II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI TANAMAN SAGU Sagu merupakan tanaman yang berasal dari ordo Spadiciflorae, kelas Angiospermae,
subkelas
Monocotyledoneae,
famili
Palmae,
genus
Metroxylon. Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi yaitu Metroxylon dan Arenga. Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari metra yang berarti batang atau empulur dan xylon yang berarti kayu atau xilem (Flach, 1983 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Tanaman sagu tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia seperti Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan Barat, Riau dan sebagian kecil Jawa. Daerah pertumbuhan pohon sagu yang paling baik adalah di dataran rendah, di hutan rawa dan di tepi muara sungai. Menurut Flach (1983) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), daerah pertumbuhan pohon sagu adalah pada ketinggian sampai 700 meter di atas permukaan laut, antara 10o LU – 10o LS dan 90o BT – 180o BT. Tanaman sagu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali dan sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih. Golongan sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali bernilai ekonomi tinggi karena memiliki kandungan pati yang tinggi, seperti Metroxylon longispinum Martius, Metroxylon rumpii Martius, Metrozylon micracantum Martius, Metroxylon sylvester Martius dan Metroxylon sagus Rottbol. Jenis sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih memiliki kandungan pati lebih sedikit, biasanya tumbuh di daerah dataran rendah (Haryanto dan Pangloli, 1992). Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu, karena batang merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Ukuran dari batang sagu dan kandungan patinya tergantung dari jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Ukuran diameter batang sagu dapat mencapai 80 cm hingga 90 cm dan rata-rata berukuran sekitar 50 cm. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun keatas
4
empulur sagu mengandung pati sekitar 15–20% (Rumalatu, 1981 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan siap dipanen, yaitu apabila pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun berwarna kelabu biru (Ishak et al., 1984). Setelah masa panen, sagu akan mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal (Haryanto dan Pangloli, 1992). Bagian lain yang berperan penting dalam pembentukan pati sagu adalah daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati sagu dapat berlangsung optimal (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu jenis Metroxylon, Arenga dan Mauritia merupakan produk yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Jenis palem tersebut memiliki toleransi terhadap kualitas tanah rendah, sehingga dapat dibudidayakan sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan pendapatan bagi daerah dengan lahan tidak subur (Rudlee et al., 1978).
B. POPULASI, PRODUKSI DAN POTENSI SAGU Sagu yang tersebar di Indonesia umumnya merupakan jenis Metroxylon sagus Rooth dan Metroxylon rumpii yang berduri. Tanaman ini berasal dari Maluku kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial di samping beras, khususnya bagi sebagian besar masyarakat di kawasan Timur Indonesia, seperti Irian Jaya dan Maluku. Tanaman sagu umumnya tumbuh secara liar, namun ada juga yang sengaja dibudidayakan secara intensif, meskipun jumlahnya baru sedikit (Haryanto dan Pangloli, 1992).
5
Populasi tanaman sagu sangat bergantung dari jenis, daerah produksi, dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan sagu yang dibudidayakan populasinya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar. Jumlah pohon yang dapat dipanen dalam satu hektar berbeda-beda tiap tahunnya. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pohon sagu di Indonesia dapat menghasilkan 250 kg tepung kering per batang, sehingga apabila setiap hektar terdapat 16–20 batang sagu yang masak tebang, maka setiap tahun Indonesia dapat memproduksi 4,5 juta ton tepung sagu kering. Potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sebenarnya sangat besar, sekitar 51% potensi sagu dunia ada di Indonesia (Gambar 1), dan sekitar 90% potensi sagu Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan Riau, Mentawai, Kalimantan dan Sulawesi. Karena itu Indonesia mempunyai peluang amat besar untuk menjadi pelopor dalam modernisasi industri pengolahan sagu (Jong dan Widjono, 2007). Namun pemanfataan sagu di Indonesia masih sangat rendah. Sebagian areal sagu Indonesia, khususnya yang berada di Papua saat ini telah menyusut akibat eksploitasi yang berlebihan. Umumnya daerah sagu yang potensial berlokasi di daerah terisolir dan jauh dari perkotaan. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat sederhana atau tradisional, ditandai dengan kapasitas dan produktivitas pengolahan yang rendah dan tidak kontinyu.
3.7%
1.5%
Malaysia Indonesia Thailand Papua New Guinea Others 43.3%
0.2%
51.3%
Gambar 1. Areal sagu di dunia (Anonim, 2008) Pati merupakan bahan dasar berbagai macam industri sehingga produksinya di dunia terus meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir,
6
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pasar pati dunia diperkirakan tumbuh sekitar 7,7% per tahun (Jong dan Widjono, 2007).
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Pati Dunia, Tahun 1970 - 2000 Tahun
Produksi Pati (juta ton/th)
Pertengahan 1970-an
7
Pertengahan 1980-an Awal 1990-an 1996 1999
18 20 36 47
2000
48,5
Sumber : Jong dan Widjono (2007) Beberapa produk olahan dari pati sagu sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia Bagian Timur, seperti papeda, soun dan ongol-ongol. Pada industri kue kering atau biskuit, tepung sagu biasanya digunakan sebagai campuran tepung terigu, yang dapat membuat kue kering lebih renyah. Buah atau umbut dari tanaman sagu dapat dimakan, lapisan luar batangnya dapat dibuat topi, tikar, tempat air, anak panah dan kayu bakar. Daunnya dapat digunakan sebagai atap dan tikar, sedangkan tangkai daunnya dimanfaatkan sebagai dinding rumah (Sastrapradja et al., 1980). Ringkasan potensi pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi Pemanfaatan Industri Pati Sagu Industri
Pemanfaatan
Non pangan
Lem, keramik, kosmetik, insulasi, cat, plywood, tekstil
Pangan
Roti, permen, dairy, desserts, mi, salad dressings, pemanis
Hidrolisis & fermentasi
Asam sitrat, ethanol, lisin, asam laktat (plastik organik)
Lain-lain
Farmasi, aseton, larutan injeksi dekstrosa, penisilin, antibiotik
Sumber : Jong dan Widjono (2007)
7
C. KARAKTERISTIK PATI SAGU Pati merupakan sumber polisakarida kedua setelah selulosa yang jumlahnya melimpah pada tanaman. Pati dikumpulkan di dalam kloroplas dan kromatofora dan disimpan sebagai suatu cadangan energi pada akar, biji, dan akar umbi sebagai suatu partikel kecil yang dikenal dengan granula (Betancur dan Chel, 1997). Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati sagu berbentuk elips (prolate ellipsoidal) berukuran 5– 80 µm, relatif lebih besar daripada pati serealia (Wirakartakusumah et al., 1984). Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, serta kalori yang tinggi. Komposisi kandungan sagu tersebut dapat menjadi penyelamat pada saat terjadi rawan pangan, serta diversifikasi pangan. Komposisi kimia tiap 100 g pati sagu dan beberapa jenis bahan pangan lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan Lain Sagu a)
Ubi kayu b)
Garut b)
Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)
357 0,7 0,2 85
362 0,5 0,3 86
355 0,7 0,2 85
Air (g)
13,7
12
13,6
Jenis Bahan
Sumber :
a) b)
Bintoro (1999) Haryanto dan Pangloli (1992)
Secara tradisional, pati sagu biasanya dikonsumsi langsung setelah dibakar atau diawetkan dalam bentuk bricks dan pearls. Dalam industri pangan, pati sagu banyak digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kue, jelly, makanan bayi, pembuatan gula cair dan bahan energi (Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Subing dan Karmansyah (1993) dalam Bintoro (1999), untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, pati sagu
8
harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Secara teoritis, 1 ton pati sagu dapat dijadikan 715 l etanol. Pada dasarnya pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α– glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa, dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α–1,4–D– glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α–1,6–D– glukosa sebanyak 4–5% dari berat total (Winarno, 1986). Struktur kimia amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
Gambar 2a. Struktur kimia amilosa (Beynum dan Roels, 1985)
Gambar 2b. Struktur kimia amilopektin (Beynum dan Roels, 1985)
9
Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara ekstraksi. Empulur batang dihancurkan kemudian dicampur air yang bertindak sebagai carrier, lalu diperas dan disaring. Kemudian pati yang terdapat dalam filtrat diendapkan (Ishak et al., 1984). Pati
sagu
mengandung
27%
amilosa
dan
73%
amilopektin
(Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan amilopektin juga akan mempengaruhi sifat pati. Apabila kadar amilosa pada pati semakin tinggi, maka pati bersifat kering, kurang lekat dan higroskopis atau mudah menyerap air. Perbedaan sifat dari pati sagu dengan beberapa jenis pati lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat Pati Sagu dan Beberapa Jenis Pati Lainnya Bentuk Granula
Ukuran Granula (µm)
Sagu
Elips agak terpotong
20 – 60
73 / 27
60 – 72
Beras
Poligonal
3–8
83 / 17
61 – 78
Jagung Kentang Ubi kayu
Poligonal Bundar Oval
5 – 25 15 – 100 5 – 35
74 / 26 76 / 24 83 / 17
62 – 74 56 – 69 52 – 64
Gandum
Elips
2 – 35
75 / 25
52 – 64
Ubi jalar
poligonal
16 – 25
82 / 18
58 – 74
Jenis Pati
Kandungan Kisaran Suhu Amilopektin / Gelatinisasi Amilosa (%) (oC)
Sumber : Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu tertentu, yang disebut suhu gelatinisasi dari pati tersebut. Pemanasan menyebabkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk kedalam pati tersebut dan pati akan membengkak (mengembang). Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula.
10
Perubahan sifat ini disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan (suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Selain itu, suhu gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 oC sampai 78 oC. Menurut Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 60–72 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 72–90 oC. Mutu pati sagu ditentukan oleh ukuran, bentuk, aroma, rasa dan faktor lainnya. Pati sagu yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Penentuan standar mutu pati sagu perlu dilakukan agar penggunannya dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan Standar Nasional Indonesia untuk mutu pati sagu yang ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Standar Mutu Pati Sagu (SNI 01-3729-1995) Karakteristik Kadar Air (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Serat Kasar (% b/b) Derajat Asam (ml NaOH 1N/100 g) Kadar SO2 (mg/kg) Jenis Pati lain selain Pati Sagu Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % b/b Total Plate Count (koloni/g)
Kriteria Maks. 13 Maks. 0,5 Maks. 0,11 Maks. 4 Maks. 30 Tidak boleh ada Min. 95 Maks. 106
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)
D. HIDROLISAT PATI SAGU Pati tidak mempunyai rasa manis, akan tetapi komponennya terdiri dari unit-unit glukosa yang bila dibebaskan dari polimernya dengan proses hidrolisis akan mempunyai rasa manis (Miller, 1975). Hidrolisat pati didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis pati (Sa’id, 1987).
11
Hidrolisis merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unitunit monomer gula. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti HCl, asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis pati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis asam merupakan proses yang dilakukan secara acak dan tidak terpengaruh dengan adanya ikatan α–1,6–glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur dibandingkan hasil pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa (Chaplin dan Bucke, 1990). Proses hidrolisis pati dengan bantuan asam pertama kali ditemukan oleh Kirchoff pada tahun 1812, namun produksi secara komersial baru terlaksana pada tahun 1850. Pada proses ini, sejumlah pati terlebih dahulu diasamkan sampai sekitar pH 2, kemudian dipanaskan dengan menggunakan uap dalam suatu tangki bertekanan yang disebut konverter hingga suhu 120–140 oC (Tjokroadikoesoemo, 1986). Pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna kecoklatan. Warna kecoklatan ini dibutuhkan pada beberapa produk pangan seperti roti atau makanan panggang lainnya. Namun pada hidrolisat pati, warna kecoklatan tersebut tidak diinginkan. Menurut Sa’id (1987), pembentukan warna tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain konsentrasi prekursor warna seperti hidroksimetilfurfural dan senyawasenyawa amino yang ada serta kadar gula pereduksi sirup (hidrolisat) pati. Menurut Winarno (1997), pada umumnya proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik. Salah satu proses pencoklatan non enzimatik adalah reaksi Maillard yang terjadi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan bahan berwarna coklat yang dapat menurunkan mutu produk. Menurut Junk dan Pancoast (1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati dihidrolisis dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan –C–O–C–
12
dengan menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Dan bila diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Kemudian polimer-polimer tersebut dihidrolisis sampai menjadi glukosa. Hidrolisis pati secara sempurna berlangsung dengan reaksi sebagai berikut, (C6H10O5)n + nH2O pati
n (C6H12O6) katalis dan panas
glukosa
Hidrolisis asam memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil (Tjokroadikoesoemo, 1986). Tingkat konversi pati menjadi komponen glukosa ditentukan oleh derajat konversi yang dikenal sebagai ekivalen dekstrosa atau Dextrose Equivalent (DE). Menurut Palmer (1970), Dextrose Equivalent (DE) adalah nilai yang menunjukkan derajat konversi pati yang diukur dengan banyaknya molekul pati yang dipotong menjadi komponen glukosa, maltosa dan dekstrin. Derajat konversi ditentukan oleh waktu, tekanan dan katalis. Semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi kandungan glukosanya. Menurut Howling (1979), sirup glukosa hasil hidrolisis asam mempunyai nilai DE antara 30–55. Tjokroadikoesoemo (1986), menambahkan bahwa konversi diatas DE 55 akan menghasilkan banyak zat warna dan menimbulkan rasa pahit. Proses hidrolisis diuji dengan menggunakan larutan KI 1% yang diteteskan kedalam larutan hasil hidrolisis. Apabila larutan hasil hidrolisis yang telah ditetesi larutan KI tidak menghasilkan warna biru (tidak terjadi perubahan warna), berarti proses hidrolisis sudah selesai (Rinaldy, 1987).
E. FERMENTASI ETANOL Fermentasi adalah proses metabolisme yang menyangkut perubahan kimia pada substrat bahan organik, baik karbohidrat, protein, lemak, maupun bahan yang lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim, dan dihasilkan dari aktivitas enzim tersebut oleh jenis mikroba spesifik (Presscot dan Dunn, 1981). Fermentasi dapat terjadi secara aerob
13
(memerlukan oksigen) maupun anaerob (tidak memerlukan oksigen). Menurut Hidayat et al. (2006), fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan kapang. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik. Mikroba yang digunakan pada fermentasi etanol adalah khamir. Khamir berbentuk menyerupai kapang dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi uniseluler, umumnya berbentuk oval, silinder, bulat dan batang. Saccharomyces cerevisiae melakukan reproduksi vegetatif dengan
membentuk tunas, dan tidak mampu tumbuh pada nitrat sebagai satu-satunya sumber nitrogen (Hidayat et al., 2006). Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida (C6H12O6 sebagai glukosa) dapat langsung difermentasi, sedangkan disakarida, pati, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana (monosakarida), untuk kemudian dapat difermentasi secara biologis dan kimia (Sa’id, 1987). Pemilihan mikroba biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang digunakan sebagai medium. Untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula digunakan Saccharomyces cerevisiae dan kadang-kadang digunakan juga Saccharomyces
ellipsoides
(Sa’id,
1987).
Saccharomyces
cerevisiae
merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan. Khamir ini telah lama digunakan dalam industri wine dan bir (Hidayat et al., 2006). Menurut Rehm dan Reed (1981), Saccharomyces cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah. Pada awal proses fermentasi etanol, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, sehingga perlu diberikan oksigen. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Konsentrasi alkohol yang tinggi bersifat racun terhadap khamir. Alkohol akan menghalangi fermentasi lebih lanjut
14
setelah tercapai konsentrasi antara 13–15% (v/v), tergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan (Presscot dan Dunn, 1981). Pada proses fermentasi etanol, khamir akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur EmbdenMeyerhorf-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 3).
Gambar 3. Embden-Meyerhof-Parnas Pathway (Fardiaz, 1988)
15
Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat (fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan energi dalam bentuk ATP (adenin-tri-phosphat). Reaksi ini dikatalis oleh enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase. Atom hidrogen yang terlepas akan ditangkap
oleh
nikotinamida-adenin-dinukleotida
(NAD),
membentuk
NADH2. Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika NADH2 dapat dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom hidrogen kembali. Jadi, NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam proses fermentasi (Fardiaz, 1988). Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi asetaldehida, lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi etanol (Amerine et al., 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi melalui reaksi berikut, NADH H+ + NAD+
CO2
CH3COCO2H
CH3CHO
C2H5OH
asam piruvat
asetaldehida
etanol
Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroba. Secara teoritis, setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussaac seperti berikut, C6H12O6 glukosa
2 C2H5OH + etanol
2 CO2 karbondioksida
atau dalam dasar berat, 51,1% gula diubah menjadi etanol, dan 48,9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk pertumbuhan dan metabolisme khamir (Amerine et al., 1987). Menurut Paturau (1982), fermentasi etanol memakan waktu antara 30– 72 jam. Sedangkan menurut Presscot dan Dunn (1981), waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 3–7 hari.
16
Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon yang diperoleh dari gula, nitrogen dari amonia, oksigen, fosfor, kalium, zat besi dan magnesium yang berperan dalam pembentukan alkohol. Unsur kelumit (trace element) juga memegang peranan penting untuk pertumbuhan khamir (Presscot dan Dunn, 1981). Untuk mendapatkan etanol dalam jumlah yang maksimum dari proses fermentasi, perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi fermentasi etanol tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut, a. Suhu Fermentasi Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan mikroba. Jika mikroba ditumbuhkan pada suhu diatas suhu maksimumnya, maka protein dan enzim dalam sel mikroba tersebut akan mengalami denaturasi yang mengakibatkan terhentinya proses metabolisme (Hidayat et al., 2006). Menurut Presscot dan Dunn (1981), suhu optimum bagi pertumbuhan khamir pada fermentasi etanol antara 25–35 oC. Sedangkan menurut Hidayat et al. (2006), suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan khamir adalah 28–30 oC. Pada waktu fermentasi terjadi kenaikan panas, karena reaksinya eksoterm. Kenaikan suhu akan menurunkan ketahanan khamir terhadap etanol yang dihasilkan, dan meningkatkan pembentukan asam asetat yang bersifat racun. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi hasil etanol karena terjadinya proses penguapan (Hidayat et al., 2006). Amerine et al. (1987) menambahkan bahwa fermentasi pada suhu rendah bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroba thermofilik, bakteri, dan khamir liar. b. Derajat Keasaman (pH) pH
medium
merupakan
salah
satu
faktor
penting
yang
mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk. Nilai pH berkorelasi positif dengan pembentukan asam piruvat. Jika pH tinggi, maka fase awal (lag phase) akan lebih pendek, sehingga aktivitas fermentasi akan meningkat (Presscot dan Dunn, 1981). Karena pH sangat
17
penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu dijaga agar tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan larutan penyangga (buffer) atau dengan penggunaan sistem kontrol pH tertentu (Sa’id, 1987). Khamir tumbuh dan efisien untuk fermentasi etanol pada kisaran pH 3,5–6,0. Sementara pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0–5,0. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pada pH dibawah 3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga proses fermentasi akan berkurang kecepatannya. c. Oksigen Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi ada beberapa jenis yang dapat tumbuh pada kondisi anaerob, seperti Saccharomyces cerevisiae. Menurut Anonim (2008), pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga terjadi metabolisme aerob atau respirasi. Pada proses respirasi, asam piruvat dioksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerob, respirasi digantikan dengan fermentasi. Pada proses fermentasi, asam piruvat diubah menjadi etanol dan CO2. Apabila terdapat udara pada proses fermentasi, maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit, karena terdapat proses respirasi sehingga terjadi konversi gula menjadi CO2 dan air. d. Medium Fermentasi Rancang bangun medium untuk pertumbuhan dan pembentukan produk merupakan suatu langkah yang menentukan berhasil-tidaknya suatu produksi. Komponen-komponen kimiawi medium harus dapat menyuplai kebutuhan elemen untuk pembentukan massa sel dan produk, serta harus dapat menyuplai energi yang tepat untuk sintesis dan pemeliharaan (Sa’id, 1987). Medium kultur harus mengandung semua elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba, dalam proporsi yang serupa dengan yang ada pada sel mikroba tersebut. Umumnya yang disebut makronutrien adalah elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O dan N. Mesonutrien merupakan elemen yang
18
dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti Mg, P dan S, sedangkan mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit, seperti Fe, Cu, Zn dan Mo (Hidayat et al., 2006). Higgins et al. (1984) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang paling baik untuk proses fermentasi etanol adalah 16–25%, yang akan dihasilkan rendemen etanol sebesar 6–25%. Menurut Amerine et al. (1987), konsentrasi gula yang tinggi (>25%), dapat menyebabkan aktivitas khamir menjadi terhambat (substrate inhibition) dan waktu fermentasi menjadi lebih lama, serta tidak semua gula dapat dikonversi menjadi etanol. Jika konsentrasi gula yang terlalu tinggi (>70%), maka akan menyebabkan proses fermentasi menjadi terhenti akibat adanya tekanan osmotik yang menyebabkan lisis pada sel mikroba. Penggunaan konsentrasi gula yang terlalu rendah akan menjadikan proses fermentasi menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor yang tidak efisien. e. Kebutuhan Nutrien Tambahan Untuk melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses fermentasi etanol selain menggunakan gula sebagai bahan dasar, harus dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel dan pertumbuhan mikroba. Menurut Hidayat (2006), unsur C, unsur N, unsur P, mineral, vitamin, biotin, dan pantotenat merupakan bahan pendorong pertumbuhan, sementara thiamin dan piridoksin dapat meningkatkan produktivitas etanol serta meningkatkan kadar alkohol. f. Kadar Etanol Menurut Reed dan Peppler (1973), etanol dengan kadar sekitar 5% (v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang dengan kadar diatas 5% (v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut. Fiecther (1982) menyatakan bahwa etanol dengan konsentrasi tinggi merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati.
19