4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kedelai Kedelai (Glycine max (L) Merril ) merupakan tanaman pangan semusim dari famili Leguminoseae. Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang dapat mencapai ketinggian antara 30-100 cm. Batang ini beruas-ruas dan memiliki percabangan antara 3-6 cabang. Daun kedelai mempunyai ciri-ciri antara lain helai daun (lamina) oval, dan tata letaknya pada tangkai daun bersifat majemuk berdaun tiga (trifoliolatus). Daun ini berfungsi sebagai alat untuk proses fotosíntesis, respirasi dan transpirasi (Rukmana dan Yuyun, 1996) Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit buah bermacam-macam ada yang kuning, hitam, hijau dan cokelat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di Indonesia, besar biji bervariasi dari 6 g-30 g (Suprapto, 2001). Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan tipe batang determinate ditunjukan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto, 2005).
Lingkungan Tumbuh Kedelai Tanaman kedelai dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah yang bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik. Kedelai peka terhadap kondisi salin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1988). Kedelai tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air, dan memiliki pH 6-6.8. Pada pH 5.5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak sebaik pada pH 6-6.8. Pada pH <5.5 pertumbuhan kedelai sangat terlambat karena keracunan alumunium
5 (Najiyati dan Danarti, 1999). Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik (Suprapto, 2001). Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada suhu tanah yang rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat, bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30°C), banyak biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Tanaman kedelai dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 24-25°C (Irwan, 2006). Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim, sistem pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350-450 mm selama masa pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan. Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong (Irwan, 2006).
Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut merupakan lahan marginal yang memiliki berbagai kendala biofisik dan sosial ekonomi. Kendala biofisik antara lain, kesuburan lahan dan pH tanah yang rendah, hama dan penyakit, jaringan irigasi yang belum berfungsi dengan baik, penurunan permukaan air tanah yang cukup dalam menyebabkan terjadinya lapisan pirit yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kendala dari aspek sosial ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja, modal, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta sarana dan prasarana penunjang kurang kondusif (Adri et al., 2001). Berdasarkan tipe luapan air, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi lahan bertipe luapan air A, B, C, atau D. Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan pasang surut yang langsung dan selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun kecil. Lahan tipe B adalah lahan yang hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Lahan tipe C lahan tidak terluapi air walaupun pasang besar, namun air tanahnya dangkal. Lahan tipe D adalah lahan yang tidak terluapi oleh
6 pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm (Suastika et al., 1997). Kedelai pada umumnya diusahakan di lahan pasang surut tipe C atau D, dengan pola tanam padi-kedelai atau palawija lain (Sabran et al., 2000). Lahan pasang surut potensial dicirikan oleh adanya lapisan pirit (FeS2) pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Lahan pasang surut potensial di Sumatra Selatan memiliki kedalaman lapisan pirit antara 50-100 cm. Tekstur tanahnya bervariasi, sebagian besar adalah liat dan liat berdebu, hanya sebagian kecil lempung berliat dan lempung liat berdebu dengan pH (H2O) tanahnya berkisar antara 3.3 sampai 5.9 (Thamrin, 2000). Sebagian besar tanah mineral di daerah pasang surut bersifat sulfat masam. Kadungan pirit dalam tanah sulfat masam beragam dan cenderung semakin meningkat ke lapisan bawah, terutama pada Sulfaquent dan sulfaquept (Breemen dan Pons, 1973). Pirit membahayakan tanaman apabila berada dalam suasana teroksidasi yang menyebabkan turunnya pH dengan cepat. Terjadinya oksidasi bahan sulfidik yang mengandung lapisan pirit dalam tanah diawali dari kekurangan air dalam tanah sehingga permukaan air tanah turun melampaui posisi lapisan pirit. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa pirit (FeS2) dengan oksigen (O2) yang menghasilkan unsur dan senyawa yang beracun bagi tanaman (Hadi, 2004). Keracunan Al merupakan salah satu faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan tanaman pada tanah masam (Koswara dan Leiwakabessy, 1972). Semakin rendah pH maka konsentrasi Al dalam tanah semakin tinggi. Konsentrasi Al yang cukup tinggi pada tanah masam (pH<4.7) dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tetapi juga karena menghambat penyerapan besi dan karena efek bercun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury da Ross, 1995). Alumunium
akan
terakumulasi
pada
akar
tanaman
dan
dapat
menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan fosfat dari tanah ke pembuluh vascular (Russel and Ressel, 1986). Keracunan Al
7 menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar (Hakim et al., 1986).
Budidaya Jenuh Air Pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dapat dilakukan dengan cara ”sub surface irrigation” yaitu irigasi yang menitikberatkan pada kedalaman muka air tanah di bawah permukaan tanah, sehingga air tidak tergenang, tetapi sudah melebihi kapasitas lapang (Wiroatmojo dan Sulistyono, 1991). Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman di atas bedengan dengan memberikan air secara terus menerus di dalam parit, sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air tetapi tidak tergenang (Purwaningrahayu et al., 2004). Budidaya jenuh air juga dapat diterapkan di areal dengan irigasi cukup baik atau pada areal penanaman dengan drainase kurang baik (Ghulamahdi, 1991). Tanpa saluran drainase yang baik, kelembaban tanah menjadi tinggi dan menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai menjadi tidak optimal, lingkungan tanah jenuh air yang ekstrim akan mengakibatkan akar tanaman menjadi busuk karena kekurangan oksigen sehingga penyerapan unsur hara terhambat dan akhirnya tanaman tumbuh kerdil (Sumarno,1986). Budidaya kedelai pada lahan basah dapat meningkatkan hasil 20-80% (Indradewa et al. 2004). Secara garis besar Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan genangan dalam parit mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi dibanding dengan yang dibudidayakan dengan pengairan luapan seperti yang dilakukan petani karena: (1) mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, (2) pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, (3) mengalami penundaan penuaan dan perpanjangan fase reproduktif. Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnson et al., 1984). Pertumbuhan
tanaman
meningkat
setelah
melewati
masa
aklimatisasi.
Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi dan fiksasi N2 yang besar (Ghulamahdi et al., 2006). Budidaya jenuh air hampir
8 sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada ketinggian muka air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah, sedangkan padi sawah tinggi muka air beberapa sentimeter di atas permukaan tanah (Lawn, 1985).
Respon Varietas pada Budidaya Jenuh Air Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai berumur pendek (CSIRO, 1983; Ghulamahdi et al., 1991). Berdasarkan lamanya periode tumbuh dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari); umur sedang (80-85 hari); dan umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja et al., 1985). Kemampuan akar dari berbagai jenis tanaman dalam menghisap air tanah tersedia berbeda-beda. Kandungan air tanah optimal bagi kedelai adalah pada kisaran tegangan air 0.3-0.5 atm. Keadaan status tanah yang demikian menyebabkan serapan hara N, P, K, dan Ca berlangsung baik dan tanaman dapat memanfaatkan nitrogen yang terfiksasi di bintil-bintil akar. Pertumbuhan tanaman kedelai terhambat bila tanah lebih basah dari keadaan pada tegangan air 0.3 atm (Suryantini, 2002). Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap keadaan jenuh air berlangsung selama dua minggu atau antara 2-4 minggu setelah pelaksanaan irigasi dimulai (Treodson et al., 1983). Akar dan bintil akar kedelai di bawah muka air mati pada awal aklimatisasi dan selanjutnya tumbuh bintil akar di atas muka air. Kandungan N dalam daun menurun dan terjadi klorosis (CSIRO, 1983). Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan dengan budidaya biasa pada tahap aklimatisasi karena penurunan luas daun (Treodson et al., 1983). Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil yang muncul di atas permukaan air, dan daun menjadi hijau kembali. Jika tanaman kedelai telah tumbuh, pengaruh penggenangan tergantung dari fase pertumbuhan terjadinya genangan dan lamanya waktu
9 penggenangan (Whigham dan Minor, 1978). Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga respirasi biji terganggu (Sabran et al., 2000). Laju pertumbuhan pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya biasa (CSIRO, 1983). Di tanah jenuh air, banyak fotosintat digunakan untuk pertumbuhan bagian tanaman di dalam tanah terutama bintil. Meskipun demikian penyerapan nitrogen menurun terutama karena akar bagian bawah yang berada dalam tanah jenuh mati, sehingga luas permukaan akar menurun (Indradewa et al. 2004). Penurunan penyerapan nitrgen menyebabkan tanaman mengalami gejala klorosis (Ralph, 1985). Gangguan pertumbuhan akibat defisiensi N yang dialami oleh tanaman dapat ditanggulangi dengan memberikan pupuk N (Wiroatmodjo dan Sulistyono, 1991). Kandungan N daun tanaman pada budidaya jenuh air meningkat, sehingga menjadi sama dengan budidaya biasa pada saat 28-42 hari setelah pelaksanaan irigasi dimulai. Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya lahan biasa pada saat 50-70 hari setelah tanam (Nathanson et al., 1984). Hasil pengujian varietas kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut menunjukkan bahwa varietas yang memberikan hasil tertinggi berturut-turut adalah Tanggamus, Slamet, Anjasmoro, dan Wilis. Tanggamus dapat mencapai hasil sebesar 4,51 ton biji kering/ ha, karena mempunyai jumlah polong isi terbanyak, meskipun mempunyai bobot 100 biji hanya 10 gram. Oleh karena itu Tanggamus merupakan varietas terpilih yang akan dikembangkan selanjutnya pada teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009).
Pencucian Lahan Pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengaturan dan pengelolaan air ditujukan untuk mengendalikan keadaan air di petakan lahan dan mempercepat proses pencucian bahan beracun. Pengelolaan tanah dan air meliputi jaringan tata
10 air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi di sawah, mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman terutama Fe2+ melalui penggelontoran dan pencucian, mengatur tinggi muka air dan menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran (Suriadikarta, 2005). Selain itu, pengelolaan tata air mikro dapat meningkatkan pH tanah. Pembuatan saluran cacing pada petakan dan disekeliling petakan lahan dapat memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun (Adri et al., 2001). Menurut Subagyono et al (1999), pencucian bahan beracun dari petakan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Untuk memperlancar pencucian bahan beracun, pada petakan lahan dibuat saluran cacing dengan jarak 6-8 m. Lahan yang mempunyai lapisan pirit dalam, saluran cacing dibuat dengan jarak 20 m atau lebih. Pencucian akan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Kehilangan nitrogen terutama disebabkan oleh adanya penguapan (volatilization), denitrifikasi (denitrification), pencucian (leaching), atau menjadi tidak tersedia karena immobilisasi (immobilization). Komponen penyebab kehilangan nitrogen terbesar di lahan sawah adalah adanya proses pencucian dan aliran drainase (Suhatmono, 2003).