11
Anggrek Phalaenopsis dengan sifat unggul tahan penyakit busuk lunak berpeluang meningkatkan bisnis peranggrekan di dalam negeri. Dengan diperolehnya klon unggul Phalaenopsis yang tahan penyakit busuk lunak pada penelitian ini diharapkan dapat mendorong penelitian lain yang berbasis keragaman somaklonal untuk mendapatkan klon-klon baru tahan penyakit yang lain, sehingga bermanfaat dalam pengembangan industri pemuliaan di dalam negeri dalam penyediaan bibit berkualitas. Dampak positif lain yang diharapkan dari keberhasilan penelitian ini ialah dapat meningkatkan minat petani anggrek dan luas areal bisnis anggrek Phalaenopsis, sehingga akan meningkatkan peluang lapangan kerja.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Phalaenopsis Indonesia sebagai salah satu negara tropis di kawasan Asia memiliki kekayaan flora yang tersebar di seluruh wilayah kepulauannya. Di antara ragam kekayaan flora tersebut, tanaman anggrek merupakan komoditas yang paling penting
12
dan bernilai ekonomi tinggi. Sebagian besar spesies anggrek belum termanfaatkan dan masih berada di hutan belantara dataran rendah maupun dataran tinggi sebagai habitat alamnya. Dari berbagai jenis anggrek yang tumbuh di alam Indonesia, Phalaenopsis merupakan salah satu yang paling populer di dunia. Sebagian besar spesies Phalaenopsis yang dikenal di dunia diketahui berasal dari Indonesia, sedang sebagian kecil berasal dari Semenanjung Malaya, Filipina, Thailand, dan Birma (Djaafarer 2002). Beberapa spesies yang sangat populer dan terus diburu yaitu Phalaenopsis gigantea (anggrek bulan raksasa) yang berasal dari Kalimantan, dan sangat potensial sebagai induk silangan. Phalaenopsis amboinensis yang juga terkenal sebagai cikal bakal lahirnya Phalaenopsis berbunga kuning. Salah satu yang berbunga kupu-kupu putih, Phalaenopsis amabilis dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Buru, Timor, Papua dan Jawa, mendapat julukan "Puspa Pesona". Phalaenopsis lain yang merupakan bahan induk silangan berpotensi yaitu Phalaenopsis cornucervi dikenal sebagai anggrek bulan loreng merupakan sumber genotip anggrek hibrida bercorak loreng (Djaafarer 2002). Semua tanaman Phalaenopsis memiliki batang yang pendek dan merupakan tanaman monopodial. Berbeda dengan anggrek monopodial berbatang panjang (seperti Arachnis, Renathera), batang anggrek Phalaenopsis dapat dikatakan hampir tidak ada. Jarak antara daun sangat pendek, dan apabila terjadi pemanjangan internode biasanya merupakan pengecualian pertumbuhan. Ciri batang yang pendek menandakan bahwa tanaman ini membutuhkan intensitas cahaya matahari cukup rendah. Siklus hidup Phalaenopsis secara alami terjadi selama 2-3 tahun dari fase vegetative hingga fase reproduktif (Christenson 2001). Phalaenopsis memiliki tiga jenis akar: akar udara, akar epifit dan akar substrat. Akar udara silindrik dan tidak bercabang, besar, memanjang pada ujungnya berpigmen ungu atau hijau seperti pigmentasi pada daun. Pigmentasi ini kemungkinan merupakan pola pewarisan alel tunggal. Akar epifit, atau akar yang berpangkal pada batang dan tidak menempel pada substrat atau tidak tertutupi oleh substrat, bentuknya tipikal pipih dan menyerupai pita. Akar substrat berbentuk silindrik berdiameter lebih besar dari pada akar udara dan biasanya ujung akarnya tidak berpigmen. Pada setiap tanaman memiliki satu atau dua jenis akar tersebut tergantung lingkungannya. Hormon yang terdapat di ujung akar mampu menginisiasi
13
mitosis sehingga jaringan ini cocok digunakan untuk pembentukan plb (protocorm like bodies) dan berpeluang untuk menginduksi mutasi (Christenson 2001). Ketebalan daun bervariasi dari spesies yang satu dengan spesies yang lain. Namun, tekstur dan morfologinya semua hampir sama dalam satu genus Phalaenopsis. Semua jenis daun ini sukulen dan mengkilap. Secara normal daun bersifat evergreen, beberapa kadang-kadang menunjukkan variasi pigmentasi. Pada Phalaenopsis daun kadang-kadang tampak keperakan kaya dengan spot-spot ungu. Pola pewarnaan daun tampaknya berhubungan erat dengan tanda-tanda khusus untuk pengenalan spesies. Pada spesies dengan daun yang tidak memiliki ciri, ada atau tidaknya warna ungu di bagian bawah permukaan daun adalah bervariasi dan dikontrol oleh satu sistem alel (Christenson 2001). Tangkai bunga Phalaenopsis umumnya pendek, jumlah bunga sedikit. Tetapi ada spesies yang tangkai bunganya bercabang sehingga hasil silangansilangannya hingga kini menghasilkan hibrid multiflora. Pangkal tangkai bunga Phalaenopsis biasanya beruas 3-5 ruas dan masing-masing ruas terdapat mata tunas yang diselubungi pelepah berukuran kecil. Setelah ruas-ruas tersebut, terdapat kuntum-kuntum bunga. Kadang-kadang pada ruas tangkai bunga muncul keiki atau tunas anakan (Djaafarer 2002). Selama ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa anggrek Phalaenopsis spesies hanya dapat tumbuh di daerah dataran tinggi. Padahal sebenarnya anggrek dapat tumbuh di sembarang ketinggian, dataran rendah, menengah sampai tinggi, selama kondisi ekologinya optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, Phalaenopsis merupakan jenis anggrek epifit atau litofit. Di alam anggrek ini epifit pada batang kayu atau dinding bebatuan dengan akar menempel kuat. Di alam, Phalaenopsis hidup di tiga macam habitat antara lain daerah kering, daerah dingin dan dan daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi secara terus-menerus. Di daerah yang mempunyai kondisi ekstrim akan memacu sistem adaptasi tanaman terhadap lingkungan tersebut. Salah satu sistim adaptasi ialah adaptasi terhadap kondisi xerofitik dengan cara meningkatkan kesukulenannya. Hal ini sering dijumpai pada Phalaenopsis cornucervi dan kerabatnya yang memiliki daun lebih tebal. Beberapa spesies seperti Phalaenopsis gigantea hidup di daerah berkanopi lebih tinggi dan agak lebih terbuka. Jenis seperti ini, memiliki daun yang amat keras untuk menghindari pengeringan dan lebih toleran terhadap level cahaya yang tinggi dari pada spesies lain.
14
Phalaenopsis mudah ditanam di bawah kondisi buatan selama masih sesuai dengan ekologi aslinya. Beberapa unsur ekologi yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan Phalaenopsis adalah, kelembaban, intensitas cahaya, suhu, air dan sirkulasi uadara. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan Phalaenopsis berkisar antara 26-30 °C dengan suhu ideal 28 °C. Pada siang hari merupakan saat kritis bagi Phalaenopsis karena pada saat itu membutuhkan lebih banyak air untuk mengurangi risiko dehidrasi.
c
b
a
Gambar 3 Morfologi tanaman Phalaenopsis sp (a) akar substrat (b) daun (c) calon bunga. Semua spesies Phalaenopsis memiliki 38 kromosom (2n = 2x=38) kecuali Phalaenopsis buyssoniana yang menjadi tetraploid secara alami memiliki kromosom 2n=4x=76 (Christenson 2001; Kao et al. 2007). Kromosom di dalam satu genus ini dapat berbeda ukuran maupun morfologi. Pada seksi Phalaenopsis memiliki kromosom terpendek dalam satu genus ini. Anggrek populer seperti Phalaenopsis spp memiliki ukuran genome yang besar yaitu berkisar antara 1 x 109 hingga 6 x 109 bp (Lin et al. 2001) dan beberapa kultivar komersial ini multiploid. Seperti genom tanaman lainnya, genom Phalaenopsis terdiri atas genom inti, chloroplas (cpDNA) dan mitokondria (mtDNA). Pada Phalaenopsis aphrodite Reichbf diketahui memiliki
15
genom chloroplas yang merupakan molekul sirkuler berukuran 148.964 bp (Chang et al. 2006). Pemuliaan Tanaman Phalaenopsis Pemuliaan anggrek terutama Phalaenopsis dapat dilakukan secara persilangan konvensional, mutasi dan transformasi gen. Persilangan konvensional mencakup persilangan intraspesies, interspesies maupun intergenerik antara genus berbeda misalnya persilangan antara Vanda dan Phalaenopsis yang disebut Vandopsis, Aranthera dan Vanda menjadi Aranda, Ascocentrum dan Vanda menjadi Ascosenda dan sebagainya (Tanaka & Kamemoto 1961). Metode pemuliaan anggrek yang diperbanyak secara vegetatif, antara lain dapat dilakukan melalui teknik rekayasa genetik (Semiarti et al. 2007) dan teknik induksi keragaman somaklonal atau mutasi induksi. Induksi mutasi telah digunakan dalam peningkatan kemampuan genetik pada beberapa tanaman, tetapi jumlah tanaman hasil induksi mutasi masih lebih kecil dibandingkan dengan hasil pemuliaan melalui hibridisasi dan seleksi. Aspek yang paling menjanjikan dari penerapan induksi mutasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah adanya kemungkinan untuk memperbaiki sedikit karakter, tanpa mengubah secara mendasar susunan gen lain yang telah baik. Pada anggrek Phalaenopsis, metode pemuliaan vegetatif seperti transformasi genetik, ataupun melalui induksi variasi somaklonal belum banyak didapatkan, khususnya di Indonesia. Pada saat ini di Indonedia, belum ditemukan varitas atau kultivar Phalaenopsis yang merupakan hasil dari pengembangan metode transformasi ataupun variasi somaklonal.
Pemuliaan Melalui Persilangan Konvensional Persilangan anggrek telah dilakukan orang sejak tahun 1849 hingga saat ini telah didaftarkan ribuan jenis baru termasuk di antaranya multigenerik, intragenerik dan intergenerik. Dalam daftar persilangan intergenerik sendiri diketahui bahwa ada 589 macam yang bersifat intergenerik, 62 intergenerik di antaranya telah dihasilkan mengandung tetua Phalaenopsis dan atau Vanda (Anonim 2006). Beberapa contoh
16
disajikan dalam tabel 1. Hasil persilangan intergenerik antara Phalaenopsis dengan Renanthera disebut Renanthopsis memiliki penampilan tanaman berbatang pendek, berdaun dan berbunga menyerupai bunga Renanthera (Gambar 4a). Demikian juga hasil persilangan intergenerik Phalaenopsis dan Vandopsis menghasilkan turunan berbunga tidak menyerupai Phalaenopsis maupun Vandopsis (Gambar 4b).
Phalaenopsis x Renanthera
a
Phalaenopsis x Vandopsis
b
Sumber : (a) Florzinha de Estufa (2009) dan (b) Pineland Orchid Society (2006) Gambar 4. Anggrek hasil silangan intergenerik (a) Renanthopsis Mildred Jameson, (b) Phalaendopsis Arizona Star’Jim Turnbow’ Tabel 1 Beberapa nama intergenerik yang melibatkan tetua persilangan Phalaenopsis dan Vanda. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Intergenerik Bogardara Bokchoonara Deveneauxara Himoniara Aeridopsis Arachnopsis Asconopsis Doriotaenopsis Moirara Lutherara Phalandopsis Renanthopsis Rhynchonopsis Vandopsis Yapara
Tetua asal intergenerik Bgd Bkch Dvra Hmra Aerps Arnps Ascps Dtps Moir Luth Phdps Renps Rhynps Vdps Yapr
Ascocentrum x Phalaenopsis xVanda x Vandopsis Arachnis x Ascocentrum x Phalaenopsis x Vanda Ascocentrum x Phalaenopsis x Vanda Ascocentrum x Phalaenopsis x Rhynchosyllus x Vanda Aerides x Phalaenopsis Arachnis x Phalaenopsis Ascocentrum x Phalaenopsis Doritis x Phalaenopsis Phalaenopsis x Renanthera x Vanda Phalaenopsis x Renanthera x Rhynchostilis Phalaenopsis x Vandopsis Phalaenopsis x Renanthera Pha laenopsis x Rhynchostilis Phalaenopsis x Vanda Phalaenopsis x Rhynchostilis x Vanda
Sumber : Royal Horticultural Society (2006). Persilangan dari kelompok Sarcanthine termasuk di antaranya vandaceous telah dikembangkan oleh Thailand, Singapura, Malaysia dan Hawaii pada akhir
17
dasawarsa. Poliploid pada vandaceous cenderung memberikan pengaruh pada bunga yang menjadi lebih besar, sepal dan petal lebih lebar. Kelemahan dan sekaligus keuntungan bagi produsen ialah karena pada vandaceous tersebut memiliki keabnormalan meiosis dan fertilitasnya rendah dengan terjadinya afinitas kromosom pada saat meiosis (Tanaka & Kamemoto. 1961). Pemuliaan Melalui Induksi Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang diinduksi melalui kultur sel somatik, kultur sel tunggal, atau kultur protoplas. Keragaman somaklonal telah sangat dikenal pemanfaatannya di dunia industri florikulturauntuk menginduksi varietas unggul baru. Berbagai kondisi selama proses kultur mempengaruhi fenotipik hasil. Penurunan dan kehilangan total kemampuan regenerasi merupakan fenomena umum selama kultur sel, karena pembentukan sel dengan DNA abnormal pada saat pertumbuhan sel yang tak terorganisir. Peningkatan kejadian keragaman somaklonal juga terjadi ketika kultur somatik embriogenik dilakukan dalam jangka waktu lama di dalam kultur in vitro atau
akibat subkultur yang terus menerus menggunakan
tambahan zat pengatur tumbuh (Kaeppler et al. 2000). Perubahan genetik yang berhubungan dengan keragaman somaklonal adalah mutasi titik, perubahan karyotipe (jumlah kromosom dan struktur), perubahan jumlah kopi, pindah silang sel somatik, amplifikasi DNA dan delesi (Rego & deFaria 2001). Timbulnya keragaman genetik selama proses in vitro dipengaruhi juga oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri atas pengaruh genotip, sumber eksplan yang digunakan dan tingkat ploidi (Karp 2004). Semakin rendah tingkat ploidi, semakin stabil suatu genotip tanamn selama proses kultur in vitro. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas pengaruh komposisi media buatan, zat pengatur tumbuh serta proses regenerasi dari kalus menjadi tanaman yang membutuhkan beberapa kali subkultur (Akin-Idowu et al. 2009). Penggunaan teknik keragaman somaklonal dalam pemuliaan meliputi beberapa tahap (1) induksi kalus atau kultur suspensi sel (2) regenerasi dari sejumlah besar tanaman dari kultur (3) skrining untuk perlakuan yang diinginkan pada tanaman yang diregenerasikan (4) pengujian varian terseleksi (5) perbanyakan varian stabil atau menggunakannya pada program pemuliaan (Jain et al. 1997). Pada tanaman hias, keragaman yang ditimbulkan meliputi morfologi tanaman, morfologi daun, warna dan bentuk bunga (Schepper et al. 2002;
18
Seneviratne & Wijesundara 2007)). Selama ini warna bunga merupakan target utama dalam pemuliaan konvensional. Pigmen utama yang terlibat dalam pewarnaan bunga ialah flavanoid yang merupakan pembentuk warna kuning, merah, ungu dan biru. sedangkan carotenoid menyebabkan terbentuknya warna kuning hingga orange. Pigmen warna sangat kuat tergantung pada pH dalam sel (Tsuda et al. 2004). Selain karakter kualitatif seperti warna, sifat kuantitatif yang dapat berubah karena teknik keragaman somaklonal pada tanaman hias antara lain perubahan durasi vase-life, jumlah bunga, kerajinan berbunga. Keragaman somaklonal dapat diinduksi untuk memperoleh mutan-mutan yang diharapkan membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti. Induksi mutasi dapat dilakukan dengan pemberian mutagen. Mutagen terdiri atas dua tipe yaitu fisik dan kimia (Kodym & Afza 2003). Mutagen tersebut bervariasi dalam spektrum penyebab mutasi. Induksi secara fisik yang dapat digunakan antara lain iradiasi gelombang elektromagnetik dengan sinar ultraviolet (UV), sinar-x (X), neutron dan sinar gamma (Co60) (Kovacs & Karesztes 2002). Secara kimiawi dapat digunakan senyawa kimia penyebab metilasi, antara lain ENU, EI, IPMS, EMS (etilmetan sulfonat), MMS (metilmetan sulfonat), dan colchicin (Konstantinov & Driníc 2007). Penggunaan induksi mutasi tampaknya merupakan salah satu alternatif terbaik bagi program pemuliaan tanaman membiak vegetatif. Melalui perbanyakan vegetatif, individu mutan hasil pemuliaan mutasi dapat secara langsung membentuk klon komersial. Database FAO/IAEA menyatakan bahwa dari 552 mutan yang dilepas di antara tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, sebagian besar adalah tanaman hias dan beberapa tanaman buah, termasuk Chrysanthemum, Dahlia, Bougainvillea, Rosa, Begonia, Carnation, dan Azalea (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Efek dari mutasi pada tanaman hias dapat terlihat secara jelas dengan kasat mata. Seleksi untuk perubahan warna bunga, bentuk dan ukuran sangat mudah dilakukan, dan hampir seluruh mutan yang dijumpai bernilai ekonomis tinggi. Berdasarkan efek yang ditimbulkan tersebut, penggunaan teknik mutasi menjadi sarana utama untuk pemuliaan tanaman hias (Rego & deFaria 2001). Jumlah pasti kultivar-kultivar tanaman hias hasil mutasi induksi yang telah dilepas dan berapa besar nilai ekonomisnya sulit untuk diprediksi. Perusahaan komersial seringkali tidak melaporkan asal dari kultivar-kultivar mutan tanaman hias yang diinduksi, dan nilai tanaman mutan tersebut menjadi rahasia suatu perusahaan.
19
Pada berbagai negara berkembang, kultivar-kultivar mutan yang dilepas dan didaftar, dimanfaatkan oleh pihak lain, karena kultivar-kultivar tersebut dapat diperbanyak secara bebas tanpa izin dari pemulia. Sebagai contoh, National Botanic Research Institute (NBRI), Lucknow, India, selama 17 tahun terakhir telah melepas 70 kultivar hasil induksi mutasi tanaman hias antara lain, Chrysanthemum, Mawar, Bougenvillia, Lantana, Hibiscus, dan Portulaca (Ahloowalia et al. 2004). Demikian pula di negara Thailand, Department of Applied Radiation and Isotopes, Kasetsart University, telah melepas 6 mutan kultivar bunga Kana, 15 Chrysanthemum dan 2 mutan Portulaca. Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman hias di India dan Thailand, tampaknya juga dihadapi di Indonesia. Pelepasan varietas hasil induksi mutasi banyak yang belum tercatat di kantor perlindungan varitas tanaman (PVT), demikian pula kelanjutan penyebarannya. Induksi Mutasi Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma Penggunaan sinar gamma untuk menginduksi keragaman pada tanaman hias telah digunakan oleh banyak peneliti antara lain pada tanaman lotus (Arunyanart & Soontronyatara 2002), dan chrysanthemum (Mandal et al. 2000). Pengujian berbagai dosis iradiasi dilakukan untuk mengetahui radiosensitivitas suatu jaringan perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sensitivitas jaringan tanaman yang diuji terhadap dosis iradiasi yang diberikan. Penentuan dosis iradiasi yang tepat perlu dilakukan untuk mendapatkan varian yang lebih banyak. Pada beberapa studi mutagenesis, faktor kunci di dalam melakukan iradiasi ialah dosis, yang merupakan jumlah energi iradiasi yang diabsorbsi oleh materi. Unit pengukuran dosis iradiasi ialah Gray (Gy). 1 Gy setara dengan absorbsi 1 Joule energi per kilogram produk yang diradiasi, yang setara dengan 100 rad. Dosis iradiasi dibagi dalam tiga cakupan kategori: tinggi (> 10 kGy), medium (1-10 kGy), dan rendah (< 1 kGy). Dosis yang tinggi digunakan untuk sterilisasi produk makanan, dan untuk biji sebesar 60-700 Gy. Pada kultur in vitro kalus digunakan dosis 2-5 Gy dan apabila dosis ditingkatkan menjadi 15-20 Gy menyebabkan nekrosis dan kapasitas regenerasinya menjadi hilang. Pada tanaman kentang yang diperbanyak secara mikro, dosis optimal untuk bertahan hidup ialah 20 Gy (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal 50 (LD50). LD50 ialah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi yang
20
diradiasi (Omar et al. 2008). Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah diketahui bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50 atau sedikit di bawahnya. Pada kasus tertentu, misalnya pada perlakuan kalus digunakan dosis yang besarnya sekitar LD30. Faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi, secara fisik bentuk morfologi tanaman, kesukulenan material dapat mempengaruhi ketahanan fisik sel saat menerima iradiasi sinar gamma. Hal ini berhubungan dengan faktor biologis lainnya seperti faktor genetika, dan juga faktor lingkungan seperti oksigen, kadar air, penyimpanan pasca iradiasi dan suhu (Ashraf et al. 2003). Pada plantlet lotus (Nelumbo nucifera Gaertn.), mutasi yang diinduksi dengan dosis 20 Gy, menghasilkan laju pertahanan hidup sebesar 50%. Dosis 10 dan 20 Gy menghasilkan pemanjangan akar sekunder dan pembentukan sejumlah akar adventif. Mutan-mutan ini juga terhambat pertumbuhan pucuk dan perkembangan rhizoma. Sebagian besar tanaman yang diberi perlaknan 20-50 Gy memperlihatkan karakteristik yang abnormal, termasuk vitrifikasi, klorosis, dan penampilan petiole dan penghambatan pertumbuhan tunas lateral, akar-akar sekunder dan rhizoma. Seluruh tanaman yang diberi perlakuan 60 Gy mati dalam 4 minggu (Arunyanart & Soontronyatara 2002). Hasil penelitian Mandal et al. (2000) pada tanaman Krisan (Chrysanthemum morifolium cv. Maghi), iradiasi dapat diberikan pada nodus batang, internodus batang, pucuk, dan bunga (ray floret) dengan dosis 15, 20 dan 25 Gy. Perlakuan sinar gamma 2 krad (20 Gy) menimbulkan daun-daun klorofil variegata, 2.5 krad (25 Gy) bunga kimera (mutan putih, wild-type ungu tua/mauve). Mutan solid dengan daun variegata klorofil, dihasilkan dari eksplan nodus batang. Pada dosis tersebut tidak dilaporkan adanya letalitas. Efek iradiasi terhadap perubahan warna bunga tanaman tergantung pada warna tetua sumber eksplan. Warna tetua biru yang mengandung antosianin, malvidin, peonidin, petunidin dan cyanidin pada bunga torenia yang diradiasi memberikan
tambahan
pelargonium
malvinidin, menyebabkan
dan
delphinidin.
Akibat
ketidakadaan
bunga mutan menjadi biru pucat. Warna pink
mengandung peonidin, cyanidin dan pelargonium dan tidak mengandung malvinidin dan petunidin (Miyazaki et al. 2006). Induksi Mutasi Menggunakan EMS Penggunaan mutagen kimia dinilai lebih efektif untuk menimbulkan mutasi dari pada mutagen lain. Di antara sekian banyak mutagen kimia, beberapa merupakan
21
mutagen yang cukup berguna dan handal antara lain etilmetanasulfonat (EMS), dietilsulfat (DES), etilenimin (El),
N-nitro-N-etil urea (NEU) (Konstantinov &
Driníc 2007). Mutagen kimia khususnya EMS lebih mudah tersedia dan rasio mutasionalnya terhadap modifikasi yang tidak diinginkan lebih baik dibandingkan dengan iradiasi (Nasir 2002). Sebagai sarana pemuliaan praktis, kelompok mutagen kimia yang paling menarik ialah agensia yang membentuk alkilasi. Kelompok ini memiliki satu atau lebih kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi di mana kepadatannya tinggi. Agensia yang mengalkilasi dapat bereaksi dengan DNA. Pada awalnya terbentuk triester yang tidak stabil karena fosfat triester dihidrolisa antara gula dan fosfat yang menghasilkan pecahnya tulang punggung DNA. Alkilasi dari nitrogen basa terjadi dan bereaksi dengan guanine pada posisi N-7. Kejadian ini biasanya diikuti oleh adenine pada posisi N-3 dan citosin pada posisi N-1 (Kodym & Afza 2003). Alkilasi guanine membentuk O6-ethyl guanine yang dapat berpasangan dengan timin tetapi tidak dengan citosin (Kim et al. 2006). EMS menginduksi C ke T menghasilkan C/G ke T/A yang bersifat substitusi, sedang methyl methansulfonate menghasilkan transversi T/A ke G/C dan transisi A/T ke G/C (1,3,4). Pada frequensi rendah EMS membentuk G/C ke CG atau transversi G/C ke T/A oleh hidrolisa 7ethylguanin atau transisi A/T ke G/C oleh 3-ethyladenin (Kim et al. 2006). Mutagen kimia dapat diintroduksi ke dalam jaringan tanaman dan bahkan sel dapat menyebabkan jumlah mutasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara lain tetapi hasil yang memuaskan bergantung pada konsentrasi bahan kimia, lama masa perlakuan, suhu, pH larutan mutagenik dan kadar air bahan yang diberi perlakuan (Kovacs & Karesztes 2002). Penggunaan EMS telah banyak digunakan pada berbagai tanaman, selain pada tanaman hias seperti krisan berwarna pink tua dengan perlakuan EMS 0.77% selama 45 menit yang menghasilkan mutan 5.2% yang berwarna pinksalmon, pink terang, putih , kuning, warna sahnon dan bronze (Rodrigo et al. 2004), juga tanaman kacang-kacangan (Svetleva & Crino 2005). Pada tanaman ubijalar, EMS diaplikasikan untuk mendapatkan tanaman toleran kadar garam tinggi dengan konsentrasi 0.5% selama 2-2.5 jam pada eksplan kalus (Luan et al. 2007). Efek Fisiologi Mutagen Pemuliaan mutasi melalui mutagenesis memberikan dampak secara sitologis maupun fisiologis karena mutasi dapat terjadi pada tingkat sel maupun tingkat jaringan (Ashraf et al. 2003). Kerusakan fisiologi yang disebabkan oleh mutagen,
22
dapat bersifat kromosomal atau ekstrakromosomal. Apabila setelah perlakuan mutagenik menyebabkan tingkat kematian organisme yang rendah, biasanya frekuensi mutasinya tinggi, kerusakan yang ditimbulkan merupakan kerusakan ekstrakromosomal. Sebaliknya, bila tingkat lethalitas tinggi, frekuensi mutasinya rendah dapat dikategorikan kerusakan kromosomal (Wi et al. 2007). Kerusakan fisiologis pada sejumlah sel di jaringan meristem apikal dapat terjadi pada lapisan terluar, yaitu epidermis (LI) yang menutupi semua jaringan misalnya daun, batang, petal bunga dan sebagainya. Jaringan di bawahnya yang terdiri atas beberapa lapis sel di dalam batang dan sebagian besar sel-sel yang berada pada daun disebut lapisan sub-epidermis (L2), selanjutnya L3 merupakan sebagian besar jaringan internal batang dan sejumlah sel di sekitar jaringan pembuluh daun (Lineberger 2007). Apabila mutasi non-lethal terjadi pada sel yang aktif membelah, seperti sel meristem tersebut, maka biasanya akan diperoleh keturunan sel-sel yang bermutasi dan sel sel yang tidak bermutasi tergantung pada dimensi mutasi. Dimensi mutasi yang terjadi pada jaringan ini tergantung pada posisi sel yang bermutasi. Melalui mutasi induksi, genotip yang diinginkan tidak dapat segera dikenali karena terbentuknya kimera pada meristem yang multiseluler. Fenomena pada tanaman termutasi ini dikatakan kimera apabila sel sel yang tumbuh tersebut menunjukkan lebih dari satu genotip dalam satu jaringan tanaman. Seperti misalnya tanaman variegata, sel-sel ini berasal dari jaringan meristem apikal yang beberapa selnya tidak mampu mensintesis khlorofil sehingga daun tidak berwarna hijau (Cammareri et al. 2002). Kimera tanaman dapat dikategorikan berdasarkan lokasi dan seberapa besar proporsi sel-sel yang termutasi dan tidak termutasi di dalam meristem apikal (Lineberger. 2007). Kimera periklinal merupakan kategori terpenting karena kimera ini relatif stabil dan dapat diperbanyak secara vegetatif. Mutasi ini dihasilkan dari selsel yang terletak di dekat apikal meristen, sehingga sel-sel yang diproduksikan selalu berasal dari pembelahan sel-sel yang termutasi. Hasil pembelahan meristem ini berisi satu lapis sel yang secara genetik berbeda dari sel meristem yang tidak termutasi. Contoh kimera periklinal adalah blackberry tanpa duri. Lapisan epidermis ini membentuk duri. Lapisan epidermis tanpa duri menutupi batang yang berisi informasi genotip berduri.
23
Kimera yang lain, ialah kimera meriklinal dan sektoral. Kimera meriklinal dihasilkan ketika sel termutasi tidak sampai memasuki kubah apikal. Lapisan sel termutasi mungkin dipelihara hanya sebagian dari meristem. Kimera meriklinal yang meliputi sejumlah sel yang hanya sebagian kecil yang terpengaruh. Kimera ini merupakan tipe yang tidak stabil. Selanjutnya ialah kimera sektoral, dihasilkan dari mutasi yang terjadi pada sebidang meristem apikal, perluasannya meliputi seluruh lapisan. Tipe kimera ini tidak stabil dan dapat memunculkan tunas atau daun yang bukan kimera. Sel termutasi maupun sel normal dapat diproduksi tergantung pada bagian mana yang paling berkembang (Lineberger 2007). Pada tanaman yang diperbanyak secara in vitro yang diikuti dengan mutagenesis, beberapa siklus propagasi dibutuhkan untuk menghilangkan kimera, dan mendapatkan mutan yang solid, karena diduga bahwa banyak mutan yang diregenerasikan merupakan kimera sektoral. Sub-kultur secara in vitro material yang diradiasi melalui V0 sampai V4 dapat diperoleh secara cepat dan tanpa kehilangkan setiap genotip di bawah kondisi bebas penyakit (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Pada kasus umum, aplikasi mutagen menghasilkan kimera meriklinal atau sektoral. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kompetisi pada jaringan meristem di antara sel-sel yang tidak bermutasi yang dikenal sebagai seleksi diplontik. Fenomena ini dapat mempengaruhi besarnya frekuensi mutan yang teramati pada generasi M1V2 (Datta et al. 2005). Penyakit Busuk Lunak Pada Phalaenopsis Penyakit busuk lunak dapat menyerang semua jenis anggrek terutama yang memiliki jaringan yang lunak. Bakteri penyebab busuk lunak yang dijumpai pada beberapa jenis anggrek biasanya adalah Erwinia carotovora subsp. carotovora dan Erwinia chrysanthemi (Cating and Hong 2008). Pada Phalaenopsis, penyakit ini biasanya disebabkan oleh serangan bakteri Erwinia carotovora subsp. carotovora (Syahril et al. 2006). Bakteri busuk lunak ini mampu tumbuh dan aktif pada suhu 2435 °C. Bakteri dapat terbunuh bila suhu mencapai 50 °C (Charkowsky 2006). Secara umum bakteri
Erwinia carotovora
dapat bertahan hidup dan
menginfeksi organ-organ tanaman yang disimpan, di lahan, di serasah tanaman ataupun di akar tanaman inang, di irigasi air, bahkan di dalam pupa serangga. Penyakit ini pertama kali muncul di dalam media tanam yang sebelumnya telah terinfeksi. Infeksi dapat terjadi melalui pelukaan jaringan tanaman oleh serangga.
24
Ketika bakteri busuk lunak memasuki luka, bakteri menginfeksi dan memperbanyak diri dengan bantuan enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan ialah enzim pektolitik. Bakteri meningkatkan jumlah enzim pektolitik dan mampu memecahkan senyawa pektik pada lamella tengah. Oleh karena tekanan osmotik jaringan berada pada porsi tinggi, maka sel-sel sangat mudah dipisahkan, air berdifusi ke ruang antar sel. Hasilnya sel-sel mengalami plasmolisis, collapse dan mati. Bakteri melanjutkan pergerakannya dan memperbanyak diri di ruang antar sel selanjutnya (Janse 2006). Gejala Penyakit Keadaan lingkungan yang disukai penyakit busuk lunak ialah pada saat suhu hangat hingga panas dengan kelembaban tinggi. Bakteri ini biasanya bersifat epifit pada permukaan daun dan agresif menyerang jaringan bila ada pelukaan. Bakteri dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan mengikuti aliran air. Infeksi terlihat sebagai bulatan berwarna gelap, hijau keabu-abuan yang sangat cepat meluas. Bagian daun yang terserang menjadi lembek, berwarna coklat dan seringkali berbau. Daya perusakannya sangat tinggi, sangat cepat menyebar di daun dan akar tetapi lebih lambat perusakannya pada rizoma dan pseudobulb (Simone & Barnett 1995). Bakteri Pektolitik Erwinia carotovora subsp. carotovora Bakteri Erwinia merupakan bakteri fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, termasuk enterobakteri gram negatif (Charkowski 2006) yang menyebabkan penyakit pada beragam tanaman, di antaranya tanaman-tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Hingga kini diketahui kurang lebih telah dilaporkan sebanyak 16 famili (Yap et al. 2004; Agrios 2005). Bakteri ini memproduksi sejumlah besar enzim pektik ekstraseluler yang keberadaannya dapat menyebabkan penyakit busuk lunak karena aktivitas degradasi yang dilakukannya (Perombelon 2002). Isolat dapat diperoleh dari sampel yang terinfeksi, yang selanjutnya dapat dikultur pada media semi selektif crystal violet pectate (CVP) (Hyman et al. 2006). Medium ini mengandung kalsium pektat yang merupakan bahan khusus yang disukai oleh Erwinia. Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi Erwinia carotovora subsp. carotovora lebih lanjut dapat dilakukan uji biokimia dan fisiologi (Tabel 2). Erwinia carotovora mampu memproduksi enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel tanaman (Plant Cell Wall Degrading Enzyme = PCWDE) termasuk di
25
antaranya beberapa pektinase, selulase, dan protease yang mengontrol virulensi Erwinia carotovora. Setiap strain Erwinia carotovora subsp. carotovora memiliki enzim pektolitik berbeda-beda. Beberapa strain bisa hanya memiliki satu, dua atau tiga jenis enzim pektolitik sekaligus (Toth et al. 2003).. Erwinia carotovora subsp. carotovora dijumpai lebih sering pada lingkungan beriklim hangat. Pengaruh suhu lebih dari 33 °C menyebabkan bakteri ini tidak mampu tumbuh. Pengaruh suhu ini pula akan mempengaruhi produksi protein virulensi bakteri. Protein yang diproduksi bakteri tersebut termasuk pectatelyase, pectinlyase, polygalacturonase tergantung jenis strain (Yap et al. 2005; Hasegawa et al. 2005). Tabel 2. Beberapa uji biokimia dan fisiologi untuk karakterisasi Erwinia carotovora subsp. carotovora setelah didapatkan koloni tunggal Jenis Pengujian Pertumbuhan 37°C Reduksi gula dari sukrosa Aktifitas phosphate Sensitiovitas terhadap erythromicin Produksi indol Produksi asam dari : Sorbitol Melibiosa Sitrat Raffinosa Arabitol Laktosa Penggunaan keto-methyl glukosida Sumber: De Boer & Kelman. 2001.
Hasil reaksi + + + + + + -
Erwinia carotovora juga dapat memproduksi berbagai bentuk carotovoricin, suatu bacteriocin phage tail-lake yang mampu membunuh strain lain yang berkerabat dekat maupun spesies, ekspresi carotovoricin ini diinduksi kerusakan DNA seperti juga pectinlyase yang juga diregulasi oleh suhu, dengan kadar tertinggi pada saat suhu 23-26 °C (Nguyen et al. 2002). Jalur Pertahanan Tanaman Terhadap Erwinia Sistim ketahanan tanaman Phalaenopsis terhadap suatu patogen penyebab penyakit busuk lunak secara khusus dan pasti belum diketahui. Penelitian mengenai hal yang menyangkut patogen busuk lunak pada tanaman Phalaenopsis juga sangat jarang dijumpai, oleh karena itu, beberapa jalur pertahanan secara umum terhadap
26
bakteri penyebab penyakit busuk lunak pada tanaman lain dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami sistim pertahanan tersebut. Pada umumnya, tanaman yang terserang patogen akan terinduksi untuk mempertahankan diri. Tanaman menjadi tahan terhadap penyakit dapat dilakukan secara aktif atau pasif. Ketahanan pasif tergantung pada pertahanan yang telah terekspresikan pada tanaman, sedang ketahanan aktif merupakan pertahanan yang diinduksi setelah ada penyerangan. Ketahanan terinduksi dapat berupa pertahanan local atau sistemik. Mekanisme penghentian perkembangan patogen secara lokal dilakukan dengan cara memproduksi pathogenesis - related protein (PR protein) dan mengembangkan
dinding
sel untuk
menghambat
perkembangan
inokulum.
Mekanisme pertahanan secara sistemik diawali adanya induksi primer untuk membentuk PR protein. Mekanisme tersebut merupakan mekanisme ketahanan terinduksi yang dibedakan menjadi dua yaitu systemic acquired resistance (SAR) dan induced systemic resistance (ISR). Keduanya dibedakan berdasarkan tipe agen penginduksi dan jalur penghantaran signal pada inang yang menghasilkan ekspresi ketahanan (Hammerschmidt 2007). Secara umum, awal suatu interaksi inang-patogen sampai terjadi gejala penyakit ialah melalui beberapa tahapan. Tahapan awal yaitu prekolonisasi dimulai dengan adanya kontak dan pelekatan bakteri pada permukaan inang, pengenalan antara bakteri dan sel inang dan penetrasi bakteri ke dalam jaringan. (Hallmann 2001).
Pada saat bakteri
mulai berhasil menembus jaringan, terjadilah infeksi
penyakit. Untuk menginfeksi tanaman, patogen harus menginvasi sistim pertahanan tanaman yang dapat berupa penghalang fisik tanaman seperti kutikula dan dinding sel. Tanaman mengetahui adanya patogen yang menyerang melalui pengenalan molekul yang disebut elisitor yang berasal dari patogen ataupun dari tanaman dan dapat memacu sistim pertahanan. Dalam berbagai kasus, pengenalan patogen oleh tanaman yang spesifik, mengikuti konsep Flor interaksi gene-for-gene (Flor 1971; Pozo et al. 2005). Interaksi gene-for-gene antara inang-patogen meliputi pengenalan spesifik dari protein avirulensi yang disandi oleh gen avr dari patogen melalui komplementari protein yang disandi oleh gen R (Agrios 2005). Bakteri tidak dapat berkembang pada suatu tanaman apabila terjadi pengenalan elisitor patogen oleh reseptor tanaman yang merupakan produk dari gen R dalam keadaan nonkompatibel. Sebaliknya, apabila pengenalan elisitor oleh reseptor kompatibel, bakteri akan terjadi penyakit (Keller et
27
al. 2000). Hipersensitif Respon (HR) adalah respon pertahanan tanaman yang berhubungan dengan resistensi dalam interaksi nonkompatibel inang-patogen dan ini dicirikan oleh adanya local cell death di sekitar infeksi (Montesinos 2000; Strange 2003). Setelah terjadi pengenalan elisitor, serentetan perubahan sitologis dan respon fisiologis terjadi pada sel tanaman. Perubahan sitologi termasuk di antaranya pembentukan papilla, peningkatan aliran sitoplasmik dan migrasi nuklear, yang akan berhubungan dengan depolimerisasi mikrotubula dan mikrofilamen. Respon biologis yang terjadi adalah perubahan konsentrasi ion yang akan menyeberangi membran plasma, dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang terjadi dalam 2-5 menit setelah pengenalan elisitor. Beberapa reaksi biokimia ini dihubungkan dengan signal tranduksi yang akan mengawali respon pertahanan. Defosforilasi protein merupakan peristiwa yang berbeda yang mengikuti pengenalan patogen dan terlibat dalam penghantaran signal bertahap yang memacu pertahanan.. Identifikasi beberapa Mitogen Activated Protein (MAP) kinase dan reseptor kinase dihubungkan dengan respon pertahanan yang digaris bawahi relevan terhadap proses defosforilasi selama penghantaran signal pertahanan tanaman (Boller & Keen 2000). Respon pertahanan terhadap patogen bisa merupakan pertahanan lokal atau sistemik yang meliputi sejak perubahan yang terjadi dari awal persepsi hingga perubahan sitoplasmik yang merubah permiabilitas membrane plasma sehingga memicu perubahan lain yang mengarah kepada ekspresi gen pertahanan. Pelukaan juga memacu respon pertahanan
termasuk Reactive Oxygen Species (ROS) dan
induksi signal seperti ethylene dan Jasmonic Acid (JA) dan derivatnya (Jabs & Slurenko 2000). Pengujian Ketahanan Terhadap Patogen Secara In Vitro Pengujian ketahanan tanaman terhadap suatu patogen melalui cara inokulasi secara in vitro merupakan suatu metode yang memberikan harapan, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain dapat mengurangi kemungkinan terjadinya desease escape yang sering terjadi pada metode pengujian di lapangan, hasil pengujian dapat diulang di rumah kaca atau di lapangan, sedangkan patogen yang digunakan tetap terbatas di laboratorium. Metode pengujian in vitro ini dapat menghemat biaya dan waktu
pengujian tetapi hasil yang diperoleh relatif sama dengan pengujian di
28
lapangan. Metode ini juga efisien karena hanya klon-klon yang tahan dalam pengujian in vitro yang dilanjutkan pengujiannnya di lapangan (Samanhudi 2000). Seleksi untuk ketahanan penyakit dapat dilakukan menggunakan beberapa agen penyeleksi seperti toksin, toksin analog, filtrat maupun patogen itu sendiri. Penggunaan toksin murni sebagai agen penyeleksi dalam kultur cukup efisien ketika gejala penyakit dapat ditimbulkan oleh toksin yang diproduksi oleh patogen dan ketika toksin dapat berperan pada level eksplan yang dikultur misalnya level sel. Penggunaan patogen sebagai agen penyeleksi langsung pada ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat dilaksanakan apabila dapat dipenuhi syarat lingkungan tumbuh patogen sehingga kesulitan pertumbuhan dapat ditiadakan (Chandra et al. 2010) . Beberapa penelitian di antaranya uji ketahanan pada plantlet kentang menggunakan ko-kultur dengan Phytophtora infestan berkorelasi dengan resistensi kultivar di lapangan (Daayf et al. 2003). Microcutting tanaman poplar ko-kultur dengan Xanthomonas menghasilkan resistensi sebanding dengan resistensi terhadap fireblight di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Phatology. (fifth edition). Elsevier Academic Press. Amsterdam. Boston. London. New York. San Diego. Singapore. Sydney. Tokyo. 922p Ahloowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact of mutationderived varieties. Rev. Euphytica 135: 187–204. Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations-A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: 167–173, 2001. Akin-Idowu PE, Ibitoye DO, Ademoyegun OT. 2009. Tissue culture as a plant production technique for horticultural crop. Afr J Biotech 8(16): 3782-3788 Arunyanart S. Soontronyatara S. 2002. Mutation induction by γ and X-ray irradiation in tissue cultured lotus. Plant Cell Tissue Organ Cult 70: 119– 122, 2002. Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1 generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795 Boller T, Keen NT. 2000. Resistance genes and the perception and transduction of elicitor signals in host-pathogen interactions. Di dalam: Slurenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 189-229 Cammareri et al. 2002. Induction of variability in chimeric Aster cordifolius ‘White Elegans’ through somaclonal variation. Euphytica 128: 19-25 Cating RA, Hong JC. 2008. First report of bacterial soft rot on Vanda Orchids caused by Dickey chrysanthemi (Erwinia chrysantemi) in the limited stark. Plant Dis 92 (6) : 977
29
Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Mathukumar R, Kalim S. 2010. In vitro selection : A candidate approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J Plant Sci 9 (8): 437-446. Chang et al. 2006. The chloroplast genome of Phalaenopsis Aphrodite (Orchidaceae): Comparative analysis of evolutionary rate with that of grasses and its phylogenetic implication. Mol Biol Evol. 23 (2): 279-291 Charkowsky AO. 2006. The Soft rot Erwinia. Plant Associated Bacteria. Springer. Netherland. p 423-505 Chen FC, Chen WH. 2007. Somaclonal variation in orchids. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor : Orchids Biotechnology. Singapore. p. 65-76 Chowdhury I, Abu Reza MD, Rahman M, Islam O, Matsui S. 2003. Effect of plant growth regulation on callus proliferation plantlet regeneration and Growth of plantlets of Doritaenopsis Orchid. Biotechnology. Vol 2.no 3: 214-221. Christenson EA. 2001. Phalaenopsis. A monograph. Timber Press. Portland Oregon. p. 19-62. Djaafarer R. 2002. Phalaenopsis Spesies. Jenis dan potensi untuk silangan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal.1-12 Daayf F, Adam L, Fernando WGD. 2003. Comparative screening of bacteria from biological control of potato late blight (Strain US-8) using in vitro, detected leaves and whole plant testing systems. Can j Plant Pathol 25: 276-284. Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Curr Sci 88 (1); 155-158. De Boer SH, Kelman A. 2001. Gram negative bacteria. Erwinia soft rot group. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W, Editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic. Third ed. APS Press. Minnesota. p 56. Dirjen Horti. 2005. Roadmap: Pascapanen dan pemasaran anggrek 2005-2010. Direktorat Jendral Hortikultura. Pengolahan dan Pemasaran hasil pertanian. Juli. 2005. Flor HH. 1971. Current Status of gene for gene Concept. Ann Rev Phytopath 9: 276278. Florzinha De Estufa. 2009. Renanthopsis Mildred Jameson. http://www. renanthopsis-mildred-jameson html. 15/11/2010 Hallmann J. 2001. Plant interactions with endophytic bacteria. Di dalam: Jeger MJ, Spence NJ, editor. Biotic Interactions in Plant-pathogen Associations. CABI Publishing UK. USA. p 87-120. Hammerschmidt R. 2007. Introduction: definition and some history. Di dalam: Walters D, Newton A, Lyon G, editor. Induced Resistance for plant Defence. A Sustainable Approach to Crop Protection. Blackwell Publshing Ltd. Singapura. p. 1-11. Handayati W, Hanudin , Soedjono S. 2004. Resistensi genotip Anggrek Phalaenopsis terhadap penyakit busuk lunak. J Hort 14 (Edisi Khusus) : 398-402. Hasegawa H, Chatterjee A, Cui Y, Chatterjee AK. 2005. Elevated temperature enhances virulence of Erwinia carotovora subsp carotovora strain EC153 to plants and stimulates production of the quorum sensing signal N-acyl homoserine lactone and extracelluler proteins. Appl Environ Microbiol. 71: 4655-4663 Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk meningkatkan sifat toleran kekerangan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23(2) : 93-100
30
Hyman LJ, Sullivan L, Toth IK, Perombelon CM. 2007. Modified crystal violet pectate medium (CVP) based on a new polypectate source (Slendid) for the detection and isolation of soft rot erwinias. Potato Res 44(3) : 265-270. Jain SM, Buiatti M, Gimelli F Saccardo F. 1997. Somaclonal variation in improving ornamentals plants. Di dalam: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS, editor. Somaclonal Variation and Induced Mutation in Crop Improvement. Kluwer Academic Press. The Netherland. p 35-58 Janse, J. D. 2006. Phytobacteriology. Principles and Practice. CABI Publishing. Uk. Singapore. p. 360 Jender et al. 2003. Ethylmethanesulfonate saturation mutagenesis in Arabidopsis to determine frequency of herbicide resistance. Plant Physiol 131: 139- 146. Jeong JA, Ryu BY, Lee CH. 2006. In vitro culture of variants induced by chemical mutagenesis in Phyllitis scolopendrium (L) Newn. Flower Res J 14 (2): 121127 Jabs T, Slurenko AJ. The hypersensitiv response. In Slurenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC (eds). Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 279-323 Kao YY, Lin CC, Huang CH, Li YH. 2007. The Cytogenetics of Phalaenopsis Orchids. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology. Singapore. p. 115-128 Karp A. 2004. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85 (1): 295-302 Kaeppler SM, Kaeppler HT, Rhee Y. Epigenetic aspect of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43 (3): 179-188. Keller B, Feuillet C, Messmer M. 2000. Genetics of disease resistance. Basic concepts and application in resistance breeding. Di dalam: Slurenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC, editor. Mechanism of Resistance to Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher . Netherlands. p 101-160 Kim YS, Schumaker KS, Zhu JK. 2006. EMS mutagenesis of Arabidopsis. http://www.faculty.ucr.edu/--jkzhu/articles/2006/yskim.pdf.15/11/2010 Kodym A, Afza R. 2003. Physical and Chemical mutagenesis. Method Mol Biol 236: 189-204. Kontantinov K, Driníc SM. 2007. Molecular genetics-step by step implementation in maize breeding. Genetika 39 (2): 139-154 Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B/C radiation on plant cell. Micron 39: 199-210 Lestari EG, Sukmadjaja D, Mariska I. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili terhadap penyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 25(4) : 149-153 Lin CC, Chen YH, Chen WH, Chen CC, Kao YY. 2005. Genome organization and relationships of Phalaenopsis orchids infered from genomic in situ hybridization. Bot Bull Acad Sci 46: 339-345 Linberger RD. 2007. Origin, Developmental propagation of chimeras. http://www.aggie-horticulture.tamu.edu/tisscult/chimeras/s.html. 28/03-/2008 Luan YS, Juan Z, Rong GX, Jia AL. 2007. Mutation induced by ethylmethanesulphonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell Tissue Organ Cult 88 (1): 77-81 Mandal AK, Chakrabarty AD, Datta SK. 2000. Application of in vitro techniques in mutation breeding of chrysanthemum. Plant Cell Tissue Organ Cult 60: 33– 38.
31
McMillan RT, Palmateer A, Vendrame W. 2007. Effect rouging on Erwinia soft rot in commercial production with two Phalaenopsis per pot. Jr. Kerry’s Bromeliad Nursery, Inc. http://www.fsfs.org/-meetimg2007/AllAbs-tractsFSHS-2007-ForWebsite-April27.html#Ornamental. 24/05/08 Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167 Montesinos E. 2000. Pathigenic plant-microbe interactions. Internatl Microbial 3: 6970. Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetik tanaman. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. hal 59-78 Nguyen et al. 2001. DNA inversion in the tail fiber gene alters the host range specificity of Erwinia carotovora. A phage-tail-like bacteriocin of phytopatogenic Erwinia carotovora subsp. carotovora. J. Bacteriol 183: 6274-6281 Odjakova M, Hadjiivanova C. 2001. The complexity of pathogen defense in plant. Bulg J Plant Physiol 27 (1-2): 101-109 Omar SR, Ahmed OH, Saamin S, Majid NMA. 2008. Gamma radiosensitivity study on Chili (Capsicum annum). Am J Appl Sci 5 (2): 67-70 Perombelon MCM. 2002. Potato diseases caused by soft rot erwinias: an overview of patogenesis. Plant Pathol 51: 1-12 Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185-210. Pineland Orchid Society. 2006. Just a few of our Awarded Plants from the SEPOS 2006 Show. http://www.pinelandsorchidsociety.org.15/11/2010. Pozo MJ, van Loon LC, Pieterse CMJ. 2005. Jasmonates-signals in plant microbe interactions. J Plant Growth Regul 23: 211-222 Rego LV, deFaria RT. 2001. Tissue culture in ornamental plant breeding: A review. Crop Breed Appl Biotech 1 (3): 283-300 Rodrigo RL, Alvis HA, Augusto TN. 2004. In vitro mutation of Chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Tzvelev) with Ethylmethanesulfphonate (EMS) in immature floral pedicels. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 (1): 103-106. Royal Horticultural Society.2006. Quarterly supplement to the international register of orchid hybrids (Sander’s List). Orchid J Royal Hort Soc. Vol 114 (1272). Nopember-December 2006. Samanhudi. 2001. Identifikasi ketahanan klon kentang hasil fusi protoplas BF15 dengan Solanum stenotomum terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Thesis Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal. Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First Afreican violets (Saintpaulia ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J Plant Physiol 2 (3): 233-236 Semiarti et al. 2007. Agrobacterium-mediated transformation of the wild Orchid spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotech 24 : 265-272. Schepper S, Deberg P, van Bookstaele E, Delouse M, Gerats A, Depicker A. 2002. Genetic and epigenetic aspects of somaclonal variation : flower colour bud sports in azalea, a case study. African J Bot 69 (2): 117-128 Simone GW, Bernett HC. 1995. Diseases caused by bacteria and fungi . Orchid Pests and Disease. p. 50-73. Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic variation in Zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by Erwinia carotovora subsp. carotovora. Euphytica 135 : 119-128
32
Sobiczewski P. 2008. Bacterial diseases of plants : Epidemology. diagnostics & control. Zembirbyrte-Agric 95 (3) : 151-157. Suryana et al. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis anggrek. Badan penelitian dan Pengambangan Pertanaian. Departemen Pertanian. Hal 18-28. Soeranto H. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang Teknologi Isotop dan Iradiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. 20 hal Stange RN. 2003. Introduction to Plant Pathology. John Wiley & Sons Ltd. England.. p. 293-331. Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methanesulfonate (EMS) and N-nitroseN-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J Cent Eur Agric. 6(1): 59-64 Syahril et al. 2006. Transgenic Phalaenopsis plants with resistance to Erwinia carotovora produced by introducing wasabi defensin gene using Agrobacterium method. Plant Biotech 23 : 191-194 Tanaka R, Kamemoto H. 1961. Meiotic chromosome behaviour in some intergeneric hybrids of the vandal alliance. Am J Bot. 48: 573-582 Tang CY, Chen WH. 2007. Breeding and development of new varieties in Phalaenopsis. Di dalam: Chen WH, Chen HH, editor. Orchids Biotechnology. Singapore. p. 1-44 Toth IK, Bell KS, Holeva,MC, Birch, PRJ. 2003. Patogen profile. Soft rot erwiniae : from genes to genomes. Mol Plant Pathol 4 (1): 17-30 Wi et al. 2007. Effects of gamma irradiation on morphological changes and biological responses in plant. Micron 38: 553-564 Yap MN, Barak JD, Charkowski AO. 2004. Genomic diversity of Erwinia carotovora subsp carotovora and its correlation with virulence. Appl Environ Microbiol. 70 : 3013-302.
INDUKSI EMBRIOSOMATIK DARI EKSPLAN DAUN ANGGREK Phalaenopsis sp L. ABSTRAK Embryogenesis somatik merupakan salah satu proses yang terjadi melalui regenerasi pembentukan embrio dan melalui fase kalus. Penelitian ini dilakukan melalui fase