3
TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan Hama kedelai Tanaman kedelai secara alami dapat terinfestasi oleh serangga hama selama pertumbuhan dan penyimpanan (Tengkano & Soehardjan 1993; Jackai et al. 1990). Secara umum diketahui bahwa serangga arthropoda yang berasosiasi dengan tanaman kedelai di Indonesia tercatat 266 jenis, 111 di antaranya sebagai hama, 53 serangga bukan hama seperti polinator dan detritivora, 61 predator, 41 serangga parasitoid (Okada et al. 1988). Tengkano & Soehardjan (1993) menginformasikan ada sekitar 28 spesies serangga hama yang menggunakan tanaman kedelai sebagai inang utama. Sedangkan Jackai et al. (1990) melaporkan ada 56 spesies hama tanaman kedelai. Namun hanya sekitar 12-14 spesies yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu lalat kacang Ophiomyia phaseoli Tryon., kumbang daun kedelai Phaedonia inclusa Stal., ulat grayak Spodoptera litura Fabricius, ulat jengkal semu Chrysodeixis chalcites Esper, Lamprosema indicata Fabricius, pemakan polong Helicoverpa armigera Hubner, penggerek polong Etiella zinckenella Treitschke dan Etiella hobsoni Butler, pengisap polong Nezara viridula Linnaeus, Piezodorus hybneri Gmelin, Riptortus linearis L., dan dua jenis vektor virus, yaitu kutucabuk Aphis glycines Matsumura, dan kutukebul Bemicia tabaci Gennadius (Nakasuji et al. 1985; Okada et al.1988 a; Tengkano et al. 1988 b; Ditlintan 1997). Selain itu, serangga vektor virus, A. glycines dan B. tabaci, perlu mendapat perhatian lebih karena fungsinya sebagai vektor virus-virus utama kedelai. A. glycines menularkan soybean mosaic virus (SMV), alfalfa mosaic virus (AMV), soybean stunt virus (SSV), peanut stripe virus (PStV), peanut mottle virus (PMoV), bean yellow mosaic virus (BYMV), indonesian soybean dwaef virus (ISDV), blakeye cowpea mosaic virus (BICMV) (Wang 2006). Sebagian besar virus tersebut ditularkan secara non-persisten atau tular stilet.
Kutudaun Kedelai Aphis glycines A. glycines telah banyak ditemukan menyerang tanaman kedelai di Indonesia. Kehadiran kutudaun tersebut pada tanaman kedelai sudah mulai sejak tanaman berumur tujuh hari setelah tanam (Tengkano 1993). Kehilangan produksi
4 akibat serangan kutudaun pada tanaman kedelai dipengaruhi saat terjadinya infeksi. Semakin awal terjadi infeksi maka pengurangan produksi semakin tinggi (Soegiarto et al. 1988). A. glycines tergolong dalam ordo Hemiptera, superfamili Aphidoidea, famili Aphididae, subfamili Aphidinae (Blackman & Eastop 2000). Kutudaun tersebut tergolong serangga yang berukuran kecil. Tubuh betina yang tidak bersayap bewarna kuning pucat atau kuning kehijauan, panjang tubuh 1.0-1.6 mm, kornikel hitam dan seringkali dengan dasar kauda yang pucat. Marginal tubercles kecil, terdapat pada ruas abdomen kesatu dan ketujuh. Antenal tubercles tidak berkembang. Antena beruas enam dan panjangnya kurang lebih 2/3 panjang tubuh. Pada kauda terdapat 7-10 seta. Di daerah tropik seperti Indonesia, kutudaun berkembang biak secara partenogenetik yaitu sel telur dapat menjadi embrio tanpa mengalami pembuahan dan secara vivipar yaitu serangga dewasa melahirkan nimfa. Kemampuan kutudaun berkembangbiak secara partenogenetik tersebut menyebabkan populasi kutudaun dapat meningkat dengan cepat jika dalam kondisi yang baik. Menurut Rohajati (1976) siklus hidup A. glycines di Bogor satu minggu dengan rincian: stadium nimfa instar satu selama satu hari, instar dua, tiga, dan empat masing-masing dua hari. Nimfa dengan cepat (lebih kurang seminggu) menjadi dewasa dan siap melahirkan generasi baru. Pada kedelai varietas Orba rata-rata lama hidup dan keperidian berturut-turut adalah 15 hari dan 21 nimfa. A. glycines merusak tanaman kedelai dengan cara menghisap cairan tanaman pada daun, tangkai daun muda, pucuk, dan polong (Gambar 1). Pada tanaman kedelai yang terserang berat kutudaun mempunyai kenampakan daun yang menghitam. Hal ini disebabkan oleh ekskret kutudaun yang berupa embunmadu. Embunmadu tersebut menjadi media pertumbuhan cendawan embun jelaga atau biasa disebut sooty mold, sehingga permukaan bagian tanaman terserang mengalami perubahan warna yaitu menghitam.
5
Gambar 1 Aphis glycines yang sedang menghisap cairan tanaman.
Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii Cendawan Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams digolongkan divisi Deuteromycotina kelas Hyphomycetes yang tergolong imperfect fungi atau cendawan yang memiliki siklus tidak sempurna. L. lecanii merupakan cendawan entomopatogen yang pertama kali ditemukan oleh Zimmermann pada tahun 1898 dengan nama Chephalosporium lecanii. Pada tahun 1939, Viegas mengubah nama menjadi Verticillium lecanii berdasarkan studi kisaran inang (Kouvelis et al. 1999). Pengamatan lebih lanjut terhadap sifat morfologi dan analisis molekuler, cendawan tersebut berubah nama menjadi L. lecanii sampai sekarang (Zare & Gams 2001). Cendawan L. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama Hemiptera dengan tingkat mortalitas yang sangat bervariasi (Prayogo 2004). Karakteristik L. lecanii adalah koloni cendawan bewarna putih pucat dengan diameter berkisar 4,0-7,3 cm setelah 20 hari inokulasi pada media PDA (potato dextrose agar). Konidiofor berbentuk fialid (whorls) seperti huruf V, setiap konidiofor memproduksi 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elips, terdiri dari satu sel, tidak bewarna (hialin), dan berukuran 1,9-2,2 x 5,0-6,1 µm (Gambar 2).
6
(a)
(b)
Gambar 2 Koloni Lecanicillium lecanii di media PDA (a) dan konidia L. lecanii yang diproduksi oleh setiap tangkai konidiofor, perbesaran 400x (b). Cendawan entomopatogen memerlukan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang, hal tersebut diperlukan selama proses pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integumen serangga. Cendawan L. lecanii tumbuh baik pada suhu 18-30ºC dan kelembaban minimal 80%. Pada kelembaban lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd 2003). Cendawan L. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat panjang (Tanada & Kaya 1993). Keefektifan cendawan emtomopatogen terhadap serangga dipengaruhi oleh antara lain asal isolat, kerapatan konidia, umur dan stadia perkembangan inang, dan juga waktu aplikasi (Prayogo 2009). Salah satu faktor lain yang mempengaruhi keefektifan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan hama adalah tingkat virulensi isolat. Virulensi antar isolat cendawan entomopatogen disebabkan karena adanya keragaman intraspesies. Hal ini disebabkan isolat yang diperoleh dari lokasi yang sama tetapi dari jenis serangga yang berbeda atau sebaliknya, yaitu isolat dari lokasi yang berbeda tetapi dari jenis serangga yang sama dimungkinkan memiliki karakter yang berbeda baik secara fisiologis maupun genetis. Cendawan
entomopatogen
sebagai
agens
biokontrol
akan
dapat
mengurangi populasi hama dan kerusakan yang ditimbulkan di agrosistem yang berbeda (Inglis et al. 2001). Kesuksesan agens hayati seperti cendawan entomopatogen harus mempunyai kemampuan untuk memproduksi inokulum
7 dalam jumlah yang besar (Gothel & Robbert 1992). Perbedaan media pertumbuhan yang digunakan untuk produksi massal tergantung pada kebutuhan nutrisi cendawan entomopatogen yang digunakan. Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) dapat ditumbuhkan pada media beras (Kaay & Hassan 2000), bulir padi atau jagung (Shashi et al. 1999). Media yang digunakan akan mempengaruhi produksi konidia dari cendawan entomopatogen. Menurut Moore dan Prior (1993) karakteristik yang digunakan untuk produksi massal harus mempunyai sporulasi yang tinggi pada media buatan, virulensi yang tinggi dalam melawan organisme target, dan kemampuan untuk bertahan pada lingkungan tempat hama tersebut berada. Indikator virulensi cendawan entomopatogen yang baik antara lain perkecambahan yang tinggi, pertumbuhan dan sporulasi yang tinggi pula (Chandler 1993). Telah dilaporkan bahwa sumber nutrisi (media) berperan sebagai faktor yang menentukan bagi pertumbuhan dan virulensi cendawan entomopatogen (Shah et al. 2005). Nutrisi merupakan substansi yang digunakan sebagai biosintesis dan energi pembebasan yang menyajikan faktor utama dalam viabilitas, kelangsungan hidup, dan keberlanjutan organisme. Selain itu, pertumbuhan miselia dan spora pada media buatan tergantung pada isolat cendawan yang digunakan dan komponen yang digunakan dalam media. Pada umumnya, untuk menyelesaikan secara lengkap siklus hidup cendawan entomopatogen, maka kebanyakan patogen harus kontak dengan inangnya, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang dan mempunyai propagul untuk kontak dan menginfeksi inang baru. Dalam biologi patogen terdapat proses yang meliputi kontak dengan inang, penetrasi inang, reproduksi, keluarnya propagul patogen dari inang dan penyebaran dan persistensi propagul patogen di lingkungan (Anonim 2007). Kontak dengan inang dilakukan secara pasif pada berbagai stadia dari patogen seperti spora cendawan oleh angin, hujan, atau oleh serangga. Setelah terjadi kontak dengan inang maka cendawan masuk tubuh inang dan melakukan penetrasi langsung ke kutikula. Penetrasi dilakukan oleh hifa yang memproduksi enzim yang mampu menghancurkan kutikula serangga. Jaringan inang yang terserang akan mempengaruhi jumlah propagul patogen yang diproduksi per berat
8 inang. Proses setelah reproduksi adalah spora patogen harus melakukan kontak dengan inang lainnya untuk melanjutkan siklus hidupnya. Keberlanjutan populasi patogen di alam tergantung sekali pada kontaknya dengan inang baru (Anonim 2007).
Pengendalian Hama Kedelai Dalam penanggulangan hama kedelai sampai kini petani Indonesia masih mengandalkan insektisida kimia sebagai upaya pengamanan produksi usaha tani kedelai dari serangan hama (Shepard et al. 1987). Faktor yang mempengaruhinya antara lain insektisida tersebut mudah diperoleh, aplikasinya mudah, keuntungan hasil akibat aplikasi insektisida lebih cepat tampak. Oleh karena itu, dalam pertanian modern, penggunaan insektisida kimia tetap sulit untuk dihindarkan (Norris et al. 2003). Peningkatan penggunaan insektisida kimia akan berdampak langsung pada penambahan biaya oleh petani. Selain itu, aplikasi insektisida kimia sejenis mempunyai daya racun insektisida yang luas sehingga penggunaan dalam kurun waktu tertentu insektisida tersebut akan kehilangan keefektifannya (Hardy 1996). Dalam konsep PHT, pemanfaatan musuh alami sebagai agens hayati dalam mengendalikan hama dan penyakit perlu dikedepankan dalam menekan penggunaan pestisida kimia yang berlebihan (Rauf et al. 1994). Agens hayati merupakan bagian dari suatu ekosistem yang sangat penting peranannya dalam mengatur keseimbangan ekosistem tersebut. Secara alamiah, agens hayati merupakan
komponen
utama
dalam
pengendalian
alami
yang
dapat
mempertahankan semua organisme pada ekosistem tersebut berada dalam keadaan seimbang. Menurut Marwoto & Suharsono (1999) terdapat beberapa kelebihan pemakaian agens hayati antara lain: (1) menurunkan resiko resistensi hama dan penyakit tanaman dan ketahanannya terhadap perlakuan, (2) tidak mematikan musuh-musuh alami lainnya, (3) menurunkan resiko ledakan hama sekunder, (4) tidak berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan ternak, (5) tidak merusak lingkungan dan sumber air, (6) menurunkan biaya produksi. Beberapa jenis agens hayati yang sudah dapat dikembangkan antara lain parasitoid,
9 predator, dan patogen serangga terdiri dari virus, bakteri, dan cendawan. Contoh yang telah dilakukan yaitu pengendalian hama Riptortus linearis dengan menggunakan cendawan L. lecanii (Prayogo & Suharsono 2005). Menurut Prayogo (2009) cendawan entomopatogen L. lecanii efektif untuk pengendalian hama penghisap polong kedelai R. linearis. Laporan lain menyebutkan bahwa L. lecanii juga mampu menginfeksi telur Bemisia tabaci, B. argentifolii, dan Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera Aleyrodidae) (Gindin et al. 2000). Menurut Marwoto (2003) pemanfaatan parasitoid telur menggunakan T. bactrae-bactrae sebagai agen hayati hama penggerek polong kedelai E. zinckenella mempunyai prospek yang baik dalam pengendalian hama kedelai. Dalam aplikasinya, parasitoid telur T. bactrae-bactrae dilepas ke lapangan dengan perantaraan telur hama gudang Corcyra cephalonica (Stt.) (Lepidoptera: Pyralidae). Penelitian Kurniawan (2010) menunjukkan bahwa ternyata cendawan L. lecanii dapat menyerang telur C. cephalonica. Karena L. lecanii mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menginfeksi berbagai jenis serangga, potensi cendawan ini untuk menginfeksi serangga kedelai lain, misalnya A. gossypii perlu diteliti.