21
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kedelai
Sistem perakaran pada kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar. Bintil akar pertama terlihat 10 hari setelah tanam. Panjang akar tunggang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti kekerasan tanah, populasi tanaman, varietas, dan sebagainya. Akar tunggang dapat mencapai kedalaman 200 cm, namun pada pertanaman tunggal dapat mencapai 250 cm. Kedelai yang tergolong tanaman leguminosa dicirikan oleh kemampuannya untuk membentuk bintil akar, yang salah satunya adalah oleh Rhizobium japonicum, yang mampu menambat nitrogen dan bermanfaat bagi tanaman. Batang tanaman kedelai berasal dari poros embrio yang terdapat pada biji masak. Pola percabangan akar dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan, seperti panjang hari, jarak tanam, dan kesuburan tanah. Daun kedelai terbagi menjadi empat tipe, yaitu (1) kotiledon atau daun biji, (2) dua helai daun primer sederhana, (3) daun bertiga, dan (4) profila. Daun primer berbentuk oval dengan tangkai daun sepanjang 1-2 cm, terletak berseberangan pada buku pertama diatas kotiledon. Bentuk daun kedelai adalah lancip, bulat dan lonjong serta terdapat perpaduan bentuk daun misalnya antara lonjong dan lancip. Sebagian besar bentuk daun kedelai di Indonesia adalah berbentuk lonjong (Adie dan Krisnawati 2007). Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang bersifat kleistogami. Periode perkembangan vegetatif bervariasi tergantung pada varietas dan keadaan lingkungan, termasuk panjang hari dan suhu. Ada dua tipe pertumbuhan batang dan permulaan pembungaan pada kedelai. Tipe pertama adalah indeterminit, yaitu tunas terminal melanjutkan fase vegetatif selama pertumbuhan. Tipe kedua adalah determinit dimana pertumbuhan vegetatif tunas terminal terhenti ketika terjadi pembungaan. Proses kemasakan kedelai dikendalikan oleh fotoperiodisitas (panjang hari) dan suhu. Kedelai diklasifikasikan sebagai tanaman hari pendek dikarenakan hari yang pendek akan menginisiasi pembungaan. Suhu hangat dapat mempercepat pembungaan dan pemasakan kedelai dan sebaliknya, suhu yang lebih dingin akan menghambat dua proses tersebut (Adie dan Krisnawati 2007).
22
Jumlah polong bervariasi mulai 2-20 dalam satu pembungaan dan lebih dari 400 dalam satu tanaman. Satu polong berisi 1-5 biji, namun pada umumnya berisi 2-3 biji per polong. Polong masak berwarna kuning muda sampai kuning kelabu, coklat atau hitam. Warna polong tergantung pada keberadaan pigmen karoten dan xantofil, warna trikoma, dan ada tidaknya pigmen antosianin. Biji merupakan komponen morfologi kedelai yang bernilai ekonomis. Bentuk biji kedelai beragam dari lonjong hingga bulat, dan sebagian besar kedelai yang ada di Indonesia berkriteria lonjong. Pengelompokan ukuran biji kedelai berbeda antar negara, di Indonesia kedelai dikelompokkan berukuran besar (berat > 14 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji), dan kecil (< 10 g/100 biji). Biji sebagian besar tersusun oleh kotiledon dan dilapisi oleh kulit biji (testa). Antara kulit biji dan kotiledon terdapat lapisan endosperm. Embrio terdiri dari dua kotiledon, sebuah plumula dengan dua daun yang telah berkembang sempurna, dan sebuah radikel hipokotil. Ujung radikula dikelilingi jaringan yang dibentuk oleh kulit biji. Warna kulit biji kedelai bervariasi dari kuning, hijau, coklat, hitam hingga kombinasi berbagai warna atau campuran. Kotiledon pada embrio yang sudah tua umumnya berwarna hijau, kuning, atau kuning tua, namun umumnya berwarna kuning (Adie dan Krisnawati 2007). Syarat Tumbuh Iklim Pertumbuhan optimum kedelai tercapai pada suhu 20–25ºC. Suhu 12–20ºC adalah suhu yang sesuai bagi sebagian besar proses pertumbuhan tanaman, tetapi dapat menunda proses perkecambahan benih dan pemunculan kecambah, serta pembungaan dan pertumbuhan biji. Suhu yang lebih tinggi dari 30ºC menyebabkan fotorespirasi cenderung mengurangi hasil fotosintesis (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Air merupakan faktor yang penting bagi tanaman, karena berfungsi sebagai pelarut hara, berperan dalam translokasi hara dan fotosintesis. Periode kering menyebabkan tanaman sering mendapatkan cekaman kekeringan, karena kurang suplai air di daerah perakaran dan atau laju transpirasi melebihi laju absorbsi air oleh tanaman. Apabila cekaman kekeringan berkepanjangan maka tanaman akan mati. Cekaman kekeringan mempengaruhi pembukaan stomata yaitu semakin
23
tinggi tegangan air akan mengurangi pembukaan stomata. Cekaman kekeringan yang terjadi pada saat pertumbuhan generatif, misalnya saat pengisian polong, akan menurunkan produksi. Kekeringan dapat juga menurunkan bobot biji, sebab bobot biji sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang diberikan dalam musim tanam. Balittan Malang pada tahun 1990 melaporkan bahwa pemberian air yang intensif akan berpengaruh terhadap hasil biji kedelai. Pemberian air setiap 10 hari selama musim tanam dapat meningkatkan hasil menjadi 2 ton/ha dibandingkan dengan pemberian 3 kali selama musim tanam (1.71 ton/ha) dan tanpa irigasi teratur hanya 1.47 ton/ha (Agung dan Rahayu 2004). Kedelai dapat tumbuh baik di tempat pada daerah berhawa panas, di tempat terbuka dengan curah hujan 100–400 mm3 per bulan. Oleh karena itu, kedelai kebanyakan ditanam di daerah yang terletak kurang dari 400 m di atas permukaan laut. Jadi tanaman kedelai akan tumbuh baik, jika ditanam di daerah beriklim kering (Andrianto dan Indarto 2004). Kedelai merupakan tanaman berhari pendek, yakni apabila penyinaran terlalu lama melebihi 12 jam, tanaman tidak akan berbunga. Hampir semua varietas tanaman kedelai berbunga dari umur 30–60 hari (Yustika 1985). Ketersediaan air diperlukan untuk menyesuaikan diri dan digunakan untuk pertumbuhan tanaman, di antaranya untuk peningkatan luas daun. Defisit air dalam jangka waktu yang pendek hanya berpengaruh pada kapasitas pertukaran gas dan efisiensi fotosintesis, sedangkan untuk jangka panjang mengakibatkan menurunnya efisiensi pembentukan bahan kering. Kekurangan air mengakibatkan berkurangnya laju fotosintesis karena dehidrasi protoplas akan menurunkan kapasitas fotosintesis. Air yang cukup akan mendukung peningkatan luas daun sehingga berhubungan dengan tingkat produksi tanaman. Rendahnya jumlah air akan menyebabkan terbatasnya perkembangan akar, sehingga mengganggu penyerapan unsur hara, yang berakibat pada menurunkan produksi. Tanaman kedelai yang mengalami defisit air, translokasi fotosintat ke biji akan terhambat (Agung dan Rahayu 2004). Umumnya kecepatan fotosintesis tanaman bertambah tinggi dengan naiknya intensitas cahaya. Hubungan ini bersifat hampir linear dengan kisaran yang kecil. Kecepatan fotosintesa pada intensitas cahaya tertentu tidak dipengaruhi oleh
24
intensitas cahaya karena daun telah jenuh dengan cahaya. Kecepatan fotosintesis untuk beberapa tanaman bahkan dapat mengalami penurunan bila intensitas cahaya lebih tinggi dari titik jenuhnya (Guslim 2007). Tanah Kedelai umumnya dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah, dan menyukai tanah yang bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik, akan tetapi peka terhadap salinitas (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Kemasaman tanah yang baik sebagai syarat tumbuh yaitu antara 5,8–7, namun pada tanah dengan pH 4,5 pun kedelai masih dapat tumbuh baik. Tanah yang cocok yaitu alluvial, regosol, grumosol, latosol dan andosol. Tanah podzolik merah kuning dan tanah yang mengandung banyak pasir kwarsa menyebabkan pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (Andrianto dan Indarto 2004). Tanaman kedelai dapat tumbuh pada tanah yang hampir jenuh (kapasitas lapang) asal tidak terjadi penggenangan, terutama pada awal stadia vegetatif. Pada dasarnya kedelai adalah tanaman aerobik, yang lebih sesuai pada tanah yang agak lembab dengan kadar kelembaban 70-80% kapasitas lapang, tanah berdrainase baik tetapi memiliki daya pengikat air yang baik, oleh karena itu, tanah dengan tekstur berliat dan berdrainase baik, atau tanah lempung berpasir yang kaya bahan organik, sangat sesuai untuk tanaman kedelai (Sumarno dan Manshuri 2007). Humus dan atau unsur hara lainnya yang terdapat pada tanah di daerah dengan curah hujan tinggi, dapat mengakibatkan mudah mengalami penghanyutan atau pun tercuci ke lapisan bawah sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kartasapoetra 1988) Tanah dengan kandungan nitrogen yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih mengarah kepada laju pertumbuhan vegetatif, yang terlihat dari permukaan daun menjadi lebih lebar, laju fotosintesis lebih tinggi, indeks luas daun semakin tinggi dan LAN yang semakin besar (Arinong et al. 2005).
25
Budidaya Kedelai Organik
Budidaya organik dapat diartikan suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Budidaya kedelai mengharuskan penggunaan pupuk dan pestisida organik. Beberapa jenis pupuk organik telah digunakan dalam produksi kedelai panen muda secara organik yaitu pupuk kandang (Eliyani 1999; Andriyani 2005; Sinaga 2005; Asiah 2006); pupuk hijau (Sinaga 2005; Asiah 2006), fosfat alam (Barus 2005), abu sekam (Melati, et al 2008). Kacangan menjadi sumber bahan organik, meningkatnya bahan organik tanah akan memperbaiki sifat fisik dan sifat kimia tanah setelah fitomassa kacangan mengalami pelapukan. Selanjutnya Sutidjo (1986) menyebutkan bahwa meningkatnya bahan organik tanah mengakibatkan agregat tanah menjadi lebih mantap, pengikatan unsur P pada tanah masam berkurang, penyediaan unsur hara secara lengkap dan berimbang, serta meningkatnya kegiatan biologi di dalam tanah. Bahan organik akan meningkatkan Kapasitas Tukar Kation Tanah dan bila bahan organik telah mengalami mineralisasi akan menyediakan nitrogen, fosfor dan belerang bagi tanaman (Tisdale dan Nelson 1975). Budidaya/ penelitian yang sudah dilakukan adalah untuk kedelai panen muda. Pupuk Kandang Ayam Hasil penelitian Asiah (2006) pada kedelai panen muda secara organik menunjukkan, bahwa pupuk kandang ayam petelur mengandung 21.48% C, 0.58% N, 37.03% rasio C/N, 1.76% P,0.63% K, 12.15% Ca, 2.17% Mg, 830.30 ppm Fe, 125.20 ppm Cu, 90.70 ppm Zn, 278.60 ppm Mn, yang memberikan nilai yang lebih tinggi pada rasio bobot kering tajuk/akar, jumlah dan bobot kering bintil akar Andriyani (2005) menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang ayam akan menunjukkan hasil yang lebih baik pada semua perameter pengamatan pertumbuhan vegetatif, generatif dan hasil panen kedelai panen muda secara organik. Kadar N, P dan K tanaman tidak dipengaruhi oleh pupuk kotoran ayam dan pengapuran, namun total serapan N, P dan K tanaman meningkat dengan
26
pengapuran dan peningkatan kotoran ayam yang tercermin dari berat kering tanaman yang semakin meningkat pula dengan pengapuran dan pupuk kotoran ayam yang diberikan (Eliyani 1999). Pupuk kandang ayam dengan dosis 20 ton/ha meningkatkan tinggi tanaman, jumlah cabang, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot polong isi/tanaman, bobot polong panen/petak, dan bobot polong hampa/tanaman jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk organik (kontrol), dengan persentase peningkatan pertumbuhan dan produksi sebesar 82% dibandingkan kontrol (Sinaga 2005). Centrosema pubescens Benth. Hasil penelitian Asiah (2006) pada kedelai panen muda secara organik menunjukkan kandungan pupuk hijau Centrocema pubescens adalah: 46.52% C, 3.49% N, 13.33% rasio C/N, 0.36% P, 1.05% K, 1.50% Ca, 0.38% Mg, 413.90 ppm Fe, 11.10 ppm Cu, 20.40 ppm Zn, 155.70 ppm Mn, memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan pupuk kandang. Centrosema pubescens dilaporkan pada mulanya terdapat di Amerika Selatan dan benih-benihnya secara komersil telah banyak dihasilkan di beberapa negara antara lain Malaysia, Papua Nugini, Indonesia dan Sri Lanka (Humphreys 1980). Tanaman ini mempunyai daun menyirip, trifoliate, bertangkai, anak daun berbentuk lonjong / elips dengan ukuran panjang 3 hingga 9.5 cm dan lebar 1.5 hingga 6 cm. Bunga berwarna terang sampai ungu pucat. Polong berbentuk garis lurus atau membengkok, panjang 9 – 17 cm dan lebar 5 – 7 mm, berisi 12 – 20 butir biji. Biji berwarna coklat abu-abu, licin dan mengkilat, satu kilogram biji sekitar 36000 butir (Boerhendy dan Sianturi 1986). Penanaman Centrosema pubescens pada tanah dan iklim yang baik dapat menghasilkan 4 ton bahan organik dalam periode 10 bulan, setara dengan 41 kg N dan 20 kg P2O5. Untuk mendapatkan penutupan tanah yang baik diperlukan sekitar 30 kg biji per hektar (Arsyad 1983). Centrosema pubescens dapat tumbuh baik sampai ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (Angkapradipta 1984). Dibandingkan dengan beberapa jenis penutup tanaman kacangan lainnya, tanaman ini relatif lebih tahan terhadap naungan dan terhadap kekeringan (Darmanto 1975). Penanaman C. pubescens selama dua tahun dapat mereklamasikan lahan kritis menjadi lahan produktif (Barus dan Suwardjo 1986).
27
Hasil penelitian Sinaga (2005) pada kedelai panen muda secara organik menunjukkan bahwa Centrosema pubescens menunjukkan pengaruh yang sama dengan pupuk kandang ayam terhadap tinggi tanaman 5 dan 6 MST, jumlah ruas, bobot polong panen per petak.
Tithonia diversifolia Tithonia diversifolia merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai pupuk hijau maupun sebagai kompos (Sangakkara et al. 2004; Hartatik et al. 2006) karena mengandung hara N, P dan K, serta asam organik pengkelat Ca, Fe dan Al sehingga mampu mengurangi keracunan Al dan Fe serta meningkatkan ketersediaan P. Tanaman Tithonia diversifolia atau bunga pahit biasanya tumbuh baik di pinggir saluran air, di tebing sungai, dan di pinggir jalan, mengandung unsur hara yang tinggi, terutama N dan K sehingga berpeluang besar untuk dijadikan sebagai pupuk alternatif in situ (Jama et al. 2000). Hasil Penelitian Malama (2001) menunjukkan bahwa hasil pangkasan dari Tithonia diversifolia mengandung 2,5% N; 0,14% P; 4,20% K; 0,98% Ca; 0,32% Mg, 300 ppm Fe dan 11 ppm Zn. Berdasarkan penelitian Jama et al. (2000) dilaporkan bahwa tanaman jagung yang dipupuk dengan Tithonia diversifolia sebagai sumber N menghasilkan biji jagung yang lebih tinggi daripada urea. ICRAF (1998) melaporkan pula bahwa tanaman jagung yang dipupuk dengan Tithonia diversifolia sebagai pupuk N, tidak memerlukan pupuk K. Penggunaan Tithonia diversifolia sebagai pupuk tidak selalu memberikan hasil Allelopathy
merupakan
yang positif terhadap pertumbuhan tanaman. kemampuan
tanaman
untuk
menghambat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman lain melalui pelepasan senyawa kimia yang bersifat toxic. Senyawa kimia yan berperan dalam mekanisme itu disebut alelokimia. Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Pengaruh alelokimia bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis tanaman tertentu tetapi tidak terhadap tanaman lain (Weston 1996)
28
Residu Pupuk Organik Salah satu kelemahan sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh pupuk organik adalah penyediaan hara terjadi secara lambat, sehingga mempunyai dampak residu bagi pertanaman berikutnya. Hasil penelitian yang dilakukan Melati et al. (2008) menunjukkan bahwa pada kedelai panen muda, residu pupuk organik dapat menurunkan bobot kering akar pada 7 MST yang mungkin disebabkan karena adanya residu pupuk organik dalam tanah meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah sehingga tidak diperlukan perakaran yang intensif untuk dapat menyerap hara dari tanah. Bobot kering akar pada 12 MST lebih meningkat dengan menggunakan pupuk organik jika dibandingkan yang tanpa pupuk disebabkan sesuai dengan umur tanaman dan ketersediaan hara yang mempunyai residu pupuk organik menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dapat memperbaiki sifat tanah sampai musim tanam kedua sebagai akibat dari residu pupuk organik tersebut, misalnya meningkatnya C-organik tanah (Sutrisna 1996), meningkatkan indeks stabilitas agregat, pori tanah, pori drainase cepat, permeabilitas dan menurunkan bobot isi tanah (Pitojo 2003). Akibat perbaikan sifat tanah, residu pupuk organik dapat meningkatkan produksi padi sawah (Kariada dan Aribawa 2006). Kedelai pada Sistem Budidaya Jenuh Air
Menurut Lawn (1985), budidaya jenuh air pada tanaman kedelai hampir sama dengan budidaya tanaman padi sawah. Perbedaannya terletak pada ketinggian permukaan air. Budidaya jenuh air mengatur tinggi muka air berada beberapa centimeter di bawah permukaan tanah, sedangkan pada padi sawah beberapa centimeter di atas permukaan tanah. Irigasi pada budidaya jenuh air dilakukan dengan cara alur (furrow irrigation). Menurut Hunter et al. (1989), budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat tinggi muka air tetap ( ± 5 cm di bawah permukaan tanah) sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air.
29
Air diberikan sejak berumur 14 hari setelah tanam sampai polong berwarna coklat. Budidaya jenuh air meningkatkan bobot kering akar dan bintil akar serta aktivitas bakteri penambat N bila dibandingkan cara irigasi biasa (Troedson et al. 1985) sehingga kedelai yang dibudidayakan secara jenuh air mempunyai kandungan N yang meningkat bahkan menjadi sama dengan yang diperoleh pada budidaya biasa pada umur 28-42 hari setelah pelaksanaan budidaya jenuh air (Nathanson et al. 1984). Fase aklimatisasi tanaman kedelai terhadap kondisi lahan jenuh air berlangsung selama 2 minggu (Troedson et al. 1985) atau 2-4 minggu setelah pengairan dimulai (Lawn 1985). Pada fase tersebut akar dan bintil akar di bawah permukaan air mati. Matinya akar dan bintil akar menyebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen sehingga tanaman menunjukkan gejala klorosis (Troedson et al. 1985). Lebih lanjut klorosis menyebabkan proses fotosintesis berjalan tidak normal, dan terjadi translokasi hasil fotosintat ke bagian bawah tanaman untuk pertumbuhan akar dan bintil akar yang baru, menyebabkan bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan dengan cara konvensional. Walaupun terjadi gangguan pertumbuhan pada tahap aklimatisasi, setelah tahap tersebut tanaman kedelai menunjukkan pertumbuhan akar dan bintil akar baru yang cepat dan banyak pada lapisan tanah di atas permukaan air. Selanjutnya tanaman menjadi hijau dan tumbuh cepat dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya jenuh air dibandingkan pada budidaya biasa atau konvensional (Ralph 1985) Mengatasi berkurangnya jumlah bintil akar tanaman kedelai pada budidaya basah dapat dilakukan dengan penyemprotan N lewat daun pada 3 dan 7 minggu setelah tanam (Wiroatmodjo dan Sulistyono 1991). Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil akar yang muncul di atas muka air, dan daun hijau kembali. Laju pertumbuhan pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya biasa (CSIRO 1983). Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik. Di beberapa tempat budidaya jenuh air dapat memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan
30
produksi dibandingkan cara irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai (Hunter et al. 1989; Nathanson et al. 1984; Sumarno 1986). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang, pertumbuhannya lebih baik dan produksinya lebih tinggi dibanding kedelai berumur pendek (Hunter et al. 1989; Ghulamahdi et al. 1991). Hasil penelitian Ghulamahdi (1999) pada Budidaya Jenuh Air (BJA) dan budidaya tadah hujan dengan berbagai genotipe kedelai, baik berumur dalam maupun genjah yang diberi kapur 2 ton ha-1, menunjukkan bahwa BJA meningkatkan lingkar leher akar, bobot kering bintil, aktivitas nitrogenase, serapan hara daun, kadar nitrogen, kalium, besi, mangan, bobot kering tanaman, dan bobot kering biji petak-1 , tetapi nyata menurunkan kandungan kalsium dan megnesium daun dibandingkan dengan BTH. Produksi kedelai tertinggi dicapai pada genotipe berumur lebih dalam dibandingkan yang berumur genjah, juga pada BJA. Menurut Ghulamahdi (1990), waktu pembungaan pada budidaya jenuh air lebih lambat dari budidaya biasa, yaitu waktu pembungaan varietas Americana hanya tertunda 4 hari dengan waktu panen relatif tetap, sedangkan waktu pembungaan varietas Lokon tertunda 8 hari dengan waktu panen tertunda 9 hari pada budidaya jenuh air jika dibandingkan budidaya biasa. Percobaan rumah kaca menunjukkan produksi biji 65 % dan 71 % lebih besar pada budidaya jenuh air 3 cm dan 15 cm di bawah permukaan tanah daripada budidaya biasa. Produksi biji yang tinggi disebabkan oleh jumlah polong tiap tanaman dan ukuran biji yang lebih besar (Nathanson et al. 1984).