5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Purwoceng Tanaman purwoceng termasuk famili Apiaceae, marga Pimpinella dan jenis Pimpinella pruatjan Molk., sinonim Pimpinella alpina Kds. Purwoceng merupakan tanaman terna perenial dengan habitus tanaman berbentuk roset. Tajuk tanaman menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan dengan diameter tajuk berkisar 36–45 cm setiap tanaman. Tangkai daun tumbuh rapat menutupi batang tanaman, sehingga batang tanaman tidak terlihat. Jumlah tangkai daun berkisar antara 22–27 buah/tanaman dengan jumlah tangkai daun berkisar 18–26 cm. Warna pangkal tangkai daun merah kecokelatan dan merah kehijauan tergantung jenisnya (Rahardjo 2005). Apiaceae adalah famili yang tersebar dengan luas di dunia, yang terdiri dari 455 genera dengan lebih dari 3500 spesies (Baranski et al. 2005; Davila et al. 2002).
Famili Apiaceae mempunyai karakter bunga dengan tingkat ketidak
seragaman yang tinggi dengan
bunga berbentuk kecil
dan berkumpul dalam
satu payung (kelompok bunga) (Davila et al. 2002). Purwoceng mempunyai daun
majemuk yang menyirip ganjil, dengan anak
daun tumbuh di sepanjang tangkai daun dengan kedudukan saling berhadapan. Pada ujung tangkai daun tumbuh daun tunggal.
Bentuk anak daun membulat dengan
pinggiran bergerigi, warna permukaan daun hijau dan permukaan bawah daun hijau keputihan (Rahardjo 2005). Tanaman purwoceng mempunyai akar tunggang, dengan akar bagian pangkal semakin lama akan bertambah ukurannya dan membentuk umbi seperti gingseng kemudian akar-akar rambut keluar di ujung-ujung akar tunggang (Rahardjo 2005). Tanaman purwoceng mulai berbunga pada umur 5–6 bulan setelah tanam, tangkai bunga keluar pada bagian ujung tanaman, dengan bunga majemuk membentuk payung. Purwoceng merupakan tanaman dataran tinggi, yaitu tumbuh pada ketinggian 1800–3300 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman tumbuh subur pada ketinggian sekitar 2000 m dpl dengan kondisi tanah yang subur dan gembur, RH udara berkisar
6
60–70% serta curah hujan di atas 4000 mm/tahun. Untuk pertumbuhan
selain
memerlukan tanah yang gembur dan subur, juga diperlukan tanah yang kaya bahan organik dengan pH tanah 5,7–6,0. Tanaman tidak tumbuh dengan baik pada tanah yang bertekstur liat.
Untuk tanah yang kurang subur perlu dilakukan pemupukan
terutama pupuk organik. Dari hasil penelitian terakhir
membuktikan bahwa
purwoceng dapat tumbuh baik pada ketinggian hingga 1500 m dpl dengan suhu udara 15,5–25,8 ºC dan kelembaban 60–90% (Rahardjo 2005).
Perkembangan dan Pemasakan Benih Secara umum perkembangan benih dimulai dari terbentuknya zigot sampai benih masak yang terdiri atas tiga fase yaitu: fase histodiferensiasi, fase akumulasi asimilat dan fase pemasakan (Goldsworthy 1984; Bewley and Black Pada fase pertama ini terjadi pembelahan sel yang giat, zigot
1994).
baik pembelahan sel
untuk membentuk embrio maupun pembelahan sel endorperma primer
untuk membentuk endosperma. Akibat dari pembentukan sel-sel baru ini ovule mengalami pertambahan berat kering. Walaupun terjadi penambahan berat kering dalam fase ini, tetapi jumlahnya masih sedikit yaitu ±10% dari berat kering akhir dan penambahan berat kering terjadi secara lambat. Fase pertama ini berakhir setelah pembelahan sel terhenti dan diferensiasi pembentukan embrio juga sudah sempurna (matang morfologis). Kadar air benih pada fase ini berkisar 80–85%. Fase ke dua merupakan periode penumpukan cadangan makanan (asimilat) atau periode pengisian benih yang efektif. Pada fase ini terjadi pembesaran sel dan hasil-hasil fotosintesis ditranslokasikan ke dalam benih yang sedang berkembang, sehingga terjadi penambahan berat kering dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cepat (penambahan berat kering ± 80%). Berat basah relatif stabil, laju penurunan kadar air berkurang pada saat benih mendekati berat kering maksimum (Goldsworthy 1984; Bewley dan Black benih mencapai
berat kering
1994).
Pada
akhir fase
maksimum, dan pada saat tersebut
ke dua ini benih sudah
mencapai matang fisiologis (physiologycal maturity) (Goldsworthy 1984). Fase ke tiga merupakan fase pemasakan benih, pada fase ini benih sudah merupakan individu bebas dimana benih pada saat tersebut sudah tidak tergantung
7
pada tanaman induknya. Proses yang utama pada fase ini adalah penurunan kadar air benih yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Goldsworthy 1984). Perubahan yang terjadi selama perkembangan benih adalah
perkembangan
secara morfologi, perubahan berat dan perubahan secara kimiawi (Copeland dan McDonald 1995). Selama perkembangan benih cadangan makanan
juga terjadi perubahan
lainnya yaitu hormon
terutama pada saat akumulasi
terhadap kandungan kimia
penting
atau zat pengatur tumbuh seperti auksin, giberelin,
sitokinin dan ABA. Kandungan auksin mencapai puncak pada benih yang sedang berkembang kemudian berkurang dengan jumlah yang relatif sedikit pada saat benih masak. Giberelin pada stadia awal perkembangan benih terdapat dalam bentuk aktif dan berubah menjadi
bentuk tidak
aktif
pada
benih masak.
Kandungan sitokinin meningkat selama perkembangan benih, terutama pada saat jaringan benih sedang
tumbuh dan kemudian jumlahnya menurun seiring dengan
kemasakan benih. Seperti pada hormon lainnya, kandungan ABA mencapai puncak selama perkembangan benih
dan kemudian menurun dengan cepat pada saat
pengeringan benih (Bewley dan Black 1994). Hormon endogen tersebut berperan dalam perkembangan benih dan kemungkinan terlibat dalam beberapa proses seperti pertumbuhan dan perkembangan benih, akumulasi cadangan makanan, pertumbuhan dan perkembangan jaringan, dan cadangan makanan untuk perkecambahan dan pertumbuhan bibit. Indikasi kemasakan buah secara fisiologi dikenali dari perubahan morfologi, fisik dan biokimia buah. Kemasakan buah secara fisiologis seringkali digambarkan dengan ciri buah seperti warna, ukuran dan kadar air buah (Castellani dan Aquiar 2001). Penentuan kemasakan benih dapat dilakukan dengan cara memperhatikan warna buah, bau, kekerasan kulit buah atau benih, rontoknya buah atau benih dan pecahnya buah. Tolok ukur yang objektif untuk menentukan tingkat kemasakan yaitu berdasarkan berat kering dan vigor (Sadjad 1980). Menurut Suhartanto (2002) bahwa kandungan klorofil pada benih juga dapat digunakan sebagai penciri masak fisiologis pada benih tomat. Kandungan klorofil benih berkorelasi negatif dengan daya berkecambah sampai tahap akhir periode pemasakan benih
8
Perkecambahan Benih dan Sifat Dormansi Perkecambahan, secara morfologi didefinisikan sebagai bentuk embrio menjadi
transformasi
kecambah, secara fisiologi perkecambahan
dari
merupakan
permulaan dari proses metabolisme dan pertumbuhan yang diawali dengan kondisi yang mendorong dimulainya transkripsi genom, secara biokimia perkecambahan merupakan serangkaian proses lintasan oksidatif dan sintetik (Khan 1977). Perkecambahan secara umum merupakan serangkaian kejadian yang dimulai dari proses imbibisi, aktivasi enzim, inisiasi pertumbuhan embrio, retak/pecahnya kulit benih dan terakhir munculnya kecambah (Copeland dan McDonald 1995). Menurut Bewley dan Black (1994), terdapat tiga fase pola penyerapan air selama perkecambahan benih. Fase pertama disebut fase imbibisi, pada fase ini air diserap oleh benih, baik benih dorman, benih non dorman, benih viabel dan benih non viabel.
Proses ini berlangsung karena adanya perbedaan potensial air
antara benih dengan air yang sangat besar. Fase ke dua atau lag phase adalah periode mulai aktifnya metabolisme sebagai persiapan untuk perkecambahan pada benih non dorman yang viabel. Fase ke tiga atau fase pertumbuhan hanya terjadi pada benih non dorman yang viabel, ditandai dengan munculnya radikula dan diikuti dengan proses pembelahan sel yang ekstensif, peningkatan laju penyerapan air dan perombakan cadangan makanan. Benih dorman secara umum digambarkan sebagai suatu kondisi dimana benih tidak mampu berkecambah sekalipun pada lingkungan yang mendukung untuk perkecambahan. Secara alamiah dormansi benih merupakan suatu mekanisme benih untuk mempertahankan viabilitasnya pada kondisi yang kurang menguntungkan. Menurut Mayer dan Mayber (1982), dormansi benih adalah suatu keadaan dimana benih tidak mampu berkecambah walaupun kondisi untuk perkecambahan (air, suhu, komposisi gas, dan cahaya) berada dalam keadaan optimum. Ellis, Hong dan Robert dapat dikategorikan menjadi
(1985) menyatakan bahwa dormansi benih
tujuh kelompok yaitu: (1) ecological dormancy,
(2) hardseednes, (3) enforced dormancy, (4) induced dormancy, (5) water sensitivity, (6) embryo dormancy dan (7) innate dormancy. Dormansi yang diakibatkan oleh kelembaban yang kurang memenuhi syarat disebut ecological dormancy, sedangkan hardseedness
disebabkan oleh kulit benih yang keras sehingga benih tidak dapat
9
mengimbibisi air. Enforced dormancy yaitu dormansi yang disebabkan oleh faktor lingkungan
dimana benih dapat berkecambah jika faktor penghambat tersebut
dihilangkan, induced dormancy yaitu dormansi karena salah satu faktor lingkungan dan apabila dikembalikan pada keadaan semula benih tetap dorman, dan innate dormancy yaitu dormansi yang terjadi
sejak benih masih ada di tanaman induk.
Water sensitivity yaitu benih tidak dapat berkecambah karena peka terhadap kelembaban tinggi dan tidak
menunjukkan kerusakan pada kotiledon
diuji dengan tetrazolium sedangkan embryo dormancy
apabila
yaitu dormansi
yang
disebabkan oleh embrio benih tidak dapat tumbuh atau berkembang karena adanya inhibitor dari kotiledon yang menghambat perkecambahan benih. Dormansi mungkin dikendalikan oleh keseimbangan antara hormon perangsang pertumbuhan dan hormon
penginduksi dormansi yang ada
di
dalam organ
yang sama. Di dalam hipotesis Khan (1977) dikemukakan bahwa keseimbangan promotor dan inhibitor (1) hormon giberelin harus ada
terdapat
dalam merangsang perkecambahan, yaitu:
dalam semua kondisi
tetapi aktivitasnya dapat
dihambat oleh inhibitor, (2) hormon sitokinin dapat menutupi peran inhibitor, dan (3) jika tidak ada inhibitor sitokinin tetap berperan. Bewley dan Black (1994) mengemukakan
bahwa di samping dormansi
mempunyai dasar genetik, faktor lingkungan dapat menjadi pembatas terhadap derajat dormansinya. Derajat dormansi juga dipengaruhi oleh status hormonal yang disintesis selama proses perkembangan dan pemasakannya.
Inhibitor dalam benih
yang dibentuk pada fase pemasakan menyebabkan benih yang lebih masak mempunyai derajat dormansi yang lebih tinggi. Penelitian-penelitian tentang dormansi benih khususnya dari golongan serealea telah banyak dilakukan seperti pada tanaman padi, dan barley. Dormansi pada benih barley, dan benih sereal daerah iklim temperate lainnya,
dinyatakan
sebagai
ketidakmampuan dari benih yang baru dipanen untuk berkecambah pada suhu >20 ºC, tetapi bisa berkecambah pada suhu yang relatif rendah (10-20 °C) (Lenoir et al. 1986; Corbineau dan Come 1996). Dormansi pada benih barley juga terlihat di bawah kontrol ABA (BenechArnold et al. 2006). Giberelin bisa mengatasi dormansi pada sereal dan terlihat
10
tidak secara langsung terlibat dalam mengontrol dormansi, tetapi berperanan penting dalam menstimulir perkecambahan, dengan menurunkan level ABA (Bewley 1997). Dormansi morfologi dan fisiologi pada benih Chaerophyllum temulum (famili Apiaceae) dapat dipatahkan dengan perlakuan stratifikasi pada suhu 5 ºC, dimana benih bisa berkecambah pada rentang suhu yang luas. Peningkatan konsentrasi GA 3 dapat meningkatkan daya berkecambah, akan tetapi pemberian GA 3 tidak dapat menggantikan perlakuan stratifikasi dingin pada benih yang dikecambahkan pada suhu 23 ºC
(Vandelook et al. 2007). Menurut Schutte and Knee (2005), benih
Eryngium yuccifolium M. (Apiaceae) mempunyai dormansi yang disebabkan oleh embrio yang rudimenter yang tersimpan dalam endosperma, testa dan pericarp, dan perkecambahan hanya terjadi pada suhu 25 ºC.
Berbagai Perlakuan Stimulasi Perkecambahan Pada prinsipnya terdapat dua metode stimulasi perkecambahan berdasarkan sifat dormansinya, yaitu dormansi eksogenus dan dormansi endogenus.
Pada
dormansi eksogenus umumnya perlakuan pematahan dormansi diberikan secara fisik, seperti skarifikasi mekanik dan skarifikasi kimiawi. meliputi
Skarifikasi mekanik
pengampelasan, pengikiran, pemotongan dan penusukan pada bagian
tertentu dari benih. Perendaman benih atau perlakuan skarifikasi kimiawi biasa dilakukan dengan menggunakan air panas dan dan bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H 2 SO 4 dan HCl), alkohol dan H 2 O 2 yang bertujuan untuk merusakkan atau melunakkan kulit benih. Penggunaan hormon seperti GA 3 , etilen dan sitokinin serta bahan kimia KNO 3
merupakan
perlakuan
pematahan dormansi
pada kasus
dormansi endogenus. Selain penggunaan hormon dapat juga digunakan perlakuan stratifikasi benih dengan suhu tinggi, suhu rendah maupun perlakuan suhu berganti. Perlakuan stratifikasi secara tidak langsung berperan dalam memperbaiki keseimbangan hormon dan mempengaruhi metabolisme benih. (KNO 3 ) merupakan bahan kimia
Potasium nitrat
yang umum digunakan dalam merangsang
perkecambahan benih. Menurut Mayer dan Mayber (1982), larutan KNO 3 dapat merangsang perkecambahan benih yang mengalami dormansi. tergantung pada konsentrasi yang diberikan.
Rangsangan ini
11
Giberelin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh pada tanaman (fitohormon) yang mempunyai peranan dalam mempercepat proses perkecambahan benih. Weiss dan Ori (2007) menyebutkan bahwa salah satu efek fisiologis dari giberelin adalah mendorong aktivitas enzim-enzim hirolitik
pada proses
perkecambahan benih. Selama proses perkecambahan benih, embrio yang sedang berkembang
melepaskan
giberelin
ke
lapisan
aleuron.
Giberelin
tersebut
menyebabkan terjadinya transkripsi beberapa gen penanda enzim-enzim hidrolitik diantaranya α-amilase. Kemudian enzim tersebut
masuk ke endosperma dan
menghidrolisa pati dan protein sebagai sumber makanan bagi perkembangan embrio.