5
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan baku makanan terutama dari wilayah Asia seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan peninggalan arkeologi tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Cina. Sedangkan kedelai hitam telah dikenal sebelumnya oleh penduduk Indonesia. Mulai dibudidayakan terutama di daerah Jawa sekitar tahun 1750 (Oarke et al. 1999). Kedelai yang banyak dibudidayakan di Indonesia terdiri dari dua spesies yaitu: Glycine max (disebut kedelai putih, biji dapat berwarna kuning, agak putih atau hijau) dan Glycine soja (disebut kedelai hitam, biji berwarna hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang Selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia tenggara dan Indonesia (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Faktor penghambat dalam budidaya kedelai salah satunya adalah hama dan penyakit. Hama-hama penting yang menyerang tanaman kedelai adalah 1). perusak bibit: Lalat kacang (Agromyza phaseoli), penggerek pucuk kedelai (Agromyza dolichostigma), penggerek batang kedelai (Melanagromyza sojae);2). perusak daun: Kumbang kedelai (Phaedononia inclusa), Ulat grayak (Spodoptera litura), Ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), penggulung daun (Lamprosema indicata), penggulung daun (Adoxophyes Privatana); 3). Perusak polong: Penggerek polong (Etiella zinckenella), pengisap polong (Riptortus linearis), kepik hijau (Nezara viridulla); 4). Hama lainnya: Hama yang dapat menularkan penyakit pada tanaman kedelai (vektor) contoh kutu tebu/lalat putih (Bemisia sp.) (Balitkabi 2008). Sedangkan, penyakit penting pada tanaman kedelai adalah: 1). Penyakit yang disebabkan fungi: Penyakit-karat dengan patogen Phakospora pachyrhizi sydow; 2) Penyakit yang disebabkan bakteri: Hawar daun, patogen: Pseudomonas
6
syringae; pustul bakteri oleh Xanthomonas axonopodis pv. glycines; 3). Penyakit yang disebabkan virus: Mosaik kedelai (Soybean Mosaic Virus), penyakit Kerdil kedelai, penyakit Katai kedelai (Soybean Dwarf Virus) (Hartman et al. 1999).
Penyakit Pustul Bakteri
Pustul bakteri merupakan penyakit penting pada tanaman kedelai terutama di Indonesia. Kehilangan hasil akibat penyakit ini mencapai 15.9% sampai 50% (Dirmawati 2004).
Gejala
Gejala awal penyakit pustul bakteri berupa bercak berwarna hijau pucat kekuningan sebesar mata jarum, dengan bagian tengah agak menonjol. Bercak nampak kebasah-basahan seperti kebanyakan infeksi oleh bakteri. Bercak berkembang menjadi lebih besar (diameter 3mm) daripada bagian tengahnya, terutama pada bagian bawah permukaan daun, terdapat tonjolan berwarna coklat muda, tonjolan (pustul/bisul) terjadi akibat hipertropi dan hiperplasia. Bercak mempunyai ukuran yang bervariasi, dari satu bercak kecil hingga bercak besar yang tidak teratur yang terjadi karena bersatunya banyak bercak. Bercak mengering, mudah sobek, dan gugur lebih awal. Daun kedelai yang gugur prematur menyebabkan produktivitas tanaman kedelai menurun berkaitan dengan jumlah polong hampa yang tinggi (Sinclair dan Backman 1989). Gejala pustul hampir mirip dengan gejala karat yang disebabkan oleh cendawan P. pachyrhizi Syd. Perbedaannya, pada gejala pustul bakteri terdapat pada daun-daun muda pada bagian atas tanaman, sedangkan penyakit karat awalnya terdapat pada daun-daun tua dibagian bawah lalu berkembang ke bagian daun yang lebih muda di bagian atas. Pada permukaan bawah helai daun kedelai yang bergejala karat terdapat urediosorus yang tampak seperti gumpalan tanah berwarna coklat yang terasa kasar jika diraba (Hartman et al. 1999). Menurut Sudjono et al. (1985) menyatakan bahwa pada polong varietas yang rentan, penyakit pustul bakteri menyebabkan terjadinya bercak kecil yang berwarna coklat kemerahan.
7
Organisme Penyebab Penyakit
Penyakit pustul bakteri diketahui disebabkan oleh X. axonopodis pv. glycines (Nakano) Dye Vauterin. Pada awalnya menurut Machmud (1987) penyakit bisul bakteri disebabkan oleh X. campestris pv. phaseoli (Smith 1897). Namun menurut Moffet dan Dye dalam Semangun (1991) di beberapa negara penyebab penyakit pustul bakteri pada kedelai diidentifikasi sebagai X. campestris pv. glycines (Nakano) Dye 1978, yang dulu disebut X. phaseoli var. sojense (Hedges) starr et Burkh., Pseudomonas glycines (Nakano) Mangrou et prevot. Dalam identifikasi terbaru berdasarkan genotipenya, patogen ini diusulkan sebagai X. axonopodis pv. glycines (Vauterin 1995 dalam CABI 2005). Schaad (2001) mengidentifkasi bakteri ini dengan ciri-ciri bakteri X. axonopodis pv. glycines berukuran 0.5-0.9 x 1.4-2.3 µm, berbentuk batang, memiliki satu flagel polar dan merupakan bakteri gram negatif. Koloni pada agar yeast dextrose carbonat (YDC) berwarna kuning pucat yang lama kelamaan berubah menjadi kuning tua, berukuran kecil, bulat dan tepinya licin.
Gambar 1 Gejala pustul bakteri pada daun kedelai
Bakteri X. axonopodis pv. glycines dapat mencairkan gelatin dalam waktu 6 hari, membentuk asam sitrat dari arabinosa, glukosa, manosa, selobiosa, trehalosa, dan sukrosa dalam 2 hari, menguraikan protein susu dalam 13 hari, menghidrolisis pati dalam 2 hari. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 30- 330C dengan suhu maksimum 380C dan minimum 100C (Schaad 2001). Sinclair dan Backman (1989) menambahkan bakteri jika ditumbuhkan pada media dapat menghasilkan auksin, bakteriosin dan eksopolisakarida.
8
Siklus Penyakit dan Kisaran Inang
Bakteri masuk kedalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti hidatoda dan stomata atau melalui luka mekanik, lalu berkembang dalam ruang antar sel. Bakteri tersebar melalui percikan air atau hujan. Epidemi penyakit pustul bakteri terjadi pada kedelai yang masa pembungaannya bertepatan dengan cuaca basah. Selain itu, bakteri bertahan dalam biji, permukaan sisa-sisa tanaman, dan dalam rizosfer tanaman gandum (Sinclair dan Backman 1989). Bakteri X. axonopodis pv. glycines memiliki inang lain yaitu kacang buncis, kacang panjang, dan kecipir selain itu, di Amerika Serikat X. axonopodis pv. glycines dilaporkan menginfeksi gulma Brunnicia cirrhosa Gaertn (Sinclair dan Backman 1989). Maraknya penggunaan pestisida sintetik yang akhir-akhir ini banyak digunakan petani untuk mengendalikan penyakit ini banyak menimbulkan dampak negatif jika penggunaannya tidak bijaksana baik terhadap tanaman sendiri, manusia maupun terhadap lingkungan biotik lain seperti agens hayati patogen. Oleh karena itu, perlu stategi pengendaliannya yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.
Sistem PHT-Biointensif
Ketergantungan pada penggunaan pestisida sintetik mendasari munculnya sistem PHT-Biointensif dalam program perlindungan tanaman di seluruh dunia. Dampak negatif dari pestisida sintetik seperti terjadinya resistensi patogen, perubahan virulensi patogen, terbunuhnya patogen non-target (agens hayati) ataupun pencemaran terhadap lingkungan, tanaman itu sendiri dan manusia. Sistem PHT-Biointensif adalah suatu sistem pendekatan untuk pengelolaan hama dan penyakit tanaman yang didasarkan pada pemahaman ekologi hama dan patogen. Diawali dengan langkah-langkah untuk mendiagnosis sifat dan sumber masalah hama dan penyakit dan pemanfaatan agens hayati untuk menjaga populasi hama dan patogen dalam batas yang dapat diterima. Manfaat dari penerapan PHT-Biointensif yaitu dapat mengurangi biaya input kimia, mengurangi on-farm dan off-farm dampak lingkungan, dan lebih efektif dan manajemen hama dan patogen yang berkelanjutan (ATTRA 2001).
9 Tujuan utama PHT-biointensif adalah untuk memberikan panduan dan
pilihan bagi manajemen yang efektif dari patogen dan organisme menguntungkan dalam konteks ekologi. Pada prinsipnya sistem PHT-Biointensif sama dengan sistem PHT, perbedaannya pada sistem PHT penggunaan pestisida sintetik masih digunakan walaupun sebagai alternatif terakhir, akan tetapi pada sistem PHT- Biointensif pestisida sintetik sama sekali tidak digunakan. Adapun, strategi PHT- Biointensif yang dilakukan antara lain penggunaan varietas tahan, pemberian mulsa jerami dan aplikasi PGPR.
Varietas Tahan
Penggunaan varietas tahan adalah cara pengendalian penyakit tumbuhan yang efektif, murah dan ramah lingkungan. Menurut Zadoks dan Schein (1979) penanaman varietas tahan bertujuan untuk mengurangi jumlah inokulum awal. Ketahanan suatu varietas terhadap suatu penyakit umumnya tidak berlangsung selamanya. Jika muncul ras baru yang lebih virulen, maka ketahanan varietas tersebut akan patah. Oleh karena itu, adanya varietas-varietas baru kedelai yang tahan terhadap penyakit pustul sangat dibutuhkan dalam upaya pengendalian penyakit tersebut. Hasil penelitian Anggraini et al. (1995) yang menguji ketahanan 75 genotip yang terdiri dari 29 varietas lokal, 8 varietas nasional, 23 introduksi dan 15 galur percobaan terhadap penyakit pustul, diketahui hanya 1 genotip yang menunjukkan reaksi tahan yaitu varietas Si Pinang yang merupakan varietas lokal dari Langkat, Sumatera Utara dan memiliki ciri-ciri berbiji hitam, berbunga ungu dan memiliki tinggi sekitar 35 cm. Di Indonesia, kebanyakan petani lebih banyak menanam varietas kedelai berbiji kuning. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui ketahanan varietas-varietas kedelai yang banyak ditanam petani terhadap penyakit pustul bakteri. Balitkabi (2008) melaporkan terdapat 72 varietas unggul kedelai yang masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Termasuk dua diantaranya adalah varietas Anjasmoro dan Gepak Kuning. Dari hasil sosialisasi pengembangan jaringan alih teknologi produksi benih sumber, diketahui varietas kedelai yang paling diminati pengguna/petani adalah varietas Anjasmoro (Balitkabi 2008).
10
Selain memiliki ukuran biji yang besar, daya hasil varietas ini cukup besar
mencapai 2,03 – 2,25 ton/ha, hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk varietas ini. Varietas yang dilepas pada tahun 2001 ini memiliki keunggulan lainnya yaitu memiliki ketahanan terhadap penyakit karat daun dan Cladosporium sp., juga tahan terhadap rebah dan memiliki sifat polong yang tidak mudah pecah. Selain varietas Anjasmoro, varietas lain yang baru dilepas pada tahun 2008 yaitu varietas Gepak Kuning juga banyak diminati dan ditanam petani terutama di wilayah Jawa Timur (Balitkabi 2008). Varietas ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya: berumur genjah dan toleran terhadap penaungan, selain itu, tahan terhadap beberapa hama kedelai diantaranya ulat grayak, Aphis sp., penggulung daun, dan Phaedonia sp. dan agak tahan penyakit karat. Varietas ini baik beradaptasi di lahan sawah dan tegal, baik pada musim hujan maupun kemarau.
Mulsa Jerami
Faktor lain selain penggunaan varietas dalam sistem PHT-Biointensif adalah penggunaan mulsa jerami. Menurut WAC (2005) Mulsa adalah semua atau setiap bahan yang digunakan menutup tanah, bahan tersebut dapat berupa sisa tanaman, lembar plastik, atau susunan batu.
Fungsinya untuk melindungi
permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembapan, struktur serta kesuburan tanah, dan menghambat pertumbuhan gulma. Ada berbagai macam jenis mulsa, salah satunya adalah mulsa jerami. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan mulsa jerami terhadap pertumbuhan dan penekanan penyakit pada berbagai tanaman. Mulsa dapat memengaruhi kondisi fisik dan biologi tanah. Pengaruhnya terhadap kondisi fisik tanah adalah sebagai berikut: (1) mengurangi daya tumbuk langsung butir-butir hujan; (2) menurunkan jumlah dan jarak percikan tanah kalau ada; (3) menurunkan dispersi butir tanah permukaan sehingga mencegah pengerasan atau pergerakan permukaan; (4) memperkecil fluktuasi kelembapan dan suhu tanah; (5) mengurangi aliran permukaan dan erosi internal dan penyumbatan pori tanah; (6) memperbesar infiltrasi; (7) mengurangi terjadinya evaporasi; dan (8) mempertahankan kelembapan tanah (Kohnke et al. 1959). Sedangkan, pengaruh mulsa terhadap biologi tanah adalah dapat meningkatkan
11 aktivitas mikroba, keberadaan insekta tanah, cacing tanah dan populasi hewan
lainnya yang dekat dengan permukaan tanah, dengan adanya suhu dan kelembapan yang seimbang dan relatif stabil sehingga dapat mempermudah pertumbuhan benih secara maksimal (Varadan dan Rao 1983). Mulsa dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu mulsa organik, mulsa anorganik, dan mulsa alamiah. Mulsa organik terbuat dari sisa tanaman atau biasa disebut mulsa sisa tanaman, sedangkan mulsa anorganik berupa alumunium dan plastik dan mulsa alami dapat berupa susunan batu. Mulsa organik adalah mulsa yang berasal dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna. Mulsa sisa tanaman dapat memperbaiki kesuburan, struktur, dan cadangan air tanah. Mulsa juga menghalangi pertumbuhan gulma, dan menyangga (buffer) suhu tanah agar tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Selain itu, sisa tanaman dapat menarik binatang tanah (seperti cacing), karena kelembaban tanah yang tinggi dan tersedianya bahan organik sebagai makanan cacing. Adanya cacing dan bahan organik akan membantu memperbaiki struktur tanah. Mulsa sisa tanaman akan melapuk dan membusuk. Karena itu perlu menambahkan mulsa setiap tahun atau musim, tergantung kecepatan pembusukan. Sisa tanaman dari rumput rumputan, seperti jerami padi, lebih lama melapuk dibandingkan bahan organik dari tanaman leguminose seperti benguk, Arachis, dan sebagainya (WAC 2005). Menurut Sudriatna et al. (1993), jerami padi dapat digunakan sebagai sumber bahan organik dalam meningkatkan hasil kedelai. Pernyataan tersebut didukung oleh Mastur dan Sunarlim (1993) yang melaporkan kenaikan hasil kedelai di Mojosari dan karawang dengan pemberian mulsa masing-masing 5 ton/ha dan 6 ton/ha dapat meningkatkan hasil kedelai sebesar 300 kg/ha dan 492 kg/ha. Adapun kombinasi pemberian mulsa 5 ton/ha dan penempatan biji kedelai di tunggul bekas padi dapat meningkatkan atau memperbaiki pertumbuhan akar dalam tanah (Sutarto et al. 1988).
12
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)
Strategi biologi dalam sistem PHT-Biointensif meliputi aplikasi agen hayati, PGPR. Pemanfaatan Agen hayati telah banyak dilakukan untuk menekan penyakit pustul bakteri dan bersifat memacu pertumbuhan tanaman. Isolat rizobakteri dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan sebagai agens antagonis terhadap patogen tanaman disebut PGPR. PGPR yang diaplikasikan merupakan kombinasi antara Bacillus subtilis AB89 dan Pseudomonas fluorescens RH4003.
B. subtilis AB89
Isolat B. subtilis AB89 merupakan isolat yang berasal dari rizosfer tanaman tomat. Diketahui, B. subtilis AB89 memiliki karakteristik positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006). Siderofor berasal dari bahasa Yunani berarti pembawa ion besi, siderofor akan muncul pada saat kondisi lingkungan dengan ion Fe3+ terbatas dan mengakibatkan besi tidak tersedia bagi patogen (bersifat kompetisi dengan patogen). Crosa dan Walsh (2002) melaporkan bahwa siderofor yang dihasilkan B. subtilis adalah bacillobactin. Menurut Nawangsih (2006) B. subtilis AB89 memiliki kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian antara lain yaitu: menghasilkan zone hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi aktifitas peroksidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berperan dalam proses ketahanan tanaman terhadap patogen (Brimecombe et al. 2001). Lebih lanjut Stermer (1995) menyatakan peroksidase berfungsi dalam polimerisasi oksidatif hydroxyccinnamyl alkohol untuk membentuk lignin. Peranan peroksidase yang lain adalah sebagai sarana pembentukan “hydroxyproline-rich structural protein” dalam dinding sel sehingga dinding sel menjadi lebih tahan terhadap degradasi oleh mikroorganisme. Peroksidase juga dapat berfungsi secara langsung sebagai senyawa antimikroba.
13
Nawangsih (2006) menggunakan isolat B. subtilis AB89
untuk
menghambat perkembangan bakteri patogen Ralstonia solanacearum pada tomat. Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan bahwa isolat AB89 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri.
Selain itu,
Handini (2011)
melaporkan kombinasi antara B. subtilis AB89 dan bakteri endofit BL10 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat di lapangan, dan mampu meningkatkan tinggi tanaman jika dikombinasikan dengan bakteri endofit BC10.
P. fluorescens RH4003
Sama seperti B. subtilis AB89, isolat P. fluorescens RH4003 merupakan isolat yang berasal dari rizosfer tanaman tomat. Berdasarkan hasil sekuensing parsial 16S rDNA, isolat P. fluorescens RH4003 memiliki kesamaan 98% dengan P. fluorescens. Karakter fisiologi P. fluorescens RH4003 yaitu gram negatif, tidak membentuk spora, menghasilkan senyawa floresen pada medium King’s B agar, Levan positif, reaksi oksidase positif, Arginine dihydrolase positif, tidak menghasilkan reaksi hipersensitif pada tembakau, tidak tumbuh pada 41 0C, tidak mencairkan gelatin, dan pertumbuhannya positif pada L-arabinosa, D-galaktosa serta sorbitol. Produksi asam dari xylose positif, lactose negatif, glukosa positif, maltosa negatif, dan sukrosa positif lemah (Nawangsih 2006). Isolat P. fluorescens RH4003 juga diketahui tidak menghasilkan zona hambatan pada media NA tetapi pada media King’s B dan CPMA –Ca2+ menunjukkan adanya zona hambatan. Luas zona hambatan dipengaruhi oleh jenis media. Media King’s B merupakan media yang memiliki kandungan Fe yang sangat rendah, hal tersebut sangat cocok bagi pembentukan siderofor oleh P. fluorescens. Isolat P. fluorescens RH4003 membentuk zona hambatan pada media yang mengandung glukosa tetapi tidak pada media yang mengandung mannitol maupun dextrose. Diketahui juga bahwa Isolat P. fluorescens RH4003 menghasilkan siderofor dan mampu meningkatkan aktivitas enzim peroksidase (Nawangsih 2006). Selanjutnya, Nawangsih (2006) melaporkan pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa isolat P. fluorescens RH4003 mampu menekan
14 perkembangan penyakit layu bakteri, indeks penekanan oleh isolat P. fluorescens
RH4003 yaitu sebesar 62%.
Kelimpahan Bakteri Rizosfer
Indikator keberhasilan sistem PHT-Biointensif salah satunya adalah tanah aktif. Strategi tanah aktif sangat berkaitan dengan kelimpahan dan keragaman mikroorganisme tanah. Umumnya jumlah mikroba dalam tanah lebih banyak daripada dalam air ataupun udara. Bahan organik dan senyawa anorganik lebih tinggi dalam tanah sehingga cocok untuk pertumbuhan mikroba heterotrof maupun autotrof. Keberadaan mikroba di dalam tanah terutama dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisika tanah. Komponen penyusun tanah yang terdiri atas pasir, debu, lempung dan bahan organik maupun bahan penyemen lain akan membentuk struktur tanah. Struktur tanah akan menentukan keberadaan oksigen dan lengas dalam tanah. Dalam hal ini akan terbentuk lingkungan mikro dalam suatu struktur tanah. Mikroba akan membentuk mikrokoloni dalam struktur tanah tersebut, dengan tempat pertumbuhan yang sesuai dengan sifat mikroba dan lingkungan yang diperlukan. Dalam suatu struktur tanah dapat dijumpai berbagai mikrokoloni seperti mikroba heterotrof pengguna bahan organik maupun bakteri autotrof,dan bakteri aerob maupun anaerob. Untuk kehidupannya, setiap jenis mikroba mempunyai kemampuan untuk mengubah satu senyawa menjadi senyawa lain dalam rangka mendapatkan energi dan nutrien. Dengan demikian adanya mikroba dalam tanah menyebabkan terjadinya daur unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfor dan unsur lain di alam. Tanah merupakan habitat yang kaya akan mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut ada yang bersifat menguntungkan dan ada yang bersifat merugikan. Salah satu mikroba tanah yang banyak ditemukan dan dimanfaatkan adalah bakteri tanah. Beberapa kelompok bakteri tanah mampu menghambat pertumbuhan patogen. Contoh bakteri tanah yang diketahui bersifat antagonis adalah bakteri kitinolitik, Actinomycetes, P. fluorescens, Bacillus sp (B. subtilis dan B. Cereus) (Bolan 1991). Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang kompeten memproduksi enzim kitinase dan memanfaatkan kitinase untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon
15
dan nitrogen (Wu et al. 2001). Kitinase dapat mendegradasi kitin yang merupakan komponen penting pada dinding sel cendawan, integumen serangga, dan kerangka luar golongan arthopoda, moluska, nematoda dan protozoa. Dengan demikian, aktivitas kitinase mampu menghambat pertumbuhan miselia dan perkecambahan spora cendawan serta merusak integumen serangga. Kitinase yang dihasilkan mikroorganisme memiliki berat molekul yang berkisar antara 20.000-120.000 kda, pada bakteri berat molekul antara 60.000-110.000 kda dan pada Actinomycetes berkisar antara 30.000 atau yang lebih rendah (Wang dan Chang 1997). Sudjono (1997) melapokan bakteri kitinolitik Arthobacter sp. dan Hafnia sp. telah diketahui mampu mengendalikan Fusarium sp. dan Sclerotinia sp pada tanaman tomat dan arbei. Selain itu, Wenuganen (1996) berhasil mengklon gen kitinase dari Aeromonas caviae isolat WS7b yang diisolasi dari kepulauan Bangka. Genus bakteri yang telah banyak dilaporkan menghasilkan Kitinase antara lain Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia dan Vibrio (Chernin et al. 1998). Beberapa spesies yang telah dipelajari antara lain Aeromonas sp, Bacillus cereus, B. licheformis (Pleban et al. 1997), Clostridium sp, Enterobacter liquefaciens, Flavobacterium
indolthecium,
Pseudomonas sp,
Serratia
Klebsiella marcencens,
sp,
Micrococcus
Vibrio
colpogenes,
parahaemaluticus,
V.
Alginolyticus, Bacillus dan Pyrococcus (Gao et al. 2003). Selain bakteri kelompok kitinolitik, bakteri tanah lain yang diketahui mampu menghambat pertumbuhan patogen adalah bakteri tahan panas, dan P fluorescens. Bakteri tahan panas yang telah banyak diketahui adalah bakteri golongan Bacillus sp. Golongan bakteri ini merupakan bakteri gram postif yang membentuk spora. Spora berfungsi untuk bertahan hidup pada suhu ekstrim sekitar 700 sampai 1000 C (Pelchzar dan Chan 1986). Sebagian besar bakteri genus Bacillus sp. bersifat saprofitik (Schaad 2001).
Bakteri saprofitik tidak memiliki kemampuan untuk menyebabkan
penyakit atau reaksi hipersensitif pada tanaman tembakau. Hubungan ini hanya dimiliki oleh bakteri patogen tumbuhan. Meskipun biasanya bakteri saprofitik masuk ke ruang antar sel dan mungkin bertahan hidup di sana untuk kurun waktu
16 yang lama, populasinya umumnya tetap (Goodman dan Novacky 1996). Bacillus
sp. memiliki daya tahan hidup yang cukup tinggi khususnya terhadap suhu tinggi karena menghasilkan endospora tahan panas (Compant et al. 2005), sehingga sangat potensial digunakan sebagai agens pengendali hayati patogen tumbuhan. Peran Bacillus sp. sebagai agens pengendali hayati sangat bervariasi tergantung isolat antagonis, patogen dan lingkungannya (Arwiyanto et al. 1999). Aktivitas antagonisme yang utama disebabkan oleh kemampuan menghasilkan antibiotik. Senyawa antibiotik golongan polipeptida mempunyai kemampuan penghambatan dengan melakukan penghambatan sintesis protein, dinding sel dan membran sel, misalnya pengaruh batricin pada bakteri yaitu terhadap biosintesis peptidoglikan. Penghambatan ini terjadi karena batricin mampu mengikat poliprenil pirofosfat yang merupakan salah satu materi penting dalam sintesis peptidoglikan. Pembentukan antibiotika terjadi ketika proses sporulasi (Franklin dan Snow 1981 dalam Salamah 1999). Penggunaan Bacillus spp. sebagai agens pengendalian hayati pada patogen tanaman telah banyak dilaporkan. Wartono (2010) melaporkan B. subtilis efektif menekan perkembangan Xanthomonas oryzae pv. oryzae di lapangan serta efektif dalam meningkatkan bobot gabah kering di lapangan mencapai 69. 2 gram/ rumpun. Arwiyanto et al. (1999) melaporkan bahwa pemanfaatan Bacillus sp. strain Ba-118 dapat menurunkan indeks penyakit layu bakteri sampai 60 % di percobaan rumah kaca. Yulianti et al. (1999) melalui pengujian laboratorium maupun pada tanaman di lapangan menghasilkan kesimpulan bahwa B. cereus mampu menurunkan serangan patogen R. solanacearum sampai 40%. Menurut Dropkin (1996), B. penetrans dapat menginfeksi larva Meloidogyne incognita yang masih aktif sehingga mempunyai potensi yang sangat tinggi sebagai agens pengendalian hayati. Spora mampu bertahan di dalam tanah, tidak dapat di bunuh oleh nematisida dan dibawah pengaruh tanaman inang yang rentan terhadap nematoda puru akar secara terus menerus, tanah dapat menimbun cukup spora untuk memusnahkan sebagian besar nematoda. Kelompok bakteri lain yang berpotensi sebagai agens hayati adalah bakteri P. fluorescens. Bakteri kelompok ini dicirikan dengan menghasilkan pigmen berwarna hijau kuning yang dapat digunakan untuk identifikasi serta klasifikasi.
17
Pigmen tersebut berupa senyawa flouresein atau pyoverdin yang berpendar di bawah cahaya ultraviolet (panjang gelombang 266 nm) (Misagi et al. 1982 dalam Khaeruni 1998). Penggunaan bakteri Pseudomonas kelompok fluorescence sebagai agens pengendalian hayati pada patogen tanaman telah banyak dilaporkan. Mariani (1995) mengisolasi 52 isolat bakteri dari daun kedelai, dan diperoleh 3 isolat masing-masing isolat B29, B30, dan B39 yang dinyatakan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens biokontrol. Penelitian Suwanto et al. (1996) melaporkan bahwa analisis supernatan bebas sel isolat P. flurescens B29 dan B39 tidak menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan X. campestris pv. glycines secara in-planta.