5 TINJAUAN PUSTAKA Emulsifier Emulsi dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem heterogen yang memiliki setidaknya satu jenis cairan (liquid) yang seharusnya tidak mungkin dicampurterlarut dalam cairan lainnya dan membentuk campuran baru yang sifatnya semi padat menyerupai tetesan air (Schueller & Romanowski, 1999). Emulsi adalah jenis sistem penghantar yang paling banyak digunakan dalam berbagai produk kosmetik.
Pada produk kosmetik, jenis emulsi yang
digunakan biasanya berupa bahan semipadat yang memiliki fase air (hidrofilik) dan fase minyak (hidrofobik).
Kedua fase ini membentuk fase internal dan
eksternal pada emulsi. Fase internal terdiri dari bahan-bahan yang membentuk sebaran butiran teremulsifikasi, sedangkan fase eksternal terbentuk dari sisa-sisa fase internal. Partikel yang membentuk fase internal memiliki ukuran yang berbedabeda (polidisperse). Ukuran rata-rata diameter partikel digunakan untuk mengklasifikasikan emulsi. Sebagai contoh, jika rata-rata diameter partikel lebih kecil dari 100 nm (1000 Ǻ), emulsi tersebut dinamakan nanoemulsi. Emulsi dengan rata-rata diameter partikel 1000 Ǻ - 2000 Ǻ disebut mikroemulsi, sedangkan diameter yang lebih besar lagi disebut makroemulsi (US Patent Pub No 2004/0076598 AI). Emulsifier merupakan komponen yang berfungsi menstabilkan proses penguraian fase internal yang terjadi pada fase eksternal (kontinyu). Emulsifier merupakan surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka antara dua fase, yaitu molekul-molekul hidrofilik dan lipofilik. Seperti halnya surfaktan, emulsifier dikelompokkan menjadi kelompok anionik, kationik, non-ionik, atau amfoterik sesuai sifat kelarutan gugus utamanya dalam air. Surfaktan Anionik Surfaktan ini banyak digunakan dalam formula pembersih menggunakan alkil sulfat. Alkil sulfat terbentuk dari rantai panjang hidrokarbon yang berikatan dengan gugus sulfonat pada salah satu ujungnya. Contohnya adalah sodium lauryl sulfat (SLS). Sejumlah surfaktan anionik dapat dibuat dengan mengubah sifat
6 polar gugus utama dan susunan rantai karbon. Sebagai contoh, alkil eter sulfat, alkil fosfat, dialkil sulfosuksinat dan alkanaloamida sulfat adalah varian dari rantai utama yang sama. Surfaktan Amfoterik Surfaktan amfoterik seperti asil β-aminopropionat (antara lain sodium laurimino-dipropionat), juga berfungsi sebagai deterjen, tetapi kelompok ini memiliki perbedaan sifat dan struktur kimia. Definisi amfoterik mengandung pengertian zwitterionik; yaitu dapat diubah menjadi proton, dengan menerima muatan positif dalam suasana asam.
Dalam suasana basa (alkali), surfaktan
amfoterik melepaskan proton dan memiliki rantai yang bermuatan negatif. Bahan-bahan tersebut di atas biasanya tidak menimbulkan iritasi dibandingkan dengan jenis surfaktan lain, sehingga banyak digunakan sebagai formula utama deterjen yang lembut, seperti sampo bayi. Surfaktan Kationik dan Non-ionik Surfaktan kationik merupakan deterjen efektif, yang menghasilkan busa, akan tetapi surfaktan ini dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan mata. Di satu sisi, surfaktan non-ionik dapat bersifat sangat lembut, tetapi hanya menghasilkan sangat sedikit busa. Sorbitan monooleat (SMO) adalah salah satu surfaktan non-ionik dengan nama dagang Span 80. Sorbitan monooleat merupakan surfaktan non-ionik ester dari asam lemak dan alkohol bervalensi banyak, seperti sorbitol atau eter cincin tertutup yang terbentuk di bawah pemisahan air dengan struktur tetrahidrofuran (Gambar 1). Reaksi antara asam oleat dengan sorbitol berlangsung dengan reaksi esterifikasi secara parsial, yaitu hanya satu –OH yang teresterifikasi dari beberapa –OH yang terdapat pada sorbitol. Span 80 termasuk surfaktan emulsi jenis air dalam minyak dengan HLB 3,0 sampai dengan 4,3 dan mempunyai bilangan penyabunan sekitar 143 sampai 151 dengan bilangan asam sekitar 10.
7 O
OH
O CH2
O
C
(CH3)7
C H
CH
(CH2)7
CH3
OH
OH
Gambar 1. Struktur molekul sorbitan monooleat (Othmer,1994) Polietilen glikol (400) dioleat dan Polietilen glikol (400) monooleat merupakan surfaktan non-ionik yang berasal dari asam oleat dan polioksietilen, dengan proses pembentukan secara esterifikasi. Polietilen glikol (PEG) yang digunakan mempunyai berat molekul n ± 400 gram/mol (Gambar 2 dan 3). Polietilen glikol (400) monooleat bersifat cair dengan bilangan asam sekitar 5 dan bilangan penyabunan antara 80 sampai 89, serta nilai HLB kurang dari 11,6. Sedangkan polietilen glikol (400) dioleat (Gambar 3) mempunyai bilangan asam sekitar 10, bilangan penyabunan 113-122, dan HLB 8,3 yang menunjukkan kemudahan sifat untuk melarut dalam air dibandingkan dalam minyak. Aplikasi polietilen glikol (400) monooleat dan polietilen glikol (400) dioleat dalam industri adalah untuk kosmetik, sampo, lotion, tekstil, plastik dan bahan aditif pada resin.
O
HO-(CH2CH2O)n-C-(CH2)7 -CH=CH-(CH2)7-CH3 Gambar 2. Struktur molekul polietilen glikol (400) monooleat (Othmer,1994)
O
O
CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-(OCH2CH2O)n-C-(CH2)7-CH=CH-(CH2) Gambar 3. Struktur molekul polietilen glikol (400) dioleat (Othmer,1994)
8 Jika dimasukkan ke dalam sistem air, emulsifier cenderung membentuk rantai lurus dan dapat mencegah terjadinya interaksi antara gugus hidrofilik dengan hidrofobik. Pada jumlah yang melimpah, emulsifier membentuk struktur sferis yang disebut misel. Struktur ini berkumpul membentuk pola dimana ekor hidrofobik terorientasi kearah pusat misel, sedangkan kepala hidrofilik berada di permukaan (lapisan terluar) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Misel emulsi (Schueller & Romanowski, 1999). Walaupun emulsifier membantu menstabilkan interaksi antara fase minyak dengan air secara inheren, namun emulsi masih belum stabil. Hal ini dikarenakan berlakunya Hukum Termodinamika ke-2, yaitu pada waktu tertentu fase minyak dan air ini akan terpisah juga (Schueller & Romanowski, 1999). Kecepatan dan kesempurnaan pemisahan kedua fase tersebut tergantung kepada komposisi emulsi. Jika sejumlah surfaktan polimer dimasukkan kedalam sistem emulsi, sistem
tersebut
sanggup
mempertahankan
kestabilannya
(Schueller
&
Romanowski, 1999). Surfaktan polimer berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan HLB yaitu keseimbangan antara komponen yang larut air dan larut minyak. Metode yang banyak digunakan untuk memilih emulsifier adalah HLB (Griffin, 1974). Metode ini menggunakan dasar afinitas minyak dan air dengan skala 0-20.
Formula dengan HLB rendah bersifat lipofilik, dan sebaliknya
formula dengan HLB tinggi bersifat hidrofilik. Nilai HLB bahan mempengaruhi jenis emulsi yang akan terbentuk. Pada umumnya bahan-bahan dengan nilai HLB
9 3-8 menghasilkan emulsi w/o, dan HLB 10-20 menghasilkan emulsi o/w. Sistem emulsi ini pada awalnya dirancang untuk jenis emulsifier non-ionik, tetapi kini telah banyak diaplikasikan untuk surfaktan-surfaktan lainnya. Metode HLB sistem juga bisa digunakan untuk mengukur nilai HLB yang diperlukan pada sistem minyak dan jenis emulsi yang akan terbentuk.
Sebagai
contoh, minyak mineral memerlukan bahan yang mempunyai nilai HLB 4,5 untuk membentuk emulsi w/o, sedangkan untuk membuat emulsi o/w, minyak mineral memerlukan emulsifier dengan HLB 11. Penentuan nilai HLB dapat dilakukan di laboratorium maupun dengan melihat tabel.
Walaupun sistem HLB bisa
digunakan untuk memprediksi jenis emulsi yang akan terbentuk, sistem ini tidak dapat memberikan referensi konsentrasi bahan yang diperlukan.
Informasi
tersebut hanya bisa diperoleh melalui pengukuran laboratorium. Destabilisasi Emulsi Destabilisasi atau ketidakstabilan emulsi terjadi mengikuti 4 mekanisme utama, yaitu : creaming, flocculation, coalescence, dan inversion.
Keempat
proses tersebut terjadi secara simultan (Gambar 5). Menurut Suryani et al (2000), faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan emulsi yaitu komposisi bahan yang tidak tepat, ketidakcocokan bahan, kecepatan dan waktu pencampuran yang tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi, pemanasan dan penguapan yang berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tidak tepat, pembekuan, guncangan mekanik atau getaran, ketidak seimbangan densitas, ketidak murnian emulsi, adanya reaksi antara dua atau lebih komponen dalam sistem emulsi serta penambahan asam atau senyawa elektrolit.
Creaming Butiran-butiran dalam emulsi memiliki densistas yang berbeda-beda yang menimbulkan kecenderungan mengalami proses destabilisasi yang disebut creaming. Partikel-partikel dengan ukuran kerapatan (densitas) kecil akan naik ke permukaan. Hasil akhir proses creaming adalah 2 jenis emulsi, yaitu : 1. Emulsi dengan fase internal lebih besar, dan 2. Emulsi dengan fase eksternal lebih besar.
10
Gambar 5. Proses destabilisasi emulsi ( Schueller &Romanowski, 1999). Contoh klasik creaming adalah susu non-homogen, yaitu secara alami susu akan membentuk krim lemak yang mengambang di permukaan (kepala susu). Creaming tidak menyebabkan permasalahan stabilitas yang serius, karena sesungguhnya tidak ada satu pun partikel dalam sistem yang benar-benar menyatu. Creaming dapat diatasi dengan cara agitasi.
Flocculation Selama proses creaming, butiran-butiran fase internal bereaksi 2 arah membentuk ikatan lemah.
Secara khusus hal ini disebabkan oleh muatan
permukaan yang tidak memadai pada misel, sehingga terjadi pengurangan gaya repulsif di antara butiran-butiran fase internal. Kedua partikel tersebut saling menggabung, tetapi tidak ada perubahan ukuran. Kejadian dapat diilustrasikan seperti dua buah bola bilyar yang saling disentuhkan. bersentuhan terbentuklah asosiasi.
Pada saat keduanya
Akan tetapi asosiasi tersebut mudah
dilepaskan dengan memindahkan salah satu bola. Dengan mekanisme yang sama, flocculation pada emulsi dapat dikembalikan dengan cara mengagitasi sistem. Dengan demikian flocculation bukanlah ancaman serius terhadap stabilitas emulsi.
11 Coalescence Ketika dua butiran fase internal saling mendekat, keduanya dapat bergabung membentuk partikel yang lebih besar. Proses ini berlangsung 1 arah (irreversible), sehingga bisa menimbulkan masalah serius pada stabilitas produk. Sejumlah tertentu partikel yang mengalami coalescence dapat memisahkan kedua fase emulsi secara sempurna. Ostwald ripening adalah fenomena yang sama dimana partikel fase internal cenderung bergabung membentuk ukuran seragam. Peristiwa ini juga bisa menyebabkan pemisahan fase.
Inversion Pada saat terjadi inversion, fase eksternal berubah menjadi internal dan sebaliknya. Perubahan seperti ini biasanya tidak diinginkan karena karakter fisik emulsi yang terbentuk akan berbeda. Faktor-Faktor Lain Peningkatan suhu penyimpanan akan mempercepat destabilisasi emulsi dan sebaliknya. Penguapan fase air dapat menurunkan stabilitas emulsi. Faktor pemicu yang lain adalah kontaminasi mikroba dan reaksi kimia. Pada kadar tertentu, semua jenis emulsi mudah terpengaruh oleh proses destabilisasi dan hasil setiap proses bebeda-beda. Sebagai contoh, mikroemulsi transparan (tembus cahaya) yang mengalami flocculation dapat berubah menjadi translucent (tidak tembus cahaya). Proses ini merugikan, terutama jika terjadi pada produk kosmetik bening, yaitu tidak dapat terdeteksi terjadinya flocculation pada makroemulsi. Jika proses berlanjut pada coalescence, permasalahan menjadi lebih serius karena dapat menimbulkan berbagai rheologi pada makroemulsi. Destabilitasi dapat ditekan dengan meracik formula emulsi seteliti mungkin. Beberapa metode telah digunakan untuk mengukur derajat destabilisasi. Metode-metode yang sederhana antara lain pengamatan langsung, mengukuran pH dan viskositas.
Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan light
scattering, pengkuran konduktivitas, evaluasi mikroskopis, dan NMR (Schueller & Romanowski, 1999).
12 Polimer Kationik Secara umum polimer kationik terdiri dari rantai polimer lurus yang mempunyai sisi muatan positif yang terdapat pada struktur polimer tersebut. Seperti surfaktan kationik, polimer kationik dapat diaplikasikan pada rambut dan kulit karena interaksi elektrostatik antara sisi muatan positif pada polimer dan sisi negatif pada rambut. Tidak seperti surfaktan, banyak polimer kationik dapat bergabung dengan surfaktan anionik dan membentuk film pada rambut dan kulit. Lapisan film ini memberikan kontribusi kepada rambut dan kulit sebagai pelembut. Polimer kationik dibuat dengan mengganti gugus hidroksil pada fatty alkil membentuk polimer natural atau sintetik termodifikasi. Pada saat strukturnya mirip dengan quats (surfaktan kationik dalam bentuk garam amonium kuartener), polimer mempunyai sisi kation lebih banyak per molekulnya dan semakin besar berat molekulnya. Polimer kationik harus dikondisikan untuk memberikan suasana yang efektif seperti halnya quats. Polimer kationik alami terbentuk melalui atraksi kolumbik (interaksi antara partikel-partikel yang bermuatan, partikel yang bermuatan sama akan saling tolak menolak sedangkan partikel yang bermuatan berbeda akan saling tarik menarik) pada permukaan anion. Interaksi antara surfaktan dengan polimer kationik dapat diilustrasikan sebagai berikut : Surfaktan non ionik memiliki gugus polar yang dapat larut dalam air (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) yang dapat larut dalam minyak, ketika terdapat dalam suatu sistem emulsi maka gugus polar akan berada dalam permukaan fase air. Di dalam larutan emulsi terdapat energi permukaan yang dapat menyebabkan terjadinya koalesen antara droplet-droplet (butiran-butiran). Koalesen ini akan menyebabkan ukuran droplet menjadi lebih besar sehingga akan terpisah menjadi fase air dan fase minyak. Apabila terjadi pemisahan antara fase air dan fase minyak disebut emulsi tidak stabil. Dengan adanya polimer yang ditambahkan dalam sistem emulsi maka polimer tersebut akan menyelubungi surfaktan karena adanya interaksi antar surfaktan dengan polimer. Interaksinya berupa ikatan hidrogen (Goddard et al, 1993). Ikatan hidrogen itu terjadi antara atom oksigen pada rantai polietilen glikol dengan gugus
13 hidroksil pada chitosan. Ikatan hidrogen yang terbentuk
banyak karena
banyaknya oksigen pada etilen glikol yang berbentuk polimer, begitu juga halnya dengan gugus hidroksil yang terdapat pada chitosan yang merupakan polisakarida. Dengan banyaknya ikatan hidrogen yang terbentuk membuat droplet stabil karena ikatan hidrogen tersebut dapat meminimalkan energi permukaan, sehingga koalesen tidak terjadi. Interaksi antara surfaktan dengan polimer kationik dapat dilihat pada Gambar 6.
Surfaktan non-ionik + polimer kationik Surfaktan non-ionik
Droplet minyak Polimer
Sistem emulsi polimer surfaktan
Surfaktan
Gambar 6. Interaksi surfaktan dengan polimer kationik (Goddard et al.,1993) Polimer kationik dapat dibuat dengan berbagai macam sintesis polimer alami, seperti selulosa dan chitosan. Karakteristik fisis polimer menyerupai monomernya dan rasio monomer digunakan untuk pembuatan polimer kationik. Berat molekul merupakan faktor lain yang berpengaruh pada karakteristik fisis polimer dan sifat penggunaannya. Turunan selulosa kationik yang mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida secara luas digunakan sebagai conditioning agent pada
14 produk perawatan rambut dan kulit. Sejumlah makalah berkaitan dengan hal tersebut telah dipublikasikan misalnya review oleh Idson, 1999, yaitu
efek
kondisioning dapat dirasakan karena adanya gugus amonium yang bermuatan positif dari turunan selulosa kationik mampu mengikat sisi anionik yang ada dalam keratin alami seperti rambut dan kulit. Hal tersebut menyebabkan rambut menjadi lebih mudah dirapikan ketika disisir basah dan ketika kering akan lebih lembut, berkilau dan mudah diatur. Pada saat menyisir pun tidak perlu keraskeras. Untuk kulit, turunan selulosa kationik memberi efek lembut, lembab dan melindungi kulit. Struktur molekul dari turunan selulosa kationik yang mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida adalah sebagai berikut.
CH3 H3C
+
N
ClCH3
O-CH2-CH-CH2 H2C
OH O O
OH
n OH
H
Gambar 7. Turunan selulosa kationik (Drovetskaya et al., 2004) Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin, yang berupa rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksiglukosa), chitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif. Turunan chitosan kationik mengandung gugus 2-hidroksipropil trialkil amonium klorida yang dapat berfungsi sebagai pelembab, membentuk film pelindung yang jernih, membentuk lapisan pada kulit dan bersifat non alergenik. Struktur molekul dari polimer kationik chitosan adalah sebagai berikut.
15 COCH3 OH
CH2OH
NH
CH2OH O
O H
H
O
H
O
H
O H OH
H
H
NH2
O
H
H
OH
H
H
HN
O CH2OH
CH-CH-CH2 OH
CH3 ClN+ CH3 CH3
n
Gambar 8. Turunan chitosan kationik (Paten Pub No DE 3502833) Selulosa Selulosa adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling tersebar di alam. Sumber utama selulosa
adalah kayu. Umumnya kayu
mengandung sekitar 50% selulosa, bersama dengan penyusun lainnya seperti lignin. Selulosa di bangun oleh rantai glukosa yang tersambung melalui β-1,4, glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6 dan strukturnya diperlihatkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur molekul selulosa (Cowd, 1991) Selulosa merupakan bahan dasar dari banyak produk teknologi seperti kertas, film, serat aditif dan sebagainya. Bahan ini terdiri atas unit-unit anhidroglukopiranosa yang bersambung membentuk rantai molekul. Karena itu selulosa dapat dinyatakan sebagai polimer linier glukan dengan struktur rantai yang seragam (Fengel dan Wegener, 1989). Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D glukopiranosa yang terkait satu sama lain dengan ikatan glikosida (1
4). Secara
alamiah molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen, fibril-fibril tersebut membentuk struktur kristal.
16 Fengel dan Wegener (1989) menyatakan terdapat dua buah modifikasi struktur kristalin selulosa, yaitu selulosa I-α dan selulosa I-β yang disebabkan adanya ikatan hidrogen pada selulosa. Pada selulosa dengan struktur I-α, satu sel unit triklinat mengandung satu rantai selulosa, sedangkan pada selulosa dengan struktur I-β, satu sel monoklinat mengandung dua rantai selulosa. Selulosa bakterial mengandung selulosa I-α kira-kira 60%, berbeda dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan (misalya rami dan kapas) yang mengandung selulosa I-α hanya 30%, sedangkan sisanya adalah selulosa I-β. Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa, sehingga dapat dilakukan reaksi-reaksi seperti esterifikasi, eterifikasi, adisi dan lain-lain (Bydson, 1995). Turunan selulosa yang mempunyai sifat berbeda dari selulosa telah banyak digunakan di berbagai bidang. Dalam beberapa hal, turunan selulosa tersebut hanya merupakan bentuk antara untuk mengubah bentuk selulosa. Dari segi teknis, turunan selulosa yang paling penting adalah ester dan eter yang lingkup penggunaannya sangat luas (Fengel dan Wegener, 1989). Adanya gugus-gugus –OH dalam selulosa dapat bereaksi membentuk berbagai turunan, misalnya pembentukan ester-ester dengan asam-asam anorganik dan organik. Adanya tiga gugus –OH pada setiap unit glukosa dalam selulosa memungkinkan pembentukan mono, di atau triester. Proses pelarutan selulosa dimulai dengan degradasi struktur serat dan fibril dan akan menghasilkan disintegrasi yang sempurna menjadi molekul-molekul individual dengan panjang rantai
tidak
berubah.
Degradasi
struktur
supramolekul
terjadi
dengan
pembengkakan dan penyisipan gugus kimia yang akan memecah ikatan-ikatan intramolekul dan melapisi molekul-molekul selulosa. Turunan selulosa dapat terjadi karena gugus hidroksil yang tersedia di dalam alkil atau hidroalkil pada rantai selulosa dapat diganti oleh senyawa lain (Gambar 10). Gugus R adalah sebagai senyawa pengganti. Contoh senyawa pengganti seperti hidroksietil (HO-CH2-CH2-), natrium karboksimetil (NaOOCCH2-), metil (CH3-), etilhidroksietil (CH3-CH2-O-CH2-CH2-), hidroksipropil (HOCH2-CH2-CH2-), semua senyawa ini larut dalam air. Akibat dari masuknya senyawa pengganti tersebut dalam rantai selulosa, maka berubah dan terpencar
17 susunan selulosanya sehingga molekul air atau senyawa pelarut lain dapat masuk dan melarutkan ikatan rantai.
H
CH2OH
O
O
OR
H
H
O
O OH H
H
H
CH2OR
CR
H
OH
H
H
OH
O
OR
H
H
OR
H
H
H
O
CH2OR
H
O
H
H
OH
H
O
CH2OH
Gambar 10. Struktur Selulosa dan Turunannya Gambar 10. Struktur selulosa dan turunannya (Fengel dan Wegener, 1989) Chitosan Chitosan merupakan turunan
chitin yang diperoleh melalui proses
deasetilasi (penghilangan gugus –COCH3) dan merupakan senyawa polisakarida terbesar kedua setelah selulosa (Rha, 1984). Chitosan merupakan produk deasetilasi chitin, yang merupakan rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksiglukosa) (Barkeley, 1973). Gambar 11 merupakan struktur berulang chitosan.
Gambar 11. Struktur molekul chitosan (Skjak-Braek at al., 1989) Menurut Knor (1984) berat molekul chitosan sekitar 1.036 x 105 Dalton. Berat molekul chitosan tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatan chitosan. Chitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino, sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi. Chitosan akan bermuatan positif dalam larutan karena adanya gugus amin yang dapat mengikat ion positif, tidak
18 seperti polisakarida pada umumnya yang bermuatan negatif atau netral (Muzzarelli, 1985). Menurut Mckay et al. (1987) chitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6,5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam formiat, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain kecuali sulfur. Sifat kelarutan chitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi dan spesifik rotasi, yang dapat bervariasi tergantung dari sumber dan metode isolasinya. Muzzarelli (1985)
menyatakan bahwa chitosan dapat diturunkan lagi
menjadi senyawa larut air, larutan alkali dan larutan asam. Proses asilasi chitosan akan menghasilkan turunan baru yang dapat larut dalam air. Senyawa yang mengandung gugus amin dapat diasilasi dengan penabahan turunan asam yang bersifat reaktif (misalnya anhidrida-anhidrida dan klorida-korida). Chitosan yang mengalami asilasi mengandung gugus N-acyl. Turunan chitosan tersebut dinamakan N-acylchitosan. Turunan chitosan tersebut cocok sekali dipakai sebagai bahan pengemulsi minyak dalam air dan mempunyai keunggulan yaitu tahan terhadap panas. Seperti halnya chitin, turunan chitosan mampu mengikat air dan minyak karena gugus polar dan non polar. Karena kemampuan tersebut, chitosan dapat bertindak sebagai penstabil, pengental dan penstabil pada obat-obatan, makanan dan kosmetika. Aplikasi chitosan dalam kosmetik khususnya krim perawatan, chitosan dapat berfungsi sebagai pelembab, membentuk film pelindung yang jernih, membentuk lapisan pada kulit dan bersifat non alergenik (Anonim, 1987). Selain krim kosmetik, chitosan dapat mempercepat penyembuhan luka bakar, pengobatan dermatitis, pengobatan infeksi fungal dan sebagai bahan dalam pembuatan kontak lens yang lunak dan bersih. Menurut Hirano et al. (1984) aplikasi chitosan lainnya antara lain sebagai koagulan pada pengolahan limbah cair, hipocholesterolmic agent, cocok untuk bahan diet, meningkatkan sekresi chitinase pada tanaman yang berfungsi melindungi serangan patogen, menaikkan volume spesifik pada makanan, memperbaiki tekstur tanah dan mampu menyerap uranium pada produksi tenaga nuklir.
19 Menurut Austin (1988) chitosan merupakan polimer mukopolisakarida termasuk dalam komponen larut air pada kulit yang mempunyai kemampuan mengikat air, sehingga dapat dipakai sebagai bahan emollient cream dan lotion. Chitosan mempunyai kemampuan menahan air, membuat lapisan film yang jernih, bersifat non alergenik dan tidak beracun, dengan demikian chitosan merupakan bahan yang dapat dipakai dalam pembuatan emollient cream. Seldner (1973) menyatakan bahwa beberapa karbohidrat dapat dipakai sebagai bahan kosmetik karena mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol, mampu mengikat air, menghambat evaporasi dan mampu mengikat parfum tanpa pengadukan. Jenis-jenis karbohidrat tertentu dapat berfungsi sebagai emollient, pelembab dan emulsifier pada krim perawatan. Komponen tersebut meninggalkan film pada kulit lebih baik dibanding dengan bahan emollient yang biasa dipakai yaitu polyol seperti propilen glikol dan sorbitol yang meninggalkan film kaku. Chitosan yang digunakan untuk bahan kosmetik merupakan chitosan yang dapat larut dalam air. Kulit Kulit berfungsi untuk menutupi semua bagian tubuh dan melindungi tubuh dari berbagai macam gangguan eksternal dan kerusakan akibat kehilangan kelembaban. Kulit luar terbagi atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan sel subkutan, seperti yang terlihat pada Gambar 12. Lapisan-lapisan epidermis dapat dilihat pada Gambar 13, terdiri dari stratum germinativum, atau sel tumbuh, lapisan Malphigi atau lapisan pigmen, stratum granulosum, stratum lucidum, korneum dan terakhir lapisan kornified. Kulit yang sesungguhnya atau dermis terdiri dari jaringan pembuluh darah, kantung rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Dibawahnya adalah subkutan jaringan lemak sampai bagian terakhir dari akar rambut. Sel-sel yang membentuk lapisan terbawah berjalan keluar selama siklus hidup mereka dan pada akhirnya menjadi sel-sel mati dari korneum, lapisan luar yang masih ada (hidup) akan lepas. Pergerakan keluar ini, diakhiri dengan pengelupasan kulit. Fungsi kulit, yaitu untuk memberikan perlindungan alami dari gangguan luar yang masuk ke dalam sebagai bahan-bahan yang asing. Kulit juga
20 memberikan perlindungan pada jaringan-jaringan yang ada dibawahnya terutama pada elemen penyusunnya, penyaring substansi toksik (beracun) dan dari serangan mikroorganisme.
(A) Epidermis, (B) Dermis, (C) Subkutan; (a) Lapisan minyak pada permukaan kulit; (b) Sel kornifil; (c) Korneum; (d) Stratum lucidum; (e) Penahan absorpsi kulit; (f) Stratum granulosum; (g) Lapisan malpigi atau stratum mucosum; (h) Stratum germanativum; (i) Lapisan basal (j) Kelenjar sebasea; (k) Serabut akar rambut; (l) Jaringan akar rambut; (m) Lemak; (n) Kelenjar keringat; (o) Ruang isi minyak dan udara; (p) Rambut; (q) Poripori keringat Gambar 12. Struktur jaringan kulit manusia (Poucher, 1996) Fungsi yang paling penting dari lapisan epidermis adalah menjaga gangguan stimuli eksternal seperti dehidrasi, sinar ultraviolet, faktor fisik dan fakor kimia lainnya. Fungsi ini dilakukan oleh lapisan corneum sebagai lapisan paling luar. Lapisan kulit kedua setelah lapisan epidermis adalah lapisan dermis. Lapisan dermis adalah lapisan yang merupakan gabungan lapisan yang
21 dihubungkan oleh sel-sel di bawah lapisan epidermis. Permukaan lapisan dermis yang kontak lansung dengan lapisan epidermis yang menonjol keluar disebut penghubung epidermal. Seperti sel-sel lapisan epidermis, sel-sel dermis tidak terhubung secara kuat satu dengan yang lainnya, dan banyak terdapat ruang kosong. Bagian dari kulit ini mempunyai jaringan struktur molekul makro yang disebut extracellular matrix. Lapisan dermis termasuk sel-sel yang memproduksi histamin dan serotonin yang bertanggung jawab untuk respon yang cepat terhadap alergi, juga memproduksi fibroblast yang mensintesis dan mesekresikan extracellular matrix.
Gambar 3. Struktur Epidermis
(a) Stratum germinativum, (b) Stratum granulosum, (c)Stratum lucidum, (d) Korneum, (e) Lapisan kornified. Gambar 13. Struktur epidermis (Poucher, 1996)
Bahan-bahan emolien digunakan sebagai bahan pencegahan terhadap kekeringan pada kulit. Kulit kering mempunyai karakter kasar dan keras, kulit tidak fleksibel dan pecah-pecah (Barnett, 1962). Kulit kering terjadi akibat kekurangan air di stratum korneum, kelembaban yang rendah, hidrasi yang tidak cukup dari lapisan bawah epidermal dan pergerakan air. Selain itu pemakaian sabun dan deterjen secara kontinyu dan berkepanjangan juga dapat menyebabkan stratum korneum kekeringan. Menurut Barnett (1962) komponen larut air mengandung asam-asam amino seperti asam pyroglutamik, polipeptida, laktat, heksosamin, pentosan, ion anorganik dan mukopolisakarida. Komponen hidrofilik
22 pada lapisan minyak, pada lapisan corneal akan menyebabkan kulit tidak kering walaupun kelembaban lingkungan rendah. Kekeringan dan sifat kurang lentur pada lapisan korneum dapat diperbaiki jika kandungan air dinaikkan lebih dari kondisi normal (10 persen). Pemakaian krim kosmetik yang mengandung hidrofilik emollient dapat memperbaiki kulit kering. Cream emollient akan meninggalkan film yang rapat pada kulit, permeabilitas terhadap air rendah, mensuplai komponen hidrofilik, sehingga mampu menahan dehidrasi air dari kulit, dengan demikian kulit menjadi lembut. Tronnier (1962) menemukan bahwa emulsi jenis minyak-air merupakan bentuk emulsi yang baik untuk menghasilkan film yang lembut pada kulit, yang mampu mengurangi evaporasi.
Skin Lotion Saat
ini telah banyak ditemui berbagai macam produk perawatan
diantaranya adalah krim dan lotion kulit (skin cream dan skin lotion). Beberapa pengguna tertarik menggunakannya untuk mencegah agar kulit tidak kering dan pengguna lainnya tertarik untuk perawatan kulit agar tetap segar. Lotion merupakan salah satu bentuk emulsi yang didefinisikan sebagai campuran dari dua fase yang tidak dapat bercampur, distabilkan dengan emulsifier, dan jika ditempatkan pada suhu ruang berbentuk cairan yang dapat di tuang. Proses pembuatan lotion adalah dengan cara mencampurkan bahan-bahan yang larut dalam fase air dan pada bahan-bahan yang larut dalam fase minyak, dengan cara pemanasan dan pengadukan (Schmitt, 1996). Keithler (1956) menambahkan bahwa pada kebanyakan pembuatan kosmetik, dua fase secara terpisah dipanaskan pada suhu yang sama, kemudian fase yang satu dituangkan ke fase yang lainnya dan dipanaskan pada temperatur yang sama dengan pengadukan. Pengadukan terus dilakukan sampai emulsi dapat didinginkan pada suhu kamar. Fungsi utama lotion untuk perawatan kulit adalah sebagai pelembut (emolien). Hasil akhir yang diperoleh tergantung dari daya campur bahan baku dengan bahan lainnya untuk mendapatkan kelembaban, kelembutan dan perlindungan kulit dari kekeringan.
23 Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah minyak mineral, ester isopropil, alkohol alifatik, turunan lanolin, alkohol dan trigliserida serta asam lemak. Sedangkan bahan pelembab diantaranya adalah gliseril dan propilen glikol. Penggunaan pelembut dan pelembab berkisar antara 0,5% - 15% (Schmitt, 1996). Skin lotion merupakan salah satu produk industri kosmetik yang menggunakan tipe emulsi minyak dalam air atau oil in water (o/w), yang terdiri dari fase minyak 10-25%, humektan 3-10% dan fase air 75-80% (Schmitt, 1996). Fase minyak terbentuk dari bahan-bahan non polar yang biasanya tidak dapat menyatu dengan air. Bahan-bahan tersebut meliputi : lemak, minyak, lilin dan turunannya seperti lemak-alkohol, asam lemak, ester, hidrokarbon, gliserida dan silikon. Pemanfaatan bahan-bahan tersebut dalam produk kosmetik memberi banyak keuntungan. Jika diaplikasikan pada kulit, fase minyak berperan sebagai pelembut (emolient), penghalus dan pelembab, karena minyak dapat membentuk semacam lapisan pelindung yang mempertahankan air. Minyak Silikon digunakan secara luas dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang kosmetik tekstil, sebagai zat aditif pada cat, cairan hidrolik, senyawa anti busa, dan sebagai heat transfer oils. Nama lain dari minyak silikon adalah polidimetil siloksan atau dapat disingkat PDMS. PDMS dibentuk melalui proses polimerisasi dari prekursor dimetil silikon. Sifat minyak silikon dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat minyak silikon Sifat
Nilai
Densitas (g/ml)
0.963
Indeks refraksi
1,402
Tegangan permukaan pada 25oC (dyne/cm)
20,8
Penguapan maksimum pada 150oC (%)
0,5
Panas spesifik
0,36
Sumber : Othmer, 1994 Minyak silikon secara visual tampak transparan dan menyerap sinar ultraviolet dengan panjang gelombang dibawah 280 nm. Minyak silikon larut
24 dalam pelarut non polar seperti benzen, toluen, kloroform, dan dimetileter. Minyak silikon sedikit larut dalam aseton, etanol, dan butanol, tetapi tidak larut dalam metanol, etilenglikol, dan air.
CH3
H3C
Si CH3
CH3 O
Si CH3
O
x
CH3
CH3
Si
Si
H
y CH3
CH3
Gambar 14. Struktur molekul minyak silikon (Othmer,1994) Minyak Mineral merupakan minyak yang terkandung di dalam bumi, atau bisa juga disebut minyak bumi. Kandungan dari minyak mineral adalah berupa hidrokarbon. Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mineral dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu : parafin, naftalena, olefin, dan aromatik. Parafin secara umum memiliki rumus CnH2n+2, parafin merupakan hidrokarbon yang jenuh, dan mengikat atom hidrogen secara maksimal, sehinga parafin bersifat tidak reaktif. Olefin merupakan hidrokarbon tidak jenuh Olefin dibagi menjadi dua, yaitu : mono olefin (CnH2n) dan diolefin (CnH2n-2). Naftalena memilki rumus umum CnH2n. Naftalena merupakan hidrokarbon jenuh dan memiliki sifat mirip dengan parafin. Atom karbon pada setiap molekul yang terdapat pada naftalena membentuk cincin tertutup. Hidrokarbon aromatik memliki rumus umum CnH2n-6. Molekul-molekul yang terdapat pada hidrokarbon aromatik membentuk cincin tertutup dan merupakan hidrokarbon tak jenuh. Sifat minyak mineral dapat dilihat pada Tabel 2.
25 Tabel 2. Sifat minyak mineral Sifat
Nilai
Densitas (g/ml)
0,870
Viskositas (cSt) pada 40oC
<34,5
Kelarutan
Tidak larut dalam air dan alkohol. Larut dalam benzen, kloroform, eter, karbondisulfida, dan petroleum eter.
Sumber : http://home.fnal.gov/~randy/tech_specs.html Virgin Oil adalah minyak dan lemak makan yang dihasilkan tanpa mengubah sifat fisiko kimia minyak. Minyak diperoleh dengan hanya perlakuan mekanis dan pemakaian panas minimal serta tidak menggunakan bahan kimia kecuali yang tidak mengalami reaksi dengan minyak. Minyak ini dimurnikan dengan cara pencucian menggunakan air, pengendapan, penyaringan dan sentrifugasi saja. Standar mutu dari virgin coconut oil dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat virgin coconut oil Sifat
Nilai
Kadar air (%)
0,1-0,5
Densitas (g/ml)
0,9756
Index bias
1,4550
Bilangan peroksida (mg oksigen/100 g contoh)
Maks 3,0
Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh)
250-260
Bilangan asam (mgKOH/g contoh)
Maks 13
Kadar asam lemak bebas (% asam laurat)
Maks 0,5
Warna
Jernih krisal
Sumber : Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%) dan minyak tak jenuh (10%). Tingginya kandungan asam lemak jenuh menjadikan virgin coconut oil sebagai sumber lemak jenuh. Dalam virgin coconut oil terdapat
26 Medium Chain Fatty Acid (MCFA), yaitu komponen asam lemak berantai sedang yang memiliki banyak fungsi, antara lain mampu merangsang produksi inulin sehingga proses metabolisme glukosa dapat berjalan normal. MCFA juga bermanfaat dalam mengubah protein menjadi sumber energi. Fase air dibentuk oleh air dan bahan-bahan hidrofilik lain dalam sebuah sistem seperti gliserin atau propilen glikol.
Secara umum, fase air dapat
menghemat biaya karena harganya murah. Dalam membuat formula skin lotion harus diperhatikan fungsi utama dalam penggunaannya yaitu melembutkan tangan, mudah dan cepat menyerap pada permukaan kulit, tidak meninggalkan lapisan tipis, tidak menimbulkan lengket pada kulit setelah pemakaian, tidak mengganggu pernafasan, antiseptis, memiliki bau yang khas (menyegarkan) dan memiliki warna yang menarik (Schmitt, 1996). Emulsifier atau pengemulsi yang umum digunakan dalam pembuatan lotion adalah trietanolamin stearat dan oleat. Selain itu asam stearat juga dapat digunakan dalam formulasi sesuai dengan sifatnya yang dapat menghasilkan kilauan yang khas pada produk lotion (Wilkinson et al., 1962). Menurut Barnet (1962) gliseril mono stearat dengan polietilen glikol 400 efektif digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil pada konsentrasi rendah. Konsentrasi yang berlebih pada penggunaan bahan-bahan ini harus dihindarkan karena akan membentuk ‘gel’ pada lotion. Humektan merupakan zat yang melindungi emulsi dari “pengeringan”. Humektan ditambahkan pada produk lotion terutama pada produk dengan menggunakan tipe emulsi minyak dalam air (o/w) untuk mengurangi kekeringan ketika produk disimpan pada suhu ruang (Schmitt, 1996). Gliserin merupakan humektan yang paling baik digunakan dalam pembuatan lotion. Penggunaan gliserin akan menghasilkan lotion dengan karakteristik skin lotion yang terbaik dengan komposisi dalam formula berkisar 3% - 10%. Sedangkan menurut Barnett (1962), gliserin berfungsi sebagai penarik, penahan dan penyimpan air dan penyuplai sumber air pada celah lapisan cornified di permukaan kulit. Emolient merupakan zat yang mampu melunakkan kulit, apabila digunakan pada lapisan kulit yang keras dan kering akan mempengaruhi
27 kelembutan kulit dengan adanya hidrasi ulang (Schmitt, 1996). Emolient harus memiliki titik cair yang lebih tinggi dari suhu kulit, sehingga apabila lotion dioleskan pada kulit akan menimbulkan rasa nyaman, kering dan tidak berminyak. Cetil alkohol adalah emolient yang paling baik dan juga bisa berfungsi sebagai bahan pengental dengan komposisi berkisar antara 1% -3% pada formulasi produk. Beberapa jenis minyak dapat digunakan dalam pembuatan lotion. Minyak mineral, dan beberapa minyak alam yang berasal dari bunga matahari, zaitun, kelapa dan kacang-kacangan serta campuran dari trigliserida seperti miristat, palmitat, stearat dan
asam lemak rantai panjang dapat digunakan dalam
pembuatan lotion karena dapat memberikan efek alami kulit menjadi licin, kilau dan halus (Schueller et al., 1999). Air merupakan komponen yang paling penting dalam pembuatan krim dan skin lotion. Air merupakan bahan pelarut dan bahan baku yang tidak berbahaya dibandingkan bahan baku lainnya, tetapi air mempunyai sifat korosif. Air yang digunakan dalam produk kosmetik harus dimurnikan terlebih dahulu. Viskositas merupakan salah satu parameter penting untuk menunjukkan stabilitas produk maupun untuk penanganan suatu produk kosmetik selama penanganan dan distribusi produk (Schmitt, 1996). Bahan pengental digunakan untuk mengatur kekentalan dan mempertahankan kestabilan produk. Bahan pengental berfungsi sebagai pengikat fasa minyak dan fasa air yang terkait dengan Hidrophyile Lipophyile Balance. Selain itu bahan pengental yang digunakan dalam pembuatan lotion bertujuan untuk mencegah terpisahnya partikel dan emulsi (Strianse, 1996). Menurut Schmitt (1996), pengental polimer seperti gumgum alami, turunan selulosa dan karbomer lebih sering digunakan dalam emulsi dibandingkan dalam formulasi berbasis surfaktan. Selain polimer, bahan pengental dengan berat molekul tinggi juga dapat digunakan pada pembuatan skin lotion seperti polietilen glikol 6000 distearat atau polietilen glikol 120 metil glukosa. Keuntungan menggunakan bahan pengental tersebut adalah stabil terhadap hidrolisis pada suhu tinggi atau pada kondisi pH yang sangat ekstrim. Efek samping bahan pengental dengan berat molekul tinggi adalah bahan-bahan ini mempengaruhi sifat-sifat alir bahan yang menyebabkan
28 meningkatnya aliran Newtonian. Sedangkan sistem yang terkentalkan oleh garam atau polimer menunjukkan sifat alir yang pseudoplastik (Schmitt,1996). Penggunaan bahan pengental dalam pembuatan skin lotion adalah lebih rendah 2,5%. Hampir setiap jenis kosmetik menggunakan zat pewangi, yang berguna terutama untuk menambah nilai estetika produk yang dihasilkan. Minyak parfum yang digunakan spesifik dalam hal jenis, dosis pemakaian dan persyaratan lainnya terutama yang berkaitan dengan pengaruh iritasi dan sensitifisasi terhadap kulit, serta hubungannya dalam formula kosmetik. Jumlah parfum yang ditambahkan harus serendah mungkin, yaitu berkisar antara 0,1% -0,5. Pada proses pembuatan lotion, pewangi dicampurkan ke dalam lotion pada suhu 35oC agar tidak merusak emulsi yang telah terbentuk (Schueller et al, 1999). Dalam pembuatan skin lotion biasanya ditambahkan bahan pengawet agar mikroba tidak tumbuh karena pengawet bersifat anti mikroba. Menurut Schmitt (1996), pengawet digunakan sebesar 0,1 – 0,2%, contohnya metil paraben.