kasar, starting yang sulit, terutama di daerah yang dingin dan dataran tinggi. Selain itu juga mempercepat pembentukan gumpalan minyak pelumas dan meningkatkan deposit mesin sehingga menimbulkan asap yang lebih banyak, emisi mesin yang lebih tinggi, dan mesin yang lebih cepat aus. Angka setana berhubungan dengan volatilitas bahan bakar, dimana bahan bakar yang lebih volatile memiliki angka setana yang lebih tinggi. Titik tuang adalah suhu terendah dimana bahan bakar masih dapat mengalir. Bahan bakar jet, diesel, dan bahan bakar minyak rumah tangga biasanya mengandung wax terlarut dalam jumlah yang kecil yang jika mengendap akan menyumbat saringan dan pompa bakar. Knothe (2004) menyatakan bahwa pada suhu dimana gumpalangumpalan kristal wax mulai banyak terbentuk dan menghalangi bahan bakar untuk mengalir secara bebas ditentukan dengan pengukuran terhadap titik tuangnya. Titik tuang yang terlalu tinggi akan menghambat penyalaan bahan bakar (Hadjono, 2000). Metode standar penentuan titik tuang adalah ASTM D97. Kemudahan dan keamanan bahan bakar untuk ditangani dan disimpan ditunjukkan dengan nilai titik pijar. Titik pijar yang lebih tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar tersebut lebih aman dan lebih mudah dalam penggunaannya. Metode baku untuk uji titik pijar adalah ASTM D93. Titik awan merupakan suhu dimana kristal wax mulai muncul dengan diameter lebih dari 0.5 µm (Knothe, 2004). Pada suhu di bawah titik awan, masalah pada operasi mesin dapat muncul. Titik nyala adalah suhu terendah dimana bahan bakar dalam campurannya dengan udara akan menyala. Titik nyala yang terlampau tinggi dapat menyebabkan keterlambatan penyalaan, sementara apabila tiik nyala terlampau rendah akan menyebabkan timbulnya detonasi yaitu ledakan-ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar masuk ruang bakar. Hal ini juga meningkatkan resiko bahaya pada saat penyimpanan. Titik nyala yang terdapat pada biodiesel secara umum adalah 1300C.
7
Titik awan digunakan untuk menentukan temperatur saat kristal muncul dan mulai mengendap. Dengan komposisi asam lemak yang didominasi oleh asam lemak tak jenuh, metil ester jarak pagar memiliki titik awan yang relatif rendah. Biodiesel yang diproduksi dalam jumlah besar dalam rangka sebagai alternatif bahan bakar yang berasal dari fosil, harus diketahui standarisasinya. Tabel 4 dibawah ini memperlihatkan standar mutu biodiesel di Indonesia. Tabel 4. Standar mutu biodiesel Indonesia Parameter
Satuan
Metode uji
Metode setara
850 – 890
ASTM D 1298
ISO 3675
cSt
2.3 – 6
ASTM D 445
ISO 3104
Angka setana
-
Min 51
ATM D 613
ISO 5165
Titik nyala
0
Min 100
ASTM D 93
ISO 2710
Titik kabut
0
Maks 18
ASTM D 2500
-
Korosi tembaga
-
Maks 51
ASTM D 130
ISO 2160
Residu Karbon
% berat
Maks 0.05
ASTM D 4530
ISO 10370
Air dan sedimen
% volume
Maks 0.05
ASTM D 2790
-
Temperatur destilasi
0
Maks 360
ASTM D 1160
-
Abu tersulfatkan
% berat
Maks 0.02
ASTM D 874
ISO 3987
Bilangan asam
mg KOH/g
Maks 0.8
AOCS Cd 3-36
FBI_A01-03
Bilangan iod
G iod/100g
Maks 115
Metode Hanus
Metode Witjs
Gliserol bebas
% berat
Maks 0.02
AOCS Ca 14-56
FBI_A02-03
Gliserol total
% berat
Maks 0.24
AOCS Ca 14-56
FBI_A02-3
Kadar ester alkil
% berat
Min 96.5
-
FBI_A03-03
Uji halphen
-
-
AOCS Cd 1-25
FBI_A06-03
0
kg/m
0
Viskositas (40 C)
Berat jenis (40 C)
3
C C
C
Batas nilai
Sumber : SNI 04-7182-2006
C. TRANSESTERIFIKASI IN SITU Biodiesel dari minyak jarak pagar dapat dihasilkan melalui proses transesterifikasi minyak jarak pagar. Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai hidrolisis. Menurut Swern (1982), transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 2. Alkohol yang digunakan pada umumnya adalah metanol atau etanol. Namun metanol lebih sering digunakan daripada etanol. Hal ini karena harga metanol lebih murah dan waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi lebih cepat (Purba, 2008) serta merupakan sumber alkohol yang rantainya lebih pendek (Ma dan Hanna, 1999). Proses transesterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan maka diperlukan alkohol dalam jumlah berlebih untuk mendorong reaksi berjalan ke kanan sehingga dihasilkan biodiesel (Ma dan Hanna, 1999). Namun menurut (Shiu et al., 2010), penggunaan metanol yang berlebihan dapat menurunkan rendemen biodiesel, hal ini karena metanol yang berlebih
8
akan digunakan untuk melarutkan komponen lain yang lebih polar daripada minyak seperti protein. CH2-OOC-R1 CH-OOC-R2
Katalis + 3R’OH
CH2-OOC-R3 Gliserida
Alkohol
R1-COO-R’
CH2-OH
R2-COO-R’ +
CH-OH
R3-COO-R’
CH2-OH
Esters
Gliserol
Gambar 2. Reaksi transesterifikasi biodiesel Proses transesterifikasi membutuhkan katalis untuk mempercepat reaksi. Katalis yang digunakan dapat berupa katalis asam atau basa. Menurut Georgogianni et al. (2008), jumlah katalis yang digunakan bergantung pada pH (tingkat keasaman) minyak. Katalis basa dinilai lebih baik dari katalis asam karena reaksinya sangat cepat, sempurna, dan dapat dilakukan pada suhu rendah. Adapun reaksi dengan katalis asam membutuhkan suhu yang lebih tinggi (Dmytryshyn et al., 2004). Katalis basa yang biasa digunakan adalah KOH atau NaOH. Katalis asam digunakan pada minyak dengan kadar asam lemak bebas > 1%. Katalis asam yang biasa digunakan dalam proses transesterifikasi adalah H2SO4 (Shuit et al., 2010). Transesterifikasi bertujuan untuk menurunkan viskositas minyak nabati dan meningkatkan daya pembakaran sehingga dapat digunakan sesuai standar minyak diesel untuk kendaraan bermotor (Hambali et al., 2006). Namun proses transesterifikasi yang selama ini dilakukan di industri-industri besar adalah transesterifikasi konvensional. Pada pembuatan biodiesel secara konvensional, transesterifikasi dilakukan setelah proses ekstraksi dan pemurnian minyak jarak. Transesterifikasi konvensional memerlukan waktu yang lama dan proses yang panjang. Transesterifikasi in situ merupakan langkah sederhana dalam menghasilkan biodiesel yaitu dengan cara mengeliminasi proses ekstraksi dan pemurnian minyak sehingga dapat menghemat biaya produksi (Haas et al., 2004). Trigliserida yang digunakan dalam proses transesterifikasi in situ adalah trigliserida yang berasal dari sumber bahan baku dan bukan dari minyak hasil ekstraksi dan pemurnian (Qian et al., 2008). Mekanisme proses transesterifikasi in situ adalah kontak langsung antara bahan baku sumber minyak dengan larutan alkohol dan katalis asam atau basa (Georgogianni et al., 2008). Dalam hal ini Haas et al. (2004) menambahkan bahwa fungsi dari alkohol adalah untuk menghancurkan sel-sel yang mengandung minyak dan melarutkan minyak tersebut. Shuit et al. (2010) dan Georgogianni et al. (2008) menambahkan pula bahwa transesterifikasi in situ menggunakan alkohol yang dapat berperan ganda yaitu sebagai pelarut pada proses ekstraksi minyak dan sebagai reaktan pada proses transesterifikasi. Faktor-faktor penting yang berpengaruh pada proses produksi biodiesel secara in situ diantaranya adalah kadar air bahan, ukuran partikel bahan, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, suhu reaksi, penggunaan katalis, dan penggunaan co-solvent (Georgogianni et al., 2008; Shuit et al., 2010; Utami, 2010). Menurut Kurashige et al. (1993), efek air terhadap kinetika reaksi hidrolisis sangat penting karena air dapat menyebabkan proses hidrolisis minyak. Selain itu menurut Keim (1945), kadar air bahan akan berpengaruh
9
pada kadar FFA (Free Fatty Acid) bahan. FFA ini akan berpengaruh pula pada jenis katalis yang akan digunakan. Jika kadar FFA < 2% maka proses transesterifikasi menggunakan katalis basa, tetapi jika FFA > 2% maka harus melalui proses esterifikasi dengan katalis asam kemudian dilanjutkan proses transesterifikasi dengan katalis basa. Jika kadar asam lemak bebas pada minyak tinggi dan katalis yang digunakan adalah katalis basa, maka akan menghasilkan reaksi penyabunan yang mengakibatkan kesulitan dalam proses pemisahan sehingga rendemen biodiesel menjadi rendah (Jain dan Sharma, 2010). Kadar minyak berpengaruh pada rendemen biodiesel yang dihasilkan. Ukuran partikel bahan berpengaruh pada proses ekstraksi minyak oleh pelarut alkohol. Semakin luas ukuran bahan maka akan memperluas kontak antara minyak dengan pelarut (Shuit et al., 2010). Waktu reaksi serta suhu reaksi merupakan kondisi yang sangat berpengaruh dalam menghasilkan biodiesel dengan rendemen yang tinggi dan kualitas yang memenuhi standar mutu biodiesel di Indonesia (Shuit et al., 2010; Utami, 2010) Beberapa penelitian yang terkait dengan transesterifikasi in situ diantaranya telah dilakukan pada bahan baku sumber minyak seperti biji bunga matahari, biji kedelai, dan rice bran. Proses transesterifikasi in situ dapat menghasilkan biodiesel dengan rendemen dan kualitas yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan perbedaan jenis bahan baku maupun perbedaan perlakuan dan kondisi yang digunakan. Pada transesterifikasi in situ biji bunga matahari, Siler-Marinkovic dan Tomasevic (1998) mendapatkan rendemen biodiesel sebanyak 98% pada kondisi suhu 64.5oC, waktu reaksi 1 jam, dengan perbandingan molar metanol/bahan/H2SO4 adalah 300:1:9. Georgogianni et al. (2008) juga melakukan penelitian transesterifikasi in situ biji bunga matahari. Pada penelitiannya dilakukan perbandingan rendemen biodiesel melalui proses transesterifikasi konvensional dan transesterifikasi in situ. Pada transesterifikasi konvensional dengan kondisi kecepatan pengadukan 600 rpm, waktu reaksi 20 menit, dan pelarut metanol, didapat 95% biodiesel, sedangkan pada transesterifikasi in situ dengan kondisi kecepatan pengadukan 600 rpm, waktu reaksi 40 menit, dan pelarut etanol, dihasilkan biodiesel sebesar 98%. Penelitian pada transesterifikasi in situ rice bran, Ozgul-Yucel dan Turkay (2003) mendapatkan hasil bahwa penggunaan metanol pada proses transesterifikasi in situ menghasilkan rendemen biodiesel yang lebih tinggi dibandingkan alkohol jenis lainnya. Beberapa penelitian tentang transesterifikasi in situ biji jarak pagar juga telah dilakukan oleh beberapa ilmuwan. Salah satu diantaranya adalah penelitian dari Shuit et al. (2010). Pada penelitiannya, Shuit et al. (2010) mendapatkan rendemen biodiesel sebanyak 99.8% pada kondisi suhu 600C, waktu reaksi 24 jam, rasio metanol/bahan sebesar 7.5 ml/g dengan katalis asam (H2SO4) sebanyak 15% dan penambahan heksan sebanyak 10% (v/b). Utami (2010) meneliti proses transesterifikasi in situ menggunakan biji jarak pagar dengan kadar air < 1% dan ukuran partikel 35 mesh. Pada penelitiannya digunakan katalis KOH sebanyak 7% dan pelarut metanol serta co-solvent heksan dengan perbandinga metanol/ heksan/bahan (v/b) yaitu 6:1:1. Dari hasil penelitiannya diperoleh kondisi optimum untuk proses transesterifikasi in situ dengan katalis basa yaitu pada suhu 40oC, kecepatan pengadukan sebesar 700 rpm, dan waktu proses selama 3 jam. Dari hasil penelitian Utami (2010) menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan, waktu reaksi, dan suhu reaksi tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan.
10
D. PENGGANDAAN SKALA (SCALE UP) Percobaan skala pilot adalah percobaan awal dalam skala kecil yang dilakukan sebelum skala industri dengan volume yang lebih besar. Penelitian skala pilot digunakan untuk menganalisis kelayakan atau untuk meningkatkan desain penelitian skala laboratorium. Pada umumnya skala pilot berkisar antara 10 liter hingga 50 liter (Timmerhaus, 2004). Penggandaan skala diperlukan untuk meningkatkan skala produksi biodiesel dari kapasitas laboratorium menjadi skala yang lebih besar (pilot plant atau industri). Melalui penggandaan skala akan diperoleh rancangan proses produksi biodiesel kapasitas yang lebih besar untuk mutu atau kualitas produk biodiesel yang sama dengan produksi skala laboratorium (Dadang, 2008). Tahapan proses penggandaan skala dapat dilihat pada Gambar 3. Produksi biodiesel skala pilot dapat dilakukan setelah diperoleh kondisi optimum proses pembuatan biodiesel pada skala laboratorium. Proses penggandaan skala proses produksi biodiesel dari minyak jarak melibatkan tiga tahap (Dadang, 2008): 1. Penggandaan skala untuk proses transesterifikasi 2. Penggandaan skala untuk proses pemisahan fasa metil ester dan gliserol 3. Penggandaan skala untuk proses pencucian (pemurnian) Formula laboratorium
Diagram proses Pemilihan alat
Desain skala kecil
Penggandaan skala
Optimasi skala laboratorium Penggandaan skala
Desain produk dan pabrik
Produk akhir
Gambar 3. Tahapan proses penggandaan skala biodiesel (Dadang, 2008).
11