3
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian (serealia). Tanaman jagung tidak membutuhkan persyaratan khusus untuk tumbuh. Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/ tropis basah. Agar dapat tumbuh optimal, jagung memerlukan beberapa persyaratan. Jagung dapat tumbuh baik pada 0°-50° LU hingga 0°-40° LS, dengan ketinggian tempat sekitar 3000 meter dari permukaan laut dengan derajat keasaman tanah (pH) yaitu 5.5 sampai 7, curah hujan 85-200 mm/ bulan pada lahan yang tidak beririgasi, suhu ideal 23°-27° C, dan pada tanah latosol berdebu (Purwono dan Purnamawati, 2008). Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80 – 150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Menurut Purwono dan Hartono (2005), jagung memiliki akar serabut yang terdiri dari akar seminal, akar adventif, dan akar udara. Batang jagung tidak bercabang, berbentuk silinder, dan terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas. Pada buku ruas akan muncul tunas yang berkembang menjadi tongkol. Daun jagung keluar dari buku-buku batang. Jumlah daun terdiri dari 4-48 helaian, tergantung varietasnya. Bunga betina terdapat di ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan. Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious) karena bunga betina sebagai tongkol terpisah dengan bunga jantan sebagai malai tetapi terletak dalam satu tanaman. Bunga betina muncul pada buku sekitar pertengahan batang. Bunga jantan dapat menghasilkan sekitar 25 juta serbuk sari yang mudah diterbangkan oleh angin. Penyerbukan terjadi dengan jatuhnya serbuk sari pada rambut tongkol. Serbuk sari mulai dihasilkan oleh bunga satu sampai tiga hari lebih awal dari keluarnya rambut tongkol. Oleh karena itu, peluang penyerbukan silang sebesar 95% dan penyerbukan sendiri 5% (Poehlman dan Borthakur, 1969).
4
Jagung Semi Jagung semi (baby corn) adalah jagung yang dipetik pada saat masih muda dan belum terbentuk biji. Jagung semi sangat digemari oleh masyarakat yang umumnya menyukai mengkonsumsi sayuran muda. Selain itu, jagung semi digunakan sebagai pelengkap berbagai masakan sehingga penggunaan jagung semi oleh masyarakat semakin bertambah. Jagung semi akan terasa lebih renyah dan segar serta relatif lebih sedikit mengandung bahan kimia dibandingkan sayuran biasa karena dipanen pada saat muda dan tidak terlalu banyak menggunakan pestisida (Thai Food Composition, 1999). Nilai gizi baby corn sebanding dengan kembang kol, kubis, terong, tomat, dan mentimun. Produk sampingannya seperti tassel, kelobot muda, rambut dan batang hijau jagung semi dapat menyediakan makanan ternak yang bagus. Jagung semi mengandung vitamin B, riboflavin, vitamin B6, kalium, vitamin C dan serat (Thai Food Composition, 1999). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi jagung semi diantaranya kultivar, waktu tanam, dan jarak tanam (Kotch et al., 1995). Teknik budidaya jagung semi pada umumnya sama dengan jagung biasa dan jagung manis, kecuali jarak tanam yang digunakan umumnya lebih rapat karena dipanen lebih cepat. Jarak tanam yang lebih rapat cenderung meningkatkan produksi. Akan tetapi, bila jarak tanam terlalu rapat, produksi akan merosot karena kebutuhan unsur hara dan cahaya matahari tidak tercukupi. Jagung semi dipanen 2-4 hari setelah rambut muncul dari kelobotnya yaitu 5-7 Minggu Setelah Tanam (MST). Sebelum pemanenan, pada saat muncul tassel yaitu 4-5 MST dilakukan detasseling atau pembuangan bunga jantan (Sutjahjo et al., 2005b). Menurut Yodpetch dan Beutista dalam Sutjahjo et al., (2005), karakter jagung yang diharapkan dimiliki oleh kultivar jagung semi bermutu adalah produktivitas tinggi, umur panen pendek, dan pada umur tertentu mampu mencapai ukuran yang diinginkan, selain itu rasanya manis, tidak berserat, dan bagian tengahnya tidak bergabus. Palungkun dan Budiarti (2002) menyatakan keterlambatan panen dapat menurunkan mutu baby corn. Keterlambatan panen
5
menyebabkan tongkol semakin besar dan keras, sebaliknya panen yang dilakukan terlalu awal akan menyebabkan ujung tongkol menjadi mudah patah. Pemuliaan Jagung Semi Pemuliaan tanaman adalah ilmu dan seni dalam rangka mengubah dan memperbaiki pola genetik dari satu atau beberapa karakter penting dari populasi tanaman menjadi bentuk yang lebih bermanfaat (unggul) bagi manusia. Tujuan pemuliaan tanaman adalah membentuk tanaman yang unggul yang memiliki produksi dan produktivitas yang tinggi, tahan penyakit, stabil terhadap tekanan lingkungan serta memenuhi kebutuhan petani (Chaudhari, 1971). Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) program pemuliaan jagung mencakup tiga tahap, yaitu: pemilihan plasma nutfah, perbaikan berulang plasma nutfah yang terpilih, dan pembuatan galur untuk tetua hibrida dari plasma nutfah yang telah diperbaiki secara berkala tersebut. Pemilihan plasma nutfah sangat penting untuk menemukan populasi atau kultivar yang baik. Sutjahjo et al. (2005a) menambahkan pada penemuan plasma nutfah tersebut ada perbedaan di antara bahan-bahan pemuliaan disebabkan oleh perbedaan genetik yang telah ada dan seleksi yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga menghasilkan kumpulan gen-gen yang baik dengan frekuensi yang lebih tinggi. US Patent (2009) mencatat W701BC menghasilkan beberapa varietas inbrida yang sangat ideal untuk produksi jagung semi. Varietas tersebut mampu menghasilkan 7.2 tongkol/tanaman. Menurut Gurgaon (2005) Thailand telah memulai pengembangan jagung semi sejak 1976 dengan pendekatan awal mengembangkan varietas open-pollinated dan pada tahun 1981 merilis Rangsit-1, kemudian Suwan2 dan Chieng-mai90. Selanjutnya merakit varietas hibrida jagung semi diantaranya G 5414, SG 18, Pacific-116, Pacific-283, Uniseeds B-65, Kasetsart2. Produksi jagung semi di Indonesia saat ini masih terbatas dan biasanya hanya ditanam sebagai hasil sampingan jagung produksi. Selain itu, Indonesia belum memiliki varietas khusus jagung semi sehingga budidaya jagung semi menggunakan varietas lokal maupun hibrida jagung yang ditujukan untuk jagung pipilan dengan jumlah tongkol per tanaman hanya satu atau dua buah. Menurut
6
Fadhil (2004), varietas jagung yang banyak digunakan untuk jagung semi adalah hibrida CPI-1, AGX, Pioneer, dan Arjuna. Kegiatan pemuliaan tanaman dalam perbaikan kultivar jagung untuk jagung semi bertujuan membentuk kultivar jagung bertongkol banyak (Sutjahjo et al., 2005b). Selain itu, membentuk varietas yang memiliki kualitas yang seragam dan baik. Jagung lokal memiliki karakteristik/sifat tertentu yang diperlukan seperti: masa kedewasaan lebih awal (70-80 hari), tingkat adaptasi, ketahanan terhadap penyakit downy mildew (Peronosclerospora maydis) (Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, 2001). Penelitian varietas lokal untuk produksi jagung semi diharapkan mampu memberikan potensi hasil yang relatif sama dengan jagung-jagung hibrida sehingga dapat menjadi solusi bagi petani dalam budidaya jagung semi, lebih jauh untuk peningkatan keuntungan ekonomi petani. Salah satu tahapan dalam pembentukan varietas adalah uji daya hasil. Pengujian daya hasil dilakukan untuk melihat kemampuan tanaman terhadap lingkungan dibanding varietas unggul yang sudah ada (Poespodarsono, 1988). Pengujian daya hasil jagung semi varietas unggul yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan secara luas oleh petani sehingga dapat mengurangi penggunaan benih hibrida. Pemotongan Bunga Jantan Bunga jantan pada jagung disebut tassel. Malai bunga jantan biasanya muncul pada umur 40 – 50 hari setelah tanam, lalu diikuti bunga betina 1 – 3 hari kemudian (Purwono dan Purnamawati, 2008). Bunga jantan menggunakan energi hasil fotosintat untuk mekar dan memproduksi serbuk sari (pollen). Tanaman jagung menggunakan tassel untuk penyerbukan bunga betina yang lebih dikenal dengan silk atau rambut jagung. Bunga jantan muncul 5-6 hari sebelum silk keluar. Jumlah pollen yang banyak dan kondisi lingkungan yang mendukung seperti kecepatan angin dan tidak hujan dapat membantu terjadinya penyerbukan sempurna sehingga tongkol jagung berbiji penuh. Menurut Smith et al. (2004), pemotongan bunga jantan digunakan pada produksi jagung semi untuk mencegah penyerbukan ke tongkol, menstimulasi
7
panen lebih awal, meningkatkan prolifikasi (jumlah tongkol per tanaman), dan meningkatkan hasil dari jumlah tongkol. Pembuangan bunga jantan merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya dominansi apikal yang memacu pertumbuhan vertikal sehingga fotosintat dapat dipergunakan untuk pertumbuhan ke samping diantaranya untuk pembentukan tongkol. Menurut Palungkun dan Budiarti (2002), pembuangan bunga jantan sebelum mekar menyebabkan penyerbukan tidak terjadi sehingga energi yang akan dipakai untuk mekarnya bunga jantan dan penyerbukan dialihkan untuk memperbanyak pembentukan tongkol baru dan memperbesar tongkol yang dihasilkan. Hasil penelitian Bakrie et al. (1995) menunjukkan bahwa pembuangan bunga jantan meningkatkan produksi per hektar dan kadar sukrosa. Pemotongan bunga jantan (detasseling) dilakukan setelah bunga jantan keluar tetapi belum sempat mekar. Korelasi dan Analisis Lintasan Budiarti et al. (2004) menyatakan pola hubungan antara hasil dapat diketahui melalui perhitungan dengan menggunakan analisis korelasi. Korelasi menggambarkan keeratan hubungan antara karakter. Korelasi berada diantara nilai -1 dan +1. Analisis korelasi memiliki kelemahan yaitu dapat terjadi kesalahan dalam penafsiran data. Asumsi dalam analisis korelasi bahwa selain kedua sifat yang dipasangkan, yang lain dianggap konstan. Asumsi ini jelas kurang berlaku bagi makhluk hidup, karena pada makhluk hidup terjadi berbagai proses yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain (Ganefianti et al., 2006). Oleh sebab itu, karakter yang berkorelasi nyata dilanjutkan dengan analisis lintasan. Analisis lintasan merupakan metode yang menjelaskan pola hubungan antara hasil dan komponen hasil melalui pengaruh langsung dan tidak langsung. Menurut Budiarti et al. (2004), analisis koefisien lintasan (path-coefficient analysis) mampu menentukan kontribusi relatif, dari komponen hasil terhadap hasil, baik langsung maupun tidak langsung sehingga hubungan kausal diantara karakter yang dikorelasikan dapat diketahui. Asadi et al. (2004) menyatakan melalui analisis lintasan dapat diketahui pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel-variabel bebas dengan variabel tidak bebas (hasil) sehingga akan lebih memudahkan pemulia dalam
8
melakukan seleksi, terutama karakter-karakter yang berpengaruh langsung terhadap hasil serta sebagai landasan pemulia dalam perbaikan tanaman. Menurut Wahyuni et al. (2004), jika pengaruh totalnya besar namun pengaruh langsungnya negatif atau kecil sekali (diabaikan) maka karakter-karakter yang berperan secara tidak
langsung
harus
dipertimbangkan
secara
simultan
dalam
seleksi.