TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Taksonomi tanaman jagung adalah sebagai berikut: Kelas
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae (rumput-rumputan)
Famili
: Graminaceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
Tanaman jagung dapat tumbuh pada segala jenis tanah dengan sifat fisika dan kimia tanah yang mendukung. Sifat fisika tanah berupa kondisi tanah yang gembur, berdrainase dan aerasi yang baik, serta kaya bahan organik. Sifat kimia tanah berupa kisaran pH yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jagung yaitu berkisar antara 5,5 - 7,0. Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 23–27 0C , curah hujan 600-1000 mm/tahun dan ketinggian tempat antara 0-1.300 m di atas permukaan laut (Muhadjir, 1988). Tanaman jagung termasuk tanaman berakar serabut yang terdiri atas akarakar seminal, akar adventif dan akar udara (brace) yang tumbuh dari ruas-ruas permukaan tanah. Batang jagung terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas, berbentuk silinder, dan tidak bercabang. Pada buku ruas terdapat tunas yang akan berkembang menjadi tongkol. Daun jagung memanjang dan muncul dari bukubuku batang. Setiap daun terdiri atas kelopak daun, ligula, dan helaian daun. Ligula atau lidah daun terdapat diantara kelopak dan helaian daun yang berfungsi untuk mencegah air masuk ke dalam kelopak daun dan batang. Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap karena struktur bunganya tidak memiliki petal dan sepal. Letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina namun masih dalam satu tanaman sehingga tanaman jagung termasuk tanaman berumah satu (monoecious). Bunga jantan terdapat di ujung batang dan bunga betina terdapat pada ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan. Tanaman jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan muncul 1-2 hari sebelum munculnya
5 rambut jagung (style) pada bunga betina. Oleh sebab itu, penyerbukan jagung bersifat penyerbukan silang (Muhadjir, 1988). Jagung tergolong tanaman C-4 dan mampu beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Sifat yang menguntungkan tanaman jagung sebagai tanaman C-4 antara lain; daun mempunyai laju fotosintesis yang relatif tinggi pada keadaan normal, fotorespirasi dan transpirasi rendah, serta efisien dalam penggunaan air (Muhadjir, 1988). Teknik Persiapan Lahan Persiapan lahan bertujuan untuk mengkondisikan lahan budidaya agar sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan tanaman dalam perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman. Selain menciptakan kondisi yang mendukung bagi tanaman, kegiatan persiapan lahan juga harus memperhatikan keseimbangan ekologi lingkungan terutama degradasi tanah dan ketersediaan air. Teknik persiapan lahan dalam praktiknya dikelompokkan dalam olah tanah sempurna, olah tanah minimum, tanpa olah tanah, dan olah tanah bermulsa. Olah tanah sempurna yang umumnya menggunakan alat-alat sederhana hingga alat-alat berat pada dasarnya bertujuan mengendalikan gulma dan untuk menggemburkan tanah sehingga aerasi dan kapasitas infiltrasi tanah meningkat. Namun sistem olah tanah sempurna dalam jangka panjang akan berdampak buruk yaitu terjadinya degradasi tanah yang dapat memacu erosi, dan menurunnya kesuburan tanah (Utomo, 1999). Olah tanah konservasi merupakan kegiatan persiapan lahan yang dapat mengurangi kehilangan lapisan tanah dan air dibandingkan dengan olah tanah konvensional (Moenandir, 2004). Budidaya tanaman tanpa olah tanah (TOT) merupakan bagian dari teknologi olah tanah konservasi yang mengandalkan herbisida dalam pengendalian gulma awal sebelum tanam. Menurut Utomo (2002), dalam sistem budidaya tanpa olah tanah, tanah tidak diolah secara mekanis kecuali pada lubang tanam dan alur pupuk. Sementara itu, gulma dikendalikan dengan herbisida dan sisa-sisa gulma dari aplikasi herbisida tersebut dibiarkan di atas permukaan tanah sebagai mulsa. Adanya mulsa alami akan menambah
bahan
organik
dalam
tanah,
mencegah
pengurusan
tanah,
meningkatkan ketersediaan air, dan menekan pertumbuhan kembali gulma.
6 Menurut Moenandir (2004), sistem tanpa olah tanah dapat mengurangi erosi hingga 90 % dibanding pengolahan tanah secara konvensional. Keuntungan budidaya tanaman tanpa olah tanah selain konservasi tanah dan air juga lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja, waktu, dan biaya. Namun perlu diperhatikan herbisida yang digunakan dalam sistem TOT harus pada dosis yang tepat dan ramah lingkungan, artinya herbisida yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah dan tidak merusak sumberdaya lingkungan. Herbisida Paraquat Paraquat adalah nama umum dari bahan kimia 1,1-dimethyl-4,4bipyrilidium yang termasuk herbisida bersifat nonselektif (kontak) dan digunakan untuk mengendalikan gulma semusim. Karakteristik dari paraquat adalah tidak dapat diserap oleh bagian tanaman yang tidak hijau (batang dan akar) dan tidak aktif di tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral liat sehingga molekul positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan liat dan tidak aktif lagi (Ashton dan Monaco, 1991). Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006). Herbisida Glifosat Glifosat adalah nama umum dari N-(phosphonomethyl) glycine. Glifosat merupakan herbisida sistemik yang mempunyai spektrum pengendalian yang luas dan bersifat non-selektif (Ashton dan Monaco, 1991). Herbisida ini diaplikasikan
7 pada daun dan tidak aktif ketika diaplikasikan pada tanah. Hal ini karena glifosat akan diikat dengan kuat dan cepat oleh partikel tanah dalam ikatan fosfat sehingga tidak tersedia bagi akar gulma dan tumbuhan lainnya (Duke, 1988). Glifosat
mudah
ditranslokasikan
dalam
jaringan
tanaman
dan
mempengaruhi pigmen sampai terjadi khlorotik, pertumbuhan terhenti dan tanaman mati. Herbisida ini juga menghambat lintasan biosintetik asam amino aromatik dan sangat efektif untuk mengendalikan gulma rumput tahunan, gulma berdaun lebar, dan yang mempunyai perakaran dalam. Gejala awal pada umumnya adalah daun mengalami klorosis yang diikuti oleh nekrosis (Ashton dan Monaco, 1991). Glifosat bekerja lebih baik jika diaplikasikan pada bagian gulma yang telah tumbuh aktif dan telah sempurna pertumbuhan tajuknya. Glifosat tergolong dalam herbisida organik yang mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme tanah seperti Pseudomonas aeroginasa dengan cepat sehingga tidak membahayakan lingkungan. Pengendalian Gulma Pada Budidaya Jagung Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh bukan pada tempatnya, tidak dikehendaki, dan bersifat merugikan (Sukman dan Yakup, 2002). Gulma yang dibiarkan tumbuh pada tanaman budidaya akan bersaing dalam pemanfaatan unsur hara, air, udara, cahaya, dan ruang tumbuh. Selain itu, beberapa gulma dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit. Menurut Bangun (1988), penurunan hasil akibat adanya kompetisi tanaman jagung dengan gulma berkisar antara 16- 82%. Oleh sebab itu, pengendalian gulma merupakan suatu keharusan pada budidaya jagung. Menurut Bangun (1988), spesies gulma yang sering ditemui pada pertanaman
jagung
adalah:
Digitaria
ciliaris.
Paspalum
distichum,
Eleusine indica, Cynodon dactylon, Echinochloa colona, Ageratum conyzoides, Borreria latifolia, Phylantus nituri, dan Cyperus rotundus. Pengendalian gulma pada pertanaman jagung umumnya dilakukan secara manual atau penyiangan. Selain pengendalian secara manual, pengendalian gulma pada tanaman jagung juga dapat dilakukan secara kimia, secara mekanik, dan secara biologi.
8 Waktu pengendalian gulma pada tanaman jagung merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, terutama pengendalian gulma secara manual. Hal ini disebabkan pengendalian gulma pada waktu yang tidak tepat dapat merusak perakaran tanaman jagung, sehingga mengganggu penyerapan air dan unsur hara oleh akar. Selain itu, periode kritis dapat menentukan saat yang tepat dalam pengendalian gulma. Keberadaan gulma pada periode kritis akan berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil akhir tanaman budidaya yang diakibatkan tanaman kalah bersaing dalam pemanfaatan sarana pertumbuhan, seperti unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Frekuensi pengendalian gulma juga sangat penting diperhatikan karena berkaitan dengan biaya serta pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Tanpa pengendalian gulma dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi, sedangkan frekuensi pengendalian gulma yang terlalu sering juga dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Oleh sebab itu. pengendalian gulma akan efektif dan efisien jika dilakukan pada waktu dan frekuensi yang tepat.