II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. BAHAN BAKU 1. Limbah Tanaman Jagung (LTJ) Biomassa jagung adalah seluruh bagian tanaman jagung yang tidak dipakai atau diambil sebagai makanan pokok, seperti batang, daun, kelobot, dan tongkol (Anggraeny et al., 2006). Total berangkasan dari satu tanaman jagung bernilai 90% dari berat keseluruhan satu tanaman jagung, tabel proporsi LTJ disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Proporsi limbah tanaman jagung Limbah Jagung Proporsi Limbah (%BK) Batang
50
Daun
20
Tongkol
20
Kulit (klobot)
10
Sumber: Mc Cutcheon dan Samples (2002)
Limbah tanaman jagung merupakan limbah lignoselulosik (Dellweg, 1983). Lignoselulosa terdiri dari tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu, terdapat pula beberapa komponen minor yang dapat ditemukan pada lignoselulosa, seperti abu, protein, dan pektin. Kadar ketiga komponen minor pada lignoselulosa tersebut berbeda-beda sesuai dengan sumber lignoselulosanya (Dashtban et al., 2009). Berdasarkan Prasetyo et al. (2002), limbah batang dan daun jagung kering memiliki potensi energi sebesar 66.35 GJ dengan konversi nilai kalori 4,370 kkal/kg. Energi tongkol jagung dapat dihitung dengan menggunakan nilai Residue to Product Ratio (RPR) tongkol jagung yaitu 0.27 (pada kadar air 7.53%) dan nilai kalori 4,451 kkal/kg, sehingga potensi energi tongkol jagung adalah 55.75 GJ (Widodo, 2003 (dasar acuan Koopmans dan Kopejan, 1997); Sudradjat, 2004). Menurut Sun dan Cheng (2002) diketahui bahwa limbah tanaman jagung mengandung 15% lignin, 45% selulosa, dan 35% hemiselulosa, serta dapat menghasilkan 0.24 liter bioetanol tiap kg biomassa jagung. Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Gambar dari struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur molekul selulosa (Klemm et al., 1998)
Hemiselulosa merupakan komponen kedua pada bahan berlignoselulosa, berupa polimer yang heterogen dari pentose (termasuk xilosa dan arabinosa), hexosa (terutama manosa, sebagian kecil glukosa, dan galaktosa) dan sugar acids. Komposisi hemiselulosa di alam sangat beragam dan bergantung pada sumber tanaman (Dashtban et al., 2009). Gambar dari struktur hemiselulosa dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Struktur molekul hemiselulosa (Kirk dan Cullen, 1998) A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan (hemiselulosa utama di kayu daun lebar) B. Struktur O-aselilgalaktoglukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun jarum)
Lignin adalah suatu kompleks polimer tiga dimensi yang diproduksi secara in vivo oleh enzim pemula polimerisasi dehidrogenatif dari tiga monomer fenilpropana, yaitu phidroksilamin alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol. Polimer lignin terbentuk melalui ikatan eter yang terdiri atas satuan fenilpropana yang saling bergabung. Biosintesis lignin dari unit fenilpropana dinyatakan secara umum sebagai polimerisasi dehidrogenatif. Kompleks polimer lignin berperan sebagai pemberi kekuatan fisik, pertahanan terhadap serangan mikrobial, dan pertahanan terhadap permeabilitas air ke matrik polisakarida dinding sel tumbuhan (Whetten et al., 1998). Gambar struktur lignin dapat dilihat pada Gambar 3.
5
Gambar 3. Struktur molekul lignin (Lankinen, 2004)
2. Jamur Lignin adalah sasaran utama yang diserang oleh jamur pelapuk putih (Zabel dan Morell, 1992). Enzim penghancur lignin adalah lignase yang mengubah lignin dan menghasilkan karbohidrat untuk dijadikan substrat. Jamur pelapuk putih memiliki enzim lakase yang menyebabkan oksidasi Cα, penghancur gugus fenil dan penghancur Cα-Cβ dalam struktur siringil. Lakase berfungsi mencegah mekanisme repolimerisasi dari fenoksiradikal kembali menjadi lignin dan menghilangkan quinon yang beracun (Rayner dan Boddy, 1988). Menurut Eaton dan Hale (1993) berbagai enzim yang berperan dalam proses degradasi lignin yang disekresikan oleh kapang pelapuk putih adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), lakase, demetoksilase, H2O2-generating enzyme dan enzim pendegradasi monomer seperti selobiosa dehidrogenase, asam vanilat hidrolase dan trihidroksi benzen dioksigenase. Namun enzim lignolitik yang utama adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase.
a. Pleurotus ostreatus Pleurotus ostreatus adalah jamur pangan dari kelompok Basidiomycota dan termasuk kelas Homobasidiomycetes dengan ciri-ciri umum tubuh buah berwarna putih hingga krem dan tudungnya berbentuk setengah lingkaran mirip cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung (Parlindungan, 2000). Pleurotus ostreatus mampu mendegradasi bahan-bahan berlignoselulosa secara efisien dan selektif menguraikan lignin tanpa perlakuan pendahuluan secara kimiawi atau biologis (Hadar et al., 1993). Kemampuan Pleurotus ostreatus dalam mendegradasi lignin menjadikan fungi ini memiliki potensi untuk digunakan pada proses penghilangan lignin secara biologis.
6
b. Phanerochaete chrysosporium Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fadilah et al. (2008) diketahi bahwa jamur Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin pada batang jagung. Lignin yang terdegradasi selama 30 hari inkubasi adalah 81,4%. Degradsi lignin diikuti dengan degradasi selulosa walaupun jumlahnya relatif lebih sedikit yaitu 22,3% pada 30 hari inkubasi.
c. Trametes vercolor Jamur Trametes vercolor termasuk ke dalam golongan jamur pelapuk putih (white root fungus). Family Polyporaceae dan kelas Basidiomycetes, yang biasa dikenal dengan Polyporus, coriolus dan Polysticus. Penyebarannya di negara-negara beriklim sedang dan sering menyerang kayu daun lebar, namun kadang-kadang menyerang kayu daun jarum (Eaton dan Hale, 1993). Kapang ini menyerang hemiseluosa sebelum atau berbarengan dengan lignin. Menurut Akhtar et al. (1997) urutan pendegradasian kayu oleh kapang putih ini adalah hemiselulosa, lignin, dan kemudian selulosa.
3. Mikroorganisme a. Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cereviciae merupakan salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroorganisme ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Saccharomyces cerevisiae dapat mengubah glukosa, manosa, dan galaktosa menjadi etanol. Khamir ini dapat tumbuh dalam media dengan a w terendah 0.88-0.94 dan pada kisaran suhu 25-300C atau 35-470C serta pH 4-4.5 (Fardiaz, 1989). Saccharomyces cerevisiae sering digunakan untuk memproduksi etanol secara fermentasi karena dapat menghasilkan etanol dalam jumlah besar dan mempunyai nilai toleransi terhadap alkohol yang tinggi. Khamir ini memiliki daya, tingkat dan rendemen etanol yang tinggi tetapi tidak mampu memfermentasi xilosa yang merupakan jenis gula terbesar kedua di alam (Rouhoullah et al., 2006; Kotter dan Ciriacy, 1993).
b. Zymomonas mobilis Zymomonas mobilis merupakan bakteri gram negatif yang dapat ditemukan pada tumbuh-tumbuhan yang kaya gula. Zymomonas mobilis merupakan bakteri anaerob fakultatif. Pemakaian bakteri Zymomonas mobilis untuk industri pembuatan etanol mempunyai beberapa keuntungan antara lain, yaitu kemampuan untuk tumbuh secara anaerob, hasil produksi lebih tinggi dan kemampuan fermentasi lebih spesifik dibandingkan dengan yeast (Ismail et al., 2009).
7
Hemiselulosa yang telah terhidrolisis menjadi xilosa dapat difermentasikan menjadi etanol. Namun, mikroorganisme Zymomonas mobilis tidak dapat memfermentasi xilosa atau xilitol. Mikroba ini dapat memfermentasi xylulose tetapi tidak memiliki enzim yang diperlukan untuk mengkonversi xylose menjadi xylulose. Zymomonas mobilis memfermentasikan glukosa melalui jalur Entner Doudoroff. Mikroba ini menghasilkan enzim piruvat dekarboksilase yang merubah piruvat menjadi acetaldehyde. Kemudian acetaldehyde diubah menjadi etanol oleh enzim alcohol dehydrogenase (Ismail et al., 2009).
c. Pichia stipitis Pichia stipitis merupakan mikroorganisme yang memfermentasi gula dalam bentuk C5 secara alami. Mikroorganisme ini mampu menghasilkan etanol dari xilosa dan dapat merombak gula C5 yang tidak dapat dilakukan oleh Sacharomyces cereviseae maupun Zymomonas mobilis (Agbogbo dan Kelly, 2008). Pichia stipitis merupakan salah satu kapang yang memiliki kemampuan untuk mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula (Jeffries et al., 2007). Pichia stipitis dapat memfermentasi glukosa, xilosa, manosa, galaktosa, dan selobiosa menjadi etanol dalam kondisi anaerobik dengan xilitol sebagai produk samping. Pichia stipitis dapat bekerja pada afinitas rendah dan afinitas tinggi pada sistem transport proton. Sistem transport dengan afinitas rendah terjadi ketika konsentrasi gula tinggi, sedangkan afinitas tinggi terjadi ketika konsentrasi gula rendah (Killian dan Uden, 1988). Pichia stipitis lebih menyukai glukosa untuk produksi etanol sehingga jumlah pemanfaatan glukosa lebih besar dibandingkan dengan xilosa pada media yang mengandung glukosa dan xilosa. Suhu optimal yang dibutuhkan oleh Pichia stipitis pada saat fermentasi adalah antara 25-33 oC (Agbogbo dan Kelly, 2008).
B. PEMBUATAN BIOETANOL (C2H5OH) Bioetanol merupakan etanol atau kependekan dari etil alkohol (C2H5OH) atau sering juga disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan mempunyai bau khas (Arnata, 2009). Menurut Demirbas (2005), etanol dapat diproduksi menggunakan berbagai macam jenis bahan baku hasil pertanian yang diklasifikasikan menjadi tiga yaitu gula sederhana, pati, dan selulosa. Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi gula dengan menggunakan bantuan mikroorganisme. Dalam industri, etanol digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran bahan bakar untuk kendaraan. Etanol terbagi dalam tiga grade berdasarkan kadar alkohol, yaitu grade industri (9094%), grade netral untuk minuman keras atau bahan baku farmasi (96-99.5%) dan grade bahan bakar (diatas 99.5%) (Hambali et al. 2007). Menurut Wahid (2005), keunggulan bioetanol dibanding bensin dapat dilihat dari perbandingan sifat yang dimiliki keduanya, sesuai dengan yang ditampilkan pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Sifat thermal, kimia, dan fisika dari bioethanol dan premium Keterangan Unit Bioetanol
No 1
Sifat Thermal a. Nilai kalor
kkal/liter
5,023.3
8,308.0
kkal/liter
6.4
1.8
0.2
0.8
Bar
94.0
82.0
e. Angka oktan riset
MON
111.0
91.0
f. Index cetan
RON
3.0
10.0
0
b. Panas penguapan pada 20 C 0
c. Tekanan uap pada 38 C d. Angka oktan motor
2
Bensin
g. Suhu pembakaran sendiri
0
C
363.0
221.0 – 260.0
h. Perbandingan nilai bakar terhadap premium
0
C
0.6
1.0
C
52.1
87.0
H
13.1
13.0
O
34.7
0
C/H
4.0
6.7
9.0
14.8
0.8
0.7
78.0
32.0 – 185.0
Ya
Tidak
Sifat Kimia a. Analisis berat
b. Keperluan udara (kg udara/kg bahan bakar) 3
Sifat Fisika 1. Berat Jenis 2. Titik Didih 3. Kelarutan dalam air
g/cm 0
C
Sumber: Wahid (2005)
Menurut Hambali et al. (2007), bioetanol memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bensin, diantaranya adalah: 1. Menekan terjadinya pencemaran udara karena bilangan oktan tinggi, serta membentuk oxygenated atau ikatan karbon-hidrogen-oksigen yang mengurangi pencemaran udara terutama emisi karbon monoksida. 2. Peningkatan bilangan oktan membuat bahan bakar semakin stabil pada proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. 3. Meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca karena mengandung 35% oksigen. 4. Mudah terurai dan aman terhadap lingkungan. 5. Nilai oktan tinggi, sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif seperti Metil Tertiary Butyl Ether (MTBE) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) pada bensin.
1. Proses Produksi Terdapat tiga prinsip metode pembuatan alkohol sederhana, yaitu hidrasi alkana yang diperoleh dari proses cracking pada pembuatan minyak tanah, hidrolisis bahan ligoselulosa,
9
dan fermentasi karbohidrat (Morrison dan Boyd, 2003). Menurut Hamelinck et al. (2005) tahapan utama dalam mengkonversi biomassa lignoselulosa menjadi bioetanol adalah perlakuan awal bahan bahan, hidrolisis, fermentasi, dan purifikasi. Tujuan dari perlakuan awal bahan adalah membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi monomer gula. Perlakuan awal bahan dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa perlakuan awal bahan kurang dari 20%, sedangkan dengan perlakuan awal bahan dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis. Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan menganti tahap hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim selulosa. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif Hamelinck (2005). Pada metode terdahulu proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara terpisah atau separated hydrolysis and fermentation (SHF) dan yang terbaru adalah proses simultaneous saccharification and co-fermentation atau sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF). Proses hidrolisis dan fermentasi akan menjadi lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama karena polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol (tidak kembali menjadi polisakarida) (Samsuri et al., 2007). Beberapa spesies mikroorganisme dari kelompok yeast (khamir), bakteri dan fungi dapat memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi bebas oksigen. Produk hasil fermentasi dikenal dengan istilah „bir‟ (beer) yang merupakan campuran antara etanol, biomassa sel, dan air. Di dalam tahapan ini, konsentrasi etanol dari biomassa lignoselulosa lebih rendah (≤ 5%) daripada etanol yang berasal dari jagung. Konsentrasi etanol yang dapat ditolerir oleh mikroba adalah kurang lebih 10% pada suhu 30 0C, tetapi akan menurun dengan naiknya temperatur (Hamelinck et al., 2005). Menurut Demirbas (2005) secara teoritis bioetanol yang diproduksi dari 100 gram glukosa adalah 51,4 gram dan CO 2 yang dihasilkan sebanyak 48,8 gram. Hasil secara nyata akan kurang dari 100% karena glukosa yang difermentasi oleh mikroorganisme juga digunakan untuk bertahan hidup. Pemurnian bioetanol dapat dilakukan melalui tahapan distilasi yang dapat meningkatakan kadar etanol menjadi 95% (Suhendri, 2008). Proses distilasi dilakukan dengan menggunakan evaporator dan distilator. Tahapan dalam penggunaan evaporator dan distilator adalah sebagai berikut : 1. Larutan dimasukkan ke dalam evaporator, kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 900C lalu uap etanol dialirkan ke distilator kemudian didingingkan. Perbedaan temperatur penguapan air (1000C) dan etanol (780C) menyebabkan pemisahan antara air dan bioetanol. 2. Temperatur distilator dijaga pada suhu 790C. 3. Jika kadar etanol kurang dari 95%, maka perlu dilakukan reflux, yaitu dengan memasukkan kembali etanol < 95% ke dalam tabung distilator.
10
2. Persiapan Inokulum Jamur dan Starter
Biakan Pichia stipitis
Biakan Saccharomyces cerevisiae
Inokulasi Media Agar YGA (10 g/l yeast ekstrak, 20 g/l glukosa, dan 15 g/l agar)
Inokulasi Media Agar YMA (3 g/l yeast ekstrak, 10 g/l malt ektrak, 3 g/l glukosa, dan 20 g/l agar) pada suhu 30 o C selama 24 jam
Inokulasikan ke media cair (glukosa 20 g/l, 1 g/l yeast ekstrak , MgSO4.7H20 1 g/l, (NH4)2SO4 1 g/l, dan KH2PO4 1 g/l
Inokulasi Media Cair PDB
Inkubasi (T = 300C, t = 20 jam, 100 rpm)
Kultur Saccharomyces cerevisiae
Inkubasi (T = 300C, t = 27 jam, 100 rpm)
Kultur Picchia sipitis
(a)
(a)
Biakan Jamur
Inokulasi media cair (PDA, inkubasi 7 hari, 300C) Inokulasi media cair (PDB, sheeker selama7 hari, 300C) Penyaringan
PDB
Inokulum
Penambahan Nutrisi Homogenisasi (Waring blender, 5000 rpm, 2 menit)
Biakan Zymomonas mobilis
Inokulasi Media Agar (5 g/l yeast ekstrak, 20 g/l glukosa, dan 10 g/l agar) pada suhu 300C selam 48 jam
Inokulasikan ke media cair (glukosa 20 g/l, MgSO4.7H20 1 g/l, (NH4)2SO4 1 g/l, dan KH2PO4 1 g/l pada suhu 30 oC selama 24 jam
Kultur Zymomonas mobilis
Inokulum stok
(b)
(c)
Gambar 4. Persiapan inokulum jamur dan starter (a) Okur dan Saracoglu (2006) (b) Fadilah et al. (2008) (c) Panesar et al. (2007)
11
C. PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT, LCA) LCA adalah analisis sistem yang digunakan dalam mengevaluasi dampak lingkungan dari siklus hidup suatu produk secara keseluruhan, proses atau kegiatan mulai dari penyediaan bahan baku hingga pengelolaan hasil samping. LCA menitik beratkan pada faktor mengumpulkan informasi dan menganalisis dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk. Pendekatan ini bertujuan menghindari kesalahan dari isu lingkungan yang beredar (UNEP, 1996; ISO 14040, 1997). Berdasarkan ISO 14040, LCA terdiri dari empat tahap, yaitu penentuan tujuan dan ruang lingkup, analisis persediaan, analisis dampak, dan interpretasi hasil. Tahapan dalam LCA dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.
Tujuan dan Ruang Lingkup
Analisis Inventori
Interpretasi Hasil
Analisis Dampak Gambar 5. Tahapan LCA (ISO 14040, 1997) Penjelasan tahapan LCA yang harus dilakukan menurut Jensen et al., 1997 adalah sebagai berikut : 1. Menentukan tujuan dan ruang lingkup Tahap pertama adalah menentukan parameter-parameter yang berhubungan dengan analisis yang akan dilakukan, terdiri dari : a. Target, menentukan tujuan yang akan dicapai. b. Batasan, mempertimbangkan alternatif dari komponen dan proses yang akan digunakan. c. Unit fungsi. d. Kualitas standar dari data yang akan digunakan untuk analisis. 2. Analisis inventori Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk analisis, meliputi bahan baku, energi, hasil samping, dan pencemaran. Menurut Clift et al. (2000) analisis inventori meliputi pengumpulan dan penghitungan data masukan dan keluaran bahan dan energi dalam batasan sistem yang ditentukan. Aliran masukan dan emisi disebut dengan beban atau intervensi lingkungan. 3. Analisis dampak Analisis dampak bertujuan mengetahui dampak yang mungkin terjadi selama siklus hidup suatu produk. Perkiraan dampak dimaksudkan sebagai penilaian secara cermat dan mendalam terhadap kualitas lingkungan, yang ditunjukkan dengan besarnya dampak dan tingkat kepentingannya. Pada analisis dampak, besar dampak merupakan selisih antara kualitas lingkungan tanpa adanya proyek dengan kondisi kualitas lingkungan akibat adanya proyek. Metode untuk memperkirakan besar dampak adalah metode formal dan non-formal. Metode analisis dampak yang biasa digunakan, yaitu:
12
a. Model matematik, metode formal untuk memprakirakan besarnya dampak terhadap komponen lingkungan akibat kegiatan proyek, menggunakan rumus matematik, sehingga besarnya dampak dapat ditentukan secara kuantitatif dan perilaku dampak dapat ditelusuri. Pendekatan ini digunakan dalam rangka prakiraan dampak terhadap parameter kualitas udara, air, debu, dan kebisingan. b. Baku mutu lingkungan, metode non-formal untuk memprakirakan dampak penting yang ditempuh, melalui perbandingan antara hasil pengukuran atau pengamatan di lapangan dengan baku mutu lingkungan yang berlaku. Pendekatan ini untuk memprakiraan dampak terhadap parameter kualitas udara, air, debu, dan kebisingan. c. Analogi, metode non-formal berdasarkan analogi atau membandingkan kondisi lingkungan yang timbul dan permasalahannya sebagai akibat dari kegiatan sejenis ditempat berbeda. Pendekatan ini digunakan dalam memprakirakan dampak untuk parameter biota air. d. Penilaian para ahli, metode non-formal yang dapat digunakan apabila terjadi kesulitan dalam mengumpulkan data di lapangan. Prakiraan dampak yang dihasilkan dari metode ini sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman penilainya. Tahapan dalam melakukan analisis dampak yaitu, metode matriks, metode bagan alir dampak penting, dan evaluasi dampak penting. Metode matriks untuk mengetahui tahapan kegiatan yang dapat menimbulkan dampak terhadap komponen lingkungan. Metode bagan alir dampak penting untuk mengetahui dampak yang terjadi. Evaluasi dampak penting untuk menentukan dampak penting yang muncul dan penyebabnya, serta untuk mengetahui pertimbangan dampak positif dan dampak negatif. Interpretasi hasil, mengembangkan suatu analisis agar lebih akurat untuk menilai kelayakan lingkungan dari kegiatan proyek. Menurut Baumann dan Tillman (2002), dalam menganalisis suatu dampak ada tiga elemen yaitu klasifikasi dan karakterisasi, normalisasi dan evaluasi atau pembobotan. Klasifikasi, dikelompokan berdasarkan dampak lingkungan yang dapat terjadi. Karakterisasi, mendata dampak yang dapat terjadi secara keseluruhan. Normalisasi, penghitungan terhadap dampak yang terjadi, sehingga dapat diketahui apakah nilai dampak tersebut masih dapat diterima oleh lingkungan atau tidak. Salah satu hal penting dalam Life Cycle Assessment (LCA) adalah penggunaan energi. Penggunaan energi digambarkan dalam Net Energy Ratio (NER) dan Net Energy Gain (NEG) (Papong et al., 2008).
(1) (2)
Eout adalah energi dari produk bioetanol yang dihasilkan, sedangkan Ein adalah total energi utama yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter etanol. NEG merupakan indikator untuk mengidentifikasi apakah produk bioetanol yang dihasilkan menambah atau mengurangi ketersediaan energi.
13
1. Energi Manusia Nilai Total Energy Expenditure (TEE) atau total energi yang dihasilkan oleh manusia dirumuskan sebagai hasil perkalian antara nilai Physical Activity Level (PAL) dengan Basal Metabolic Rate (BMR). Nilai BMR pada manusia dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, usia, serta berat badan. Nilai-nilai BMR dan PAL dapat dilihat pada Tabel 3 sampai 7 (FAO, 2001).
Tabel 3. Nilai BMR untuk laki-laki berusia18 – 30 Tahun BMR/Kg Berat Rata-rata (kg) KiloJoule (kJ) Kilokalori (kkal) 50
121
29
55
116
28
60
111
27
65
108
26
70
104
25
75
102
24
80
99
24
85
97
23
90
95
23
Sumber: FAO (2001)
Tabel 4. Nilai BMR untuk laki-laki berusia 30 – 60 Tahun BMR/Kg Berat Rata-rata (kg) KJ Kkal 50
121
29
55
114
27
60
109
26
65
104
25
70
100
24
75
97
23
80
94
22
85
91
22
90
89
21
Sumber: FAO (2001)
14
Tabel 5. Nilai BMR untuk perempuan berusia18 – 30 Tahun BMR/Kg Berat Rata-rata (kg) KJ Kkal 45
107
26
50
103
25
55
99
24
60
96
23
65
93
22
70
91
22
75
89
21
80
87
21
85
86
21
Sumber: FAO (2001)
Tabel 6. Nilai BMR untuk perempuan berusia 30 – 60 Tahun BMR/Kg Berat Rata-rata (kg) KJ Kkal 45
113
27
50
105
25
55
98
24
65
88
21
70
85
20
75
81
19
80
78
19
85
76
18
Sumber: FAO (2001)
Tabel 7. Faktor perhitungan energi manusia Alokasi Energi yang Mean PAL Kegiatan Utama yang Waktu x Energi Waktu Dikeluarkan perkalian dari 24 Dilakukan yang Dikeluarkan (Jam) (PAR) jam BMR Kegiatan tidak terlalu banyak bergerak Tidur
8
1
8,0
Masak
1
2,1
2,1
8
1,5
12,0
Duduk (bekerja di kantor, berjualan, menjaga toko) Sumber: FAO (2001)
15
Tabel 7. Faktor perhitungan energi manusia (Lanjutan) Alokasi Energi yang Mean PAL Kegiatan Utama yang Waktu x Energi Waktu Dikeluarkan perkalian dari 24 Dilakukan yang Dikeluarkan (Jam) (PAR) jam BMR Kegiatan tidak terlalu banyak bergerak Pekerjaan rumah
1
2,8
2,8
1
2,0
2,0
Berjalan
1
3,2
3,2
Kegiatan ringan
2
1,4
2,8
Total
24
tangga Menyetir kendaraan ke/dari kantor
36,7
36,7/24 = 1,53
Kegiatan cukup aktif Tidur
8
1
8,0
Makan
1
1,5
1,5
1
2,3
2,3
1
1,2
1,2
8
2,2
17,6
Berjalan
1
3,2
3,2
Olah raga ringan
1
4,2
4,2
Kegiatan ringan
3
1,4
4,2
Total
24
Perawatan diri (mandi) Pindah bus dari/ke kantor Berdiri, membawa barang
53,9
53,9/24 = 2,25
Kegiatan aktif Tidur
8
1
8,0
1
2,3
2,3
Makan
1
1,4
1,4
Masak
1
2,1
2,1
6
4,1
24,6
1
4,4
4,4
Perawatan diri (mandi)
Kegiatan pertanian tanpa mesin (menyiangi, panen) Mengumpulkan air/kayu Sumber: FAO (2001)
16
Tabel 7. Faktor perhitungan energi manusia (Lanjutan) Alokasi Energi yang Mean PAL Kegiatan Utama yang Waktu x Energi Waktu Dikeluarkan perkalian dari 24 Dilakukan yang Dikeluarkan (Jam) (PAR) jam BMR Kegiatan aktif Pekerjaan rumah tanpa mesin
1
2,3
2,3
Berjalan
1
3,2
3,2
Kegiatan ringan
4
1,4
5,6
Total
24
(menyapu, mencuci)
53,9
53,9/24 = 2,25
Sumber: FAO (2001)
2. Emisi Emisi gas buang adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar yang dikeluarkan melalui sistem pembuangan mesin. Komposisi dari gas buang adalah sisa hasil pembakaran berupa air (H2O), gas CO atau karbon monoksida beracun, CO2 atau karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca, NOx senyawa nitrogen oksida, HC berupa senyawa Hidrat arang sebagai akibat ketidak sempurnaan proses pembakaran serta partikel lepas (Myhre, 2009). Nilai faktor konversi untuk beberapa bahan bakar diberikan pada Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Faktor emisi gas buang pada beberapa sumber energi Jenis Bahan Bakar Jenis Gas Buang Solar (kg/l)a Premium (kg/l)a Listrik (kg/kWh)b Kayu (kg/kg)b HC
0,0226
0,0110
0,0046
0,0209
NOx
0,0096
0,0078
0,0024
0,0025
CO
0,0378
0,2865
0,0099
0,0350
CO2
2,7405
2,3940
0,7190
2,5375
Sumber: a. Tarigan (2009) b. ULET (2010)
3. Limbah Bioetanol Pabrik bioetanol menghasilkan limbah berupa padat, cair, dan gas. Limbah cair industri bioetanol disebut vinasse atau stilage. Dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan apabila dilakukan pembuangan vinasse langsung ke sungai diantaranya adalah terjadi perubahan warna dan bau pada perairan umum, tingkat keasaman air akan menurun yang mengakibatkan biota perairan mati, dan kandungan oksigen dalam air menurun, sehingga menyebabkan biota perairan mati. Sebenarnya limbah cair pada pabrik etanol tidak
17
mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), namun permasalahan utama terletak pada kandungan BOD dan COD yang tinggi (Prihandana et al., 2007). Menurut Prihandana et al. (2007), saat ini rekomendasi yang dapat dilakukan dalam menangani limbah padat yang dihasilkan adalah dengan memanfaatkan limbah sebagai penimbun atau pengisi tanah dan dibakar secara terkendali atau diolah sebagai pakan ternak, kompos, maupun biogas. Sedangkan untuk limbah cair dapat digunakan sebagai minuman pakan ternak maupun bahan pencampur dalam pakan ternak. Di bawah ini diberikan salah satu contoh digram alir dalam penggunaan LCA.
Inputs
Outputs Bahan baku
Energi
Air buangan Manfaktur, proses, dan formulasi
Bahan baku
Emisi udara Limbah padat
Distribusi dan transportasi Limbah buangan Penggunaan/penggunaan
lainnya
kembali/pemeliharaan Manajemen limbah
Penggunaan
produk Gambar 6. Contoh diagram alir penggunaan life cycle assessment (SETAC, 1993)
18