TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Daun Kedelai Daun mempunyai dua permukaan, permukaan yang menghadap ke atas (adaksial) dan permukaan yang menghadap ke bawah (abaksial). Susunan anatomi daun tanaman C3 disajikan pada Gambar 2. Epidermis daun berbagai tumbuhan berbeda-beda dalam jumlah lapisan jaringan, bentuk, struktur, susunan stomata, dan ada-tidaknya trikoma (Fahn 1995).
Gambar 2 Struktur anatomi daun tanaman C3 (Beecker et al. 2000) Stomata terdapat pada lapisan epidermis, merupakan pintu gerbang pertukaran gas antara jaringan tumbuhan dengan lingkungan luar sekitarnya (Bohlar-Nordenkampf dan Draxler 1993), terdapat pada epidermis adaksial maupun abaksial tetapi umumnya banyak terdapat pada bagian epidermis abaksial daun. Daun yang memiliki stomata pada kedua epidermis disebut amphistomatous; yang hanya terdapat pada epidermis abaksial disebut hypostomatous; dan yang hanya terdapat pada epidermis adaksial disebut epistomatous (Fahn 1995, Bohlar-Nordenkampf dan Draxler 1993).
Daun kedelai
memiliki amphistomatous, tetapi paling banyak ditemukan pada epidermis abaksial. Pada kedelai varietas Ottawa-Mandarin perbandingan stomata antara epidermis adaksial dengan abaksial sekitar 1:3 (1.700/cm2 : 5.000/cm2 ). Lersten dan Carlson (1987) melaporkan bahwa dari 43 genotipe tanaman kedelai yang diteliti terdapat variasi jumlah stomata antar genotipe dengan rata-rata jumlah stomata pada epidermis adaksial 130/mm2 dan pada permukaan epidermis abaksial 316/mm2 .
Jones (1996) juga
melaporkan bahwa kisaran jumlah stomata tanaman kedelai dari 43 kultivar yang diteliti adalah 81-174/mm2 pada epidermis adaksial dan 242-385/mm2 pada epidermis abaksial.
8 Percobaan dengan intensitas cahaya yang berbeda pada daun Iris sp. memperlihatkan bahwa jumlah stomata berkurang dengan menurunnya intensitas cahaya (Fahn 1995). Allard et al. (1991) dalam penelitiannya menggunakan tall fescue menemukan bahwa perlakuan radiasi rendah menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada kedua permukaan daun dan pengaruh paling kuat adalah terhadap kerapatan stomata pada epidermis abaksial. Selain stomata, pada lapisan epidermis daun kedelai juga ditemukan bulu daun atau trikoma. Trikoma memiliki peranan ekologis yang cukup penting antara lain : mengurangi evaporasi dengan cara melindungi stomata dari suhu yang terlalu tinggi, menurunkan suhu daun dengan cara merefleksikan radiasi surya, serta meningkatkan ketebalan daun dan menurunkan transpirasi (Velasco et al. 2001). Bentuk, ukuran, struktur dan tempat trikoma, dan komposisi eksudat yang dihasilkannya sangat beragam di antara spesis dan karena itu digunakan dalam taxonomi untuk membedakan spesies atau hibrida yang hubungan kekerabatannya sangat dekat (Valkama et al. 2003). Pada kedelai cultivar Clark, kepadatan trikoma telah menjadi penciri untuk membedakan galur-galur isogenik dan Clark tetraploid (Rosaria et al. 2004). Lapisan kedua setelah sel-sel epidermis adalah sel-sel palisade, terdiri dari satu atau dua baris, panjang sel-sel dalam barisan yang berbeda dapat sama, semakin ke tengah ukuran sel-sel menjadi lebih pendek.
Jaringan palisade biasanya terdapat di
bawah lapisan epidermis adaksial daun. Genotipe kedelai yang ditumbuhkan pada kondisi cahaya penuh memiliki palisade lebih dari satu lapisan sehingga daun menjadi lebih tebal sedangkan genotipe yang ditumbuhkan pada kondisi cahaya 50% hanya memiliki satu lapisan palisade sehingga daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002). Lapisan ketiga adalah mesofil palisade, terdiri dari sel- sel berbentuk tiang yang mengandung 15 – 30 kloroplas. Mesofil daun kedelai terdiri dari 5 – 6 lapisan interior (Lersten dan Calson 1987). Pada daun yang ternaungi, terjadi pengurangan jumlah selsel mesofil sehingga helaian daun menjadi lebih tipis (Allard at al. 1991). Kloroplas terdapat dalam sitoplasma dan mengandung DNA, RNA, ribosom, serta enzim. Kloroplas pada tumbuhan tingkat tinggi selalu mengandung dua jenis klorofil, klorofil a (C 55 H72 O5N4 Mg) dan klorofil b (C 55 H70 O6 N4 Mg), keduanya dibedakan oleh adanya gugus methyl (CH3 ) pada klorofil a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b (Malkin dan Niyogi 2000). Klorofil merupakan pigmen fotosintetik, tersusun dalam membran tilakoid kloroplas dalam suatu rangkaian fungsional yang dikenal dengan fotosistem. Fotosistem
9 mengandung 200 – 300 molekul klorofil dan 40 molekul karotenoid. Pigmen fotosintetik menyerap cahaya pada panjang gelombang 400 – 700 nm dan biasa disebut pigmen pemanen caha ya atau antena (Taiz dan Zeiger 2002) (Gambar 3). Kandungan klorofil berkorelasi dengan laju fotosintesis total sehingga evaluasi potensi hasil dapat dilakukan melalui analisis kandunga n klorofil (Lersten dan Carlson 1987).
Gambar 3 Serapan pigmen pemanen cahaya (klorofil a dan klorofil b) pada panjang gelombang 400 – 700 nm (Beecker et al. 2000) Fotosintesis Proses fotosintesis memegang peranan kunci dalam siklus hidup tanaman. Proses ini terdiri dari tiga bagian yang terpisah : (i) reaksi terang, dimana energi radiasi diabsorbsi dan digunakan untuk menghasilkan senyawa berenergi tinggi ATP dan NADPH, (ii) reaksi gelap, meliputi reduksi biokimia CO2 menjadi gula menggunakan senyawa berenergi tinggi yang dihasilkan pada reaksi terang, dan (iii) suplai CO2 dari udara ke tempat reduksi di kloroplas (Malkin dan Niyogi 2000). Secara umum, fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan hasil asimilat oleh sink, dan pengaruh lingkungan seperti kesuburan tanah, kandungan CO2 di atmosfir, kelembaban, suhu, dan cahaya. Dalam kondisi tanpa cekaman, intensitas cahaya merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis (Sinclair dan Torrie 1989).
10 Efisiensi konversi energi dalam tanaman yang didefinisikan sebagai kandungan energi dalam bobot kering tanaman dibagi dengan total energi surya yang tersedia sangat rendah (Frageria 1991). Pada intensitas cahaya rendah, tanaman yang dapat berfotosintesis secara efisien akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan sukses dalam berkompetisi, seperti yang terjadi pada vegetasi yang rapat atau pada habitat yang ternaungi (Lawlor 1987). Penangkapan Cahaya oleh Kanopi Tanaman Cahaya tampak (visible light) sebagai sumber energi yang digunakan tumbuhan untuk fotosintesis merupakan bagian spektrum energi radiasi. Energi radiasi memiliki karakteristik yang khas, yang dapat dijelaskan dengan dua macam teori; teori gelombang elektromagnet dan teori kuantum (Malkin dan Niyogi 2000). Teori gelombang elektromagnet menyatakan bahwa cahaya merambat melalui ruangan sebagai suatu gelombang, jumlah gelombang yang merambat melewati titik tertentu dalam interval tertentu dinyatakan sebagai frekuensi. Teori kuantum menyatakan bahwa cahaya merambat dalam bentuk aliran partikel yang disebut foton; energi yang terkandung dalam satu foton disebut satu kuantum dan berbanding lurus dengan frekuensi tetapi berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Jadi cahaya memiliki sifat gelombang dan sifat partikel (Salisbury dan Ross 1992). Reaksi cahaya dalam fotosintesis merupakan akibat langsung penyerapan foton oleh molekul- molekul pigmen pemanen cahaya.
Tingkat energi yang cocok untuk
mengaktifkan pigmen pemanen cahaya berada pada kisaran 390 – 760 nm. Foton di atas 760 nm tidak memiliki cukup energi untuk aktivitas fotosintesis, sedangkan foton di bawah 390 nm memiliki energi yang terlalu banyak sehingga dapat merusak pigmen. Aktivitas pigmen pemanen cahaya merupakan akibat langsung interaksi antara foton dan pigmen sehingga pengukuran cahaya yang digunakan dalam fotosintesis seringkali berdasarkan densitas aliran foton, bukan berdasarkan energi. Salisbury dan Ross (1992) menjelaskan bahwa fotosintesis dan reaksi fotokimia tidak bergantung pada energi total cahaya tetapi tergantung pada jumlah foton atau kuanta yang diserap. Densitas aliran foton adalah jumlah foton yang menerpa suatu luas permukaan tertentu per satuan waktu. Panjang gelombang yang paling efisien untuk fotosintesis adalah antara 400 dan 700 nm, karena itu pengukuran cahaya untuk fotosintesis biasanya didasarkan pada densitas aliran foton dalam panjang gelombang tersebut. Pengukuran ini disebut radiasi aktif fotosintesis atau photosynthetically active radiation (PAR), atau
11 densitas aliran foton fotosintesis atau photosynthetic photon flux density (PPFD) dengan satuan µmol.m-2 .det-1 . Untuk memahami bagaimana cahaya mempengaruhi fotosintesis secara kuantitatif, harus ditelaah berapa banyak energi cahaya yang disediakan oleh matahari. Pada puncak atmosfer, pada jarak bumi- matahari rata-rata, total radiasi matahari (termasuk cahaya infra merah dan ultraviolet) adalah sebesar 1360 J.m-2 .det-1 , nilai ini disebut konstanta matahari. Pada saat cahaya matahari menuju permukaan bumi, banyak energi yang hilang karena diserap atau dipantulkan oleh uap air, debu, dan gas-gas lainnya yang terkandung dalam atmosfer. Hanya sekitar 900 J.m-2 .det-1 yang diterima oleh permukaan bumi; terdiri dari 50% cahaya infra merah, 5% cahaya ultraviolet, dan sisanya adalah cahaya dengan panjang gelombang 400 – 700 nm (PAR) dengan kandungan energi sebanyak kira-kira 400 J.m-2 .det-1 . Sekitar 80% dari PAR tersebut akan diserap oleh daun sedangkan sisanya (20%, yakni cahaya hijau) diteruskan atau dipantulkan. Dari jumlah yang diserap daun, lebih dari 95% hilang dalam bentuk panas dan hanya kurang dari 5% yang berhasil dimanfaatkan untuk fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya yang tiba pada permukaan sehelai daun terdiri dari empat komponen : (1) cahaya langsung, (2) cahaya difus, (3) cahaya refleksi, dan (4) cahaya transmisi (Valladares 2003). Daun-daun pada lapisan kanopi atas (yang tidak ternaungi) lebih banyak memperoleh cahaya langsung dan cahaya difusi untuk proses fotosintesisnya, sedangkan daun-daun sebelah bawah atau bagian dalam kanopi memperoleh cahaya fotosintesis dalam bentuk cahaya difusi, cahaya yang direfleksikan dan ditransmisikan oleh daun lain, serta yang direfleksikan oleh permukaan lain seperti dari tanah. Penyebaran daun dalam ruang tajuk yang sedemikian rupa mengakibatkan kuanta cahaya yang diterima setiap helai daun tidak sama. Apabila ruang tajuk dibagi ke dalam lapisan- lapisan penampang melintang; kuanta cahaya yang jatuh pada permukaan penampang semakin sedikit dengan semakin rendahnya kedudukan penampang dalam bidang vertikal. Hal ini merupakan akibat pemadaman cahaya oleh lapisan tajuk atas sehingga laju fotosintesis daun-daun di lapisan tajuk bawah semakin rendah. Lapisan daun pada bagian atas tajuk dapat menahan sebagian besar cahaya yang datang dan mendapatkan kuanta cahaya melebihi tingkat kejenuhan cahaya sedangkan lapisan daun bawah menerima cahaya jauh di bawah tingkat kejenuhan cahaya, bahkan dapat berada pada titik kompensasi. Daun yang berada di bawah kondisi ini akan bersifat parasit karena karbohidrat yang dihasilkan lebih kecil dari yang dikonsumsi untuk pemeliharaannya.
12 Sumbangan keempat komponen cahaya di atas terhadap proses fotosintesis pada suatu tanaman tergantung jumlah ketebalan dan tipe daun dalam kanopi. Ketebalan kanopi dapat dinilai dari indeks luas daun (LAI) yang menunjukkan luas permukaan daun yang menutupi satu satuan luas tanah. Hubungan antara kecepatan pengurangan cahaya yang melewati suatu kanopi dengan LAI dapat disederhanakan dengan rumus : IL = Io.e-kLAI; …………………………………..........…………………………………..(1) dimana Io dan IL masing- masing adalah cahaya yang mengalir di atas kanopi pada titik yang bersesuaian dengan LAI lapisan-lapisan daun dan k adalah koefisien peredaman (Atwell et al. 1999). Sitompul dan Guritno (1995) juga menyebutkan bahwa pendekatan sederhana untuk menghitung kuanta cahaya yang diintersepsi adalah menghitung selisih antara kuanta cahaya datang dengan cahaya yang direfleksikan dan yang ditransmisikan. June (2003) menjelaskan bahwa fotosintesis bersih kanopi yang merupakan integrasi dari laju fotosintesis dan respirasi seluruh daun yang ada di dalam kanopi dipengaruhi oleh kapasitas fotosintesis di tingkat daun, intersepsi cahaya oleh kanopi, status nitrogen kanopi, dan faktor fisik lingkungan lainnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa laju fotosintesis di dalam daun dapat dijelaskan oleh persamaan mekanistik dengan asumsi bahwa laju fotosintesis dikendalikan oleh jumlah enzim Rubisco yang aktif, laju regenerasi RuBP (yang ditentukan oleh transpor elektron dari cahaya yang ditangkap oleh daun), serta tekanan parsial CO2 (ci) dan O2 di lokasi dimana CO2 difiksasi. Pada kondisi lingkungan tertentu, laju fotosintesis A (µmol.m-2 .s-1 ) dapat dinyatakan sebagai laju yang dikendalikan ole h Rubisco Av atau dikendalikan oleh laju transpor elektron Aj (untuk regenerasi RuBP) yang mempunyai nilai terkecil pada ci tertentu. Pernyataan tersebut dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan-persamaan sebagai berikut (June 2003) : Ai =
J ci − Γ * − R …………………………………………………..(2) 4 ci + 2Γ*
c i − Γ* Av = Vc max K 1 + O + c i c K 0
− R ……………………………………...(3)
A = min (Aj, Av ) ………………………………………………………...(4) ci = tekanan parsial CO2 di dalam daun (µbar); ?* = titik kompensasi CO2 (Pa); R = respirasi daun (µmol.m-2 .s-1 ); O = tekanan parsial O2 (21%); Kc dan Ko = konstanta
13 Michaelis-Menten untuk carboxylation dan oxygenation oleh Rubisco (Pa); Vc max = laju maksimum aktivitas Rubisco di dalam daun; dan J = laju transpor elektron (µmol.m-2 .s-1 ). Selanjutnya, hubungan antara fotosintesis daun (A, µmol.m-2 .s-1 ) dengan cahaya yang diterima tanaman (I, µmol.m-2 .s-1 ) dapat dirumuskan sebagai berikut : Ia + A − ( Ia + A ) 2 − 4ΘIa A max 2 max 2 max A= 2 2Θ
− R …………..……..(5)
Amax = laju fotosintesis pada kondisi jenuh cahaya (µmol.m-2 .s-1 ), T = pembengkokan kurva respon A terhadap I (curvature factor) yang nilainya bervariasi dari 0 (rectangular hyperbola) sampai 1 (two straight lines quasi Blackman), a2 = quantum yield dari fotosintesis pada cahaya rendah (efisiensi fotosintesis). Pada level cahaya rendah, A ≈ a2 I sehingga a2 dapat diduga dari slope kurva hubungan A dan I (Thornley & Johnson 1990 dalam June 2003). Dari persamaan 2, A dapat diubah menjadi J sehingga hubungan antara laju transpor elektron dengan cahaya yang diterima (I, µmol.m-2 .s-1 ), dapat dirumuskan sebagai berikut (June 2003) : J=
Ia 2 + J max −
( Ia 2 + J max )2 − 4ΘIa 2 J max 2Θ
…………………………(6)
Jmax = laju transpor elektron maksimum (pada kondisi jenuh cahaya) pada daun (µmol.m2 -1
.s ), dan J = laju transpor elektron aktual. Hasil- hasil penelitian terdahulu menyebutkan
bahwa T tidak dipengaruhi oleh suhu, tetapi nilainya lebih dipengaruhi oleh distribusi cahaya dalam daun (June 2002 dalam June 2005a). Efisiensi penggunaan cahaya (e), disebut juga efisiensi kanopi didefenisikan sebagai jumlah mol CO2 yang diasimilasikan (Ac) per satuan mol cahaya yang diserap (Ic); jadi e = Ac/Ic. …………………………………………………………….………..(7) Nilai e menunjukkan seberapa efisien kanopi menggunakan PAR untuk asimilasi CO2 (June 2003). Mekanisme Penangkapan dan Penggunaan Cahaya Kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah pada umumnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis dalam kondisi intensitas cahaya rendah tersebut.
Kemampuan tersebut pada dasarnya dapat melalui
dua cara, yaitu melalui : (a) peningkatan luas daun sebagai cara meningkatkan luas bidang tangkapan, dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang
14 direfleksikan (Hale dan Orchut 1987). Sebelumnya, Levitt (1980) telah membuat hipotesis bahwa adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah dicapai melalui mekanisme penghindaran (avoidance) (Gambar 3) dan mekanisme toleransi (tolerance) (Gambar 4). Mekanisme penghindaran. Dalam mekanisme penghindaran, tersedia dua cara yaitu : (i) meningkatkan total intersepsi caha ya melalui peningkatan luas daun, dan (ii) meningkatkan persentase cahaya yang digunakan dalam fotosintesis melalui penurunan jumlah cahaya yang direfleksikan dan yang ditransmisikan (Levitt 1980, Lawlor 1987). Penghindaran intensitas cahaya rendah dilakukan dengan cara tidak mengembangkan kutikula, lilin, dan bulu-bulu rambut pada permukaan daun serta meniadakan pigmen antosianin (Levitt 1980). Beberapa mekanisme penghindaran intensitas cahaya rendah yang dihipotesiskan Levitt (1980) telah terbukti pada kedelai, seperti : (1) meningkatnya luas daun (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b), dan (2) meningkanya pigmen fotosintesis (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b, Handayani 2003). Meskipun demikian terdapat beberapa mekanisme penghindaran intensitas cahaya rendah yang belum diteliti terutama yang terkait dengan penurunan jumlah cahaya yang direfleksikan (Gambar 3 kotak 5) dan pemborosan penangkapan cahaya (Gambar 3 kotak 7) serta perubahan efisiensi fotosintesis. Pada daun kedelai terdapat bulu-bulu rambut (trikoma) yang kepadatannya tergantung genotipe (Rosario et al. 2004). Trikoma memiliki peranan penting antara lain menurunkan suhu daun dengan cara merefleksikan kelebihan cahaya (Velasco et al. 2001). Gardner et al. (1991) juga menyebutkan bahwa daun kedelai cenderung menggulung daunnya ke atas sehingga trikoma pada permukaan bawah daun dapat merefleksikan kelebihan cahaya. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dihipotesiskan bahwa kedelai tertentu akan memiliki mekanisme pengindaran intensitas cahaya rendah dengan cara mengurangi atau menghilangkan trikomanya (Gambar 3 kotak 8). Hilangnya pigmen non kloroplas seperti antosianin juga belum diteliti. Diketahui bahwa pigmen yang berperanan untuk memanen cahaya untuk proses fotosintesis adalah pigmen-pigmen yang terdapat dalam kloroplas seperti klorofil a, b, dan karotenoid (Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Pigmen lain yang tidak terdapat dalam kloroplas seperti antosianin juga menyerap cahaya tetapi tidak terkait atau tidak digunakan dalam proses fotosintesis. Tanaman menghasilkan antosianin terutama dalam kaitan dengan penciptaan sistem perlindungan diri terhadap kerusakan oleh radiasi UV dan serangan cendawan (Lo dan Nicholson 1998). Harran (2003) juga menyebutkan
15 bahwa antosianin merupakan kelompok senyawa flavonoid yang terletak dalam sel-sel epidermis dan berperanan sebagai pelindung sel-sel di bawahnya terhadap kerusakan oleh sinar UV. Informasi tersebut menunjukkan bahwa adanya antosianin dalam kondisi intensitas cahaya rendah akan merugikan tanaman, sehingga dapat diperkirakan kedelai yang adaptif terhadap intensitas cahaya rendah akan mengurangi antosianin (Gambar 4 kotak 9).
Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya (1)
Meningkatkan penangkapan cahaya per unit area fotosintestik (3)
Meningkatkan area penangkapan cahaya (2)
Meningkatkan proporsi Fotosintetik area (4)
Menghindari cahaya yang direfleksikan (5)
Menghindari cahaya yang ditransmisikan (6)
Hilangnya kutikula, lilin, dan rambut pada permukaan daun (8)
Meningkatnya kandungan kloroplas (10)
Meningkatnya kandungan kloroplas per sel mesofil (12)
Menghindari pemborosan cahaya yang diabsorbsi (7)
Hilangnya pigmen non kloroplas (misalanya antosianin) (9)
Meningkatnya kandungan pigmen per kloroplas (11)
Meningkatnya kandungan kloroplas dalam sel epidermis (13)
Gambar 4
Adaptasi tanaman naungan yang berperanan penting dalam avoidance terhadap defisit cahaya (Levitt 1980) (Levitt, 1980) Mekanisme toleran. Toleransi terhadap intensitas cahaya rendah dilakukan
dengan menurunkan titik kompensasi cahaya dan respirasi (Gambar 5). Pada titik kompensasi cahaya (LCP) yaitu cahaya pada permukaan daun yang menginduksi kecepatan asimilasi CO2 aktual sama dengan kecepatan evolusi O2 respirasi, dalam
16 kondisi demikian asimilasi CO2 bersih sama dengan nol (zero).
Tanaman naungan
ditandai oleh rendahnya titik kompensasi cahaya sehingga dapat mengakumulasi produk fotosintetik pada tingkat cahaya yang rendah dibandingkan tanaman cahaya penuh. Disamping itu tanaman naungan juga memperlihatkan kejenuhan cahaya pada level cahaya rendah.
Toleransi defisit cahaya (1)
Menurunkan kecepatan respirasi di bawah LCP (3)
Menurunkan LCP (2)
Menurunkan kecepatan respirasi mendekati LCP (5)
Menghindari kerusakan sistem fotosintetik (4)
Menghindari penurunan aktivitas enzim (6) Menurunkan substrat respirasi (8)
Menghindari kerusakan pigmen (7)
Menurunkan sistem respiratory (mitokondria dan enzim) (9)
Gambar 5 Adaptasi tanaman naungan yang berperanan penting terhadap toleransi defisit cahaya ; LCP = light compensation point (Levitt 1980) Titik kompensasi cahaya pada tanaman gandum yang adaptif terhadap intensitas cahaya rendah adalah sekitar 10 W/m2 sedangkan yang peka sekitar 18 W/m2 . Penurunan cahaya dari 90 ke 45 W/m2 menurunkan titik kompensasi cahaya dari 11.1 menjadi 1.9 W/m2 . Adaptasi ini membutuhkan waktu sekitar 8 hari (Levitt 1980). Titik kompensasi cahaya pada daun gandum dewasa juga meningkat selama siang hari; berkorelasi dengan kecepatan respirasi. Hubungan ini mengisyaratkan bahwa respirasi merupakan komponen utama titik kompensasi cahaya (Azcon-bieto dan Osmond, 1983). Namun demikian, informasi yang spesifik tentang fisiologi daya adaptasi tanaman yang toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah masih sangat sedikit. Pada kedelai, mekanisme toleransi intensitas cahaya rendah yang telah dipelajari baru sebatas “menghindari penurunan aktivitas enzim fotosintesis” (Gambar 4 kotak 6)
17 (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b). Masih banyak kotak-kotak hipotesis yang belum dipelajari. Dalam penelitian ini, selain ingin memperkuat hasil- hasil penelitian terdahulu seperti aktivitas enzim rubisco (kotak 6), juga akan dilengkapi dengan pengamatan aktivitas enzim SPS (kotak 6), laju respirasi dan aktivitas enzim respirasi MDH dan AI (kotak 3), serta kandungan sukrosa dan pati (kotak 8).
Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Aklimasi fotosintetik pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu. Daun yang dikembangkan pada kondisi cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil (Evans 1987) dan rendahnya akumulasi karbohidrat (Makino et al. 1997). Tanaman yang memperoleh naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 hingga 5 kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah daripada tanaman cahaya penuh sebab memiliki kompleks pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor elektron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui ke dua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Sitokrom f dan b yang merupakan bagian transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones 1992). Tanaman yang memperoleh cahaya penuh yang terdiri dari berbagai tanaman di daerah tropis, mencapai kecepatan fotosintesis maksimum lebih besar dari 30 µmol CO2 .m-2 .det-1 dan kecepatan respirasi gelap 2 µmol CO2 .m-2 .det-1 . Tanaman naungan mempunyai kecepatan fotosintesis lebih kecil dari 10 µmol CO2 .m-2 .det-1 pada intensitas cahaya sekitar 1/10 dari spesies cahaya penuh dan mungkin mengalami kerusakan oleh intensitas cahaya di atas ½ dari cahaya penuh (Lawlor 1987). Hubungan antara kecepatan fotosintesis dan konduktans stomata memperlihatkan bahwa kecepatan fotosintesis pada 20o C lebih tinggi 20-25% pada tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah dibandingkan tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya tinggi. Konduktans stomata yang diukur pada 25o C dan 20oC lebih rendah pada tanaman yang ditumbuhkan dalam intensitas cahaya rendah (Ohashi et al. 1998). Tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah dapat memacu kapasitas regenerasi RuBP sehingga pada level CO2 yang normal laju fotosintesis relatif tinggi (Ohashi et al. 1998).
Stimulasi kapasitas regenerasi RuBP oleh suhu dan
18 intensitas cahaya rendah mungkin disebabkan oleh modifikasi atau perubahan enzim atau komponen yang berhubungan dengan regenerasi RuBP dan perubahan dalam level metabolit fotosintetik. Pada spesies tanaman yang beradaptasi terhadap naungan atau daun yang tumbuh dalam naungan, fotosintesis neto mencapai kejenuhan pada PAR kurang dari 100 µmol.m-2 .det-1 atau mendekati 5% cahaya penuh. Titik kompensasi cahaya juga bervariasi dari 0.5–2.0 µmol.m-2 .det-1 pada spesies yang ternaungi seperti Allocasia macrorhiza hingga lebih dari 40 µmol.m-2 .det-1 pada tanaman yang beradaptasi pada cahaya penuh (Jones 1996). Salisbury dan Ross (1992) menyimpulkan bahwa spesies toleran naungan memiliki ciri khas : (1) mempunyai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah pada cahaya penuh, (2) laju fotosintesis mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang jauh lebih rendah, (3) pada tingkat cahaya yang sangat rendah mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi, dan (4) memiliki titik kompensasi cahaya sangat rendah. Pembentukan Klorofil Prekursor dalam pembentukan klorofil adalah senyawa organik yang merupakan senyawa intermediet. Prekursor tersebut adalah glutamat yang mengalami deaminasi menghasilkan a-ketoglutarat, kemudian direduksi menjadi ?,d-dioxovalerate dan mengalami transaminasi menjadi d-amino- laevulinic; sintesis ini memerlukan ATP dan NADPH (Malkin dan Niyogi 2000). Pelepasan air dari 2 molekul asam amino- laevulinic menghasilkan prophobilinogen yang mengandung struktur cincin pyrrole. Reaksi selanjutnya adalah pelepasan NH3 dan CO2 yang kemudian membentuk protoporphyrinogen. Penambahan Mg2+ dan adenosylmethionine pada protoporphyrin menghasilkan Mg-protoporphyrin monomethylester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur absorbsi spektrum. Mg-protoporphyrin monomethylester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan protochlorophylide. Penambahan proton H+ akan menghasilkan chlorophylide a. Cahaya yang diabsorbsi oleh protochlorophylide akan mereduksi chlorophylide a menjadi klorofil a. Jadi, pembentukan klorofil a sangat dipengaruhi cahaya (Lawlor 1987). Klorofil b merupakan bentuk spesial dari klorofil a yang dalam reaksinya membutuhkan O2 dan NADPH2 . Klorofil menyusun sekitar 4% bobot kering kloroplas, dan klorofil b berjumlah 1/3 dari klorofil a (Hall dan Rao 1999). Berdasarkan sejumlah penelitian dapat disimpulkan bahwa paling kurang terdapat tiga lintasan reaksi dalam sintesis klorofil yang dikendalikan oleh gen-gen dalam nukleus
19 yaitu : (1) lintasan reaksi antara protoporphyrin 9 dan protochlorophyllide (Rissler et al. 2002, Nagata et al. 2005), (2) konversi protochlorophyllide menjadi chlorophyllide (Heyes et al. 2006), dan (3) lintasan sintesis chlorophyll b (Tanaka et al. 1998, Espineda et al. 1999, Malkin dan Niyogi 2000).
Kendali gen-gen nukleus terhadap sintesis
klorofil tersebut dapat diringkas seperti dalam Gambar 6. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam sintesis klorofil secara lengkap disajikan pada Gambar 7 sedangkan struktur kimia klorofil a dan b disajikan pada Gambar 8. Prekursor klorofil Mg-protoporhyrin 9 dan monomethylesternya (Gambar 7) merupakan kandidat untuk molekul plastid-derived dalam memberi isyarat cahaya dari kloroplas ke nukleus; ukuran pool porphyrin yang mengandung Mg dan protoporphyrin 9 meningkat jika kultur Chlamydomonas dipindahkan dari gelap ke cahaya; peningkatan ini bersamaan dengan akumulasi mRNA yang dikode oleh gen-gen nukleus HSP70A dan HSP70B (Kropat et al. 2000).
Precursor Protoporphyrin 9 Nuclear gen Protochlorophyllide Nuclear gen Chlorophyllide a Chlorophyll a Nuclear gen Chlorophyll b Gambar 6 Kendali inti terhadap pembentukan klorofil Suzuki et al. (1997) telah mengidentifikasi gen-gen pada tanaman, alga, dan bakteri yang mengkode enzim-enzim untuk lintasan biosintesis percabangan Mgtetrapyrrol dalam sintesis klorofil atau bakterioklorofil.
Klorofil a dibedakan dari
klorofil b oleh adanya gugus methyl (CH3 ) atau aldehid (CHO) pada Mg-tetrapyrrol (Gambar 7). Klorofil a memiliki gugus methyl pada pyrrol nomor 2, dan bila posisi methyl digantikan oleh gugus aldehid maka akan berubah menjadi klorofil b. Perubahan klorofil a menjadi klorofil b atau sebaliknya dikendalikan oleh gen nukleus CAO.
20
Glutamate
a-ketiglutrate
Succinate + Glycine
d-oxovalerate
Aminolaevulinic acid
-2H2 O Glutamate 1phosphate
Glutamic semialdehyde porphobilinogen -NH3 unporphyrinogen -4CO2
Protochlo rophyll
coporphyrinogen Mg 2+-adenosylmethionine H2 O
Protochlo rophyllide
Mg -protoporphyrin monomethylester
Protoporphyrinogen
Protoporphyrin
-4H
-6H
-6H Geranyl-geranyl pyrophosphate
Cahaya
Chlorophyll a
Chlorophyll b
Gambar 7 Reaksi lengkap sintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000)
Perbedaan utama antara tanaman yang tidak ternaungi dengan tanaman ternaungi terletak pada kloroplasnya. Daun tanaman ternaungi memiliki tumpukan grana yang lebih besar, sekitar 100 tilakoid per granum yang terletak tidak teratur dalam kloroplas. Proporsi lamella pembentuk grana lebih besar dan nisbah tilakoid /stroma lebih tinggi sehingga kandungan klorofil per unit luas daun lebih tinggi serta nisbah kloroplas per unit luas daun lebih rendah (Halle dan Orcutt 1987). Khumaida (2002) menyatakan bahwa kedelai toleran (Pangrango dan B613) yang ditumbuhkan pada naungan 50% memperlihatkan grana yang lebih berkembang dengan tilakoid yang lebih banyak dalam masing- maisng grana, jumlah stroma lebih sedikit dan ukuran kloroplas lebih besar.
21 Klorofil merupakan suatu komponen integral kompleks protein pemanen cahaya, klorofil a/b (LHC) dan klorofil a/b-binding protein pada kompleks pusat reaksi PS I dan PS II yang ada pada membran tilakoid.
Jadi pengurangan klorofil menunjukkan
pemecahan (breakdown) kompleks protein atau degradasi membran tilakoid (Okada et al. 1992). Pemecahan klorofil pada daun padi dapat ditekan secara komplit dengan 1 µM Cyclohexamide. Degradasi dari protein membran tilakoid juga sangat kuat dihambat oleh cyclohexamide pada konsentrasi tersebut. Okada et al. (1992) menjelaskan bahwa selain pengaruh temperatur rendah yang memperlambat penurunan klorofil, kehilangan klorofil pada kondisi ternaungi dihambat oleh adanya Cyclohexamide. Kehilangan klorofil sedikit dirangsang oleh adanya chloramphe nicol.
1
4
2
3
Gambar 8 Struktur kimia klorofil a dan b (Beecker et al. 2000)
Pembentukan Antosianin Selain pigmen fotosintetik seperti klorofil dan karotenoid, tanaman juga memiliki pigmen non fotosintetik yaitu antosianin. Antosianin merupakan produk metabolisme sekunder, termasuk golongan flavonoid dan dikenal sebagai pigmen yang menyebabkan warna merah jambu, ungu dan biru. Menurut Buchanan
et al. (2000), antosianin
dibentuk dari asam amino phenylalanine melalui lintasan sikimat di sitoplasma dan ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa (Gambar 9). Antosianin merupakan bentuk glikosida dari berbagai jenis antosianidin yang dibentuk dari dihidroflavonol (Salisbury dan Roos 1992). Phenylalanine ammonia lyase (PAL) merupakan enzim
22 kunci dalam metabolisme antosianin. Aktivitas enzim tersebut meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur daun (Buchanan et al. 2000), adanya cahaya ultra violet dan cahaya tampak, cekaman hara terutama nitrogen dan fosfor, cekaman kekeringan, serta cekaman suhu rendah (Hoch et al. 2003).
Siklus Calvin
Shikimat Metabolisme Primer Phenylalanine PAL1 PAL2 PAL3
Metabolisme Sekunder
Cinnamate 4-Coumarate 4-Coumaryl-CoA
3 malonyl-CoA
CHS Naringenin chalcone CHI Naringenin F3H 3-hydroxyflavones DFR Flavan-3,4-diols
Anthocyanin
Gambar 9 Lintasan pembentukan antosianin. Enzim yang terlibat adalah PAL (Phenylalanine Ammonia Lyase); CHS (Chalcone synthase); CHI (Chalcone Isomerase); F3H (Flavanone-3-hydroxylase); dan DR (Dihydroflavonol 4reductase) (Buchanan et al. 2000) Berdasarkan sejumlah penelitian diketahui bahwa antosianin mempunyai distribusi yang luas pada daun, dapat ditemukan pada sel epidermis bagian atas atau bawah, atau sel-sel mesofil dan biasanya mempunyai absorbsi pada panjang gelombang 270-290 nm (UV) dan 500-550 nm (visible spectrum) (Woodall dan Stewart 1998). Acylasi antosianin dengan asam organik aromatik meningkatkan penyerapan pada daerah UV di panjang gelombang 310-320 nm. Hal ini memperlihatkan fungsi antosianin untuk mencegah kerusakan asam nukleat, protein, dan apparatus fotosintesis akibat radiasi UV.
23 Hopkins dan Huner (2004) juga menjelaskan bahwa antosianin menyerap cahaya antara 475 nm dan 560 nm dan mentransmisikan cahaya biru dan merah.
Respirasi Semua sel hidup aktif melakukan respirasi. Secara umum reaksi respirasi dapat dirangkum sebagai : C6 H12 O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2 O + energi, tetapi biasanya hanya beberapa substrat respirasi yang dioksidasi secara lengkap menjadi CO2 dan H2 O, sisanya digunakan dalam proses sintesis, terutama dalam sel yang sedang tumbuh. Energi yang ditangkap dari proses oksidasi sempurna beberapa senyawa digunakan untuk sintesis molekul lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bila tumbuhan sedang tumbuh aktif, laju respirasi meningkat sebaga i akibat permintaan pertumbuhan. Beberapa senyawa yang hilang dialihkan ke dalam reaksi sintesis dan tidak pernah muncul sebagai CO2 . Atom karbon dalam senyawa yang sedang terespirasi dapat diubah menjadi CO2 atau menjadi molekul besar lainnya [seperti asam amino untuk protein, nukleotida untuk asam nukleat, prazat karbon untuk pigmen porfirin (seperti klorofil dan sitokrom), lemak, sterol, karotenoid, flavonoid (seperti antosianin), dan senyawa aromatik tertentu lainnya (seperti lignin)], tergantung pada sel yang terlibat, lokasinya dalam tumbuhan, dan apakah tumbuhan sedang tumbuh cepat atau tidak. Jadi, total respirasi = pertumbuhan + pemeliharaan. Pertumbuhan tergantung pada tipe biomassa dan pertumbuhan baru sedangkan pemeliharaan tergantung pada faktor lingkungan yang mempengaruhi respirasi dan eksistensi biomassa (Taiz dan Zeiger 2002). Glikolisis. Glikolisis merupakan urutan reaksi yang mengubah glukosa, glukosa1-P, atau fruktosa menjadi asam piruvat di sitosol dan merupakan tahap pertama dari tiga fase respirasi yang sangat berkaitan; diikuti oleh siklus Krebs dan pengangkutan elektron yang berlangsung di mitokondria. Sukrosa, pati, dan fruktan merupakan sumber utama substrat untuk glikolisis. Umumnya, jika heksosa melimpah, glikolisis dan tahap lain respirasi berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan bila heksosa sedikit (Salisbury dan Ross 1992). Tumbuhan yang kekurangan pati, fruktan, atau gula melakukan respirasi dengan laju yang rendah (Salisbury dan Ross 1992). Kandungan pati pada daun kedelai yang dinaungi mengalami penurunan (Thorne dan Koller 1974) yang berarti bahwa kecepatan respirasinya juga akan menurun. Pada padi, persentase penurunan pati lebih besar pada genotipe peka dibandingkan toleran naungan (Lautt et al. 2000). Fenomena kekurangan
24 substrat ini dapat pula diamati melalui jumlah daun bagian bawah yang mati lebih cepat (Salisbury dan Ross 1992). ATP- fosfofruktokinase (ATP-PFK) dapat bertindak sebagai enzim pertama glikolisis yang mengkatalisis pembentukan fruktosa-1,6-bisfosfat. Heksosa fosfat yang terbentuk dalam reaksi ini tidak dapat digunakan untuk membentuk sukrosa atau pati, sehingga titik ini menjadi titik pengendalian keseluruhan lintasan glikolisis. Aktivitas ATP-PFK dihambat oleh ATP, PEP, dan asam sitrat, tetapi ditingkatkan oleh Pi (Salisbury dan Ross 1992). Dengan demikian, kandungan ATP, asam sitrat, dan Pi dapat dijadikan indikator tinggi- rendahnya respirasi yang berlangsung pada suatu tanaman. Kandungan ATP dan asam sitrat yang tinggi akan menyebabkan kecepatan respirasi berkurang, demikian pula kandungan Pi yang rendah. Pada padi, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan ATP akibat naungan, dan peningkatan yang relatif tinggi terjadi pada genotipe toleran naungan (Lautt 2000). Siklus Kre bs. Salah satu enzim pengatur pada tahap pertama daur Krebs adalah kinase yang menggunakan ATP untuk memfosforilasi gugus hidroksil dari berbagai gugus residu asam amino treonin pada bagian tertentu dan enzim pyruvat dehydrogenase. Fosforilasi ini segera menon-aktifkan enzim sehingga daur Krebs terhenti.
Enzim
pengatur kedua adalah fosfatase, menghidrolisis fosfat agar lepas dari treonin dan mengaktifkan kembali enzim tersebut sehingga daur Krebs dapat mengoksidasi lagi pyruvat. Karena itu jika tingkat ATP di mitokondria tinggi dan jika kinase aktif maka daur Krebs terhenti atau lambat sehingga melambatkan semua proses respirasi berikutnya di mitokondria (Salisbury dan Ross 1992). Dengan demikian, kandungan ATP yang tinggi, dapat dijadikan indikator tinggi-rendahnya respirasi dalam tanaman. Hal penting lain adalah bila asam organik pada daur Krebs diambil dengan mengubahnya menjadi, misalnya asam aspartat, asam glutamat, dan sitokrom, maka pembentukan kembali asam oksaloasetat akan dihambat. Karena itu, pengeluaran asam organik dari daur krebs akan segera menyebabkan daur terhenti jika tidak ada mekanisme lain untuk mengganti oksaloasetat. Pada semua tumbuhan, baik siang maupun malam, terdapat penambatan CO2 (HCO3 -) menjadi oksaloasetat oleh PEP karboksilase dan malatdehidrogenase (MDH). Hasil reaksi ini mengganti asam organik yang diubah menjadi molekul lebih besar dan memungkinkan daur Krebs terus belangsung. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa aktivitas enzim MDH dapat dijadikan sebagai penciri laju respirasi. Tanaman yang memiliki aktivitas MDH rendah akan memiliki laju respirasi yang lebih rendah.
25 Tanaman memperoleh energi dari oksidasi gula menjadi CO2 dan H2 O selain melalui glikolisis dan siklus Krebs, juga melalui lintasan pentosa fosfat.
Lintasan
pentosa fosfat menghasilkan : (1) NADPH yang kemudian dioksidasi oleh mitokondria untuk menghasilkan ATP, (2) eritrosa-4-fosfat yang sangat penting sebagai prazat dalam pembentukan berbagai senyawa fenol seperti antosianin dan lignin, dan (3) ribulosa-5fosfat yang merupakan prazat dalam pembentukan unit ribosa dan deoksiribosa di nukleotida, termasuk yang ada di RNA dan DNA (Salisbury dan Ross 1992). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diduga bahwa rendahnya produksi antosianin pada suatu tanaman dapat menjadi indikator terhadap rendahnya aktivitas pemecahan gula melalui lintasan pentosa fosfat. Hal tersebut akan menguntungkan bagi tanaman yang beradaptasi pada kondisi cahaya rendah karena selain memungkinkan penimbunan cadangan makanan yang lebih tinggi, juga dapat menghindari pemborosan penyerapan cahaya oleh antosianin karena intensitas cahaya yang diserapnya tidak dimanfaatkan dalam proses fotosintesis (Levitt 1980).
Respirasi pada Intensitas Cahaya Rendah Cahaya mempengaruhi kecepatan respirasi tanaman dan spesies toleran cahaya rendah memiliki kecepatan respirasi yang lebih rendah daripada tanaman cahaya penuh (Levitt 1980). Lebih lanjut disebutkan bahwa salah satu strategi tanaman agar toleran terhadap cahaya rendah adalah mengurangi kecepatan respirasinya untuk menurunkan titik kompensasi. Taiz dan Zeiger (2002) juga mengemukakan bahwa laju respirasi yang rendah merupakan dasar adaptasi tanaman naungan agar tetap dapat tumbuh pada kondisi lingkungan cahaya rendah (terbatas). Bila respirasi lambat, daun memerlukan lebih sedikit cahaya untuk berfotosintesis untuk mengimbangi CO2 yang dilepaskan oleh respirasi, sehingga titik kompensasi cahaya menjadi lebih rendah pula (Salisbury dan Ross 1992). Kecepatan respirasi pada spesies ternaungi merupakan sesuatu yang kritikal agar terjadi keseimbangan karbon yang positif (Fitter dan Hay 1989). Kecepatan respirasi pada jaringan dewasa tanaman tingkat tinggi dapat dipengaruhi oleh : (i) kapasitas mesin respirasi (enzim dan transporter), (ii) konsentrasi substrat respirasi (seperti pati, fruktan, gula), atau (iii) kecepatan penggunaan ATP dan NAD(P)H.
Bjorkman (1981) mengisyaratkan bahwa daun cahaya penuh mungkin
membutuhkan lebih banyak energi (ATP) untuk memelihara tingginya fotosintesis sehingga memiliki kecepatan respirasi yang tinggi. ATP yang dihasilkan oleh respirasi
26 digunakan untuk translokasi metabolit, sintesis kembali struktur yang ada (protein dan membran) dan transpor intraseluler (Amthor 1994). Kecepatan respirasi gelap juga dipengaruhi oleh radiasi; di bawah kisaran 4 µg.m- 2 .det-1 pada tanaman ternaungi dibandingkan 50–150 µg.m- 2 .det-1 pada daun yang memperoleh cahaya penuh. Perbedaan ini memberikan kontribusi terhadap fotosintesis neto yang menguntungkan pada intensitas cahaya rendah yang sering diperlihatkan oleh daun ternaungi (Jones 1996). Respon Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah Perubahan Karakter Morfologi dan Anatomi Daun Dari sudut anatomi dan morfologi, karakteristik tanaman yang beraklimasi terhadap intensitas cahaya rendah telah dijelaskan oleh Bjorkman (1981), Anderson (1986). Evans (1988) dan Anderson et al. (1995). Intensitas cahaya akan mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil (Vogelmann dan Martin, 1993). Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger, 2002, Atwell et al. 1999 ). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan, terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibandingkan dengan genotipe yang peka, yang menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b). Lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya untuk perkembangannya (Taiz dan Zeiger 2002). Perubahan Kloroplas Cahaya terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salibury dan Ross 1992). Hal ini sering menyebabkan warna daun lebih hijau, karena posisi kloroplas yang terkonsentrasi pada permukaan daun. Intensitas cahaya rendah juga menyebabkan peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya tergantung kepada skala waktu perubahan tersebut. Respon
27 jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Regulasi jangka pendek ini termasuk pada saat transisi dan penyesuaian fotosistem stoikiometrik pada fosforilasi protein tilakoid (Allen 1995), regulasi untuk efisiensi PSII (Horton et al. 1996), serta perubahan aktivitas rubisko (Salvucci dan Ogren 1996). Aklimatisasi jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan fungsi organ fotosintesis. Perubahan Kandungan Klorofil Daun Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini bergantung pada cahaya sehingga bila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas (Richter et al. 1990). Kemampuan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil per kloroplas (Okada et al. 1992). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b yang lebih tinggi serta nisbah klorofil a/b lebih rendah dibanding peka (Chowdury et al. 1994; Sulistyono et al. 1999; Sopandie et al. 2003b). Hal yang sama juga dijumpai pada kedelai toleran naungan (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a). Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya. rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, yang disebabkan oleh peningkatan klorofil b, dan berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena pada PSII ini mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Walaupun kandungan klorofil tinggi, rendahnya laju fotosintesis sering dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan rendahnya. aktivitas Ribulose bifosfat (RuBP) (Mur ty dan Sahu 1987). Selain itu, walaupun kandungan klorofil meningkat namun terjadi penurunan klorofil per luas area karena daun menjadi lebih tipis (Nilsen dan Orcutt 1996). Perubahan Karakter Fisiologi dan Biokimia Hubungan antara enzim rubisco dan fotosintesis tela h diketahui dengan sangat baik, jumlahnya pada daun secara relatif merefleksikan 20-30% dari total N daun (Makino et al. 1984, Evans 1987). Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, antara lain perubahan kandungan N daun, serta kandungan dan aktivitas
28 rubisco. Rubisco merupakan enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis, mengikat C02 dan RuBP dalam siklus Calvin untuk menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya mempengaruhi aktivitas rubisco (Portis 1992), dan dalam keadaan intensitas cahaya rendah aktivitas rubisco menjadi rendah (Bruggeman dan Danborn 1993), tergantung genotipe. Diperkirakan genotipe kedelai toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka, seperti dilaporkan pada padi gogo (Sopandie et al. 2003b). Pada padi, intensitas cahaya rendah saat pembungaan menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat dan menyebabkan gangguan dalam pengisisan biji (Chaturvedi et al. 1994). Hubungan antara cekaman intensitas cahaya rendah dengan terjadinya penurunan karbohidrat dapat dijelaskan dalam beberapa hal. Pengurangan fotosintat pada intensitas cahaya rendah dapat dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran C02 .
Pada kondisi cahaya rendah aktivitas
karboksilase dan RuBP menurun (Thorne dan Koller 1974). Reaksi pembentukan pati dikatalisis oleh enzim ADP-glukosa pyrofosforilase yang mengartur aliran karbon (Gambar 10). Intensitas cahaya rendah menyebabkan rendahnya pembentukan pati, karena terjadi penghambatan kerja enzim ADP-glukosa pyrofosfatase oleh ketersediaan Pi yang tinggi. Soverda (2002) menunjukkan bahwa cekaman intensitas cahaya rendah menurunkan aktivitas PGA-kinase, penurunan yang lebih kecil dijumpai pada. genotipe padi gogo yang toleran naungan dibandingkan genotipe yang peka. Thorne dan Koller (1974) menunjukkan bahwa pemberian naungan menyebabkan penurunan kandungan pati pada daun kedelai, sementara sukrosa mengalami kenaikan. Perimbangan pati dan sukrosa berubah kembali seperti semula setelah perlakuan naungan dihentikan. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan translokasi karbohidrat. Pada kondisi ini gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan. Penelitian Lautt et al. (2000) pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka ketika dinaungi 50 % saat vegetatif aktif. Kenaikan sukrosa pada saat vegetatif aktif hanya terjadi pada galur yang toleran yang sejalan dengan naiknya aktivitas enzim SPS (Sucrose phosphate synthase). Pada. kedelai,
29
Cahaya Sitosol
Kloroplas Fotosintesis Heksosa Fosfat
UDP-glukosa
3-PGA
Fruktosa 6-P
X
ADPG-PPi adenosin difosfoglukosa (ADPG)
Sucrose Phosphate Synthase (SPS)
Sucrose 6-P
+ UDP
H2O
Sucrose Phosphate Phosphathase (SPP)
Pi
ATP
Amilosa kecil (unit n- glukosa)
Sucrose Synthase
(SS) Amilosa lebih besar (unit n + 1 glukosa)
Sucrose
+ ADP
+ Pi
Gambar 10 Hubungan antara cahaya, fotosintesis, dan enzim (diberi lingkaran) yang berperanan dalam mengkatalisis proses pembentukan pati di kloroplas dan sukrosa di sitosol; ADPG-PPi = adenosine difosfoglukosa pirofosforilase (dirangkum dari Salisbury dan Ross 1992, Dennis dan Blakeley 2000, Hopkins dan Huner 2004)
30 informasi tentang hubungan antara daya adaptasi dan perimbangan karbohidrat seperti pati-sukrosa pada kondisi intensitas cahaya rendah belum diperoleh. Sucrose phosphate synthase merupakan salah satu enzim kunci dalam pembentukan sukrosa (Babb dan Haigler 2001). SPS mengkatalisis pembentukan sukrosa fosfat, kemudian oleh sucrose phosphate phosphatase (SPP) sukrosa fosfat diubah menjadi suk rosa (Gambar 10). Gambar 10 menunjukkan bahwa tersedianya substrat heksosa fosfat hasil fotosintesis dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan aktivitas SPS sehingga memungkinkan akumulasi sukrosa yang lebih tinggi. Pewarisan Sifat Tolerans terhadap Intensitas Cahaya Rendah Upaya perbaikan sifat tanaman sangat tergantung pada pemahaman pemulia terhadap pola pewarisan sifat yang diminati. Sebelum melangkah lebih jauh, pemulia perlu memahami apakah karakter yang sedang dipelajari: (1) merupakan karakter kualitatif atau kuantitatif, (2) diwariskan dengan heritabilitas tinggi atau rendah, (3) menyebar pada tetua yang dimiliki atau terdapat pada tetua tertentu, (4) aksi gen pengendalinya aditif, dominan, atau epistasis, dan (5) seberapa besar kemajuan genetiknya. Informasi tersebut akan mengarahkan pemulia untuk memilih metode pemuliaan yang sesuai sehingga tingkat keberhasilannya akan menjadi lebih tinggi. Pewarisan suatu sifat atau karakter kepada keturunannya dapat merupakan sifat kualitatif ataupun sifat kuantitatif. Keragaman sifat kualitatif bersifat diskontinue, dikendalikan oleh satu atau dua gen sedangkan sifat kuantitatif bersifat kontinue, dikendalikan oleh banyak gen (Mangoendidjojo 2003). Suatu sifat akan diwariskan apabila sifat tersebut lebih banyak ditentukan oleh faktor genetik daripada faktor nongenetik, karena itu informasi tentang mudah-tidaknya suatu sifat diwariskan dari tetua kepada keturunannya sangat penting bagi pemulia. Mudah-tidaknya suatu sifat diwariskan dari tetua kepada keturuna nnya dapat diduga berdasarkan tinggi-rendahnya nilai heritabilitas (h2 ). Heritabilitas merupakan perbandingan atau proporsi ragam genetik terhadap ragam total atau ragam fenotipe. Berdasarkan pengertian tersebut, heritabilitas yang tinggi merupakan petunjuk bahwa peranan faktor genetik terhadap karakter yang diamati lebih besar dibandingkan dengan peranan faktor non-genetik sehingga karakter tersebut akan lebih mudah diwariskan. Sebaliknya, nilai duga heritabilitas rendah mengindikasikan bahwa peranan faktor nongenetik terhadap ekspresi suatu karakter lebih besar dibandingkan dengan peranan faktor genetik ; karakter demikian sulit diwariskan.
31 Niliai duga heritabilitas dinyatakan dalam persen (%) dan tergolong tinggi apabila h2 > 50, sedang apabila 20 ≤
h2 ≥ 50, dan rendah apabila h2 < 20
(Mangoendidjojo 2003). Berdasarkan komponen penyusun ragam genetik, dikenal heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability = h2 bs) yang merupakan proporsi ragam genetik (σ2 G) terhadap ragam total atau ragam fenotipe (σ2 P ) (h2 bs = σ2 G/σ2 P ) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability = h2 ns) yang merupakan proporsi ragam aditif (σ2 A) terhadap ragam fenotipe (σ2 P ) (h2 ns = σ2 A/σ2P ). Selain heritabilitas, informasi lain yang ingin diperoleh dari suatu studi pewarisan adalah aksi gen yang mengendalikan ekspresi suatu karakter. Ekspresi suatu karakter kuantitatif dapat dikendalikan oleh aksi gen aditif, dominan, atau epistasis (Poehlman dan Sleeper1996, Roy 2000, Chahal dan Gosal 2003). Informasi tentang heritabilitas dan aksi gen dapat digunakan untuk menduga kemajuan genetik atau kemajuan seleksi dan penentuan kriteria efektivitas seleksi (Roy 2000). ). Nilai duga heritabilitas dan aksi gen dapat diperoleh antara lain melalui analisis dialel. Silang dialel merupakan suatu rancangan persilangan genetik yang banyak digunakan untuk memisahkan pengaruh genetik dari pengaruh lingkungan yang mengendalikan suatu karakter kuantitatif (Murtaza 2005). Teknik persilangan dialel dkembangkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme genetik yang terlibat dalam generasi awal (Khan dan Habib 2003) atau dalam generasi segregasi (Salem et al. 2005). Dengan silang dialel juga dimungkinkan untuk memilih tetua dan memberikan informasi tentang daya gabung tetua dalam hibrida (de Sousa dan Maluf 2003) sehingga dapat membantu pemulia untuk meningkatkan dan menyeleksi populasi segregan. Pada persilangan dialel, semua genotipe disilangkan dalam semua kombinasi (Roy 2000). Masing- masing genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotipe lain, termasuk persilangan sendiri genotipe itu. Dalam penerapan persilangan dialel, dibutuhkan asumsi (Singh dan Chaundhary 1979, Roy 2000) sebagai beriktut : (1) merupakan segregasi diploid, (2) tidak terdapat pengaruh tetua (tidak terdapat perbedaan resiprok), (3) aksi gen beda alel bersifat independen, (4) tidak terdapat peristiwa multiple allel, (5) tetua bersifat homosigot, (5) gen-gen terdistribusi secara bebas di antara tetua, dan (6) koefisien inbriding sama dengan satu. Terdapat beberapa macam dialel yang mungkin untuk dianalisis.
Jumlah
kombinasi tergantung dari macam persilangan tetua yakni (Roy 2000): (1) p2 kombinasi atau kombinasi lengkap, terdiri dari F1 , resiproknya, dan penyerbukan sendiri tetuanya;
32 (2) p(p-1) kombinasi, terdiri dari F1 dan resiproknya; (3) ½p(p-1) kombinasi, terdiri dari F1 saja; dan (4) ½p(p+1) kombinasi, terdiri dari F1 dan penyerbukan sendiri tetuanya. Penggunaan salah satu macam dialel tergantung dari tujuan analisisnya atau dihubungkan dengan penyederhanaan analisisnya. Misalnya, untuk menguji tetua sejumlah 20, maka bila menguji kombinasi lengkap akan diperoleh 400 kombinasi. Bila diketahui tidak ada pengaruh resiprok dan tetuanya maka cukup dianalisis ½p(p-1) kombinasi atau 190 kombinasi. Analisis dialel untuk setiap macam persilangan di atas telah dirumuskan oleh Griffing (1956) dalam Singh dan Chaundhary (1979) dan dikenal dengan nama analsisi dialel metode I, II, III, dan IV. Beberapa karaketer efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah pada genotipe kedelai telah dipelajari, tetapi belum banyak yang mengkaitkan dengan pemuliaan tanaman.
Apabila di dalam populasi terdapat keragaman genetik
karakter efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah, maka terdapat peluang untuk menyeleksi genotipe-genotipe yang mempunyai mekanisme efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah. Tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai, perbaikan populasinya diarahkan untuk pembentukan galur murni. Dalam hal demikian aksi gen aditif menjadi penting karena mudah difikasi. Menurut Allard (1960) ragam aditif dan aditif x aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi. Pewarisan Sifat Selain ketersediaan keragaman genetik yang luas, keberhasilan program pemuliaan juga tergantung pada pengetahuan tentang pola pewarisan dari karakter yang akan diperbaiki. Suatu karakter dapat diwariskan secara kualitatif ataupun secara kuatitatif. Karakter kualitatif dikendalikan oleh gen-gen sederhana (gen mayor = mono genik). Disebut gen mayor karena pengaruhnya yang besar dan pengaruh lingkungan kecil walaupun ada segregasi pada lain lokus dan ada ragam non genetik (Soemartono et al. 1992). Sebaran frekuensi populasi dapat diketahui dengan melakukan uji normalitas; menyebar tidak normal menunjukkan bahwa karkter yang dipelajari dikendalikan oleh satu atau beberapa gen mayor. Pola pewarisan karakter seperti ini dapat dipelajari menggunakan analisis genetik Mendel (Allard 1960, Wagner 1980, Roy 2000) Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen minor atau poligenik (Roy 2000). Disebut gen minor karena pengaruh satu gen
lebih kecil dari pengaruh
lingkungan (Soemartono et al. 1992). Menurut Poehlman dan Sleeper (1996), pewarisan
33 kuantitatif berhubungan dengan pewarisan karakter multigenik atau poligenik dengan ciri-ciri : (1) setiap multigen memperlihatkan pengaruh yang kecil pada fenotipe relatif terhadap ragam total; secara normal tidak mungkin diidentifikasi sebagai pengaruh individu gen, (2) banyak gen, 10 atau lebih pada lokus yang berbeda memberikan sumbangan terhadap penampakan suatu karakter kuantitatif; nisbah segregasi tidak teramati; rekombinasi dan segregasi dipelajari berdasarkan pengaruh kuantitatif dari gengen pada fenotipe, (3) pengaruh individu gen bersifat kumulatif, pengaruh netonya dapat diukur dari nilai fenotipe; dalam populasi kawin acak nilai fenotipe memperlihatkan ragam kontinue dari nilai sangat rendah ke nilai sangat tinggi, (4) pengaruh multigen ditunjukkan melalui aksi gen yang berbeda: aditif, dominan, epistasis, atau overdominan, dan (5) dengan pewarisan multigen, dapat diperoleh “transgressive segregates” yakni suatu karakter kuantitatif yang berada di luar selang nilai kedua induk; suatu fenomena yang banyak digunakan pemulia untuk memperoleh kultivar superior. Ragam. Bila individu- individu dalam populasi tanaman diklasifikasikan menurut salah satu karakternya, misalnya tinggi maka tidak akan ditemukan hanya dua kelompok yakni tinggi atau rendah saja, karena ada variasi dalam segala tingkat; variasi demikian disebut variasi atau ragam kontinue.
Karakter yang menunjukkan adanya ragam
kontinue disebut karakter kuantitatif. Ragam pada dasarnya diskontinue tetapi menjadi kontinue karena : (1) adanya segregasi simultan dari banyak gen yang mempengaruhi sifat yang sama, dan (2) ragam yang sebenarnya tidak begitu kontinue diperhalus lagi oleh adanya faktor non genetik (Soemartono et al. 1992, Falconer 1985).
Cara
mempelajari ragam kontinue harus melalui pengukuran, tidak hanya menghitung, menggunakan prosedur statistik tertentu termasuk selang, rata-rata, ragam, standar deviasi, dan koefisien ragam. Bagi pemulia tanaman yang terpenting adalah rata-rata dan ragam (Poehlman dan Sleeper 1996). Selanjutnya dijelaskan bahwa ragam dan standar deviasi yang kecil untuk suatu sampel populasi menunjukkan bahwa nilai pengamatan berada sangat dekat dengan rata-rata populasi, sebaliknya ragam dan standar deviasi yang besar menunjukkan bahwa nilai pengamatan sangat berpencar dan jauh dari ratarata populasi. Analisis ragam dilakukan dengan memecah ragam menjadi beberapa komponen : (1) ragam fenotipik (VP =σ2P ) dari nilai fenotipe, (2) ragam genotipik (V G=σ2 G) dari nilai genotipe, (3) ragam aditif (VA=σ2 A) dari nilai pemuliaan, (4) ragam dominansi (VD=σ2 D) dari simpangan dominan, (5) ragam interaksi (VI=σ2 I) dari simpangan interaksi, (6)
34 ragam lingkungan (VE=σ2 E) dari simpangan lingkungan (Soemartono et al. 1992, Poehlman dan Sleeper 1996). Pemisahan pertama nilai fenotipe (P) adalah menjadi nilai genotipe (G) dan simpangan lingkungan (E); P = G + E. Pemecahan ragam menjadi komponen genetik (σ2 G) dan lingkungan (σ2 E) berarti merumuskan masalah antara kebakaan (hereditas) dengan lingkungan, atau menentukan mana yang lebih penting secara nisbi antara genotipe dan lingkungan dalam me mpengaruhi nilai fenotipe. Seberapa besar pentingnya genotipe secara nisbi sebagai penentu nilai fenotipe ditunjukkan oleh nisbah ragam genotipe dengan ragam fenotipe; σ2 G/σ2 P yang sering disebut sebagai heritabilitas arti luas (h2 bs) (Poehlman dan Sleeper 1996, Mangoendidjojo 2003). Ragam genotipe dan ragam fenotipe dapat diduga dari populasi eksperimental, bila salah satu komponen dapat dieliminasi maka ragam fenotipe sisanya merupakan taksiran komponen lainnya. Ragam lingkungan tidak dapat dieliminasi karena menurut definisinya, ragam lingkungan terdiri dari semua ragam non genetik, tetapi secara eksperimental ragam genotipe dapat dieliminasi, misalnya pada galur inbred derajat tinggi atau F1 dari persilangan galur inbred akan terdiri dari genotipe yang identik sehingga ragam genotipe sama dengan nol. Bila genotipe demikian diuji pada lingkungan yang kisarannya normal maka ragam fenotipe seluruhnya akan mencerminkan ragam lingkungan σ2 E. Ragam genotipe lebih jauh dapat dipecah sesuai dengan pemecahan nilai genotipe menjadi nilai pemuliaan, simpangan interaksi : G = A + D + I (Fehr 1987). Ragam aditif (σ2 A) yang merupakan ragam nilai pemuliaan adalah komponen yang penting sebagai penyebab utama kemiripan antar kerabat (resemblance between relative), dan merupakan penentu utama sifat genetik yang dapat diamati dari populasi serta penentu respon populasi terhadap seleksi (Falconer 1985, Soemartono et al. 1992, Chahal dan Gosal 2003). Dalam praktik, pembagian yang biasa dilakukan adalah menjadi ragam genetik aditif dan ragam sisa yaitu ragam genetik non aditif dan ragam lingkungan. Pemisahan tersebut dinyatakan sebagai nisbah ragam genetik aditif dengan ragam fenotipe; σ2 A/σ2P yang sering disebut sebagai heritabilitas arti sempit (h2 ns). Ragam interaksi didasarkan atas banyak lokus yang tersangkut; interaksi 2 faktor dan 3 faktor bila menyangkut 2 lokus dan 3 lokus, untuk 4 lokus pengaruh interaksinya kecil dan diabaikan. Pada 2 lokus terdapat 3 macam interaksi yaitu aditifi-aditif, aditif-dominan, dan dominandominan (Falconer 1985, Chahal dan Gosal 2003).
35 Aksi Gen. Dengan multigen, dikenal empat macam aksi gen : additif, dominan, epistasis, dan overdominan (Poehlman dan Sleeper1996, Chahal dan Gosal 2003). Pengaruh aditif menunjukkan aksi gen- gen yang mempengaruhi suatu karakter genetik dengan cara setiap gen meningkatkan atau menurunkan penampakan karakter genetik tersebut. Jika dalam penampakan suatu karakter kuantitatif (misalnya hasil), pengaruh satu gen menambah satu unit peningkatan hasil, dua gen menambah dua unit, dan seterusnya, apakah gen-gen tersebut merupakan alel-alel pada satu lokus atau gen-gen yang independent pada beberapa lokus. Pengaruh dominansi adalah simpangan dari aditivitas, bersifat heterosigot dan lebih condong ke salah satu induk. Pada aksi gen dominan penuh, heterosigot, dan homosigot dominan memiliki pengaruh yang sama. Pengaruh epistasis adalah hasil dari interaksi gen-gen non alelik, interaksi gen-gen pada lokus yang berbeda. Dalam epistasis, pengaruh dua buah gen secara individu tidak ada, kecuali keduanya berkombinasi. Pengaruh overdominan terjadi jika masing- masing alel memberikan sumbangan secara terpisah dan kombinasi alel-alel tersebut memberikan sumbangan yang lebih besar dibanding sumbangan masing-amsing alel secara terpisah Sejauh ini belum banyak informasi yang diperoleh tentang dasar genetik dan pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai. Dari penelitian pendahuluan diperoleh informasi bahwa dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah, karakter agronomi kedelai menunjukkan keragaman kont inyu. Karakter daya hasil dalam keadaan tercekam naungan 50% diwariskan dengan tingkat heritabilitas yang rendah (0.29), namun karakter jumlah polong per tanaman diwariskan denga n heritabilitas mencapai 0.87 (Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Dalam penelitian ini juga diperoleh informasi adanya pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter tinggi tanaman, luas daun, jumlah polong dan jumlah biji per polong dalam keadaan ternaungi. Hal ini menunjukkan adanya kendali dari gen-gen di sitoplasma baik dalam interaksinya dengan gen- gen pada inti maupun tidak (Matter dan Jinks 1982). Pada karakter kandungan khlorofil a, khlorofil b, dan kandungan karoten, tidak terdapat pengaruh tetua betina (Handayani 2003). Beberapa sifat morfologi daun kedelai dikendalikan oleh gengen major. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, informasi lebih lengkap mengenai kendali genetik terhadap toleransi intensitas cahaya rendah pada kedelai belum diketahui.
36 Pewarisan Kloroplas dan Klorofil Ekspresi gen kloroplas dalam tanaman tingkat tinggi diregulasi pada level yang berbeda dan diyakini ekspresi tersebut dikoordinasi oleh gen-gen kloroplas dan nukleus (Singhal et al. 1999). Koordinasi berlangsung karena sequences mitokondria dan kloroplas ada dalam nukleus, demikian juga sequence kloroplas ditemukan dalam mitokondria. Hal ini menjelaskan bahwa kendali genetik dari fungsi biokimia tertentu dilepaskan (atau diambil dari) ke sel-sel progenitor. Alur informasi genetik antar organel dalam sel tanaman diilustrasikan pada Gambar 11 sebagai berikut (Anonim 2005): Nucleus
Mitochondria
Chloroplast
Gambar 11 Alur informasi genetik dari satu organel ke organel lain dalam sel tanaman Inti atau nukleus hanyalah sebagian kecil dari sel, di luar inti terdapat sitoplasma, mitokondria, plastida, dan sebagainya sehingga tidak mengherankan jika induk betina memberikan pengaruh yang besar terhadap keturunannya. Selain itu, volume gamet betina lebih besar dari volume gamet jantan, dan bagian terbesar dari gamet betina adalah sitoplasma, beserta arganel-organel seperti mitokondria, plastida, dan sebagainya. Jadi induk betina dapat memberikan pengaruh maternal (bila genotipe nuklear induk betina menentukan fenotipe keturunan) dan pewarisan maternal (jika faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat di luar nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma (Suryo 1995). Studi klasik pewarisan maternal ditunjukkan oleh Correns pada tanaman pukul empat (Anonim 2005). Tanaman ini memiliki daun yang dapat berwana hijau, variegated (putih dan hijau), atau putih. Ketika Correns membuat persilangan, keturunan yang dihasilkan selalu menggambarkan warna daun dari tetua betina. Pewarisan secara maternal dibuktikan pula pada persilangan spesifik antara tanaman tomat dengan spesis liar menggunakan teknik RFLP (Anonim 2005). Namun demikian, pewarisan plastid tidak selalu bersifat maternal. Saat ini diketahui lebih dari 40 contoh pewarisan plastid yang bersifat paternal. Penelitian pada alfalfa (Medicago sativa) yang dilakukan sejak pertengahan tahun 1980-an memperlihatkan bahwa pewarisan plastid (dan DNA plastid) bersifat biparental dengan kecondongan yang lebih kuat ke arah paternal (Smith dan
37 Mogensen 2005). Data yang dikumpulkan sejak tahuan 1950-an menggunakan genotipe defisien-klorofil dari Medicago truncatula menunjukkan bahwa pewarisan plastid tidak memperlihatkan pola pewarisan maternal. Ryder (1996) mempelajari pewarisan enam mutan defisiensi klorofil pada Lactuca sativa dan menyimpulkan bahwa dalam pewarisan tersebut dikendalikan oleh gen-gen nukleus. Studi klorofil pada kedelai juga sudah banyak dilakukan. Kultivar Williams mutan defisienssi-klorofil bersifat alelik terhadap y9 dan terpaut terhadap pb (Thorson et al. 1989). Kumudini (2005) melaporkan adanya kendali alel-alel dominan gen-E terhadap konsentrasi klorofil dalam NILs kedelai, sedangkan Zou et al. (2003) menjelaskan bahwa paling kurang terdapat 19 gen resesif tunggal dan satu gen resesif ganda dalam mutan daun kuning kedelai.
MEKANISME EFISIENSI PENANGKAPAN CAHAYA PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK Keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dalam intensitas cahaya rendah tergantung pada efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya. Efisiensi penangkapan cahaya dapat diperoleh melalui adaptasi morfo-anatomi daun dan kandungan pigmen. Studi mekanisme efisiensi penangkapan cahaya dilakukan dalam dua tahap: (1) percobaan untuk mempelajari mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada intensitas caha ya 50% dan 100% dalam periode waktu yang lama (long-term exposure), dan (2) percobaan dengan perlakuan perbedaan kondisi intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure) untuk mempelajari perubahan karakter efisiensi penangkapan cahaya. Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari dua genotipe toleran (Ceneng dan Pangrango) dan dua genotipe peka (Godek dan Slamet). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk menghasilkan karakter yang mendukung efisiensi penangkapan cahaya (daun lebih luas dan lebih tipis, trikoma lebih sedikit, klorofil a dan b yang lebih tinggi, serta nisbah klorofil a/b yang lebih rendah) sehingga bobot biji/tanaman juga lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka terutama Godek. Dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat, perubahan karakter efisiensi penangkapan cahaya pada genotipe toleran Ceneng mengikuti kondisi cahaya yang terakhir kali diterima. Sebaliknya, genotipe peka Godek memperlihatkan pola perubahan yang kurang seiring dengan pola perubahan intensitas cahaya. Kata kunci : efisiensi penangkapan cahaya, genotipe toleran, genotipe peka
LIGHT CAPTURE EFFICIENCIES MECHANISM UNDER LOW LIGHT INTENSITY OF TOLERANT AND SENSITIVE SOYBEAN GENOTYPE ABSTRACT Plant can grow and develop under low light intensity depend on their efficient capture and use of limiting light. They adjusted light capture efficiencies by leaves morfo-anatomycal and pigment content rearangement. Study on light capture efficiencies mechanism held in two step: (1) Long term exposure experiment to study the light capture efficiencies under 50% and 100% light intensity, and (2) Short term exposure experiment to examine the flexibility of light capture efficiencies character. We used two tolerant genotype (Ceneng and Pangrango) and two sensitive genotype (Godek and Slamet). The result showed that under 50% light intensity, Ceneng developed its characters more efficient than sensitive genotype, especially Godek. Ceneng has wider and thinner leaves, fewer trichoma, higher chlorophyll a,b and lower chlorophyl a/b ratio. So, Ceneng has higher seed weight per plant. Under several short term exposure condition, regulation of efficiencies characters in Ceneng is following the recent light condition. But in Godek is less responsive. Keyword : light capture efficiencies, tolerant genotype, sensitive genotype
39
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemampuan tanaman untuk mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah pada umumnya tergantung pada kemampuannya melanjut kan fotosintesis pada kondisi intensitas cahaya rendah tersebut. Kemampuan demikian dapat diperoleh dengan cara meningkatkan luas bidang tangkapan cahaya (meningkatkan luas daun), mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan atau ditransmisikan, serta menghindari pemborosan cahaya yang diabsorpsi (Levitt 1980, Hale dan Orchut 1987, Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Dengan kata lain, tanaman harus memiliki mekanisme efisiensi penangkapan cahaya. Peningkatan luas daun selain memungkinkan peningkatan luas bidang tangkapan, juga menyebabkan daun menjadi lebih tipis karena sel-sel palisade hanya teridiri dari satu atau dua lapis dan lebih pendek (Khumaida 2002, Taiz dan Zeiger 2002). Tipisnya daun yang ternaungi menyebabkan berat daun menjadi rendah sehingga luas daun spesifik (spesific leaf area) yang merupakan nisbah luas daun terhadap berat daun meningkat (Pearcy 1999). Logan et al. (1999) dan Atwell et al. (1999) mengemukakan bahwa salah satu karakter daun naungan adalah meningkatnya luas daun spesifik. Pada daun yang tipis, kloroplas terorientasi pada permukaan daun bagian atas secara paralel sehingga daun tampak lebih hijau. Akumulasi kloroplas pada permukaan daun merupakan salah satu mekanisme adaptasi untuk mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan karena dengan demikian pigmen pemanen cahaya akan berada dalam posisi terdekat dari arah datangnya cahaya (Logan et al. 1999, Taiz Zeiger 2002). Salisbury dan Ross (1992) serta Pearcy (1999) juga menjelaskan bahwa distribusi kloroplas yang paralel terhadap permukaan daun akan memaksimumkan penangkapan cahaya karena jumlah cahaya yang ditransmisikan dapat dikurangi. Selain posisi dan jumlahnya, aspek penting dari kloroplas yang terekspose pada
intensitas
cahaya
rendah adalah pigmen pemanen cahaya
yang
dikandungnya, terutama klorofil. Hasil penelitian pada berbagai tanaman, termasuk kedelai (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003, Handayani 2003)
40
menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah kandungan klorofil a dan b menga lami peningkatan. Peningkatan klorofil b relatif lebih tinggi dibanding klorofil a sehingga pada intensitas cahaya rendah nisbah klorofil a/b menjadi rendah (Khumaida 2002, Handayani 2003, Sopandie et al. 2003, Lestari 2005, Jufri 2006, Tyas 2006). Sejalan dengan penjelasan tersebut, Murchie dan Horton (1997) mengemukakan bahwa, pengaturan nisbah klorofil a/b merupakan salah satu strategi penting dalam adaptasi terhadap intensitas cahaya jangka panjang. Selain pigmen fotosintetik seperti klorofil dan karotenoid, tanaman juga memiliki pigmen non- fotosintetik seperti antosianin. Konsentrasi antosianin dalam intensitas cahaya rendah seharusnya lebih rendah (Levitt 1980) karena menyerap cahaya pada panjang gelombang 475-560 nm (Hopkins dan Huner 2004), suatu kisaran panjang gelombang yang juga dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Selain itu, antosianin terakumulasi dalam vakuola sel-sel epidermis (Hopkins dan Huner 2004) sehingga akan menghalangi kerja pigmen fotosintetik yang berada di bawahnya. Dalam hal demikian, dapat dikemukakan bahwa daun yang berkembang pada intensitas cahaya rendah dengan kandungan antosianin yang tinggi akan mengurangi jumlah cahaya yang dapat ditangkap oleh pigmen fotosintetik. Upaya
lain
untuk
memaksimumkan
penangkapan
cahaya adalah
mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan. Cara ini ditempuh tanaman antara lain melalui pengurangan jumlah buluh daun (trikoma), mengurangi lapisan kutikula, dan mengurangi lapisan lilin pada permukaan daun (Levitt 1980, Hale dan Orcutt 1987, Velasco et al. 2001). Meskipun trikoma memiliki peranan ekologis yang cukup penting antara lain mengurangi transpirasi dan menurunkan suhu daun (Velasco et al. 2001), tetapi cahaya yang dapat diabsorpsi oleh daun dengan trikoma yang banyak dapat berkurang 40% dibanding daun tanpa atau trikoma sedikit (Taiz dan Zeiger 2002). Jadi, daun yang berkembang dalam intensitas cahaya rendah akan kurang efisien menangkap cahaya apabila memiliki banyak trikoma. Penelitian untuk mengetahui mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai telah terdokumentasi dengan sangat baik, terutama yang berhubungan dengan upaya tanaman dalam memaksimumkan jumlah cahaya yang
41
dapat ditangkap melalui peningkatan luas daun (Sopandie et al. 2003, Jufri 2006, Tyas 2006), peningkatan kandungan klorofil (Khumaida 2002, Handayani 2003, Sopandie et al. 2003, Lestari 2005, Jufri 2006, Tyas 2006), serta berkurangnya ketebalan daun dan lapisan palisade (Khumaida 2002, Jufri 2006, Tyas 2006). Namun demikian, efisiensi penangkapan cahaya yang dilakukan tanaman dengan cara mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan melalui pengurangan trikoma belum banyak dilakukan. Demikian juga, informasi pemborosan cahaya karena diserap pigmen non- fotosintetik seperti antosianin masih sedikit.
Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui perbedaan respon morfo-anatomi daun dan kandunga n pigmen fotosintetik dan non- fotosintetik antara kedelai genotipe toleran dan peka dalam perlakuan intensitas cahaya periode yang lama, dan (2) mengetahui perubahan morfoanatomi daun dan kandungan pigmen pada kedelai genotipe toleran dan peka yang diinduksi oleh berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Besar Biogen Cikeumeuh Bogor. Analisis laboratorium dilaksanakan di laboratorium Research Group on Crop Improvement dan Ekofisiologi IPB serta laboratorium Histologi Biotrop Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2004 sampai dengan Nopember 2005. Percobaan dilakukan dalam dua tahap. Percobaan pertama bertujuan untuk mengetahui perbedaan respon morfo-anatomi daun dan kandungan pigmen fotosintetik dan non- fotosintetik antara kedelai genotipe toleran dan peka dalam perlakuan intensitas cahaya periode yang lama (long term exposure), sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui perubahan morfo-anatomi daun dan
42
kandungan pigmen pada kedelai genotipe toleran dan peka sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat (short term exposure). Percobaan Pertama : "Mekanisme Efisiensi Penangkapan Cahaya dalam Periode yang Lama" Metode Faktor yang diuji adalah intensitas cahaya sebagai petak utama yang terdiri dari dua taraf: IC100 = intensitas cahaya 100% (kontrol), dan IC50 = intensitas cahaya 50%. Faktor kedua sebagai anak petak adalah genotipe yang teridiri dari: dua genotipe toleran yakni Pangrango (G1 ) dan Ceneng (G2 ) serta dua genotipe peka yakni Godek (G3 ) dan Slamet (G4 ) (Sopandie et al. 2002). Jadi, terdapat delapan kombinasi perlakuan yang masing- masing diulang empat kali sehingga terdapat 32 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan menggunakan 50 tanaman. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot) dengan anak petak tersarang (nested) pada petak utama. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 1. Perlakuan intensitas cahaya 50% dilaksanakan dengan cara meletakan paranet hitam di sisi atas dan keempat sisi rangka bambu setinggi 2 m sehingga pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet. Paranet yang digunakan adalah paranet yang meloloskan cahaya sekitar 50%. Tanah di dalam maupun di luar paranet diolah sebanyak dua kali. Pada pengolahan tanah kedua, diikuti dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha. Selanjutnya, tiga butir benih kedelai dimasukkan ke dalam lubang tanam sedalam 2 cm – 3 cm yang sebelumnya telah diberi Carbofuran-3G dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Pada umur satu minggu setelah tanam (MST) tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap lubang tanam hanya berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap lubang tanam hanya berisi satu tanaman. Dalam setiap satuan percobaan diambil lima sampel tanaman destruktif dan lima sampel tanaman produksi. Pengukuran karakter yang menggunakan daun, sampel yang dipilih adalah daun yang telah membuka penuh (daun ke 3 – 4 dari atas pada batang utama). Panen dilakukan setelah polong kehilangan warna hijaunya dengan cara menggunting tangkai polong yang telah kering dan tetap
43
membiarkan tanaman kedelai tetap hidup dengan polong lain yang belum bisa dipanen. Pemeriksaan waktu panen dan pemanenan dilakukan setiap minggu. Peubah yang diamati meliputi morfo-anatomi, pigmen, serta hasil dan komponen hasil. Aspek morfo-anatomi yang diamati adalah: (a) luas daun total, (b) luas daun spesifik, (c) luas daun trifoliate (d) ketebalan daun, (e) panjang lapisan palisade, (f) kerapatan stomata, (g) kerapatan trikoma, serta (h) intensitas kehijauan daun. Sedangkan pigmen yang diukur adalah : (a) kandungan klorofil a, (b) klorofil b, (c) klorofil total, (d) nisbah klorofil a/b, serta (e) kandungan antosianin. Peubah hasil dan komponen hasil yang diamati meliputi : (a) jumlah polong berisi, (b) jumlah polong hampa, dan (c) bobot biji/tanaman. Jumlah polong berisi dan polong hampa dihitung seluruhnya per tanaman. Setelah polong kering dan dipipil, biji ditimbang. Bobot biji/tanaman adalah berat keseluruhan biji yang diperoleh saat panen hari pertama sampai panen hari terakhir. Nilai bobot biji/tanaman adalah rata-rata lima tanaman sampel. Pengukuran luas daun dilakukan pada umur 10 MST menggunakan leaf area meter. Luas daun total adalah luas seluruh daun yang terbentuk/tanaman, merupakan nilai rata-rata dari lima tanaman sampel sedangkan luas daun spesifik diperoleh dari luas daun total dibagi total berat kering daun (Evans dan Poorter 2001). Luas daun trifoliat diukur pada posisi daun ketiga dan keempat dari atas pada batang utama, merupakan nilai rata-rata dari dua daun trifoliat dari lima tanaman sampel. Tebal daun dan lapisan palisade diukur dari daun yang berada di tengah dari trifoliat. Pada umur 10 MST, tiga daun sebagai ulangan dipreparasi, kemudian lima dari hasil potongan mikrotom terbaik diukur tebal dan ukuran lapisan palisadenya, masing- masing pada empat tempat yang berbeda. Jadi, nilai tebal daun dan lapisan palisade dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 3 x 5 x 4 = 60 kali hasil pengukuran. Dalam pengamatan kerapatan trikoma, digunakan tiga trifoliat dari lima tanaman sampel pada umur 10 MST. Trikoma dari masing- masing daun trifoliat diamati pada permukaan daun bagian atas sebanyak 10 kali, sehingga nilai kerapatan trikoma dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 5 x 3 x 10 = 150 kali hasil pembacaan pada mikroskop dengan perbesaran 200x.
44
Kerapatan stomata dianalisis pada umur 10 MST menggunakan metode imprint. Permukaan bawah daun (daun yang di tengah dari trifoliat) diolesi cutex transparan pada empat tempat berbeda dan setelah kering diangkat menggunakan selotif transparan. Selotif dengan cutex yang mengandung hasil copian stomata daun diamati di bawah mikroskop pada perbesaran 400x. Masing- masing selotif dibaca lima kali sehingga nilai kerapatan stomata dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 5 x 4 x 5 = 100 kali hasil pembacaan. Intensitas kehijauan daun diukur menggunakan chlorophyl meter (FJK Chlorophyll Tester CT-102) pada umur 10 MST. Daun trifoliat pada posisi ketiga dari atas pada batang utama diukur intensitas kehijauannya. Masing- masing helai daun dibaca intensitas kehijauannya pada empat titik sehingga nilai intensitas kehijauan pada suatu unit perlakuan merupakan rata-rata dari 5 x 3 x 4 = 60 kali pengukuran. Kandungan pigmen baik klorofil maupun antosianin juga diukur pada umur 10 MST. Analisis klorofil menggunakan metode Arnon (1949) yang telah dimodifikasi oleh Yoshida dan Parao (1976) (Lampiran 4) sedangkan analisis antosianin menggunakan metode yang dikembangkan Less dan Francis (1982) (Lampiran 5). Analisis Data Data dianalisis menggunakan anova sesuai rancangan yang digunakan, dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%. Selain itu, keterkaitan antara intensitas kehijauan daun dengan kandungan klorofil diuji menggunakan prosedur korelasi. Percobaan Kedua : "Mekanisme Efisiensi Penangkapan Cahaya dalam Periode Singkat" Metode Faktor yang diuji adalah genotipe dan penerimaan cahaya. Faktor genotipe terdiri dari: G1 = Pangrango, G2 = Ceneng, G3 = Godek, dan G4 = Slamet. Pemberian berbagai kondisi cahaya dilakukan setelah tanaman berumur 14 hari sebagai berikut: L0 (dipelihara dalam ruang tanpa cahaya (gelap) selama 5 hari), L1 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 5 hari), L2 (dipelihara pada intensitas cahaya 100% selama 5 hari), L3 (dipeliharan selama 5 hari dalam
45
intensitas cahaya 100% lalu dipindahkan ke intensitas cahaya 50 % selama 3 hari), L4 (dipelihara selama 3 hari intensitas cahaya 100%, selama 3 hari dalam intensitas cahaya 50%, lalu dipindahkan lagi ke intensitas cahaya 100% selama 2 hari), L5 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 3 hari, dalam intensitas cahaya 100% selama 2 hari, kemudian dalam tanpa cahaya (gelap) selama 3 hari). Setiap genotipe menggunakan 30 tanaman dan waktu penanaman diatur sedemikian rupa sehingga pengambilan sampel daun berlangsung pada saat yang bersamaan (Lampiran 2). Polibag diisi dengan ± 8 kg campuran tanah dan pupuk kandang (1 kg tanah : 20 g pupuk kandang). Selanjutnya, benih kedelai dilumuri dengan inokulan rhizobium kemudian dimasukkan ke dalam lubang tanam (tiga butir benih/lubang) sedalam 2–3 cm. Setelah seputar benih ditaburi Carbofuran 3-G, lubang tanam ditutup tanah kemudian disiram. Pada umur 1 MST tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman. Setelah berumur 14 hari, tanaman kedelai diberi perlakuan intensitas cahaya. Perlakuan gelap dilakukan dengan cara meletakan tanaman pada ruangan (kamar) gelap tanpa cahaya, sedangkan cahaya 50% dan 100% dilakukan dengan cara seperti pada percobaan pertama. Sampel daun untuk pengukuran kandungan pigmen, diambil dari daun yang telah membuka sempurna (nomor 3 dari atas pada batang utama), sedangkan untuk pengukuran morfo-anatomi lainnya menggunakan sampel daun nomor 4 dari atas pada batang utama. Peubah yang diamati meliputi : (a) kandungan klorofil a, klorofil b, nisbah klorofil a/b, dan kandungan antosianin, (b) ketebalan daun dan panjang lapisan palisade, (c) kerapatan stomata dan
kerapatan trikoma, dan (d) intensitas
kehijauan daun. Kandungan klorofil a, klorofil b, nisbah klorofil a/b, kandungan antosianin, intensitas kehijauan daun, dan kerapatan trikoma diamati pada semua kombinasi perlakuan sedangkan peubah lainnya hanya diamati pada genotipe ceneng dan godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya. Metode pengukuran
46
setiap peubah dilakukan dengan cara yang sama seperti pada percobaan pertama. Pada kondisi L0 tidak dilakukan pengukuran intensitas kehijauan daun dan kerapatan stomata.
Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan histogram. Perbedaan respon suatu karakter terhadap kondisi kontrol diduga berdasarkan perubahan persentase relatif terhadap kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN Luas Daun Dalam intensitas cahaya 50% luas daun total berkurang tetapi terjadi peningkatan pada luas daun trifoliat dan luas daun spesifik (Tabel 1). Penurunan luas daun total yang cukup besar terjadi pada genotipe toleran Pangrango (77% kontrol) dan Ceneng (85% kontrol) tetapi dalam intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki luas daun total tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya kecuali Pangrango. Genotipe toleran Pangrango dan Ceneng memiliki luas daun 1520.0 cm2 dan 1614.2 cm2 sedangkan genotipe peka Godek dan Slamet hanya mencapai 1241.6 cm2 dan 1305.4 cm2 . Peningkatan luas daun spesifik tertinggi terjadi pada genotipe toleran Ceneng (161% kontrol) diikuti Pangrango (135% kontrol), sedangkan genotipe peka Godek dan Slamet hanya mencapai 132% dan 151% kontrol tetapi perbedaan peningkatan tersebut tidak berbeda nyata. Luas daun spesifik tertinggi terdapat pada ge notipe toleran Ceneng (491.38 cm2 ) sedangkan terendah terdapat pada genotipe peka Godek (390.55 cm2 ). Luas daun trifoliat tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya juga ditemukan pada genotipe toleran Ceneng (25.96 cm2 = 118% kontrol). Berdasarkan hasil analisis di atas dapat diduga bahwa tanaman kedelai merespon intensitas cahaya rendah dengan cara : (1) mengurangi : luas daun total, jumlah daun, dan berat kering daun, serta (2) meningkatkan : luas daun trifoliat dan spesifik. Kondisi demikian me rupakan salah satu mekanisme untuk
47
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, sekaligus memelihara keseimbangan penggunaan fotosintat (Taiz dan Zeiger 2002). Kemampuan yang tinggi dalam mengurangi luas daun total serta meningkatkan luas daun spesifik dan trifoliat ditemukan pada kedelai toleran, terutama Ceneng. Indikasi seperti ini juga dilaporkan oleh Bunce et al. (1977) dalam Patterson (1980), Khumaida (2002), Sopandie et al. (2003), serta Handayani (2003). Meningkatnya luas daun spesifik oleh perlakuan intensitas cahaya 50% sesuai dengan pendapat Logan et al. (1999), Atwell et al. (1999), Awada dan Redmann (2000), serta Evans dan Poorter (2001) bahwa salah satu karakter daun naungan adalah meningkatnya nisbah luas daun terhadap berat daun (spesific leaf area). Luas daun spesifik berbanding terbalik dengan berat daun spesifik (nisbah berat daun terhadap luas daun), karena itu daun yang berkembang dalam intensitas cahaya rendah memiliki berat daun spesifik yang lebih rendah (Allard et al. 1991, Pearcy 1999). Tabel 1 Luas daun beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50%
Luas Daun Total (cm2 )
IC (%) 100 50
Pangrango 1985.20 a 1520.00 ab (77)
Genotipe Ceneng Godek 1899.40 a 1372.10 b 1614.20 a (85) 1305.40 b (95)
Slamet 1349.40 b 1241.60 b (92)
Luas Daun Spesifik (cm2 )
100 50
333.09 a 448.18 a (135)
304.97 a 491.38 a (161)
296.08 a 390.55 a (132)
282.52 a 426.45 a (151)
Luas Daun Trifoliat (cm2 )
100 50
16.66 b 19.38 b (116)
22.09 a 25.96 a (118)
20.94 ab 22.31 b (107)
17.93ab 19.80 b (110)
Peubah
Keterangan : Nilai rata-rata genotipe dalam intensitasa cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 95%; angka dalam kurung merupakan persentase (dib ulatkan) terhadap kontrol Kerapatan Trikoma Kerapatan trikoma berkurang secara nyata oleh perlakuan intensitas cahaya 50%. Dalam intesitas cahaya 50% genotipe toleran Ceneng memiliki trikoma yang lebih sedikit (250.80/cm2 ) dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya (Tabel 2). Kerapatan trikoma tertinggi terdapat pada genotipe peka Godek (369.00/cm2 ) dan tidak berbeda nyata dengan genotipe peka Slamet. Penampilan
48
kerapatan trikoma pada Ceneng dan Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% disajikan pada Gambar 12. Tabel 2 Kerapatan trikoma dan stomata serta ketebalan daun dan panjang lapisan palisade beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Peubah
IC (%)
Kerapatan Trikoma (cm2 )
100 50
Genotipe Toleran Peka Pangrango Ceneng Godek Slamet 459.92 c 481.14 c 1044.86 a 697.66 b 437.19 a (95) 250.80 c (52) 369.00 b (35) 331.11 b (47)
Kerapatan Stomata (cm2 )
100 50
175.96 a 116.24 ab (66)
156.05 ab 106.69 b (68)
178.34 a 125.00 a (70)
150.48 b 113.85 ab (76)
Tebal Daun (µm)
100 50
19.56 b 16.00 c (82)
23.02 b 17.56 bc (76)
21.20 c 19.07 b (90)
24.41 a 22.52 a (92)
Lapisan 100 8.57 c 10.22 b 9.80 b 11.50 a Palisade (µm) 50 6.67 d (78) 7.48 c (73) 8.48 b (86) 10.48 a (91) Keterangan : Nilai rata-rata genotipe dalam intensitasa cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 95%; angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa intensitas cahaya rendah menyebabkan
kerapatan
trikoma
berkurang.
Kondisi
demikian
sangat
menguntungkan tanaman karena jumlah cahaya yang akan direfleksikan akan menjadi sedikit, sehingga daun semakin efisien dalam menangkap cahaya. Kerapatan trikoma pada daun kedelai tergantung genotipe (Rosario et al. 2004) dan intensitas cahaya (Tyas 2006). Genotipe toleran terutama Ceneng memiliki jumlah trikoma paling sedikit, sehingga diduga akan lebih efisien dalam menangkap cahaya yang tersedia dibanding genotipe peka. Hal ini sesuai dengan hipotesis Levitt (1980) bahwa keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dalam intensitas cahaya rendah adalah mengefisienkan penangkapan cahaya, antara lain dengan cara mengurangi jumlah trikoma. Hipotesis Levitt sejalan dengan penemuan Hale dan Orcutt (1987) dan Atwell et al. (1999) bahwa adanya trikoma akan meningkatkan jumlah cahaya yang direfleksikan. Pada tumbuhan semak gurun pasir, daun dengan kandungan klorofil yang sama memiliki kemampuan yang sangat berbeda dalam mengabsorbsi cahaya oleh karena perbedaan jumlah trikoma; cahaya yang
49
diserap oleh daun dengan trikoma yang banyak berkurang 40% dibanding daun tanpa atau trikomanya sedikit (Taiz dan Zeiger 2002).
100%
Ceneng (a)
50%
Godek (b) 100%
50%
Gambar 12 Kerapatan trikoma pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50%
Kerapatan trikoma berubah-ubah sebagai respon atas perlakuan kondisi cahaya periode singkat (Tabel 5). Kerapatan trikoma pada semua kondisi cahaya lebih rendah dibanding cahaya 100%. Cahaya 100% (L2 = kontrol) menghasilkan trikoma rata-rata 180.94/cm2 . Apabila pertumbuhan kedelai diteruskan selama tiga
50
hari dalam cahaya 50% (L3 ) maka kerapatan trikoma menurun menjadi 132.83/cm2 (73% kontrol). Apabila sejak awal tanaman hanya memperoleh cahaya 50% (L1 ) maka kerapatan trikoma hanya mencapai 120.83/cm2 (67% kontrol). Apabila selama itu tidak ada cahaya (L0 ) kerapatan trikoma hanya mencapai 97.73/cm2 (50% kontrol). Kerapatan trikoma pada genotipe Pangrango dan Ceneng mengikuti perubahan on-off cahaya periode singkat. Perubahan tersebut sesuai kondisi cahaya terakhir yang diterima kecuali Godek dan Slamet (Gambar 13).
-2
Kerapatan Trikoma (cm )
350 300
Pangrango
Ceneng
250
Godek
Slamet
200 150 100 50 0 L0
L1
L2 (kontrol)
L3
L4
L5
Gambar 13 Kerapatan trikoma pada genotipe Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat; L0 = 5 hari tanpa cahaya, L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap Pada saat L4 (on-off cahaya diakhiri dengan cahaya 100%), kerapatan trikoma pada Pangrango dan Ceneng masing- masing dapat mencapai 117% dan 94% kontrol, sedangkan pada Godek dan Slamet masing- masing hanya mencapai 68% dan 66% kontrol. Apabila on-off cahaya diakhiri dengan kondisi gelap (L5 ), semua genotipe mengurangi trikomanya. Kemampuan tertinggi untuk mengungari kerapatan trikoma terjadi pada genotipe Slamet diikuti Ceneng. Meskipun demikian dalam satuan luas yang sama, Slamet memiliki trikoma terbanyak kedua setelah Godek.
51
Kerapatan Stomata Kerapatan stomata berkurang secara nyata oleh perlakuan intensitas cahaya 50% (Tabel 2). Dalam intesitas cahaya 50% genotipe toleran Ceneng memiliki stomata yang lebih sedikit (106.69/cm2 ) meskipun tidak berbeda nyata dengan Pangrango dan Slamet. Kerapatan stomata tertinggi terdapat pada genotipe peka Godek (125.00/cm2 ) tetapi tidak berbeda nyata dengan Pangrango (116.24/cm2 ) dan Slamet (113.85/cm2 ). Penampilan kerapatan stomata pada Ceneng dan Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% disajikan pada Gambar 14. 100%
100%
Ceneng (a)
Godek (b)
50%
50%
Gambar 14 Kerapatan stomata pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50%
52
Data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa pembentukan stomata dikendalikan oleh faktor keturunan (genetik) dan berbagai faktor lingkungan antara lain intensitas cahaya (Willmer 1983). Selain itu, secara genetik suatu genotipe mungkin memiliki jumlah stomata yang telah tertentu, tetapi dengan meningkatnya luas daun maka jumlah stomata per satuan luas menjadi berkurang. Fahn (1995) dalam percobaannya menggunakan intensitas cahaya yang berbeda pada daun Iris sp. memperlihatkan bahwa jumlah stomata berkurang dengan menurunnya intensitas cahaya.
Allard et al. (1991) dalam penelitiannya
menggunakan Tall fescue juga menemukan bahwa perlakuan radiasi rendah menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada kedua permukaan daun dan pengaruh paling kuat adalah terhadap kerapatan stomata pada epidermis abaksial. Tabel 3 Kerapatan trikoma dan stomata (cm2 ) serta ketebalan daun dan panjang lapisan palisade (µm) beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi cahaya periode singkat Kondisi Cahaya L2 L0 L1 (kontrol) L3 L4 L5 Kerapatan Trikoma (cm2 ) Pangrango 83.84 (65) 115.15 (89) 129.80 120.20 (93) 151.52 (117) 106.57 (82) Ceneng 58.59 (47) 81.31 (66) 123.74 69.19 (56) 115.66 (94) 92.93 (75) Godek 102.53 (51) 144.44 (72) 199.50 157.07 (79) 136.36 (68) 193.43 (97) Slamet 145.96 (54) 142.42 (53) 270.71 184.85 (68) 179.80 (66) 186.87 (69) Rata-rata 97.73 (54) 120.83 (67) 180.94 132.83 (73) 145.84 (81) 144.95 (80) Kerapatan Stomata (cm2 ) Pangrango 141.32 (37) 378.51 167.36 (44) 170.25 (45) 100.83 (26) Ceneng 141.32 (41) 340.91 150.00 (44) 176.03 (52) 158.68 (47) Godek 288.84 (92) 314.88 317.77(101) 204.96 (65) 200.91 (64) Slamet 297.52 (87) 340.91 294.63 (86) 170.25 (50) 181.82 (53) Rata-rata 217.25 (63) 343.80 232.44 (68) 180.37 (53) 160.56 (47) Ketebalan Daun (µm) Ceneng 15.7 (66) 19.2 (81) 23.7 17.6 (74) 20.0 (84) 23.4 (99) Godek 13.9 (60) 12.9 (56) 23.0 17.2 (75) 17.3 (75) 14.7 (64) Panjang Lapisan Palisade (µm) Ceneng 4.4 (39) 7.0 (63) 11.2 9.4 (84) 10.2 (91) 11.5 (102) Godek 4.8 (38) 3.6 (28) 12.5 8.0 (64) 6.2 (50) 6.5 (52) Keterangan : Angka dalam kurung = persentase (dibulatkan) terhadap kontrol; L0 = 5 hari tanpa cahaya, L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap Genotipe
53
Penurunan kerapatan stomata pada intensitas cahaya 50% mungkin disebabkan juga oleh suhu pada tempat ternaungi lebih rendah dan kelembaban lebih tinggi. Dalam kondisi demikian, laju transpirasi akan lebih rendah sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata (Logan et al. 1999). Perubahan kerapatan stomata dalam berbagai kondisi cahaya periode singkat disajika pada Gambar 15. Perubahan kerapatan stomata pada genotipe Godek tidak mengikuti pola perubahan cahaya, karena pada saat L3 (pencahayaan berakhir dengan cahaya 50%) kerapatan stomata lebih tinggi dari kontrol (L2 ); demikian pula Slamet, pada saat L5 (pencahayaan berakhir dengan gelap) kerapatan stomata lebih tinggi dibanding L4 (pencahayaan berakhir dengan cahaya 100%). Perubahan kerapatan stomata pada genotipe Ceneng dan Pangrango mengkitu pola perubahan intensitas cahaya. Pada saat intensitas cahaya rendah kerapatan stomata menurun dan meningkat saat intensitas cahaya tinggi. 500 Kerapatan Stomata (cm-2)
450
Pangrango Godek
400
Ceneng Slamet
350 300 250 200 150 100 50 0 L1
L2 (kontrol)
L3
L4
L5
Gambar 15 Kerapatan stomata pada genotipe Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat; L0 = 5 hari tanpa cahaya, L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap
Ketebalan Daun dan Panjang Lapisan Palisade Intensitas cahaya 50% menyebabkan daun menjadi lebih tipis dan palisade menjadi lebih pendek. Dalam intesitas cahaya 50%, genotipe toleran Pangrango
54
memiliki daun yang lebih tipis dan palisade yang lebih pendek tetapi tidak berbeda nyata dengan Ceneng (Tabel 2). Meskipun demikian, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengurangi ketebalan daun dan lapisan palisade. Penampilan tebal daun dan lapisan palisade genotipe kedelai yang diuji dalam intensitas cahaya 100% dan 50% disajikan dalam Gambar 16. Data di atas sesuai dengan penjelasan Lee et al. (2000) bahwa intensitas cahaya rendah pada umumnya me mpengaruhi perkembangan daun melalui perubahan ukuran dan ketebalannya. Perkembangan daun pada intensitas cahaya tinggi lebih didominasi oleh peningkatan jumlah sel daripada peningkatan ukuran sel sehingga daun menjadi tebal, sedangkan pada intensitas caha ya rendah peningkatan jumlah sel terhambat sehingga daun menjadi tipis (Atwell et al. 1999). Tipisnya daun-daun yang terekspose pada intensitas cahaya rendah telah dilaporkan pada berbagai jenis tanaman (Levitt 1980, Hale dan Orcutt 1987, Taiz dan Zeiger 2002, Allard et al. 1991, Bolhar-Nordenkampf dan Draxler 1993, Salisbury dan Ross 1992, Atwell et al. 1999, Logan et al. 1999, Feild 2001, Feng et al. 2004) termasuk pada tanaman kedelai (Bunce et al. 1977 dalam Patterson 1980, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003, Handayani 2003, Tyas 2006). Daun yang tipis memungkinkan kloroplas terorientasi pada bidang permukaan sehingga efisiensi penangkapan cahaya meningkat (June 2005a, Tyas 2006) dan pada gilirannya meningkatkan laju fotosintesis (Oguchi et al. 2003). Selain itu, daun yang tipis akan mengefisienkan penggunaan metabolit (Hale dan Orcutt 1980) sehingga diharapkan produk akhir tanaman masih relatif tinggi. Pengurangan ketebalan daun berkaitan langsung dengan panjang dan susunan palisade; semakin panjang sel palisade atau bila palisade terdiri atas beberapa lapis sel, daun semakin tebal. Pada intensitas cahaya tinggi sel-sel palisade lebih panjang dan tersusun atas dua atau tiga lapisan, sedangkan pada intensitas cahaya rendah, palisade lebih pendek dan pada umumnya terdiri dari hanya satu lapis (Taiz dan Zeiger 2002, Salisbury dan Ross 1992, Logan et al. 1999). Palisade yang pendek dan/atau hanya terdiri dari satu lapis merupakan suatu modifikasi yang paling baik terkait rendahnya intensitas cahaya, sebab dengan demikian kloroplas akan lebih terkonsentrasi ke permukaan adaksial daun sehingga penangkapan cahaya akan lebih efisien. Selain itu, sintesis palisade yang
55
Intensitas Cahaya 100%
Pangrango Lapisan palisade
Ceneng
10 µm
10 µm
Intensitas Cahaya 50% Pangrango
Tebal Daun
Ceneng
10 µm
10 µm
Intensitas Cahaya 100%
Slamet Lapisan palisade
Godek
10 µm
Intensitas Cahaya 50%
Slamet
Tebal Daun
Godek
Gambar 16 Ketebalan daun dan lapisan palisade pada genotype toleran Pangrango dan Ceneng serta genotype peka Godek dan Slamet yang ditumbuhkan dalam intensitas cahaya 100% dan 50%
56
panjang dan beberapa lapis akan membutuhkan banyak fotosintat sehingga dapat diduga bahwa palisade yang pendek dan hanya satu lapis juga merupakan mekanisme untuk mengefisienkan penggunaan fotosintat.
30 Tebal Daun (um)
25
Ceneng
Godek
L0
L1
20 15 10 5 0 L2 (kontrol)
L3
L4
L5
(a)
Lapisan Palisade(um)
16 14 12
Ceneng
Godek
10 8 6 4 2 0 L0
L1
L2 (kontrol)
L3
L4
L5
(b)
Gambar 17 Ketebalan daun (a) dan panjang lapisan palisade (b) pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat; L0 = 5 hari tanpa cahaya, L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap Ketebalan daun dan lapisan palisade berubah mengikuti perubahan cahaya periode singkat (Tabel 2). Semakin rendah cahaya, ketebalan daun dan panjang lapisan palisade semakin berkurang (Gambar 17a dan b). Pada Arabidopsis
57
thaliana, penurunan ketebalan daun dan lapisan palisade berlangsung setelah enam hari terekspose pada intensitas cahaya rendah (Wetson et al. 2000).
Kandungan Klorofil Kandungan klorofil a dan b serta klorofil total berbeda antar ge notipe baik dalam intensitas cahaya 100% maupun 50% (Tabel 4). Dalam intensitas cahaya 50%, Ceneng memiliki kandungan klorofil b tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya, demikian pula klorofil a kecuali dengan Pangrango. Sebaliknya, nisbah klorofil a/b menurun akibat perlakuan intensitas cahaya 50%. Penurunan tertinggi terjadi pada genotipe peka Godek dan Slamet, masing- masing hanya mencapai 94% dan 89% kontrol sedangkan genotipe toleran Pangrango dan Ceneng dapat mencapai 97% kontrol. Salah satu strategi penting dalam peningkatan efisiensi penangkapan cahaya adalah meningkatkan kandungan klorofil a dan b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe toleran yang terekspos pada intensitas cahaya rendah memiliki kandungan klorofil a dan b yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrolnya. Sebaliknya, kandungan klorofil a dan b pada genotipe peka mengalami penurunan kecuali klorofil b pada genotipe peka Slamet. Tetapi semua genotipe memperlihatkan nisbah klorofil a/b yang lebih rendah dari kontrolnya. Peningkatan kandungan klorofil pada genotipe toleran seperti di atas juga dilaporkan oleh Khumaida (2002), Sopandie et al. (2003c), Handayani (2003), Lestari (2005), Jufri (2006), dan Tyas (2006). Ini berarti dalam intensitas cahaya rendah, genotipe toleran memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk meingkatkan kandungan klorofil dibanding genotipe peka. Dugaan tersebut sesuai dengan hasil pengamatan ultra struktur yang menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah kloroplas daun kedelai genotipe toleran Ceneng memiliki grana yang lebih banyak dibanding genotipe peka Godek (Tyas 2006) dan diduga berhubungan dengan peningkatan klorofil terutama klorofil b pada PSII. Peningkatan tersebut mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya (Khumaida et al. 2003).
58
Tabel 4 Kandungan klorofil beberapa genotipe kedelai dalam intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Peubah
IC (%)
Genotipe Ceneng Godek 2.32 a 2.14 ac 2.55 a (110) 1.90 b (89)
Slamet 1.76 c 1.68 b (96)
Klorofil a (mg/g)
100 50
Pangrango 1.95 bc 2.19 ab (112)
Klorofil b (mg/g)
100 50
0.78 ab 0.90 b (115)
0.98 a 1.11 a (113)
0.89 ab 0.84 b (94)
0.66 b 0.71 b (108)
Klorofil a/b
100 50
2.50 a 2.43 a (97)
2.37 a 2.30 a (97)
2.40 a 2.26 a (94)
2.67 a 2.34 a (89)
Klorofil Total 100 2.73 bc 3.32 a 3.03 ab 2.42 c (mg/g) 50 3.09 ab (113) 3.66 a (110) 2.73 b (90) 2.39 b (99) Keterangan : Nilai rata-rata genotipe dalam intensitasa cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 95%; angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap C100 (kontrol)
Menurunnya nisbah klorofil a/b pada tanaman yang dinaungi disebabkan oleh peningkatan klorofil b yang lebih tinggi (Hidema et al. 1992, Evans dan Poorter 2001, Bailey et al. 2001); peningkatan tersebut mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya (Khumaida 2002, Khumaida et al. 2003). Sejalan dengan hal tersebut, Murchie dan Horton (1997) mengemukakan bahwa pengaturan nisbah klorofil a/b merupakan salah satu strategi penting dalam aklimatisasi terhadap intensitas cahaya jangka panjang. Peningkatan klorofil b yang relatif lebih tinggi dibanding klorofil a menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah peranan klorofil b relatif lebih penting. Diduga hal ini disebabkan : (1) dalam organisasi kompleks fo tosistem, klorofil b berada pada bagian terluar dan berhubungan langsung dengan membran tilakoid (Hobe et al. 2003) sehingga menjadi pigmen pemanen cahaya yang pertama dan lebih penting, (2) sekitar 50% energi cahaya yang ditangkap oleh karotenoid ditransfer ke pusat reaksi melalui klorofil b (Croce et al. 2001), dan (3) klorofil b menentukan pembentukan dan kestabilan pengikatan protein LHC pada membran tilakoid (Beale 1984, Morishige dan Dreyfuss 1999). Salah satu mekanisme sintesis atau pembentukan klorofil b adalah melalui konversi klorofil a menjadi klorofil b. Karena itu, Folly dan Engel (1999) menjelaskan bahwa konversi klorofil a ke klorofil b memegang peranan penting dalam pembentukan
59
dan
reorganisasi
aparatus
fotosintetis
sehingga
memungkinkan
tana man
beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah. Atwell et al. (1999) juga menjelaskan bahwa pada intensitas cahaya tinggi foton melimpah sehingga kemampuan daun untuk mengolah energi harus lebih besar sedangkan dalam kondisi naungan, optimasi fungsi daun lebih diarahkan untuk investasi sumberdaya daun yang lebih besar untuk memanen cahaya daripada mengolah energi. Pada intensitas cahaya tinggi dengan foton yang melimpah maka nisbah klorofil a/b lebih ditingkatkan sedangkan pada intensitas cahaya rendah dengan foton yang terbatas maka nisbah klorofil a/b dikurangi. Tabel 5 Kandungan klorofil beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat Genotipe
Pangrango Ceneng Godek Slamet Rata-rata Pangrango Ceneng Godek Slamet Rata-rata Pangrango Ceneng Godek Slamet Rata-rata Pangrango Ceneng Godek Slamet Rata-rata Keterangan
Kondisi Cahaya L2 L0 L1 (kontrol) L3 L4 L5 Klorofil-a (mg/g bb) 0.24 (53) 0.58 (129) 0.45 0.54 (120) 0.85 (189) 0.40 (89) 0.31 (78) 0.70 (175) 0.40 0.58 (145) 0.65 (163) 0.48 (120) 0.14 (34) 0.49 (120) 0.41 0.41 (100) 0.53 (129) 0.27 (66) 0.12 (26) 0.45 (98) 0.46 0.41 (89) 0.42 (91) 0.22 (48) 0.20 (47) 0.56 (129) 0.43 0.48 (113) 0.61 (142) 0.34 (80) Klorofil-b (mg/g bb) 0.14 (70) 0.27 (135) 0.20 0.23 (115) 0.26 (130) 0.18 (90) 0.18 (113) 0.30 (187) 0.16 0.25 (156) 0.27 (169) 0.25 (156) 0.10 (50) 0.24 (120) 0.20 0.18 (90) 0.25 (125) 0.14 (70) 0.07 (37) 0.20 (105) 0.19 0.18 (95) 0.20 (105) 0.10 (53) 0.12 (63) 0.25 (132) 0.19 0.21 (111) 0.24 (126) 0.17 (90) Klorofil- total (mg/g bb) 0.38 (58) 0.86 (130) 0.66 0.77 (117) 1.11 (168) 0.58 (88) 0.49 (86) 1.00 (175) 0.57 0.83 (146) 0.92 (161) 0.73 (128) 0.24 (39) 0.73 (120) 0.61 0.59 (97) 0.78 (128) 0.41 (67) 0.19 (30) 0.65 (102) 0.64 0.59 (92) 0.62 (97) 0.32 (50) 0.32 (52) 0.81 (131) 0.62 0.69 (111) 0.86 (139) 0.51 (82) Klorofil-a/b 1.78 (81) 2.14 (97) 2.21 2.35(106) 3.33 (151) 2.18 (99) 1.73 (70) 2.33 (94) 2.49 2.31 (93) 2.42 (97) 1.95 (78) 1.47 (70) 2.02 (96) 2.09 2.29(110) 2.13 (102) 2.00 (96) 1.70 (69) 2.29 (94) 2.45 2.28 (93) 2.10 (86) 2.16 (88) 1.67 (72) 2.20 (95) 2.31 2.31(100) 2.49 (108) 2.07 (90) : Angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol; L0 = 5 hari tanpa cahaya, L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap.
60
Kandungan klorofil (a, b, total, dan nisbah a/b) berubah- ubah sejalan dengan perubahan intensitas cahaya periode singkat. Kandungan klorofil pada daun yang memperoleh dan/atau pernah memperoleh cahaya 50% lebih tinggi dibanding kontrol sedangkan daun yang tidak memperoleh cahaya dan/atau pernah memperoleh cahaya 100% lebih rendah dari kontrol (Tabel 5). Data ini sesuai dengan penjelasan Malkin dan Niyogi (2000) bahwa dalam sintesis klorofil dibutuhkan cahaya. Peningkatan kandungan klorofil tertinggi terjadi pada genotipe toleran terutama Ceneng sedangkan pengurangan kandungan klorofil tertinggi terjadi pada genotipe peka terutama Slamet. Berdasarkan Tabel 5, dapat juga diduga bahwa pada intensitas cahaya tinggi, sintesis klorofil b berkurang sehingga nisbah klorofil a/b meningkat, sedangkan pada intensitas cahaya rendah sintesis klorofil b meningkat sehingga nisbah klorofil a/b menurun. Jadi, pengaturan atau penyesuaian nisbah klorofil a/b merupakan salah satu strategi penting dalam aklimatisasi terhadap intensitas cahaya (Murchie dan Horton 1997). Sejalan dengan hal tersebut, Folly dan Engel (1999) menjelaskan bahwa konversi klorofil a → b memegang peranan penting dalam
pembentukan
dan
reorganisasi
aparatus
fotosintesis
sehingga
memungkinkan tanaman beradaptasi terhadap intensitas cahaya dengan mengatur nisbah klorofil a/b. Konversi klorofil a menjadi klorofil b dikatalisis oleh enzim oxygenase; enzim ini mengkatalisis konversi gugus methyl menjadi gugus formyl (Tanaka et al. 1998, Espineda et al. 1999, Malkin dan Niyogi 2000).
Intensitas Kehijauan Daun Daun kedelai yang menerima intensitas cahaya rendah mengalami peningkatan intensitas kehijauan. Peningkatan tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya terjadi pada genotipe toleran Ceneng, mencapai 114% kontrol (Tabel 6). Hal yang sama juga terjadi pada respon genotipe terhadap perubahan cahaya periode singkat, intensitas kehijauan daun meningkat sejalan dengan semakin rendahnya intensitas cahaya (Tabel 7). Pada intensitas cahaya 100% (L2 = kontrol), intensitas kehijauan daun mencapai 0.47, nilai ini meningkat menjadi 0.87 (183% kontrol) jika intensitas cahaya hanya 50% (L1 ). Apabia dari kondisi
61
L2 , tanaman kedelai dipindahkan ke dalam cahaya 50% selama 3 hari (L3 ) intensitas kehijauan meningkat menjadi 0.91 (193% kontrol). Selain itu, terdapat fenomena bahwa apabila genotipe pernah memperoleh cahaya rendah maka intensitas kehijauannya lebih tinggi dibanding kontrol dan intensitas kehijauan tetap tinggi meskipun pada akhir perlakuan diberi cahaya 100%. Fenomena tersebut ditemukan pada kondisi cahaya L4 . Tabel 6 Intensitas kehijauan daun dan kandungan antosianin beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Peubah Intensitas Kehijaun Daun
IC (%) 100 50
Pangrango 1.07 ab 1.11 b (104)
Genotipe Ceneng Godek 1.10 a 0.99 bc 1.25 a (114) 1.09 bc (110)
Slamet 0.94 c 1.01 c (108)
Antosianin 100 0.64 a 0.62 a 0.56 a 0.64 a (ng/g) 50 0.82 b (128) 0.91 ab (147) 0.81 b (145) 1.05 a (164) Keterangan : Nilai rata-rata genotipe dalam intensitasa cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 95%; angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol
Warna hijau pada daun yang tampak oleh mata terbentuk karena klorofil mengabsorbsi cahaya merah dan biru sedangkan cahaya hijau ditransmisikan atau direfleksikan (Pearcy 1999, Buchanan et al. 2000, Malkin dan Niyogi 2000, Taiz dan Zeiger 2002). Ini berarti, semakin hijau suatu helaian daun kandungan klorofilnya akan semakin tinggi. Karena itu diduga peningkatan intensitas kehijauan dalam cahaya rendah merupakan gambaran adanya akumulasi klorofil pada permukaan daun bagian atas. Dugaan adanya hubungan antara intensitas kehijauan dengan kandungan klorofil ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi antara intensitas kehijauan daun relatif dengan kandungan klorofil a (r = 0.81) maupun dengan kandungan klorofil b (r = 0.77) (Gambar 18).
62
Intensitas kehijauan daun relatif
1.8 y = 0.3558x + 0.5004 r = 0.81
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.5
1
1.5 2 Kandungan klorofil a (mg/g)
2.5
3
3.5
1
1.2
1.4
1.6
Intensitas kehijauan daun relatif
y = 0.7734x + 0.5575 r = 0.77 1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4 0
0.2
0.4
0.6
0.8
Kandungan Klorofil b (mg/g)
Gambar 18 Hubungan antara kandungan klorofil a dan kandungan klorofil b dengan intensitas kehijauan daun relatif Antosianin Kandungan antosianin pada semua geno tipe yang diuji meningkat akibat perlakua n intensitas cahaya 50% (Tabel 6). Dalam intensitas cahaya 50%, Slamet memiliki kandungan antosianin tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya kecuali Ceneng, sedangkan antosianin terendah ditemukan pada Godek dan tidak berbeda nyata dengan Pangrango. Daun yang berkembang dalam cahaya 100% memiliki kandungan antosianin yang lebih rendah karena pada daun yang demikian, antosianin hanya terakumulasi dalam vakuola sel epidermis (Hopkins dan Huner 2004). Sebaliknya, pada daun yang berkembang dalam naungan, kandungan antosianin lebih tinggi karena antosianin terakumulasi dalam vakuola sel epidermis dan sel-sel mesofil (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000). Sintesis antosianin juga diinduksi oleh
63
cekaman suhu rendah (Salisbury dan Ross 1992). Pada intensitas cahaya rendah suhu juga rendah, sehingga diduga sintesis antosianin yang tinggi merupakan efek tidak langsung dari cahaya. Data dan penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada kedelai yang diuji, kandungan antosianin tidak sesuai dengan hipotesis Levitt (1980). Tabel 7 Intensitas kehijauan daun dan kandungan antosianin beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat Kondisi Cahaya L2 L0 L1 (kontrol) L3 L4 L5 Intensitas kehijauan daun Pangrango 0.89(192) 0.46 0.93(201) 0.51 (111) 0.64 (138) Ceneng 0.93(161) 0.58 0.93(161) 0.64 (111) 0.89 (154) Godek 0.79(176) 0.45 0.86(193) 0.71 (159) 0.84 (188) Slamet 0.87(214) 0.40 0.89(221) 0.54 (134) 0.82 (204) Rata-rata 0.87(183) 0.47 0.91(193) 0.63 (134) 0.77 (162) Antosianin (ng/g bb) Pangrango 0.28 (65) 0.30 (70) 0.42 0.40 (94) 0.58 (136) 0.41 (98) Ceneng 0.23 (45) 0.25 (51) 0.50 0.46 (92) 0.63 (125) 0.37 (73) Godek 0.28 (54) 0.34 (65) 0.52 0.50 (97) 0.66 (127) 0.44 (85) Slamet 0.33 (79) 0.36 (86) 0.42 0.50(119) 0.59 (142) 0.46(110) Rata-rata 0.28 (60) 0.31 (67) 0.46 0.46(100) 0.61 (132) 0.42 (90) Keterangan : Angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol; L0 = 5 hari tanpa cahaya, L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap. Genotipe
Sebaliknya, dalam berbagai kondisi cahaya jangka pendek tampak bahwa semakin rendah intensitas cahaya yang diterima, semakin rendah kandungan antosianin terutama pada genotipe toleran (Tabel 7). Menurunnya kandungan antosianin pada
intensitas cahaya rendah atau tanpa cahaya (gelap) diduga
disebabkan karena aktivitas respirasi berkurang sehingga prazat eritrosa-4-fosfat untuk sintesis antosianin juga berkurang. Eritrosa-4-fosfat dihasilkan oleh respirasi dari lintasan pentosa fosfat (Taiz dan Zeiger 2002). Jadi, untuk sintesis antosianin dalam jumlah banyak, dibutuhkan aktivitas katabolisme karbohidrat atau pati yang tinggi. Dengan demikian dapat diduga bahwa tanaman yang mengandung antosianin tinggi memiliki aktivitas respirasi yang tinggi pula. Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi genotipe yang beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah karena karbohidrat yang terbentuk dalam proses
64
fotosintesis akan terkuras dalam proses respirasi sehingga akumulasinya dalam bentuk hasil panenan menjadi rendah. Dalam percobaan Lo dan Nicholson (1998) menggunakan sorgum diperoleh bahwa kultivar DK-18 yang kandungan antosianinnya rendah disebabkan karena kurangnya substrat dan energi untuk biosintesis antosianin. Hal ini sejalan dengan uraian di atas bahwa berkurangnya substrat untuk biosintesis antosianin akan mengurangi kandungan antosianin dalam jaringan. Menurunkan kandungan antosianin menjadi strategi pada kondisi intensitas cahaya rendah karena akan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya Levitt (1980) sekaligus mengefisienkan penggunaan asimilat (Hale dan Orchut 1987). Sebaliknya peningkatan kandungan antosianin sangat penting pada kondisi intensitas cahaya tinggi karena diperlukan dalam sistem perlindungan diri dari kerusakan oleh radiasi UV (Harran 2003).
Komponen Hasil dan Hasil Hasil analisis (Tabel 8) menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 50%, Pangrango memiliki jumlah polong berisi tertinggi (89% kontrol) dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya disusul Ceneng (85% kontrol) sedangkan Godek dan Slamet masing- masing hanya mencapai 58% dan 57% kontrol. Sebaliknya, Godek dan Slamet memiliki jumlah polong hampa yang lebih tinggi, masingmasing mencapai 61% dan 55% kontrol sedangkan Pangrango dan Ceneng hanya mencapai 40% dan 41% kontrol. Tabel 8 Jumlah polong dan bobot biji/tanaman beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Peubah
Genotipe
IC (%)
Jlh Polong Berisi
100 50
Pangrango 90.70 a 80.70 a (89)
Ceneng 88.25 a 74.60 b (85)
Godek 95.70 a 55.45 c (58)
Slamet 92.25 a 52.60 c (57)
Jlh Polong Hampa
100 50
30.35 a 11.95 b (40)
34.10 a 14.05 ab (41)
28.00 a 17.05 a (61)
29.30 a 16.05 a (55)
Bobot Biji/Tan (g)
100 50
16.77 a 12.03 a (72)
16.36 a 14.47 a (89)
16.77 a 8.13 b (49)
17.27 a 8.46 b (49)
Keterangan : Nilai rata-rata untuk intensitas cahaya yang berbeda dan nilai genotipe dalam intensitas cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 95%; angka dalam kurung merupakan persentase relatif (dibulatkan) terhadap kontrol
65
Bobot biji/tanaman pada Godek dan Slamet, masing- masing hanya mencapai 49% kontrol, sedangkan Pangrango dan Ceneng masih mencapai 72% dan 89% kontrol. Godek mengalami penurunan produksi tertinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan Slamet sedangkan penurunan produksi terendah terdapat pada Ceneng dan tidak berbeda nyata dengan Pangrango. Hasil di atas menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 50%, pembentukan dan pengisian biji pada genotipe Ceneng lebih baik dibanding genotipe lainnya. Fenomena tersebut diduga disebabkan karena laju fotosintesis pada genotipe toleran lebih tinggi sehingga permintaan asimilat seperti sukrosa dan/atau fruktosa dan glukosa untuk pembentukan dan pengisian biji dapat terpenuhi. Richards (2000) menjelaskan bahwa laju fotosintesis yang tinggi merupakan respon terhadap permintaan asimilat yang meningkat yang dikendalikan oleh jumlah biji yang banyak. Prioul dan Schwwebel- Dugue (1992) juga menyatakan bahwa pada fase pengisian biji, kebutuhan asimilat dalam pengisian biji meningkat, yang diindikasikan oleh meningkanya aktivitas SPS (sucrose phosphate synthase), salah satu enzim yang bertanggung jawab dalam sintesis sukrosa.
Karena itu suplai sukrosa yang rendah akan menyebabkan
kegagalan pengisian biji (Egli dan Bruening 2001) sehingga jumlah polong hampa akan meningkat. Genotipe Ceneng, diduga juga memiliki aktivitas sucrose synthase yang lebih tinggi sehingga memiliki kandungan pati yang tinggi, dan setelah dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana akan ditranspor ke berbagai organ sink, termasuk untuk pembentukan polong dan pengisian biji (Dennis dan Blakeley 2000, Hopkins dan Huner 2004). Hasil ini sejalan dengan penjelasan Murty dan Sahu (1987) bahwa pada intensitas cahaya rendah, karbohidrat yang diakumulasi lebih diutamakan untuk pengisian bij i. Dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah genotipe Ceneng memiliki bobot biji/tanaman tertinggi sedangkan bobot biji/tanaman terendah ditemukan pada Godek. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya (Sopandie et al. 2002, Jufri 2006), karena itu genotipe toleran Ceneng dapat dijadikan sebagai model bagi tanaman toleran sedangkan Godek menjadi model bagi tanaman peka intensitas cahaya rendah.
66
Fenomena lain yang tertera pada Tabel 8 adalah tingginya kehampaan polong pada intensitas cahaya 100% dibandingkan dengan intensitas cahaya 50%. Diduga hal ini terjadi karena adanya serangan hama pengisap polong.
Pada
intensitas cahaya 50%, serangan hama ini tidak memungkinkan karena kondisi tanaman yang terselubungi paranet.
SIMPULAN Tanaman kedelai mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah dengan cara meningkatkan luas daun spesifik, meningkatkan luas daun trifoliat, mengurangi ketebalan daun dan lapisan palisade, mengurangi kerapatan trikoma, serta meningkatkan kandungan klorofil. Genotipe Ceneng memiliki daun trifoliat yang lebih luas (25.96 cm2 ), luas daun spesifik yang lebih besar (491.38 cm2 ), daun yang lebih tipis (17.56 µm), kerapatan trikoma yang lebih rendah (250.80 cm2 ), lapisan palisade yang lebih pendek (7.48 µm), serta kandungan klorofil lebih tinggi (klorofil a = 2.55 mg/g, klorofil b = 1.11 mg/g), sehingga dapat menghasilkan bobot biji/tanaman yang lebih tinggi (14.47 g) dibandingkan dengan genotipe lainnya. Terjadi perubahan kerapatan trikoma, ketebalan daun dan lapisan palisade, kandungan klorofil, serta kandungan antosianin sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat. Ini berarti, peubah-peubah tersebut dapat digunakan untuk menduga adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dalam uji cepat. Perubahan pada intensitas cahaya yang terakhir kali diterima.
genotipe Ceneng mengikuti kondisi
AKTIVITAS ENZIM-ENZIM FOTOSINTETIK DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK Salah satu cara yang dikembangkan tanaman agar mampu tumbuh dan berkembang dalam kondisi intensitas cahaya yang terbatas adalah membangun mekanisme toleransi, antara lain dengan menurunkan kecepatan respirasi dan menghindari penurunan aktivitas enzim-enzim fotosintetik. Percobaan untuk menganalisis aktivitas enzim- enzim fotosintetik dan respirasi dilakukan dalam dua percobaan : (1) percobaan untuk mempelajari aktivitas enzim-enzim fotosintetik dan respirasi pada intensitas cahaya 50% dan 100% dalam periode yang lama (long-term exposure), dan (2) percobaan untuk mempelajari perubahan aktivitas enzim- enzim fotosintetik dan respirasi pada berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat. Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari dua genotipe yakni Ceneng (toleran) dan Godek (peka). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim fotosintetik ribulose biphosphate carboxylase/oxygenase (rubisco) dan sucrose phosphate synthase (SPS) maupun enzim respirasi malatedehydrogenase (MDH) dan asam invertase (AI) menurun akibat intensitas cahaya rendah. Dalam intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng dapat mempertahankan aktivitas enzim-enzim fotosintetik pada level yang lebih tinggi sedangkan aktivitas enzim-enzim respirasi lebih rendah. Aktivitas enzim rubisco dan SPS pada genotipe toleran Ceneng masing- masing mencapai 79% dan 73% kontrol, sedangkan pada genotipe peka Godek masing- masing hanya mencapai 62% dan 42% kontrol. Sebaliknya, aktivitas enzim respirasi MDH dan AI pada genotipe toleran Ceneng masing- masing hanya mencapai 60% dan 33% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek masing- masing mencapai 66% dan 78% kontrol. Aktivitas enzim fotosintetik dan enzim respirasi mengalami perubahan seiring perubahan intensitas cahaya periode singkat, tergantung pada kondisi cahaya yang terakhir kali diterima. Pada genotipe toleran Ceneng, aktivitas enzim rubisco dan SPS dipertahankan pada level yang tinggi sedangkan aktivitas enzim respirasi MDH dan AI lebih rendah. Kata kunci : intensitas cahaya rendah, aktivitas enzim fotosintetik dan respirasi, genotipe toleran dan peka
PHOTOSYNTHETIC AND RESPIRATION ENZYME ACTIVITY UNDER LOW LIGHT INTENSITY OF TOLERANT AND SENSITIVE SOYBEAN GENOTYPE ABSTRACT Plant developed tolerant mechanism to overcome limiting light by decreasing respiration rate and regulating photosynthetic enzymes activity. We held two experiment to knowing photosynthetic and respiration enzyme activity under low light intensity: (1) long term exposure experiment to study photosynthetic and respiration enzyme activity under 50% and 100% light intensity, and (2) short term exposure experiment to examine the changes of
68
photosynthetic and respiration enzyme activity. We used Ceneng as tolerant genotype and Godek as sensitive genotype. The result showed that the activity of photosynthetic enzyme (Ribulose biphosphate carboxylase/oxygenase (Rubisco) and Sucrose Phosphate Synthase (SPS)) and respiration enzyme (Malate dehydrogenase (MDH) and Acid Intervase (AI)) decreased under low light intensity. Under 50% light intensity, Ceneng kept the activity of photosynthetic enzyme in higher level and respiration enzyme in lower level compare to Godek. Rubisco and SPS activity of Ceneng reached 79% and 73% compare to control. In Godek, they reached 62% and 42% compare to control. Respiration enzymes activity (MDH and AI), in Ceneng reached 60% and 33% compare to control. In Godek, they reached 66 and 78% compare to control. Photosynthetic and respiration enzyme activity changed following the recent light intensity in shortterm exposure. Ceneng has higher level expression of Rubisco and SPS while MDH and AI in lower expression compare to Godek. Keywords: low light intensity, photosynthetic and respiration enzyme activity, tolerant and sensitive genotype
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam percobaan “mekanisme efisiensi penangkapan cahaya” telah diperoleh bahwa dalam intensitas cahaya rendah kedelai genotipe toleran dan peka mengembangkan mekanisme avoidance untuk meningkatkan kemampuan penangkapan cahaya. Genotipe toleran terutama Ceneng memiliki kemampuan penangkapan cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka terutama Godek. Levitt (1980) mengisyaratkan bahwa kemampuan penangkapan cahaya harus disertai dengan kemampuan memanfaatkan cahaya secara efisien yakni dengan membangun mekanisme toleransi agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Toleransi terhadap intensitas cahaya rendah diperoleh antara lain dengan menurunkan kecepatan respirasi dan menghindari penurunan aktivitas enzim-enzim fotosintetik (Gambar 4). Ini berarti, mekanisme toleransi terhadap intensitas cahaya rendah dapat ditempuh dengan cara mempertahankan aktivitas enzim-enzim fotosintetik dan menurunkan aktivitas enzim- enzim respirasi. Dalam proses fotosintesis, ribulose biphospate carboxilase/oxigenase (rubisco) merupakan enzim yang memegang peranan penting, mengikat C02 dan RuBP dalam siklus Calvin untuk menghasilkan 3-PGA (Taiz dan Zeiger 2002, Hopkins dan Hüner 2004). Hal ini menunjukkan bahwa, salah satu keberhasilan
69
tanaman untuk tumbuh dan berkembang dalam intensitas cahaya rendah adalah mempertahankan kandungan dan aktivitas rubisco. Kandungan dan aktivitas enzim rubisco telah diketahui dengan sangat baik, jumlahnya pada daun secara relatif merefleksikan 20-30 % dari total nitrogen daun (Makino et al. 1984, Evans 1987). Kandungan dan aktivitas enzim rubisco sangat tergantung pada intensitas cahaya (Portis 1992, Holbrook et al. 1994, Sassenrath-Cole dan Pearcy 1999, Malkin dan Niyogi 2000). Dalam keadaan intensitas cahaya rendah, kandungan dan aktivitas rubisco menjadi rendah (Portis 1992, Bruggeman dan Danborn 1993, Holbrook et al. 1994, Taiz dan Zeiger 2002, Hopkins dan Hüner 2004), tergantung genotipe. Selain itu, makromolekul yang dapat dipanen seperti sukrosa dan pati sangat tergantung pada aktivitas enzim-enzim fotosintetik lainnya yakni enzim sucrose phosphate synthase (SPS) dan starch synthase (SS). Ini berarti, dalam kondisi cahaya yang terbatas kandungan dan aktivitas enzim-enzim SPS dan AI perlu juga dipertahankan. Enzim SPS merupakan salah satu enzim kunci dalam pembentukan sukrosa (Babb dan Haigler 2001), mengkatalisis pembentukan sukrosa fosfat, kemudian oleh SPP (sucrose phosphate phosphatase ) diubah menjadi sukrosa (Malkin dan Niyogi 2000, Hopkins dan Hüner 2004). Kandungan dan aktivitas SPS juga dipengaruhi intensitas cahaya dan tergantung genotipe (Cheikh dan Brenner 1992, Vivekanandan 1997, Laut et al. 2000). Strategi lain dalam mekanisme toleransi intensitas cahaya rendah adalah menurunkan atau menekan laju respirasi (Levitt 1980, Taiz dan Zeiger 2002). Berdasarkan informasi tersebut, genotipe toleran intensitas cahaya rendah diduga akan memiliki laju respirasi lebih rendah atau memiliki aktivitas enzim- enzim respirasi yang rendah dibanding genotipe peka. Cahaya mempengaruhi kecepatan respirasi tanaman dan spesies yang toleran cahaya rendah memiliki kecepatan respirasi yang lebih rendah daripada tanaman yang beradaptasi pada intensitas cahaya penuh (Levitt 1980, Fitter dan Hay 1989). Taiz dan Zeiger (2002) mengemukakan bahwa laju respirasi yang rendah merupakan dasar adaptasi tanaman yang beradaptasi terhadap kondisi naungan agar dapat tumbuh pada kondisi lingkungan cahaya rendah atau terbatas. Bila respirasi lambat atau rendah, daun memerlukan lebih sedikit cahaya dalam
70
berfotosintesis untuk mengimbangi CO2 yang dilepaskan respirasi (Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Laju respirasi yang rendah pada spesies ternaungi merupakan sesuatu yang kritikal agar terjadi keseimbangan karbon yang positif (Fitter dan Hay 1989). Enzim-enzim yang terlibat dalam aktivitas respirasi sangat banyak, antara lain malate dehydrogenase (MDH) dan asam invertase (AI). Enzim MDH merupakan salah satu enzim kunci dalam siklus asam sitrat (TCA), mengkatalisis tahap akhir siklus TCA, mengoksidasi malat menjadi asam oksalo asetat (OAA) dan menghasilkan NADH (Dennis dan Blakeley 2000). Sedangkan enzim AI merupakan suatu enzim hidrolase yang berperan dalam memecah sukrosa menjadi dua monosakarida, glukosa dan fruktosa (Sturm 1999) sehingga memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat dan dalam regulasi transpor sukrosa pada tanaman tingkat tinggi (Kassinee et al. 2004). Diharapkan, kandungan dan aktivitas kedua enzim respirasi tersebut di atas dapat memberi informasi mekanisme toleransi dan efisiensi penggunaan cahaya pada genotipe toleran dan peka intensitas cahaya rendah. Beberapa peneliti telah mempelajari mekanisme toleransi intensitas cahaya rendah pada kedelai, terutama yang berhubungan dengan “menghindari penurunan aktivitas enzim fotosintesis” dan lebih difokuskan pada aktivitas enzim ribulose biphospate carboxilase/oxigenase (rubisco) (Holbrook et al. 1994, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b, Jufri 2006). Sejauh ini, aktivitas enzimenzim fotosintetik lainnya seperti SPS belum dilaporkan, demikian pula aktivitas enzim- enzim respirasi masih sangat terbatas.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mekanisme toleransi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui aktivitas enzim- enzim fotosintetik dan enzim-enzim respirasi. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui perbedaan aktivitas enzim-enzim fotosintesis dan enzimenzim respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah dalam periode yang lama (long-term exposure), dan (2) mengetahui tingkat perubahan enzim- enzim fotosintesis dan enzim-enzim respirasi pada kedelai toleran dan peka
71
intensitas cahaya rendah sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Besar Biogen Cikeumeuh Bogor. Analisis laboratorium dilaksanakan di laboratorium Research Group on Crop Improvement dan laboratorium Biokimia IPB Bogor serta laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2006. Percobaan dilakukan dalam dua tahap. Percobaan pertama bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas enzim-enzim fotosintesis dan enzim- enzim respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah yang diberi perlakuan intensitas cahaya dalam periode yang lama (long-term exposure), sedangkan percobaan kedua bertujuan mengetahui tingkat perubahan enzim- enzim fotosintesis dan enzim-enzim respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure). Percobaan Pertama : "Aktivitas Enzim- Enzim Fotosintesis dan Enzim- Enzim Respirasi pada Intensitas Cahaya 100% dan 50% dalam Periode yang Lama " Metode Faktor yang diuji adalah intensitas cahaya sebagai petak utama yang terdiri dari dua taraf yaitu: IC100 = intensitas cahaya 100% (kontrol), dan IC50 = intensitas cahaya 50%. Faktor kedua sebagai anak petak adalah genotipe yang teridiri dari: G1 = Ceneng dan G2 = Godek. Kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 12 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan menggunakan 50 tanaman. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot) dengan anak petak tersarang (nested) pada petak utama (denah percobaan disajikan pada Lampiran 1).
72
Perlakuan intensitas cahaya 50% dilaksanakan dengan cara meletakkan paranet hitam di sisi atas dan keempat sisi rangka bambu setinggi 2 m sehingga pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet. Paranet yang digunakan adalah paranet yang meloloskan cahaya kurang lebih 50%. Tanah di dalam maupun di luar paranet diolah sebanyak dua kali. Pada pengolahan tanah kedua, dilakukan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha. Selanjutnya, tiga butir benih kedelai dimasukkan ke dalam lubang tanam sedalam 2–3 cm yang sebelumnya telah diberi furadan-3G dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Pada umur satu minggu setelah tanam (MST) tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap lubang tanam hanya berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap lubang tanam hanya berisi satu tanaman. Dalam setiap satuan percobaan diambil lima sampel tanaman. Sampel daun diambil sekitar pukul 10 pagi, dipilih daun yang telah membuka penuh (daun ke 3 – 4 dari atas pada batang utama). Peubah yang diamati adalah aktivitas enzim-enzim fotosintetik yakni ribulose biphospate carboxilase/oxigenase (rubisco) dan sucrose phosphate synthase (SPS) serta aktivitas enzim-enzim respirasi yakni enzim malate dehydrogenase (MDH) dan enzim asam invertase (AI). Pengukuran aktivitas AI dan MDH masing- masing menggunakan metode Sugiharto et al (1996) dan Kassinee et al. (2004) (Lampiran 7 dan 8), pengukuran aktivitas rubsico dilakukan menurut metode Makino et al. (1984) yang sebelumnya telah dimurnikan menurut metode Makino et al. (1983) (Lampiran 9), sedangkan pengukuran aktivitas SPS menggunakan metode Suwignyo (1995) (Lampran 10).
Analisis Data Data dianalisis menggunakan anova sesuai rancangan yang digunakan, dilanjutkan dengan uji t pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis disajikan dalam bentuk histogram.
Percobaan Kedua : "Aktivitas Enzim- Enzim Fotosintetik dan Enzim- Enzim Respirasi dalam Berbagai Intensitas Cahaya Periode Singkat"
73
Metode Faktor yang diuji adalah genotipe dan penerimaan cahaya. Faktor genotipe terdiri dari: G1 = Ceneng dan G2 = Godek. Pemberian berbagai kondisi cahaya dilakukan setelah tanaman berumur 14 hari sebagai berikut: L0 (dipelihara dalam ruang tanpa cahaya (gelap) selama 5 hari), L1 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 5 hari), L2 (dipelihara pada intensitas cahaya 100% selama 5 hari), L3 (dipeliharan selama 5 hari dalam intensitas cahaya 100% lalu dipindahkan ke intensitas cahaya 50 % selama 3 hari), L4 (dipelihara selama 3 hari intensitas cahaya 100%, selama 3 hari dalam intensitas cahaya 50%, lalu dipindahkan lagi ke intensitas cahaya 100% selama 2 hari), L5 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 3 hari, dalam intensitas cahaya 100% selama 2 hari, kemudian dalam tanpa cahaya (gelap) selama 3 hari), L6 (dipelihara dalam intensitas cahaya 100% selama 2 hari,
kemudian dalam tanpa cahaya (gelap) selama 2 hari, dan
dikembalikan lagi ke dalam intensitas cahaya 100% selama 2 hari, R7 (dipelihara dalam keadaan tanpa cahaya (gelap) selama 2 hari, kemudian dipindahkan ke intensitas cahaya 100% selama 2 hari, selanjutnya dipindahkan lagi ke dalam kondisi tanpa cahaya (gelap) selama 2 hari. Setiap genotipe menggunakan 30 tanaman dan waktu penanaman diatur sedemikian rupa sehingga pengambilan sampel daun berlangsung pada saat yang bersamaan (Lampiran 2). Polibag diisi dengan ± 8 kg campuran tanah dan pupuk kandang (1 kg tanah : 20 g pupuk kandang). Selanjutnya, benih kedelai dilumuri dengan inokulan rhizobium kemudian dimasukkan ke dalam lubang tanam (tiga butir benih/lubang) sedalam 2 cm – 3 cm. Setelah seputar benih ditaburi Carbofuran 3-G, lubang tanam ditutup tanah kemudian disiram. Pada umur 1 MST tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman.
74
Setelah berumur 14 hari, tanaman kedelai diberi perlakuan berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat. Perlakuan gelap dilakukan dengan cara meletakan tanaman pada ruangan gelap tanpa cahaya, sedangkan cahaya 50% dan 100% diperoleh dengan cara seperti pada percobaan pertama. Sampel daun, saat pengambilan sampel, serta peubah yang diamati dan metode analisis dilakukan seperti pada percobaan pertama. Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk histogram. Perbedaan respon genotipe terhadap kondisi kontrol diduga berdasarkan perubahan persentase relatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Enzim Ribulose Biphosphate Carboxylase/Oxygenase (Rubisco) Aktivitas ribulose biphosphate carboxylase/oxygenase (rubisco) menurun akibat perlakuan intensit as cahaya 50%, pada genotipe toleran Ceneng hanya mencapai 79% kontrol sedangkan genotipe peka Godek hanya mencapai 62% kontrol (Gambar 22). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Laisk et al. (2005) pada Betula pendula Roth, Tilia cordata P. Mill, dan Salidago virgaurea L., bahwa kemampuan mesin fotosintetik berkurang ketika daun ternaungi. Hal ini disebabkan karena aktivitas maksimum enzim-enzim fotosintetik seperti enzim rubisco membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi (Sassenrath-Cole dan Pearcy 1994). Dengan demikian, dalam kondisi intensitas cahaya rendah dengan kapasitas fotosintesis yang rendah maka dibutuhkan aktivitas enzim rubisco yang rendah pula (Atwell et al. 1994). Pada intensitas cahaya 100%, genotipe toleran Ceneng memiliki aktivitas enzim rubisco yang lebih tinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan genotipe peka Godek tetapi pada intensitas cahaya 50%, perbedaan tersebut bersifat nyata (Gambar 19). Jufri (2006) juga menemukan aktivitas enzim rubisco yang tinggi pada kedelai toleran naungan meskipun tidak berbeda nyata dengan genotipe peka. Tetapi pada padi gogo, terdapat perbedaan yang nyata antara aktivitas enzim rubisco pada genotipe toleran dengan peka naungan (Sopandie et al. 2003a).
75
Perbedaan aktivitas enzim rubisco pada enam kultivar kedelai yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya berbeda juga dilaporkan oleh Holbrook et al. (1994); dalam intensitas cahaya rendah, aktivitas enzim rubisco pada kultivar toleran lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar peka. Aktivitas enzim rubisco yang tinggi pada genotipe toleran diduga disebabkan karena genotipe toleran memiliki laju transpor elektron yang lebih tinggi (Tabel 9) sehingga dapat dihasilkan energi ATP dan NADPH yang lebih banyak. Ketersediaan energi ATP dan NADPH yang banyak memungkinkan regenerasi RuBP yang merupakan substrat enzim rubisco (Taiz dan Zeiger 2002, Hopkins dan Hüner 2004) lebih cepat. Transpor elektron yang tinggi pada genotipe toleran dapat berlangsung karena didukung oleh kandungan klorofil terutama klorofil b (Tabel 4) lebih tinggi yang berasosiasi dengan protein pemanen cahaya untuk membentuk kompleks antena size yang lebih tinggi. Kandungan klorofil b yang tinggi dimungkinkan karena genotipe toleran memiliki volume stack grana yang lebih besar (Khumaida 2002, Tyas 2006, Sopandie 2006). 0.7
Aktivitas Rubisco (nM/g)
0.6
a Ceneng
Godek
a
0.5 0.4
a 0.3
b
0.2 0.1
(79)
(62)
0.0 Intensitas Cahaya 100%
Intensitas Cahaya 50%
Gambar 19 Aktivitas enzim rubisco pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50%; Gambar dalam intensitas cahaya yang sama dengan huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji t 95%; Angka dalam kurung = persentase terhadap kontrol (intensitas cahaya 100%) Aktivitas enzim rubisco juga dipengaruhi intensitas cahaya melalui (Malkin dan Niyogi 2000): (1) peningkatan pH stroma kloroplas dari sekitar 7 menjadi 8 karena adanya pengangkutan H+ yang didorong oleh cahaya dari stroma
76
menuju saluran tilakoid; aktivitas enzim rubisco lebih tinggi pada pH 8, (2) pengangkutan Mg2+ dari saluran tilakoid menuju stroma mengikuti perubahan pH; ini penting karena enzim rubisco memerlukan Mg2+ untuk melaksanakan aktivitasnya secara maksimum. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diduga bahwa dalam intensitas cahaya rendah, aktivitas enzim rubisco yang tinggi pada genotipe toleran Ceneng disebabkan genotipe tersebut dapat menangkap cahaya yang cukup tinggi sehingga memungkinkan pencapaian kondisi pH yang sesuai untuk mendorong pengangkutan Mg2+ ke stroma sehingga aktivitas enzim rubisco meningkat. Regenerasi RuBP sebagai substrat enzim rubisco lebih cepat pada keadaan terang daripada keadaan gelap, karena aktivitas daur Calvin untuk regene rasi RuBP membutuhkan ATP dan NADPH; keduanya merupakan produk yang bergantung pada cahaya (Taiz dan Zeiger 2002, Hopkins dan Hüner 2004). Dengan demikian, dapat diduga bahwa dalam intensitas cahaya rendah, aktivitas enzim rubisco yang tinggi pada genotipe toleran Ceneng disebabkan genotipe tersebut dapat menangkap cahaya yang cukup tinggi sehingga memungkinkan tingginya aktivitas daur Calvin. Daur Calvin yang tinggi memungkinkan laju regenerasi RuBP yang tinggi sehingga penyediaan substrat bagi aktivitas enzim rubisco juga lebih tinggi. Aktivitas enzim rubisco juga dipengaruhi oleh enzim rubisco aktivase yang berfungsi untuk mengaktifkan enzim rubisco. Khumaida et al. (2002) dalam studi molekulernya telah membuktikan bahwa pada tanaman kedelai toleran naungan terdapat korelasi yang positif antara ekspresi gen rbcL yang mengkode enzim rubisco dengan rca yang mengkode enzim rubisco activase. Ini berarti, dalam intensitas cahaya rendah genotipe toleran Ceneng memiliki rca yang lebih tinggi sehingga memungkinkan aktivitas enzim rubisco yang lebih tinggi pula. Peranan enzim rubisco sangat vital, mengkatalisis pembentukan 3-PGA dari CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin fotosinteis. Karena itu, daun kedelai yang memiliki aktivitas enzim rubis co rendah akan menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis (June et al. 2004) sehingga produk atau bagian yang akan dipanen menjadi rendah. Sebaliknya, kedelai dengan aktivitas enzim rubisco yang tinggi
77
akan meningkatkan laju fotosintesis sehingga produk atau bagian yang akan dipanen lebih tinggi. Aktivitas enzim rubisco baik pada Ceneng maupun Godek berubah-ubah mengikuti perubahan intensitas cahaya periode singkat (Gambar 20). Tetapi, tampak pada Gambar tersebut bahwa pada semua kondisi pencahayaan, aktivitas enzim rubisco dalam genotipe toleran Ceneng lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi aktivitas enzim rubisco pada berbagai kondisi intensitas cahaya dalam genotipe toleran dapat dipertahankan pada level yang lebih tinggi. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Sassenrath-Cole dan Pearcy (1994) menjelaskan bahwa aktivitas enzim rubisco sangat tergantung pada cahaya, meningkat sangat cepat apabila dipindahkan dari intensitas cahaya rendah ke intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, aktivitas enzim rubisco mengalami penurunan yang sangat lambat apabila dipindahkan dari intensitas cahaya tinggi ke intensitas cahaya rendah. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Jufri (2006).
Aktivitas rubisco (mM/g)
0.3 0.3
(136) (127)
Ceneng Godek
(86) (91)
0.2
(100)
(77)
(114)
0.2
(79)
(82)
(107) (79)
(86)
(93)
(79)
0.1 0.1 0.0 L0
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
Gambar 20 Aktivitas enzim rubisco pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat; Angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol (L2 ); L0 = 5 hari cahaya 0%; L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %; L4 = 3 hari cahaya 100%+ 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%; L5 =3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 0%; L6 = 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100%; L7 = 2 hari cahaya 0% + 2 hari caha ya 100% + 2 hari cahaya 0%
78
Aktivitas Enzim Sucrose Phosphate Synthase (SPS) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 100%, Ceneng memiliki aktivitas SPS yang lebih tinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan Godek. Pada intensitas cahaya 50%, aktivitas SPS pada Ceneng lebih tinggi dan berbeda nyata dengan Godek (Gambar 21). Pada intensitas cahaya 50% aktivitas SPS berkurang, yang berarti bahwa pada intensitas cahaya rendah, aktivitas SPS menurun. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Cheikh dan Brenner (1992), yang diduga berhubungan dengan rendahnya substrat hasil fotosintesis karena pada intensitas cahaya rendah laju fotosintesis rendah. Vivekanandan (1997) juga menyebutkan bahwa aktivitas SPS ditingkatkan oleh adanya cahaya, sebaliknya akan menurun jika kekurangan cahaya. Aktivitas SPS pada genotipe toleran masih mencapai 73% kontrol sedangkan genotipe peka hanya mencapai 42% kontrol. Perbedaan ini disebabkan karena dalam kondisi intensitas cahaya rendah, genotipe toleran masih memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam melakukan proses fotosintesis dibanding genotipe peka. Laju fotosintesis yang tinggi memungkinkan akumulasi substrat sehingga aktivitas SPS lebih tinggi. Adanya hubungan antara aktivitas SPS dengan laju fotosintensis sejalan dengan penelitian Laut et al. (2000) pada padi gogo. 0.4
Aktivitas SPS (mM/g)
0.3
a a
Ceneng
Godek
a
0.3 0.2 0.2
b
0.1 0.1
(73)
0.0 Intensitas Cahaya 100%
(42)
Intensitas Cahaya 50%
Gambar 21 Aktivitas enzim SPS pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50%; Gambar dalam intensitas cahaya yang sama dengan huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji t 95%; Angka dalam kurung = persentase terhadap kontrol (intensitas cahaya 100%)
79
0.4 Aktivitas SPS (nmol/g bb)
Ceneng
Godek
0.3 0.3
(83) (76)
0.2
(100) (59)
(62)
(72)
(76) (69)
(90) (70)
0.2
(55) 0.1
(55)
(50)
(45)
0.1 0.0 L0
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
Gambar 22 Aktivitas enzim SPS pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat; Angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol (L2 ); L0 = 5 hari cahaya 0%; L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %; L4 = 3 hari cahaya 100%+ 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%; L5 =3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 0%; L6 = 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100%; L7 = 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% Pada berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat, aktivitas SPS juga ikut berubah (Gambar 22); suatu fenomena bahwa aktivitas SPS diinduksi oleh cahaya seperti yang dijelaskan oleh Vivekanandan (1997). Tampak pada Gambar tersebut bahwa genotipe toleran Ceneng dapat mempertahankan aktivitas SPS pada level yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Jadi, genotipe toleran Ceneng lebih mampu mempertahankan aktivitas SPS apabila terekspose pada intensitas cahaya sub-optimum. Sebaliknya, genotipe peka Godek sangat rentan terhadap perubahan intensitas cahaya; penurunan aktivitas SPS sangat tinggi apabila ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah.
Aktivitas Enzim Malate dehydrogenase (MDH) Malate dehydrogenase (MDH) merupakan enzim kunci dalam siklus asam sitrat (TCA), mengkatalisis tahap akhir dari siklus TCA yaitu mengoksidasi malat menjadi asam oksalo asetat (OAA) dan menghasilkan NADH (Dennis dan Blakeley 2000). Ini berarti, tahap oksidasi malat oleh MDH menjadi salah satu
80
titik kendali laju siklus TCA dan karena itu dapat menentukan keseluruhan laju respirasi. Semakin tinggi aktivitas MDH semakin cepat laju TCA sehingga respirasi secara keseluruhan berjalan lebih cepat. Sebaliknya, semakin rendah aktivitas MDH kecepatan siklus TCA semakin rendah sehingga secara keseluruhan kecepatan respirasi juga berkurang. Pada intensitas cahaya 100%, genotipe toleran Ceneng memiliki aktivitas MDH lebih rendah (81.96 µM/menit) tetapi tidak berbeda nyata dengan genotipe peka Godek (114.83 µM/menit). Sedangkan, pada intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki aktivitas MDH yang lebih rendah (48.94 µM/menit = 60% kontrol) dan berbeda nyata dengan Godek (75.99 µM/menit 66% kontrol) (Gambar 23). Genotipe toleran Ceneng memiliki aktivitas MDH lebih rendah dibanding genotipe peka Godek. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam kondisi intensitas cahaya rendah genotipe toleran Ceneng akan memiliki laju respirasi yang lebih rendah sehingga memungkinkan fotosintesis bersih lebih tinggi. Ini berarti genotipe toleran Ceneng lebih efisien dalam menggunakan cahaya. Mengurangi laju respirasi melalui pengurangan aktivitas enzim- enzim repirasi seperti MDH merupakan salah satu strategi dalam efisiensi penggunaan cahaya (Patterson 1980). 140
Ceneng Aktivitas MDH (uM/menit)
Godek
a
120 100 80
a
60
a b
40 20
(60)
(66)
0 Intensitas Cahaya 100%
Intensitas Cahaya 50%
Gambar 23 Aktivitas enzim MDH pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50%; Gambar dalam intensitas cahaya yang sama dengan huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji t 95%; Angka dalam kurung = persentase terhadap kontrol (intensitas cahaya 100%)
81
Aktivitas MDH juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan kondisi cahaya periode singkat (Gambar 24). Pada semua kondisi intensitas cahaya periode singkat, aktivitas MDH pada genotipe peka Godek lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe toleran Ceneng. Gambar 24 juga menjelaskan bahwa kema mpuan genotipe peka Godek untuk menurunkan aktivitas MDH pada saat intensitas cahaya rendah atau gelap sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe peka Godek memiliki aktivitas MDH yang tetap tinggi meskipun pada kondisi intensitas cahaya rendah. Sebaliknya, genotipe toleran Ceneng memiliki kemampuan yang sangat tinggi untuk mengurangi aktivitas MDH ketika terekspose pada intensitas cahaya rendah atau kondisi gelap. Fenomena demikian menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng meregulasi aktivitas MDH pada level yang lebih rendah apabila terpajan pada intensitas cahaya rendah, yang berarti bahwa aktivitas respirasi pada Ceneng akan lebih rendah.
Aktivitas MDH (mmol/menit)
0.14
Ceneng (108) Godek
(108)
(108) (100)
0.12
(92) (83)
0.10 0.08
(83)
(100) (89) (78)
(78) (67)
0.06
(67) (56)
0.04 0.02 0.00 L0
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
Gambar 24 Aktivitas enzim MDH pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya jangka pendek; Angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol (L2 ); L0 = 5 hari cahaya 0%; L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %; L4 = 3 hari cahaya 100%+ 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%; L5 =3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 0%; L6 = 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100%; L7 = 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% Fenomena lain yang dapat dipelajari dari Gambar 24 di atas adalah perubahan aktivitas MDH pada kondisi cahaya berganti (on-off exposure). Pada saat L4 (cahaya 100%-50%-100%) aktivitas MDH pada genotipe toleran Ceneng
82
dapat mencapai kondisi kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek melebihi kontrol. Pada saat L5 (cahaya 50%-100%-0%) aktivitas MDH pada genotipe toleran Ceneng menurun drastis, hanya mencapai 56% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek masih mencapai 83% kontrol; kondisi tersebut mirip dengan saat L7 (cahaya 0%-100%-0%). Perubahan aktivitas MDH pada kondisi cahaya berganti (on-off exposure) seperti dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa aktivitas MDH pada genotipe toleran Ceneng diregulasi pada level yang lebih rendah dan mengikuti intensitas cahaya yang terakhir kali diterima. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Patterson (1980) baik pada Phaseolus maupun kedelai. Pada Phaseolus, aktivitas MDH meningkat 3.5 kali lipat jika dipindahkan dari intensitas cahaya rendah ke intensitas cahaya tinggi, sedangkan kedelai jika dipindahkan dari intensitas cahaya 250 µE.m-2 .s-1 ke 850 µE.m-2 .s-1 maka peningkatan aktivitas MDH mencapai 27%. Aktivitas Enzim Asam Invertase (AI) Asam invertase (AI) merupakan enzim yang memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat dan dalam regulasi transpor sukrosa pada tanaman tingkat tinggi (Kassinee et al. 2004). Asam invertase merupakan suatu enzim hidrolase, memecah sukrosa menjadi dua monosakarida, glukosa dan fruktosa (Sturm 1999). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pada intensitas cahaya 100%, genotipe toleran Ceneng memiliki aktivitas AI yang lebih rendah (0.342 mM/menit) tetapi tidak berbeda nyata dengan Godek (0.355 mM/menit) (Gambar 25). Pada intensitas cahaya 50%, Ceneng juga memiliki aktivitas AI yang lebih rendah (0.114 mM/menit) dan berbeda nyata dengan Godek (0.278 mM/menit). Pada intensitas cahaya 50% aktivitas AI genotipe toleran Ceneng sangat rendah hanya mencapai 33% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek sangat tinggi mencapai 78% kontrol.
83
0.40
Aktivitas AI (mM/menit)
0.35
a
a
Ceneng
Godek
b
0.30 0.25 0.20 0.15
a
0.10 0.05
(33)
(78)
0.00 Intensitas Cahaya 100%
Intensitas Cahaya 50%
Gambar 25 Aktivitas enzim AI pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50%; Gambar dalam intensitas cahaya yang sama dengan huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji t 95%; Angka dalam kurung = persentase terhadap kontrol (intensitas cahaya 100%) Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan mempertimbangkan AI sebagai enzim respirasi yang berperan dalam menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Sturm 1999), dapat diduga bahwa pada intensitas cahaya rendah genotipe toleran Ceneng dengan tingkat aktivitas AI yang sangat rendah akan memiliki cadangan sukrosa yang lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek dengan aktivitas AI yang sangat tinggi. Dugaan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kassinee et al. (2004) pada biji kedelai sayur, terdapat korelasi negatif dan nyata antara aktivitas AI dengan gula terlarut pada biji kedelai sayur. Di antara gula terlarut yang diukur, sukrosa memiliki konsentrasi paling tinggi, yang berarti bahwa pada aktivitas AI yang rendah, konsentrasi sukrosa lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian McCollum et al. (1988) bahwa selama pertumbuhan buah muscmelon terjadi peningkatan konsentrasi sukrosa karena meningkatnya aktivitas sucrose synthase dan bersamaan dengan itu, aktivitas AI lebih rendah. Selain itu diduga pula bahwa kedelai merupakan tanaman pembentuk pati sehingga AI kurang cepat menghidrolisis sukrosa yang berada dalam vakuola (Salisbury dan Ross 1992). Aktivitas AI juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan kondisi cahaya periode singkat (Gambar 26). Aktivitas AI berkurang apabila tanaman
84
hanya memperoleh intensitas cahaya 50% (L1 ) apalagi jika tidak ada cahaya (L0 ). Sedangkan pada intensitas cahaya berganti, aktivitas AI sejalan dengan keadaan intensitas cahaya yang terakhir diterima. Pada kondisi L3 (intensitas cahaya terakhir 50%) kedua genotipe menurunkan aktivitas AI, dan akan kembali meningkat bila pemberian cahaya diakhiri dengan intensitas cahaya 100% (L4 ) bahkan peningkatan pada Godek melebihi kontrolnya. Aktivitas AI pada perlakuan intensitas cahaya secara berganti (on-off) mengalami penurunan yang drastis apabila on-off cahaya tersebut berakhir dengan tanpa cahaya atau kondisi gelap (L5 dan L7 ). Tampak pada Gambar 26 juga bahwa dalam setiap kondisi intensitas cahaya, aktivitas AI pada genotipe toleran Ceneng lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas AI pada genotipe peka Godek. 0.6
Aktivitas AI (mmol/menit)
Ceneng
Godek
0.5
(112) (95)
0.4
(79) (82)
0.3
(88) (89)
(89) (79)
(66)(60)
(58) (58) 0.2
(40) (39)
0.1 0.0 L0
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
Gambar 26 Aktivitas enzim AI pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat; Angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol (L2 ); L0 = 5 hari cahaya 0%; L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %; L4 = 3 hari cahaya 100%+ 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%; L5 =3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 0%; L6 = 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100%; L7 = 2 hari cahaya 0% + 2 hari cahaya 100% + 2 hari cahaya 0% Data di atas menunjukkan bahwa regulasi aktivitas AI berhubungan dengan tinggi rendahnya intensitas cahaya. Regulasi aktivitas AI mengikuti kondisi intensitas cahaya yang terakhir kali diterima dan pada setiap kondisi intensitas cahaya, genotipe toleran Ceneng meregulasi aktivitas AI- nya pada level yang lebih rendah dibanding dengan genotipe peka Godek.
85
SIMPULAN Aktivitas enzim fotosintetik rubisco dan SPS maupun enzim respirasi MDH dan AI menurun akibat intensitas cahaya rendah. Dalam intensitas cahaya rendah, genotipe toleran Ceneng dapat mempertahankan aktivitas enzim- enzim fotosintetik pada level yang lebih tinggi sedangkan aktivitas enzim- enzim respirasi lebih rendah. Pada intensitas cahaya 50%, aktivitas enzim rubisco dan SPS pada genotipe toleran Ceneng masing- masing masih mencapai 0.47 nM/g dan 0.23 mM/g atau 79% dan 73% kontrol, sedangkan pada genotipe peka Godek masingmasing hanya mencapai 0.22 nmol/g dan 0.12 mM/g atau 62% dan 42% kontrol. Sebaliknya, aktivitas enzim respirasi MDH dan AI pada genotipe toleran Ceneng masing- masing hanya mencapai 48.94 µM/menit dan 0.11 mM/menit atau 60% dan 33% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek masing- masing masih mencapai 75.99 µM/menit dan 0.28 mM/menit atau 66% dan 78% kontrol. Aktivitas enzim fotosintetik dan enzim respirasi mengalami perubahan seiring perubahan kondisi intesitas cahaya periode singkat. Tinggi-rendahnya aktivitas enzim-enzim tersebut tergantung pada kondisi intesitas cahaya yang terakhir kali diterima suatu genotipe. Ini berarti, adaptasi tanaman terhadap perubahan intensitas cahaya dapat diidentifikasi melalui uji cepat menggunakan berbagai kondisi cahaya periode singkat. Genotipe toleran intensitas cahaya rendah lebih responsif terhadap perubahan kondisi intesitas cahaya periode singkat dibandingkan genotipe peka. Dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat, genotipe toleran Ceneng memiliki aktivitas enzim fotosintetik yang lebih tinggi dan aktivitas enzim respirasi yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka Godek.
RESPON FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK Keberhasilan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan mempertahankan laju fotosintesis. Percobaan untuk menganalisis aspek fotosintesis dan respirasi dilakukan dalam dua percobaan : (1) percobaan untuk mempelajari aspek fotosintesis dan respirasi pada intensitas cahaya 50% dan 100% dalam periode yang lama, dan (2) percobaan untuk mempelajari perubahan aspek fotosintesis dan respirasi pada berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat. Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari dua genotipe yakni Ceneng (toleran) dan Godek (peka). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan laju respirasi gelap menurun akibat intensitas cahaya rendah. Pada intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki laju fotosintesis dan transpor elektron yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Laju fotosintesis dan transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng masing- masing mencapai 73% dan 85% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek hanya mencapai 68 dan 74% kontrol. Sebaliknya, genotipe toleran Ceneng memiliki titik kompensasi cahaya dan laju respirasi gelap yang lebih rendah. Titik kompensasi cahaya dan laju respirasi gelap pada genotipe toleran Ceneng masing- masing hanya mencapai 64 dan 60% kontrol sedangkan genotipe peka Godek mencapai 69 dan 84% kontrol. Kombinasi laju fotosintesis dan laju transpor elektron yang tinggi dengan laju respirasi gelap yang lebih rendah memungkinkan genotipe toleran Ceneng menghasilkan sukrosa dan pati yang lebih tinggi. Perubahan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, laju respirasi gelap, serta kandungan sukrosa dan pati sebagai respon atas perubahan intensitas cahaya jangka pendek pada kedua genotipe mengikuti kondisi intensitas cahaya yang terakhir kali diterima. Pada semua kondisi intensitas cahaya periode singkat, laju fotosintesis dan laju transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi sedangkan titik kompensasi cahaya dan respirasi gelap lebih rendah. Kata kunci : laju fotosintesis dan transpor elektron,respirasi gelap, titik kompensasi cahaya, genotipe toleran dan peka
PHOTOSYNTHESIS AND RESPIRATION UNDER LOW LIGHT INTENSITY OF TOLERANT AND SENSITIVE SOYBEAN GENOTYPE ABSTRACT The ability of plants to overcome low light intensity depend on their ability to regulate photosynthetic rate. We held two experiment to knowing photosynthetic and respiration under low light intensity : (1) long term exposure experiment to study photosynthesis and respiration under 50% and 100% light intensity, and (2) short term exposure experiment to examine the changes of photosynthesis and respiration expression. We used Ceneng as tolerant genotype and Godek as sensitive genotype. The result showed that photosynthetic and electron transport
87
rate, light compensation point and dark respiration rate decreased under low light intensity. Under 50% light intensity, Ceneng has higher photosynthetic and electron transport rate compare to Godek. They reached 73% and 85% compare to control. In Godek, they reached 68% and 74% compare to control. Ceneng has lower light compensation point and dark respiration rate compare to Godek. They reached 64% and 60% compare to control. In Godek, they reached 69% and 84% compare to control. The combination of higher photosyntheric and electron transport rate and lower light compensation point and dark respiration rate made Ceneng produced higher sucrose and amylum. Several short term exposure showed that the change of photosynthetic rate, electron transport rate, light compensation point and dark respiration rate, sucrose and starch content followed the recent light condition. Ceneng has higher expression of photosynthetic rate and electron transport rate, while the expression of light compensation point and dark respiration rate are lower. Keywords: photosynthetic and electron transport rate, light compensation point, dark respiration, tolerant and sensitive genotype
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam percobaan “mekanisme efisiensi penangkapan cahaya” serta “aktivitas enzim fotosintesis dan respirasi” diketahui genotipe toleran Ceneng memiliki morfo-anatomi dan pigmen yang memungkinkan penangkapan cahaya lebih tinggi, aktivitas enzim fotosintesis (rubisco dan SPS) lebih tinggi, serta aktivitas enzim respirasi (MDH dan AI) lebih rendah. Penangkapan cahaya serta aktivitas enzim fotosintesis yang tinggi memungkinkan laju fotosintesis dan transpor elektron juga tinggi sedangkan aktivitas enzim respirasi yang rendah menyebabkan rendahnya laju respirasi. Fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan
asimilat,
dan
pengaruh
lingkungan
seperti
kandungan
CO2 ,
kelembaban dan suhu udara, ketersediaan air, dan cahaya. Dalam kondisi tanpa cekaman, intensitas cahaya merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis (Sinclair dan Torrie 1989, SassenrathCole dan Pearcy 1994, Chritchley 1997, Evans dan Poorter 2001). Intensitas cahaya yang berbeda menyebabkan laju fotosintesis juga berbeda. Dalam intensitas cahaya rendah, tanaman yang memiliki fotosintesis yang lebih efisiensi akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan sukses dalam berkompetisi, seperti yang terjadi pada vegetasi yang rapat atau pada habitat yang ternaungi (Lawlor 1987). Jadi, keberhasilan tanaman dalam mengatasi cekaman
88
intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuannya melanjut kan dan mempertahankan laju fotosintesis pada kondisi intensitas cahaya yang terbatas tersebut (Levitt 1980, Hale dan Orchut 1987, Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Fotosintesis akan berlangsung apabila energi cahaya yang dibutuhkan terpenuhi. Diduga, genotipe toleran intensitas cahaya rendah akan membangun mekanisme penangkapan cahaya secara efisien sehingga kebutuhan energi fotosintesis dapat terpenuhi. Sebaliknya, genotipe peka intensitas cahaya rendah memiliki kapasitas penangkapan cahaya yang terbatas sehingga kebutuhan energi fotosintesis juga terbatas. Ini berarti, perubahan dalam laju fotosintesis menjadi salah satu strategi dalam aklimatisasi tanaman terhadap intensitas cahaya dalam periode waktu yang lama (Murchie dan Horton 1997). Kecukupan energi fotosintesis memungkinkan laju transpor elektron yang tinggi sehingga laju fotosintesis juga menjadi tinggi (Atwell et al. 1999). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor elektron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui ke dua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun yang beradaptasi pada cahaya penuh dibandingkan daun yang ternaungi (Lawlor 1987). Sitokrom f dan b yang merupakan bagian dari sistem transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones 1996). Laisk et al. (2005) juga mengemukakan bahwa laju transpor elektron melalui kompleks cytokrom b6 f sangat tinggi pada kondisi jenuh cahaya dibanding kondisi cahaya rendah atau gelap. Keberhasilan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah juga diperoleh dengan menurunkan titik kompensasi cahaya (Levitt 1980, Taiz dan Zeiger 2002). Titik kompensasi cahaya (LCP) adalah keadaan cahaya pada permukaan daun yang mengind uksi kecepatan asimilasi CO2 aktual sama dengan kecepatan evolusi CO2 respirasi, asimilasi CO2 sama dengan nol (zero). Jadi, tanaman toleran naungan dicirikan oleh rendahnya titik kompensasi cahaya sehingga
dapat
mengakumulasi
produk
fotosintetik
yang
lebih
tinggi
dibandingkan tanaman peka naungan. Di atas titik kompensasi cahaya, proses fotosintesis pada tanaman toleran naungan masih dapat berlangsung sedangkan
89
proses fotosintesis pada tanaman peka naungan tidak dapat berlangsung lagi (Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Selain fotosintesis, keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi intensitas cahaya rendah juga tergantung pada laju respirasi. Hasil penelitian Awada dan Redmann (2000) pada bibit White spruce memperlihatkan bahwa respirasi gelap berkurang 70% bila bibit ditumbuhkan di bawah naungan meskipun tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan pada cahaya penuh. Atwell et al. (1999) juga menjelaskan bahwa perbedaan genetik dalam laju respirasi karena interaksinya dengan lingkungan menentukan keberhasilan pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Cahaya mempengaruhi kecepatan respirasi tanaman dan spesies toleran intensitas cahaya rendah memiliki kecepatan respirasi yang lebih rendah daripada tanaman cahaya penuh (Levitt 1980).
Pada intensitas cahaya penuh, laju
fotosintsis tingi, demikian juga respirasi (karena bertambahnya komponen growth respiration), sehingga pengaruh cahaya merupakan indirect influence terhadap respirasi. Respirasi juga bekorelasi positif dan sangat erat dengan suhu. Pada cahaya penuh, suhu daun tinggi (June 2002) sehingga laju respirasi juga tinggi. Lebih lanjut disebutkan bahwa salah satu strategi tanaman agar toleran terhadap intensitas cahaya rendah adalah mengurangi kecepatan respirasi untuk menurunkan titik kompensasi. Sejalan dengan hal tersebut, Taiz dan Zeiger (2002) mengemukakan bahwa laju respirasi yang rendah merupakan dasar adaptasi tanaman naungan agar tetap dapat tumbuh pada kondisi lingkungan cahaya yang terbatas. Respirasi yang rendah pada spesies ternaungi merupakan sesuatu yang kritikal agar terjadi keseimbangan karbon yang positif (Fitter dan Hay 1989). Bila respirasi rendah, daun memerlukan lebih sedikit cahaya untuk berfotosintesis untuk mengimbangi CO2 yang dilepaskan respirasi, sehingga titik kompensasi cahaya menjadi lebih rendah pula (Salisbury dan Ross 1992). Kombinasi laju fotosintesis yang lebih tinggi dengan laju respirasi yang rendah, akan memungkinkan genotipe toleran intensitas cahaya rendah menghasilkan asimilat sukrosa dan pati yang lebih tinggi seperti yang ditemukan pada padi gogo (Lautt et al. 2000, Soverda 2002).
90
Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efisiensi penggunaan cahaya pada tanaman kedelai melalui aspek fotosintesis dan respirasi. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perbedaan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan respirasi gelap antara kedelai genotipe toleran dan peka sebagai respon atas perlakuan intensitas cahaya dalam periode yang lama (long-term exposure), dan (2) mengetahui perubahan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan respirasi gelap pada kedelai genotipe toleran dan peka sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Besar Biogen Cikeumeuh Bogor pada bulan Agustus sampai dengan Nopember 2005. Percobaan dilakukan dalam dua tahap. Percobaan pertama bertujuan untuk mengetahui perbedaan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan respirasi gelap antara genotipe toleran dan peka sebagai respon atas perlakuan intensitas cahaya dalam periode yang lama (long-term exposure). Percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui perubahan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan respirasi gelap pada genotipe toleran dan peka sebagai respon atas perlakuan intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure). Percobaan Pertama : "Respon Fotosintesis dan Respirasi pada Kedelai Toleran dan Peka terhadap Intensitas Cahaya Rendah dalam Periode yang Lama" Metode Dalam percobaan ini, faktor yang diuji adalah intensitas cahaya sebagai petak utama yang terdiri dari dua taraf yaitu: IC100 = intensitas cahaya 100% (kontrol) dan IC50 = intensitas cahaya 50%.
Faktor kedua adalah genotipe
sebagai anak petak yang teridiri dari: G1 = Ceneng dan G2 = Godek. Kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 12 satuan percobaan, dan setiap
91
satuan percobaan menggunakan 50 tanaman. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot) dengan anak petak tersarang (nested) pada petak utama (denah percobaan disajikan pada Lampiran 1). Perlakuan intensitas cahaya 50% dilaksanakan dengan cara meletakkan paranet hitam di sisi atas dan keempat sisi rangka bambu setinggi 2 m sehingga pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet. Paranet yang digunakan adalah paranet yang meloloskan cahaya kurang lebih 50%. Polibag diisi dengan ± 8 kg campuran tanah dan pupuk kandang (1 kg tanah : 20 g pupuk kandang). Selanjutnya, benih kedelai dilumuri dengan inokulan rhizobium kemudian dimasukkan ke dalam lubang tanam (tiga butir benih/lubang) sedalam 2 cm – 3 cm. Setelah seputar benih ditaburi Carbofuran 3-G, lubang tanam ditutup tanah kemudian disiram. Pada umur 1 MST tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman. Dalam setiap satuan percobaan diambil tiga tanaman sampel. Pengukuran aspek fo tosintesis dan respirasi dilakukan pada daun yang telah membuka penuh (daun ketiga dan keempat dari atas pada batang utama, demikian juga untuk pengukuran kandungan sukrosa dan pati. Pengamatan dilakukan setelah tanaman berumur 10 MST. Peubah yang diamati meliputi : laju fotosintesis (A), laju fotosintesis maksimum (Amax ), laju teranspor elektron (J), laju transpor elektron maksimum (Jmax ), titik kompensasi cahaya (LCP), dan respirasi gelap (Rd ). Dalam analisis Rd , diasumsikan bahwa respirasi terang sama dengan respirasi gelap. Pengukuran dilakukan menggunakan gas exchange system LCA-4M (ADC Bio Scientific).
Analisis Data Pertama-tama dilakukan analisis terhadap titik kompensasi cahaya dan laju respirasi gelap, keduanya ditentukan berdasarkan hubungan linier sederhana (Y = a + bX) antara laju fotosintesis (Y) dengan intensitas cahaya (X) di bawah 150 µmol.m-2 .s-1 . Titik potong antara garis regresi dengan sumbu X merupakan nilai
92
titik kompensasi cahaya sedangkan titik potong garis regresi dengan sumbu Y merupakan nilai respirasi gelap (June 2002, Taiz dan Zeiger 2002). Laju fotosintesis maksimum (Amax) dianalisis berdasarkan persamaan kuadratik (Y = a + bX + cX2 ) dengan Y = laju fotosintesis dan X = intensitas cahaya. Nilai Amax merupakan turunan pertama dari persamaan tersebut (dy/dx = 0). Selanjutnya dianalisis nial a2 berdasarkan nisbah ci/intensitas cahaya dimana ci adalah tekanan parsial CO2 dalam daun, sedangkan nilai Θ untuk kedelai ditetapkan sebesar 0.7. Berdasarkan nilai-nilai parameter (R d, Amax, a2 , Θ) tersebut maka laju fotosintesis (A) pada berbagai intensitas cahaya dapat dianalisis menggunakan persamaan 5 (June 2002, June 2005) sebagai berikut : A=
Ia 2 + Amax −
( Ia 2 + Amax ) 2 − 4ΘIa 2 Amax 2Θ
-R; ...................................(5)
dimana Amax = laju fotosintesis pada kondisi jenuh cahaya (µmol.m-2 .s-1 ), T = pembengkokan kurva respon A terhadap I (curvature factor) yang nilainya bervariasi dari 0 (rectangular hyperbola) sampai 1 (two straight lines quasi Blackman), a2 = quantum yield dari fotosintesis pada cahaya rendah (efisiensi fotosintesis), R = respirasi daun (µmol.m-2 .s-1 ). Dengan menggunakan nilai A dan Rd, dapat diduga laju transpor elektron menggunakan persamaan 2 (June 2003) sebagai berikut : A=
J ci − Γ * − Rd ..........................................................................................(2) 4 ci + 2Γ *
Dari persamaan tersebut, laju transpor elektron (J) dapat dihitung sebagai berikut :
( A + Rd )( 4ci + 8Γ * ) J= ...................................................................................(8) * ( c − Γ ) i dimana ci = tekanan parsial CO2 di dalam daun (µbar); ?* = titik kompensasi CO2 (Pa); R = respirasi daun (µmol.m-2 .s-1 ); dan J = laju transpor elektron (µmol.m-2 .s1
). Selanjutnya, laju transpor elektron maksimum (Jmax) dianalisis berdasarkan
persamaan kuadratik (Y = a + bX + cX2 ) dengan Y = laju transpor elektron dan X = intensitas cahaya. Nilai Jmax merupakan turunan pertama dari persamaan tersebut (dy/dx = 0). Analog dengan laju fotosintesis, laju transpor elektron (J) dianalisis menggunakan persamaan 6 (June 2002) sebagai berikut :
93
J=
Ia 2 + J max −
( Ia 2 + J max )2 − 4ΘIa 2 J max 2Θ
...........................................(6)
Selain itu, diamati kandungan sukrosa dan pati menggunakan metode Yoshida et al. (1976) (Lampiran 6). Daun yang digunakan untuk analisis kandungan sukrosa dan pati adalah daun pada posisi ketiga dan keempat pada batang utama. Hasil analisis berdasarkan persamaan-persamaan di atas, dilanjutkan dengan analisis varian (anova) sesuai rancangan yang digunakan dan uji t pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis disajikan dalam bentuk Table dan Grafik. Percobaan Kedua : "Respon Fotosintesis dan Respirasi pada Kedelai Toleran dan Peka terhadap Berbagai Kondisi Intensitas Cahaya Periode Singkat" Metode Faktor yang diuji adalah genotipe dan intensitas cahaya. Faktor genotipe terdiri dari: G1 = Ceneng dan G2 = Godek. Pemberian berbagai kondisi cahaya dilakukan setelah tanaman berumur 14 hari sebagai berikut: L1 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 5 hari), L2 (dipelihara pada intensitas cahaya 100% selama 5 hari), L3 (dipeliharan selama 5 hari dalam intensitas cahaya 100% lalu dipindahkan ke intensitas cahaya 50% selama 3 hari), L4 (dipelihara selama 3 hari intensitas cahaya 100%, selama 3 hari dalam intensitas cahaya 50%, lalu dipindahkan lagi ke intensitas cahaya 100% selama 2 hari). Setiap genotipe menggunakan 10 tanaman dan waktu penanaman diatur sedemikian rupa sehingga pengamatan berlangsung pada saat yang bersamaan (Lampiran 2). Polibag diisi dengan ± 8 kg campuran tanah dan pupuk kandang (1 kg tanah : 20 g pupuk kandang). Selanjutnya, benih kedelai dilumuri dengan inokulan rhizobium kemudian dimasukkan ke dalam lubang tanam (tiga butir benih/lubang) sedalam 2 – 3 cm. Setelah seputar benih ditaburi Furadan 3-G, lubang tanam ditutup tanah kemudian disiram. Pada umur 1 MST tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2
94
MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman dan tanaman kedelai siap diberi perlakuan. Perlakuan gelap dilakukan dengan cara meletakan tanaman pada ruangan gelap tanpa cahaya, sedangkan cahaya 50% dan 100% diperoleh dengan cara seperti pada percobaan pertama. Daun yang digunakan untuk pengukuran aspek fotosintesis dan respirasi adalah daun yang telah membuka sempurna (nomor 3 dari atas pada batang utama). Peubah yang diamati sama dengan yang diamati pada percobaan pertama: (laju fotosintesis maksimum (Amax ), laju teranspor elektron maksimum (Jmax ), titik kompensasi cahaya (LCP), respirasi gelap (Rd ), kandungan sukrosa, dan kandungan pati. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis seperti pada percobaan pertama dilanjutkan dengan analisis untuk memperoleh nilai rata-rata dan persentase relatif terhadap kontrol. Beda nyata dua nilai tengah genotipe pada kondisi intensitas cahaya tertentu dianalisis berdasarkan uji t pada taraf kepercayaan 95%. Data hasil analisis disajikan dalam bentuk Table dan Grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Fotosintesis Perbedaan intensitas cahaya maupun genotipe menyebabkan laju fotosintesis juga berbeda. Laju fotosintesis pada intensitas cahaya 50% lebih rendah daripada 100%. Hal ini sejalan dengan penjelasan Chritchley (1997) bahwa daun yang berkembang pada intensitas cahaya rendah memiliki laju fotosintesis yang rendah. Sassenrath-Cole dan Pearcy (1994) dalam penelitian mereka menggunakan kedelai cultivar Williams juga menemukan bahwa aktivitas fotosintesis maksimum pada daun yang dinaungi lebih rendah daripada daun yang memperoleh cahaya penuh. Dalam penelitian Evans dan Poorter (2001) disimpulkan bahwa fotosintesis pada intensitas cahaya rendah, hanya mencapai setengah dari intensitas cahaya penuh. Karena itu, perubahan dalam laju fotosintesis menjadi salah satu strategi dalam aklimatisasi tanaman terhadap intensitas cahaya jangka panjang (Murchie dan Horton 1997).
95
Tabel 9 Laju fotosintesis maksimum (Amax ), transpor elektron maksimum (Jmax ), respirasi gelap (Rd ), dan titik kompensasi cahaya (LCP) genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek pada intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Peubah
100 Ceneng 25.36a 183.10a -2.41a 60.08a
Amax (µmol.m-2 .s -1 ) Jmax (µmol.m-2 .s -1 ) Rd (µmol.m-2 .s -1 ) LCP (µmol.m-2 .s -1 ) Keterangan :
Intensitas Cahaya (%) 50 Godek Ceneng Godek 20.67b 18.59a (73) 14.07b (68) 171.05a 157.93a (86) 121.61b (71) -1.94a -1.44a (60) -1.63a (84) 62.05a 38.54a (64) 42.63a (69)
Rata-rata Intensitas Cahaya 100 50 23.01 a 16.33b (71) 177.07a 139.77b (79) -2.18a -1.54 b (71) 61.06a 40.59 b (67)
Nilai sebaris untuk intensitas cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t 95%; nilai dalam kurung = persentase (dibulatkan) terhadap kontrol
(a)
27
Laju Fotosintesis (umol.m-2.det-1)
24 21 18 15 12 9 6 3 0 -3
0
250
500
750
1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500
Intensitas Cahaya (umol.m-2.det-1)
27
(b)
Laju Fotosintesis (umol.m-2.det -1)
24 21 18 15 12 9 6 3 0 -3
0
250
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
2250
2500
Intensitas Cahaya (umol.m-2.det-1)
Gambar 27 Laju fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% (-◊-) 50% (-•-)
96
Pada intensitas cahaya 100% maupun 50%, laju fotosintesis maksimum (Amax) pada Ceneng masing- masing mencapai 25,357 µmol.m-2 .s-1 dan 18,588 µmol.m-2 .s-1 , dan berbeda nyata dengan Godek yang masing- masing hanya mencapai 20,667 µmol.m-2 .s-1 dan 14,074 µmol. m-2 .s-1 (Tabel 9). Pada intensitas cahaya 50%, laju fotosintesis pada Ceneng mencapai 73% kontrol, sedangkan pada Godek hanya mencapai 68% kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan laju fotosintesis dibanding Godek (Gambar 27). Berdasarkan Gambar 26, tampak pula bahwa pada intensitas cahaya tinggi (> 250 µmol.m-2 .det-1 pada Gambar 27a atau > 200 µmol.m-2 .det-1 pada Gambar 27b) laju fotosintesis lebih tinggi apabila tanaman kedelai ditanam pada kondisi cahaya penuh tetapi pada intensitas cahaya rendah (< 250 µmol.m-2 .det-1 pada Gambar 27a atau < 200 µmol.m-2 .det-1 pada Gambar 27b) laju fotosintesis yang lebih tinggi ditemukan pada kedelai yang ditanam dalam intensitas cahaya 50%. Fenomena tersebut sejalan dengan penjelasan Salisbury dan Ross (1992) serta Taiz dan Zeiger (2002) bahwa pada tingkat cahaya yang sangat rendah spesies toleran naungan mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi. Laju Transpor Elektron Laju transpor elektron juga berbeda baik karena perbedaan genotipe maupun perbedaan intensitas cahaya (Tabel 9). Pada intensitas cahaya 50%, laju transpor elektron hanya mencapai 139.77 µmol.m-2 .det-1 , sedangkan pada intensitas cahaya 100% mencapai 177.07 µmol.m-2 .s-1 . Jadi laju transpor elektron pada intensitas cahaya 50% hanya mencapai 79% kontrol. Pada Gambar 28, tampak bahwa pada intensitas cahaya 50% laju transpor elektron menurun baik pada genotipe toleran Ceneng maupun pada genotipe peka Godek. Hal ini dapat terjadi karena pada intensitas cahaya 100%, intensitas cahaya mencapai 2500 µmol.m-2 .det-1 sedangkan pada intensitas cahaya 50%, intensitas cahaya hanya mencapai 1800 µmol.m-2 .det-1 . Hasil penelitian di atas sejalan dengan penjelasan Atwell et al. (1999) bahwa laju transpor elektron tergantung cahaya dan pada intensitas cahaya rendah, laju transpor elektron menurun (Critchley 1997). Sebaliknya pada intensitas cahaya tinggi kapasitas transpor elektron untuk fotosintesis meningkat (Atwell et
97
al. 1999). Laisk et al. (2005) juga mengemukakan bahwa laju transpor elektron melalui kompleks Cytokrom b6 f sangat tinggi pada kondisi jenuh cahaya dibanding kondisi cahaya rendah atau keadaan gelap. Menurut June (2002) dalam intensitas cahaya penuh, rata-rata laju transpor elektron pada kedela i sekitar 200 µmol.m-2 .s-1 . 250
(a)
Laju Transp Elektr (umol.m-2.det-1)
225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
250
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
2250
2500
Intensitas Cahaya (umol.m-2.det-1)
250
(b)
Laju Transp Elektr (umol.m-2.det -1)
225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
250
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
2250
2500
Intensitas Cahaya (umol.m-2.det-1)
Gambar 28 Laju laju transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% (-◊-) dan 50% (-•-) Pada intensitas cahaya 100% maupun 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki laju transpor elektron yang lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek meskipun tidak berbeda nyata, kecuali pada intensitas cahaya 50% (Tabel 9). Ini berarti bahwa pada intensitas cahaya rendah, genotipe toleran Ceneng memiliki
98
kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan laju transpor elektron (Gambar 28). Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian Sopandie et al. (2006) bahwa pada genotipe toleran Ceneng, ekspresi gen JJ3 yang homolog dengan gen psaD yang mengkode protein PsaD PSI sub unit semakin meningkat dengan semakin rendahnya intensitas cahaya. Gen JJ3 berperan penting dalam pengaturan efisiensi transpor elekron yang diinduksi cahaya rendah sehingga proses fotosintesis berjalan normal (Sopandie et al. 2006). Dengan terekspresinya gen JJ3 pada kondisi intensitas cahaya rendah maka memungkinkan genotipe toleran Ceneng memiliki laju fotosintesis yang lebih tinggi.
Respirasi Gelap. Perbedaan genotipe maupun intensitas cahaya menyebabkan perbedaan laju respirasi gelap (R d) (Gambar 29). Pada intensitas cahaya 100%, Ceneng memiliki Rd yang lebih tinggi dibanding Godek, sebaliknya pada intensitas cahaya 50%, Ceneng memiliki Rd yang lebih rendah. Meskipun demikian, Rd kedua genotipe tidak berbeda nyata, baik pada intensitas cahaya 100% maupun 50% (Tabel 9). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Awada dan Redmann (2000) pada bibit white spruce bahwa respirasi gelap berkurang 70% bila bibit ditumbuhkan di bawah naungan tetapi tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan pada cahaya penuh. Lebih jauh Atwell et al. (1999) menjelaskan bahwa perbedaan genetik dalam efisiensi respirasi karena interaksinya dengan lingkungan menentukan keberhasilan pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Pada intensitas cahaya 50%, Rd pada Ceneng hanya mencapai 60% kontrol sedangkan Godek mencapai 84% kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan tingkat respirasi dibanding Godek. Hasil tersebut sejalan dengan regulasi aktivitas enzim respirasi MDH dan AI yang lebih rendah pada Ceneng dibandingkan dengan Godek (Gambar 23 dan 25). Laut (2003) juga melaporkan adanya respirasi yang lebih rendah pada genotipe padi toleran naungan.
99
(a)
4.0 3.5
LCP
Rd
3.0
50%
Laju Fotosintesis (umol.m-2.det-1)
2.5 2.0 1.5
100%
1.0 0.5 0.0 -0.5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-1.0 Intensitas Cahaya (umol.m-2.det -1)
-1.5
1.44
-2.0 -2.5
(b)
4.0 3.5
Laju Fotosintesis (umol.m-2.det -1)
LCP
Rd
3.0
50%
2.5 2.0 1.5 1.0
100%
0.5 0.0 -0.5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-1.0 -1.5
Intensitas Cahaya (umol.m-2.det-1)
-2.0
1.63
-2.5
Gambar 29 Respirasi gelap (Rd) dan tititk kompensasi cahaya (LCP) pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Titik Kompensasi Cahaya Titik kompensasi cahaya (LCP) berbeda, baik antar genotipe maupun dalam intensitas cahaya yang berbeda (Gambar 28). Pada intensitas cahaya 100% maupun 50%, Ceneng memiliki LCP yang lebih rendah tetapi tidak berbeda nyata dengan Godek(Tabel 9). Pada intensitas cahaya 50%, LCP pada Ceneng hanya mencapai 64% kontrol sedangkan Godek mencapai 69% kontrol yang berarti bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan titik kompensasi cahaya dibanding Godek.
Hasil
100
tersebut sejalan dengan Taiz dan Zeiger (2002) yang menjelaskan bahwa LCP pada tanaman cahaya penuh berkisar 10-20 µmol.m-2 .s-1 sedangkan pada tanaman naungan hanya berkisar 1-5 µmol.m-2 .s-1 . Pada intensitas cahaya penuh, rata-rata LCP kedelai mencapai 60 µmol.m-2 .s-1 (June 2002, tidak dipublikasikan). Taiz dan Zeiger (2002) menjelaskan bahwa rendahnya LCP pada tanaman naungan disebabkan laju respirasi sangat rendah. LCP yang rendah akibat intensitas cahaya rendah juga dilaporkan Callan dan Kennedy (1995) berdasarkan hasil penelitian mereka menggunakan tanaman Strokesia laevis (Hill) E. Greene. Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 10, menunjukkan bahwa dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat, genotipe toleran Ceneng memiliki laju fotosintesis maksimum (Amax ) dan laju transpor elektron maksimum (Jmax ) yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan genotipe peka. Demikian pula titik kompensasi cahaya (LCP), kecuali pada kondisi L2 (kontrol) dan L3 . Sebaliknya, genotipe toleran Ceneng memiliki respirasi gelap (R d) yang lebih rendah meskipun tidak berbeda nyata dengan genotipe peka Godek. Regulasi respirasi gelap pada Ceneng dan Godek tersebut sejalan dengan aktivitas enzim respirasi MDH dan AI (Gambar 24 dan 26). Grafik laju fotosintesis dan transpor elektron genotipe Ceneng dan Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat disajikan pada Gambar 30 dan 31. Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa laju fotosintesis dan laju transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng yang diberi kondisi intensitas cahaya rendah dapat dipertahankan pada level yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Godek, apabila dipindahkan ke intensitas cahaya tinggi maka laju fotosintesis dan laju transpor elektron meningkat lebih tinggi lagi. Hasil penelitian Oguchi et al. (2003) menggunakan Chenopodium album juga ditemukan bahwa apabila tanaman dipindahkan dari intensitas cahaya rendah ke intensitas cahaya tinggi, maka fotosintesis maksimum meningkat secara nyata. Transpor elekron yang diinduksi cahaya rendah berkaitan dengan aktivitas gen JJ3 sehingga dalam kondisi intensitas cahaya rendah, proses fotosintesis dapat berlangsung normal (Sopandie et al. 2006). Dalam cahaya penuh, gen JJ3 tidak terekspresi, tetapi terekspresi bila intensitas cahaya rendah bahkan ekspresinya semakin tinggi bila tidak ada cahaya (gelap).
(L2)
24
(L1)
21 18 A (µmol.m-2.s-1 )
A (µmol.m -2 .s -1 )
101
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 0 -4
-◊- = Ceneng -•- = Godek
15 12
-◊- = Ceneng -•- = Godek
9 6 3 0
200
400
600
800
1000
1200
-3
0
500
1000
1500
2000
2500
Intensitas Cahaya (µmol.m -2 .s-1)
Intensitas Cahaya (µmol.m-2.s-1)
250
250
.det -1 ) -2
150
J (umol.m
J (umol.m- 2 .s -1 )
-◊- = Ceneng -•- = Godek
200
-◊- = Ceneng -•- = Godek
200
100
150 100 50
50 0
0
0
150
300
450
600
750
900
Intensitas Cahaya (umol.m-2.s -1)
1050
1200
0
250
500
750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 -2
-1
Intensitas Cahaya (umol.m .det )
Gambar 30 Laju fotosintesis (A) dan transpor elektron (J) pada genotipe Ceneng dan Godek dalam kondisi cahaya L1 dan L2 ; (L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100% (kontrol))
19
102
A (µmol.m -2 .s -1 )
A (µmol.m-2.s -1)
19 14 9
-◊- = Ceneng -•- = Godek
4 -1 0
200
400
600
800
1000
14 9
-◊- = Ceneng -•- = Godek
4 -1
1200
0
-6
500
1000
1500
2000
2500
-6
Intensitas Cahaya (µmol.m-2.s -1)
Intensitas Cahaya (µmol.m-2.s-1)
250
250
-◊- = Ceneng -•- = Godek
200
-◊- = Ceneng -•- = Godek
-1
-1
.det )
200 J (umol.m .det )
(L4)
24
(L3)
24
J (umol.m
-2
-2
150
100
150 100 50
50
0 0 0
150
300
450
600
750 -2
900 -1
Intensitas Cahaya (umol.m .det )
1050
1200
0
250
500
750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 Intensitas Cahaya (umol.m -2.det-1)
Gambar 31 Laju fotosintesis (A) dan transpor elektron (J) pada genotipe Ceneng dan Godek dalam kondisi cahaya L3 dan L4 ; (L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L4 = 3 hari cahaya 100%+ 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%
103
Tabel 10 Laju fotosintesis maksimum (Amax ), laju transpor elektron maksimum (Jmax ), respirasi gelap (Rd), dan titik kompensasi cahaya (LCP) pada kedelai genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat Peubah
L1
Ceneng
L2 (kontrol)
Godek
Ceneng
Godek
L3
Ceneng
L4
Godek
Ceneng
Godek
Amax
16.80a 11.65b 22.69a 18.34b 15.92a 12.82b 20.92a 16.98b (74) (64) (70) (70) (92) (93) J max 146.38a 98.30b 172.71a 139.00b 135.78a 106.01b 162.83a 109.09b (84) (71) (78) (76) (94) (79) Rd -0.60a -0.85a -1.15a -1.24a -0.87a -0.94a -0.37a -0.42a (52) (69) (76) (76) (32) (34) LCP 19.97a 30.73b 65.43a 65.96a 26.22a 29.98a 15.40a 21.19b (31) (47) (40) (45) (24) (32) Keterangan : L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100% (kontrol), L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, dan L4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%; A max = laju fotosintesis maksimum, Jmax = transpor elektron maksimum, Rd = respirasi gelap, LCP = titik kompensasi cahaya; nilai genotipe pada kondisi cahaya dan peubah yang sama dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji t pada a0,05.; nilai dalam kurung = persentase (dibulatkan) terhadap kontrol.
Regulasi laju fotosintesis, laju transpor elektron, respirasi gelap, dan titik kompensasi cahaya, baik genotipe toleran Ceneng maupun genotipe peka Godek cukup fleksibel mengikuti kondisi intensitas cahaya yang terakhir diperoleh. Dalam kondisi L3 (on-off cahaya berakhir dengan intensitas cahaya 50%) semua peubah memperlihatkan penurunan tetapi pada kondisi L4 (on-off cahaya berakhir dengan intensitas cahaya 100%) maka semua peubah meningkat lagi. Penurunan peubah saat L3 tertinggi terjadi pada genotipe peka Godek sedangkan peningkatan peubah saat L4 tertinggi terjadi pada genotipe toleran Ceneng. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng lebih adaptif bila memperoleh intensitas cahaya rendah dan lebih fleksibel apabila dikembalikan ke dalam intensitas cahaya penuh. Sebaliknya, apabila berada pada intensitas cahaya rendah maka genotipe toleran Ceneng menurunkan LCP jauh lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Penurunan LCP tersebut juga diikuti oleh penurunan laju respirasi gelap yang drastis dalam genotipe toleran Ceneng.
Kandungan Sukrosa dan Pati Genotipe toleran Ceneng memiliki kandungan sukrosa dan pati yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan genotipe peka Godek baik pada intensitas cahaya 100% maupun 50% (Tabel 11). Pada intensitas cahaya 50%, kandungan sukrosa
104
dan pati pada Ceneng masing- masing mencapai 2.033 mg/g (82% kontrol) dan 8.097 mg/g (96% kontrol) sedangkan Godek hanya mencapai 1.657 mg/g (98% kontrol) dan 6.967 mg/g (93% kontrol). Tabel 11 Kandungan sukrosa dan pati genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Intensitas Cahaya (%) Peubah Sukrosa (mg/g) Pati (mg/g)
100 Ceneng 2.487 a 8.427 a
50 Godek 1.687 b 7.427 b
Ceneng 2.033 a (82) 8.097 a (96)
Godek 1.657 b (98) 6.967 b (93)
Keterangan : Nilai sebaris pada intensitas cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan 95%; nilai dalam kurung = persentase (dibulatkan) terhadap kontrol
Kandungan Sukrosa Sukrosa disintesis di dalam sitosol dari monosakarida glukosa dan fruktosa yang telah mengalami fosforilasi (Gambar 10). Kedua monosakarida tersebut merupakan produk fotosintesis, sehingga laju sintesis sukrosa akan sangat tergantung pada laju fotosintesis. Karena itu, menurunnya al ju fotosintesis dan aktivitas SPS pada intensitas cahaya rendah diikuti pula oleh menurunnya kandungan sukrosa (Egli dan Bruening 2001). Pada intensitas cahaya rendah, kandungan sukrosa genotipe toleran Ceneng lebih tinggi (2.033 mg/g) dibanding genotipe peka Godek (1.657 mg/g), meskipun persentase penurunan pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi (82% kontrol) dibanding genotipe peka Godek (98% kontrol). Hal tersebut dimungkinkan karena laju fotosintesis dan aktivitas SPS pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi. Fenomena demikian juga ditemukan pada padi gogo (Lautt et al. 2000, Soverda 2002).
Kandungan Pati Sintesis pati yang berlangsung dalam kloroplas dan dikatalisir oleh starch synthase (SS) sangat tergantung pada laju fotosintesis, sehingga semua faktor yang menghambat proses fotosintesis akan menghambat sintesis pati (Malkin dan Niyogi 2000). Pembentukan pati terjadi melalui suatu proses yang melibatkan sumbangan berulang unit glukosa dari gula nukleotida adenosin difosfoglukosa (ADPG) seperti ditunjunkkan pada Gambar 10.
105
Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa pembentukan pati di kloroplas akan meningkat seiring meningkatnnya intensitas cahaya karena enzim yang membentuk ADPG diaktifkan oleh 3-PGA dan dihambat oleh Pi (Preiss 1984). Kandungan 3-PGA meningkat saat intensitas cahaya tinggi karena terjadi penambatan CO2 yang lebih tinggi sedangkan kandungan Pi berkurang karena ditambahkan ke ADP untuk membentuk ATP selama fosforilasi fotosintesis. Kandungan pati yang diperoleh dalam penelitian ini, menurun seiring dengan menurunnya intensitas cahaya dan penurunan terbesar terjadi pada genotipe peka, mencapai 93% kontrol sedangkan pada genotipe toleran Ceneng masih mencapai 96 % kontrol (Tabel 11). Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa pada intensitas cahaya rendah, aktivitas fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi sehingga dihasilkan 3-PGA yang lebih banyak untuk mengaktifkan enzim pembentuk ADPG, sebaliknya Pi yang menghambat enzim pembentuk ADPG dapat dikurangi. Kondisi demikian, memungkinkan aktivitas SS yang lebih tinggi karena substrat yang disediakan fotosintesis relatif tinggi sehingga genotipe toleran Ceneng memiliki kandungan pati yang lebih tinggi pula dibanding genotipe peka Godek. Pada intensitas cahaya rendah, padi gogo toleran naungan juga memiliki pati yang lebih tinggi dibanding genotipe peka (Lautt et al. 2000). Pati merupakan salah satu bahan baku bagi proses respirasi. Aktivitas hidrolisis pati yang tinggi akan menyebabkan tingginya ketersediaan substrat respirasi yakni dalam bentuk gula heksosa sehingga laju respirasi akan semakin tinggi (Kassinee et al., 2004). Disamping itu, aktivitas hidrolisis pati yang tinggi akan menyebabkan rendahnya pati yang akan diakumulasi dalam biji sehingga hasil panenan dalam bentuk biji akan menjadi rendah. Murty dan. Sahu (1987) melaporkan bahwa rendahnya ketersediaan karbohidrat pada varietas padi yang peka, menyebabkan tingginya kehampaan. Penelitian Lautt et al. (2000) pada padi gogo juga memperlihatkan bahwa galur toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka ketika dinaungi 50 % saat vegetatif aktif. Hal yang sama ditemukan dalam percobaan ini, bahwa genotipe Ceneng yang toleran intensitas cahaya rendah memiliki kandungan pati yang lebih tinggi
106
dibanding genotipe Godek yang peka intensitas cahaya rendah. Kandungan pati pada genotipe toleran Ceneng mencapai 8.097 mg/g, sedangkan genotipe peka Godek hanya mencapai 6.967 mg/g. Ini berarti bahwa, ditinjau dari hubungan antara kandungan pati dan respirasi, maka genotipe toleran Ceneng diduga mempunyai laju respirasi yang lebih rendah. Ceneng
Kandungan Pati (mg/g bb)
10 9
Godek
8 7 6 5 4 3 2 1 0 L1
L2
L3
L4
Kandungan Sukrosa (mg/ g bb)
(a)
3.5 3.0
Ceneng
2.5
Godek
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 L1
L2
L3
L4
(b)
Gambar 32 Kandungan pati (a) dan sukrosa (b) pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat; L1 = 5 hari cahaya 50%, L2 = 5 hari cahaya 100%, L3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %; L4 = 3 hari cahaya 100%+ 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%. Kandungan sukrosa dan pati pada Ceneng dan Godek mengalami perubahan seiring dengan perubahan intensitas cahaya periode singkat. Pada Gambar 32b tampak bahwa perubahan kandungan sukrosa pada masing- masing kondisi cahaya terhadap kontrol dalam genotipe toleran Ceneng relatif lebih kecil dibandingkan dengan ge notipe peka Godek. Fenomena perubahan kandungan sukrosa tersebut mirip dengan perubahan kandungan pati (Gambar 32a).
107
Gambaran perubahan kandungan sukrosa dan pati di atas menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng kurang responsif dibandingkan genotipe peka Godek karena perubahannya relatif lebih kecil.
Ini berarti bahwa apabila terjadi
perubahan
toleran
intensitas
cahaya,
genotipe
Ceneng
lebih
mampu
mempertahankan kandungan sukrosa dan pati.
SIMPULAN Laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan laju respirasi gelap menurun akibat intensitas cahaya rendah, masing- masing hanya mencapai 71, 80, 71, dan 67% kontrol. Pada intensitas cahaya rendah, genotipe toleran Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan laju fotosintesis dan transpor elektron dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Laju fotosintesis dan transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng masingmasing mencapai 73 dan 85% kontrol sedangkan genotipe peka Godek hanya mencapai 68 dan 74% kontrol. Pada intensitas cahaya rendah, genotipe toleran Ceneng juga memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk menurunkan laju respirasi gelap sehingga titik kompensasi lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Titik kompensasi cahaya dan laju respirasi gelap pada genotipe toleran Ceneng masingmasing hanya mencapai 64 dan 60% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek masih mencapai 69 dan 84% kontrol. Kombinasi laju fotosintesis dan laju transpor elektron yang tinggi dengan laju respirasi gelap yang lebih rendah memungkinkan genotipe toleran Ceneng dapat menghasilkan sukrosa dan pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Pada intensitas cahaya 50%, kandungan sukrosa dan pati pada genotipe toleran Ceneng masih mencapai 2.033 mg/g dan 8.097 mg/g, sedangkan pada genotipe peka Godek hanya mencapai 1.657 mg/g dan 6.976 mg/g. Perubahan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, laju respirasi gelap, serta kandungan sukrosa dan pati sebagai respon atas perubahan intensitas cahaya periode singkat
pada kedua genotipe mengikuti
kondisi intensitas cahaya yang terakhir kali diterima.
PEWARISAN SIFAT EFISIENSI PENANGKAPAN CAHAYA PADA KEDELAI ABSTRAK Pemanfaat lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri akan optimal apabila menggunakan varietas yang adaptif terhadap intensitas cahaya rendah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui latar belakang kendali genetik dan menduga parameter genetik karakter efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai. Percobaan dilaksanakan di bawah paranet 50% dalam dua tahap: (1) menggunakan empat tetua kedelai untuk mempelajari hubungan berbagai karakter efisiensi penangkapan cahaya dan kontribusinya terhadap hasil serta besarnya ragam genetik, dan raga m lingkungan; (2) menggunakan populasi dialel untuk mempelajari heritabilitas, aksi gen, dan kemajuan genetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah polong berisi, luas daun trifoliat, kandungan klorofil, dan intensitas kehijauan daun berkorelasi positif dengan bobot biji/tanaman, sebaliknya jumlah polong hampa, kerapatan trikoma, ketebalan daun, dan panjang lapisan palisade berkorelasi negatif nyata dengan bobot biji/tanaman. Ragam genetik pada karakter-karakter tersebut lebih besar dibandingan dengan ragam lingkungan. Luas daun trifoliat memberikan kontribusi terbesar terhadap bobot biji/tanaman melalui kandungan klorofil dan jumlah polong berisi. Penampilan kerapatan trikoma, klorofil a, klorofil b, dan bobot biji/tanaman, tidak dipengaruhi tetua betina, dan pengaruh daya gabung umum lebih besar dibandingkan dengan pengaruh daya gabung khusus. Aksi gen yang mengendalikan kerapatan trikoma bersifat aditif. Klorofil a dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, klorofil b dikendalikan oleh aksi gen dominan. Kerapatan trikoma, kandungan klorofil a, dan kandungan klorofil b diwariskan dengan heritabilitas yang tinggi. Kemajuan genetik tertinggi diperoleh dengan menggunakan kerapatan trikoma sebagai karakter seleksi, disusul klorofil b dan klorofil b. Namun demikian, karakter-karakter tersebut tidak memenuhi syarat sebagai karakter seleksi karena memiliki nisbah CRy /Ry yang kurang dari satu. Kata kunci : analisis korelasi, sidik lintas, analisis dialel, heritabilitas, aksi gen, kemajuan genetik , kriteria seleksi
INHERITANCE OF LIGHT CAPTURE EFFICIENCY ON SOYBEAN ABSTRACT Land under tree canopy can be used if low light intensity adaptif plant are grew there. The aim of this research are to examine genetic control and knowing the genetic parameter of light capture efficiencies characters of soybean. Experiments used 50% light intensity and held in two step: (1) four parents (Ceneng, Pangrango, Godek and Slamet) was used to know the relationship among light capture efficiencies characters and their contribution to yield, genetic and environment variation, also heritability, and (2) diallel population was used to study combaining ability of the parents, heritability, gen action and genetic gain.
109
The result showed that filling pod number, leaves area, chlorophyll a and b content, total chlorophyll content and leaves colour index have significant positif correlation with seed weight per plant. But unfilling pod number, trichome density, palisade length, leaves thickness have significant negatif correlation with seed weight per plant. Trichome density have high contribution to seed weight per plant by chlorophyll a, chlorophyll b, and filling pod number. The appearance of filling pod number, seed weight per plant, leaves area, trichome and stomata density, leaves thickness, palisade length, chlorophyll content and leaves colour index are genetic factor. Trichome density, chlorophyll a, chlorophyll b, and seed weight per plant are not maternal effect and the effect of general combaining ability was bigger than specific combaining ability. Gen action that regulate trichome density is aditif. In chlorophyll a was controlled by the action of aditif and dominan gen, while in chlorophyll b was controlled by the action of dominan gen. Trichome density, chlorophyll a and b content are inheritance with high heritability. Trichome density have high the genetic gain following chlorophyll a and chlorophyll b, but cannot be used as selection character in the effort of seed weight per plant improvement because have ratio of CRY/RY less than one. Keywords : corelation analysis, path analysis, diallel analysis, selection, heritability, gen action, genetic gain , selection criterion
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketergantungan terhadap impor kedelai masih dapat dikurangi melalui upaya peningkatan luas tanam, namun upaya tersebut menghadapi kendala terbatasnya lahan- lahan subur. Salah satu alternatif peningkatan luas tanam yang masih tersedia dan cukup potensial adalah pada lahan- lahan tidur di bawah tegakan tanaman pekebunan dan hutan tanaman industri (HTI) (Pinem 2000). Lahan- lahan tersebut tergolong lahan bercekaman karena memiliki berbagai faktor pembatas antara lain intensitas cahaya rendah. Pada perkebunan karet umur 2, 3, dan 4 tahun, intensitas cahaya di bawah tegakan berturut-turut setara dengan naungan paranet 25%, 50%, dan 75% (Chozin et al. 1999). Penaungan yang kurang dari 30% tidak banyak berpengaruh negatif terhadap penerimaan cahaya oleh tanaman kedelai (Adisarwanto 2005), tetapi penanungan di atas 30% telah menurunkan produksi terutama pada genotipe peka intensitas cahaya rendah (Asadi dan Arsyad 1995, Asadi et al. 1997, Sopandie et al. 2003c). Uraian tersebut menunjukkan bahwa, untuk memanfaatkan lahan- lahan di bawah tegakan
110
diperlukan jenis kedelai yang dapat mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah atau jenis kedelai yang toleran naungan. Pada penelitian tumpangsari kedelai dengan jagung telah dilepas varietas Pangrango sebagai varietas yang adaptif terhadap naungan ringan 33% (Asadi dan Arsyad 1995, Asadi et al. 1997). Upaya pemuliaan kedelai yang adaptif untuk pola tumpangsari dengan tanaman perkebunan atau HTI dengan kondisi naungan yang lebih berat (± 50%), masih sangat terbatas. Upaya pemuliaan kedelai toleran naungan berat dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) identifikasi mekanisme efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya pada kedelai yang mendapat naungan berat, (2) mempelajari pola pewarisan karakter toleransi terhadap naungan berat, (3) menyeleksi galur-galur toleran terhadap naungan berat, dan (4) uji daya hasil dalam kondisi naungan berat pada waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diketahui terdapat keragaman yang besar dalam beberapa karakter morfo-anatomi dan fisiologis terkait efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya pada kedelai (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003c, Lestari 2005, Tyas 2006, Jurfri 2006). Berdasarkan subjudul 1, 2, dan 3 dalam penelitian ini diperoleh hasil yang lebih mendalam tentang keragaman karakter morfo-anatomi, pigmen, aktivitas enzim fotosintesis dan respirasi, serta laju fotosintesis dan respirasi. Informasi tersebut menunjukkan, terdapat peluang yang besar untuk merakit varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Sebelum menggunakan karakter-karakter di atas sebagai karakter seleksi, perlu diketahui korelasi dan kontribusinya terhadap hasil. Apabila di dalam populasi terdapat variabilitas genetik karakter efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah, maka terdapat peluang untuk menyeleksi genotipe- genotipe yang memiliki mekanisme tersebut. Selain itu, keberhasilan program pemuliaan juga tergantung pada pengetahuan tentang pola pewarisan karakter yang akan diperbaiki. Suatu karakter dapat diwariskan secara kualitatif ataupun secara kua ntitatif (Fehr 1987, Mangoendidjojo 2003). Karakter kualitatif dikendalikan oleh gen-gen major, sedangkan karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen minor (Soemartono et al. 1992, Roy 2000). Aksi gen yang mengendalikan suatu karakter dapat bersifat: aditif,
111
dominan, epistasis, atau overdominan (Poehlman dan Sleeper 1996, Chahal dan Gosal 2003). Tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai, perbaikan populasi didasarkan pada aksi gen aditif (Burton 1987), karena menurut Allard (1960) varians aditif dan aditif x aditif merupakan aksi gen yang terfiksasi dalam pembentukan galur murni. Upaya untuk mendapatkan rekombinasi dari sifat-sifat yang dibawa oleh tetua-tetua dapat diperoleh melalui persilangan buatan. Rancangan persilangan yang memungkinkan rekombinasi yang lebih luas dengan melibatkan banyak tetua adalah persilangan dialel. Analisis dialel merupakan suatu rancangan persilangan genetik yang banyak digunakan untuk memisahkan kontrol genetik dari kontrol lingkungan yang mengendalikan suatu karakter kuantitatif (Murtaza 2005). Analisis dialel dikembangkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme genetik yang terlibat dalam generasi awal (Khan dan Habib 2003) atau dalam generasi segregasi (Salem et al. 2005). Analisis dialel juga memungkinkan untuk memilih tetua dan memberikan informasi tentang daya gabung tetua dalam hibrida (de Sousa dan Maluf 2003) sehingga dapat membantu pemulia untuk meningkatkan dan menyeleksi populasi segregan. Menurut Dudley et al. (1999) analisis dialel memungkinkan dilakukannya penilaian daya gabung dan pendugaan komponen ragam serta parameter genetik. Persilangan dialel memungkinkan untuk melakukan analisis genetik yang sistematik dan lengkap, karena pada dialel lengkap dengan resiprokal dan selfing akan terbentuk populasi yang mendekati kesetimbangan Hardy-Weinberg dari suatu populasi kawin acak (Fehr 1987). Metode analisis dialel telah banyak dimanfaatkan untuk mempelajari dasar genetik suatu karakter, antara lain daya hasil (Bolanos-Aguilar et al. 2001), efisiensi hara (Gorny 1999), dan toleransi terhadap cekaman aluminium (Wu et al. 1997). Sejauh ini belum banyak informasi tentang dasar genetik dan pola pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai. Dalam beberapa penelitian pendahuluan diketahui bahwa dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah, karakter agronomi kedelai menunjukkan keragaman kontinyu. Karakter daya hasil dan jumlah polong per tanaman dalam naungan 50% diwariskan dengan heritabilitas masing- masing 0.29 (rendah) dan 0.87
112
(tinggi), serta adanya pengaruh tetua betina dala m pewarisan tinggi tanaman, luas daun, jumlah polong dan jumlah biji per polong (Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Hal ini menunjukkan adanya kendali dari gen- gen di sitoplasma baik dalam interaksinya dengan gen- gen pada inti maupun tidak (Matter dan Jinks 1982, Suryo 1995, Yunianti dan Sujiprihati 2006). Pada karakter kandungan khlorofil a, khlorofil b, dan karoten tidak terdapat pengaruh tetua betina, serta beberapa sifat morfologi daun dikendalikan oleh gen- gen major (Handayani 2003). Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa, sebelum melangkah pada pembentukan kultivar, perlu dipelajari herit abilitas, aksi gen pengendali, serta kemajuan genetik dari karakter yang diminati.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: (1) kendali genetik karakter efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai, dan (2) menduga parameter genetik efisiensi penangkapan cahaya.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di kebun Percobaan Balai Besar Biogen Cikeumeuh Bogor sedangkan analisis laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Research Group on Crop Improvement dan Laboratorium Ekofisiologi Institut Pertanian Bogor. Percobaan dilaksanakan dalam dua tahap; tahap pertama dilaksanakan pada Agustus sampai dengan Desember 2004 sedangkan penelitian kedua dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2005.
Percobaan Pertama : Analisis Hubungan antar Karakter Efisiensi Penangkapan Cahaya dan Kontribusinya Terhadap Hasil serta Analisis Ragam pada Tetua Percobaan pertama menggunakan empat tetua kedelai (Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet) untuk mempelajari hubungan antar berbagai karakter efisiensi penangkapan cahaya dan kontribusinya terhadap hasil serta besarnya ragam genetik, ragam lingkungan, dan heritabilitas dari karakter-karakter tersebut.
113
Empat tetua genotipe kedelai yakni Pangrango (G1 ), Ceneng (G2 ), Slamet (G3 ), dan Godek (G4 ) menjadi perlakuan. Masing- masing perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan menggunakan 50 tanaman. Percobaan berlangsung di bawah paranet 50% dan unit- unit percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Tanah di dalam paranet diolah sebanyak dua kali. Pada pengolahan tanah kedua, diikuti dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha. Selanjutnya, tiga butir benih kedelai dimasukkan ke dalam lubang tanam sedalam 2 – 3 cm yang sebelumnya telah diberi Carbofuran-3G dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Pada umur satu minggu setelah tanam (MST) tanaman diberi pupuk dengan dosis 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap lubang tanam hanya berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap lubang tanam hanya berisi satu tanaman. Selanjutnya dilakukan pemeliharaan tanaman sampai panen sesuai teknik budidaya kedelai optimum, antara lain pengendalian hama dan penyakit serta pengendalian tumbuhan pengganggu. Karakter yang diamati terdiri dari : jumlah polong berisi dan hampa, bobot 100 butir, bobot biji/tanaman, luas daun total, luas daun spesifik, luas daun trifoliat, kerapatan trikoma dan stomata, tebal daun dan ukuran lapisan palisade, kandungan klorofil (a, b, a/b, total), dan antosianin. Dalam setiap satuan percobaan diambil tiga sampel tanaman destruktif dan lima sampel tanaman produksi. Pengukuran karakter yang menggunakan daun, sampel yang dipilih adalah daun yang telah membuka penuh (daun ke 3 – 4 dari atas pada batang utama). Panen dilakukan setelah polong kehilangan warna hijaunya dengan cara menggunting tangkai polong yang telah kering dan tetap membiarkan tanaman kedelai tetap hidup dengan polong lain yang belum bisa dipanen. Pemeriksaan waktu panen dan pemanenan dilakukan setiap minggu. Pengukuran luas daun dilakukan pada umur 10 MST menggunakan leaf area meter. Luas daun total adalah luas seluruh daun yang terbentuk/tanaman, merupakan nilai rata-rata dari lima tanaman sampel sedangkan luas daun spesifik diperoleh dari luas daun total dibagi total berat kering daun (Evans dan Poorter 2001). Luas daun trifoliat diukur pada posisi daun ketiga dan keempat dari atas
114
pada batang utama, merupakan nilai rata-rata dari dua daun trifoliat dari lima tanaman sampel. Dalam pengamatan kerapatan trikoma, digunakan tiga trifoliat dari lima tanaman sampel pada umur 10 MST. Trikoma dari masing- masing daun trifoliat diamati pada permukaan daun bagian atas sebanyak 10 kali, sehingga nilai kerapatan trikoma dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 5 x 3 x 10 = 150 kali hasil pembacaan pada mikroskop dengan perbesaran 200x. Kerapatan stomata dianalisis pada umur 10 MST menggunakan metode imprint. Permukaan bawah daun (daun yang di tengah dari trifoliat) diolesi cutex transparan pada empat tempat berbeda dan setelah kering diangkat menggunakan selotif transparan. Selotif dengan cutex yang mengandung hasil copian stomata daun diamati di bawah mikroskop pada perbesaran 400x. Masing- masing selotif dibaca lima kali sehingga nilai kerapatan stomata dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 5 x 4 x 5 = 100 kali hasil pembacaan. Intensitas kehijauan daun diukur menggunkan chlorophyl meter (FJK Chlorophyll Tester CT-102) pada umur 10 MST. Daun trifoliat pada posisi ketiga dari atas pada batang utama diukur intensitas kehijauannya. Masing- masing helai daun dibaca intensitas kehijauannya pada empat titik sehingga nilai intensitas kehijauan pada suatu unit perlakuan merupakan rata-rata dari 5 x 3 x 4 = 60 kali pengukuran. Kandungan pigmen baik klorofil maupun antosianin juga diukur pada umur 10 MST. Analisis klorofil menggunakan metode Arnon (1949) yang telah dimodifikasi oleh Yoshida dan Parao (1976) (Lampiran 4) sedangkan analisis antosianin menggunakan metode yang dikembangkan Less dan Francis (1982) (Lampiran 5). Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan prosedur anova seperti ditunjukkan pada Tabel 12 (Mangoendidjojo 2003). Tabel 12 Anova pengujian karakter efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah Sember Keragaman (SK)
Derajat Bebas (DB)
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
KT Harapan
Kelompok
3-1
JKk
KTk (M 3 )
σ2 e + 4σ2 k
Genotipe
4-1
JKg
KTg (M 2 )
σ2 e + 3σ2 g
(3-1)(4-1)
JKe
KTe (M 1 )
σ2 e
Galat
115
Ragam galat (σ2 e) = M1 , sedangkan M2 = σ2 e + 3σ2 g, sehingga ragam genetik menjadi σ2 g =
M 1 − δ 2 e M 2 − M1 = . Selanjutnya ragam fenotipe (σ2 p) = 3 3
σ2 g + σ2 e dan karena setiap genotipe diulang tiga kali maka ragam fenotipe menjadi σ2 p = δ 2 g +
δ 2e sehingga perhitungan heritabilitas menjadi h2 = 3
δ 2g δ 2g = . 2 2 2 δ p δ g + 13 δ e
Keeratan hubungan antar karakter dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson dilanjutkan dengan analisis lintasan berdasarkan persamaan simultan sebagai berikut (Singh dan Chaundha ry 1979) : r r ....r 1p 11 12 r r ....r 2p 21 22 ..................... ..................... r p1 rp 2 ....r pp Rx
C1 C 2 .... .... Cp C
r 1y r 2y = .... .... rpy Ry
Berdasarkan persamaan di atas, nilai C dapat dihitung menggunakan rumus : C = Rx-1 Ry di mana : Rx = Matriks korelasi antar peubah bebas; Rx-1 = Invers matriks Rx; C = Vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung setiap peubah bebas yang telah dibakukan terhadap peubah tak bebas; Ry = Vektor koefisien korelasi antara peubah bebas Xi (i = 1, 2, ..., p) dengan peubah tak bebas Y. Percobaan Kedua : Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah Percobaan kedua menggunakan populasi dialel lengkap untuk mempelajari daya gabung tetua, heritabilitas, dan aksi gen yang mengendalikan karakter kerapatan stomata, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, dan bobot
116
biji/tanaman. Enam belas macam genotipe populasi dialel lengkap (6 F1, 6 F1 resiprok, dan 4 galur tetua) dari tetua Pangrango (P), Ceneng (C), Godek (G), dan Slamet (S) dijadikan perlakuan. Masing- masing perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan menggunakan 20 tanaman.
Percobaan berlangsung di bawah
paranet 50% dan unit-unit percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (Lampiran 3). Tanah di dalam paranet diolah sebanyak dua kali. Pada pengolahan tanah kedua, diikuti dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha. Selanjutnya, tiga butir benih kedelai dimasukkan ke dalam lubang tanam sedalam 2 – 3 cm yang sebelumnya telah diberi Carbofuran-3G dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Pada umur satu minggu setelah tanam (MST) tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap lubang tanam hanya berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap lubang tanam hanya berisi satu tanaman. Selanjutnya dilakukan pemeliharaan tanaman sampai panen sesuai teknik budidaya kedelai optimum, antara lain pengendalian hama dan penyakit serta pengendalian tumbuhan pengganggu. Karakter yang diamati terdiri dari : kandungan klorofil a dan b, kerapatan trikoma, serta bobot biji/tanaman. Pengukuran karakter-karakter tersebut menggunakan metode yang sama seperti pada percobaan pertama. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis silang dialel berdasarkan pendekatan Griffing Metode-1 dengan model statistik sebagai berikut: Yij = m + gi + gj + sij + rij + 1/bc ∑∑ eijkl; dimana ; Yij = rata-rata genotipe hasil persilangan tetua ke-i dan ke-j pada taraf k dan l, gi = pengaruh daya gabung umum tetua ke-i, gj = pengaruh daya gabung umum tetua ke-j, sij = pengaruh interaksi (= pengaruh daya gabung khusus), rij = pengaruh resiprok, dan 1/bc∑∑eijkl = pengaruh galat. Ragam total dalam populasi dipecah menjadi empat : daya gabung umum, daya gabung khusus, resiprok, dan galat (Tabel 13). Ragam daya gabung umum (σ2 u) digunakan untuk menduga ragam
aditif (σ2 A)
berdasarkan persamaan : σ2 A = 2σ2 u sedangkan ragam daya gabung khusus (σ2 k) digunakan untuk menduga ragam dominan (σ2 D) berdasarkan persaman σ2 D = σ2 k.
117
Tabel 13 Anova dialel lengkap Sember Keragaman
Kuadrat Tengah (KT=M )
KT Harapan
Daya gabung umum (u)
KTk (M u )
σ e + (2(n-1)2 /n)σ2 k + 2n σ2 u
Daya gabung khusus (k)
KTg (M k )
σ2 e + (2(n 2 -n+1)2 /n 2 )σ2 k
Resiprok (r)
KTr (M r)
σ2 e + 2σ2 r
Galat (e)
KTe (Me)
σ2 e
2
Keterangan : n = ulangan
Ragam galat (σ2 e) =
Me ; n
Ragam daya gabung umum (σ2 u) =
M + n( n − 1) M k 1 Mu − e 2 2n n − n +1
Ragam daya gabung khusus (σ2 k) =
n2 (M k − M e ) ; 2( n 2 − n + 1
Ragam resiprok (σ2 r) =
;
1 (M r − M e ) , 2
Nilai duga heritabilitas arti sempit (hns2 ) diperoleh dari
σ2A , σ 2 k + σ 2 r + σ 2e
kemudian digunakan untuk menduga kemajuan genetik. Perubahan dalam ratarata populasi (∆G) akibat seleksi dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Roy 2000): ∆G = kσphns2 , dimana k = diferensial seleksi standar dan σp = standar deviasi fenotipe.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Korelasi dan Analisis Lintasan Sifat yang Diamati pada Tetua Korelasi antar Sifat pada Tetua Korelasi antar karakter tanaman yang biasanya diukur dengan koefisien korelasi penting dalam pemuliaan tanaman karena koefisien ini mengukur derajat hubungan antara dua karakter atau lebih. Korelasi antar karakter sangat bermanfaat, selain untuk memprediksi respon ikutan (correlated respons) dalam penerapan seleksi tak langsung (indirect selection) Hasil analisis korelasi (Tabel 14) menunjukkan bahwa jumlah polong berisi, luas daun trifoliat, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, klorofil total, dan intensitas kehijauan daun berkorelasi positif nyata dengan hasil (bobot
Tabel 14 Koefisien korelasi parsial antar karakter X1 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13
1.00
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X11
X12
X13
tn
0.14
tn
0.003
tn
-0.17
tn
-0.05
tn
-0.10
0.23tn
-0.86**
-0.90**
0.69**
0.57*
0.64*
0.56*
0.88**
0.48 tn
0.73**
0.69**
-0.39tn
-0.22tn
-0.30tn
-0.29tn
-0.58*
-0.87**
-0.65*
-0.72**
0.87**
0.84**
0.88**
0.67*
0.91**
0.60*
-0.49 tn
tn
-0.05
-0.02
0.26
0.39
1.00
-0.52 tn
-0.16tn
-0.21tn
0.35tn
1.00
0.42 tn
0.51tn
-0.84**
0.23 tn
-0.36 tn
0.01 tn
-0.17 tn
0.01 tn
-0.22 tn
0.17
1.00
-0.84**
0.78**
0.04tn
0.28tn
-0.68**
1.00
-0.53tn
-0.04tn
-0.28 tn
1.00
0.23tn
0.40 tn
1.00
1.00
tn
tn
0.96** 1.00
tn
tn
-0.52
tn
0.33
tn
0.41
0.05tn
0.38tn
0.36tn
0.48tn
0.22tn
-0.80**
-0.83**
-0.79**
-0.81**
tn
-0.50
tn
X14
tn
-0.54
tn
-0.56
n
-0.66*
-0.62*
-0.60*
-0.63*
-0.57*
1.00
0.94**
0.94**
0.73**
0.89**
1.00
0.98**
0.81**
0.80**
1.00
0.78**
0.86**
1.00
0.63*
X14 Keterangan : X1 = Bobot 100 biji, X2 = Jlh Polong Isi, X3 = Jlh Polong Hampa, X4 = Luas Daun Trifoliat, X5 = Luas Daun Total, X6 = Luas Daun Spesifik, X7 = Kerapatan Trikoma, X8 = Ketebalan Daun, X9 = Panjang Lapisan Palisade, X10 = Klorofil a, X11 = Klorofil b, X12 = Klorofil Total, X13 = Intensitas Kehijauan Daun, * dan ** = Berpengaruh nyata pada taraf kepercahayaan 95% dan 99%
-0.77**
1.00
119
biji/tanaman) masing- masing dengan nilai r = 0.88, 0.91, 0.89, 0.80, 0.86, 0.63. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakterkarakter tersebut maka, produksi biji/tanaman akan meningkat pula. Jadi, upaya peningkatan produksi biji/tanaman dapat dilakukan dengan cara meningkatkan: jumlah polong berisi, luas daun trifoliat, dan kandungan klorofil. Korelasi yang tinggi antara berbagai karakter di atas dengan hasil menjadi informasi yang penting bagi program pemuliaan karena seleksi terhadap genotipe berdaya hasil tinggi dapat dilakukan secara tidak langsung melalui karakter-karakter tersebut. Pandini et al. (2002) menjelaskan bahwa perbaikan hasil dapat dilakukan dengan menyeleksi karakter yang berkorelasi tinggi dengan hasil. Sebaliknya, karakter yang berkorelasi negatif nyata dengan bobot biji/tanaman adalah jumlah polong hampa (r = -0.58), kerapatan trikoma (r = 0.81), ketebalan daun (r = -0.66), dan panjang lapisan palisade (r = -0.77) yang berarti bahwa bobot biji/tanaman akan meningkat apabila trikoma sedikit, daun tipis, dan lapisan palisade pendek. Jadi, upaya peningkatan bobot biji/tanaman dapat dilakukan dengan cara menyeleksi tanaman yang memiliki polong hampa dan kerapatan trikoma yang lebih rendah serta daun yang tipis. Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Buzzel dan Buttery (1984) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang negatif nyata antara ketebalan daun dengan laju fotosintesis. Sidik Lintas Kontribusi setiap karakter terhadap hasil (bobot biji/tanaman), baik langsung maupun tidak langsung dianalisis melalui sidik lintas. Karakter yang dilibatkan dalam analisis ini adalah karakter yang memiliki korelasi nyata dengan hasil dan dibangun berdasarkan hubungan sebab-akibat. Be rdasarkan asumsi hubungan sebab-akibat, jumlah polong berisi akan memberikan kontribusi langsung terhadap hasil (bobot biji/tanaman) sedangkan karakter lainnya akan memberikan kontribusi secara tidak langsung. Dalam kondisi intensitas cahaya rendah, luas daun akan mempengaruhi hasil melalui dua lintasan : (1) kerapatan trikoma dan ketebalan daun dan (2) kandungan klorofil sedangkan kerapatan trikoma dan ketebalan daun mempengaruhi hasil melalui kandungan klorofil. Selanjutnya, kandungan klorofil akan mempengaruhi hasil melalui komponen hasil jumlah polong berisi.
0.87* -0.84*
X4
X1
Pengaruh Melalui
Peubah Terikat (Y)
X2. X4. X6
-0.19
X2. X5. X6
-0.70
X3. X4. X6
0.33
X3. X5. X6
0.25
X4. X6
0.54
X5. X6
0.48
X4. X6
-2.23
X5. X6
-2.06
X4. X6
-1.62
X5. X6
-1.75
-0. 87
*
9 0.6
-0.5 2 ns
*
X2
Peubah Bebas (X)
X6
Y
0.5 7
*
X1
0.96*
0 -0.8
65 -0.
X2
*
*
X3
-0.50ns
X5
X3
0.84* X4
X6
1.54
X5
X6
1.34
X6
0.96
Gambar 31 Lintasan hubungan sebab-akibat antara bobot biji/tanaman (Y) dengan luas daun trifoliat (X1 ), kerapatan trikoma (X2 ), tebal daun (X3 ), klorofil a (X4 ), klorofil b (X5 ), dan jumlah polong berisi (X6 ). * = berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan ≤ 95%; ns = tidak berpengaruh nyata
120
0.87* -0.84*
Pengaruh Melalui
Peubah Terikat (Y)
X1
X2. X4. X6
0.48
X2. X5. X6
0.38
X3. X4. X6
0.22
X3. X5. X6
0.18
X4. X6
0.58
X5. X6
0.46
X4. X6
-0.56
X5. X6
-0.44
X4. X6
-0.34
X5. X6
-0.27
X4
X6
0.66
X5
X6
0.55
X4
-0. 87
*
9 0.6
-0.5 2 ns
*
X2
Peubah Bebas (X)
X6
Y
0.5 7
*
X1
0.96*
0 -0.8
65 -0.
X2
*
*
X3
-0.50ns
X5
X3
0.84*
X6
0.96
Gambar 33 Lintasan hubungan sebab-akibat antara bobot biji/tanaman (Y) dengan luas daun trifoliat (X1 ), kerapatan trikoma (X2 ), tebal daun (X3 ), klorofil a (X4 ), klorofil b (X5 ), dan jumlah polong berisi (X6 ). * = berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan ≤ 95%; ns = tidak berpengaruh nyata
121
Hasil analisis (Gambar 33) menunjukkan bahwa klorofil a dan klorofil b memberikan kontribusi terhadap bobot biji/tanaman melalui jumlah polong berisi (X6 ) masing- masing sebesar 0.66 dan 0.55. Pengaruh luas daun trifoliat (X1 ) terhadap bobot biji/tanaman (Y) tertinggi (0.48) dicapai melalui lintasan X2 (kerapatan trikoma), X4 (kandungan klorofil a), dan X6 (jumlah polong berisi). Pengaruh kerapatan trikoma terhadap bobot biji/tanaman tertinggi (-0.56) diperoleh melalui lintasan X4 (klorofil a) dan jumlah polong berisi (X6 ). Pengaruh ketebalan daun tertinggi (-0.34) juga diperoleh melalui lintasan X4 (klorofil a) dan jumlah polong berisi (X6 ). Berdasarkan informasi di atas, dapat dikemukakan bahwa terdapat hubungan sebab-akibat yang erat antara luas daun trifoliat, kerapatan trikoma, dan kandungan klorofil. Daun yang luas akan mengurangi kerapatan trikoma sehingga jumlah cahaya yang akan direfleksikan dapat dihindari. Daun yang luas juga menyebabkan daun menjadi lebih tipis serta mengandung klorofil yang lebih merata dan lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan kemampuan untuk menghindari jumlah cahaya yang ditransmisikan. Fenomena bahwa luas daun mengurangi kerapatan trikoma, menurunkan ketebalan daun serta meningkatkan kandungan klorofil mengindikasikan adanya peristiwa pleiotropi. Pleiotropi adalah suatu peristiwa yang terjadi apabila satu gen pada suatu lokus atau satu set gen pada beberapa lokus mengendalikan dua atau lebih sifat yang berbeda (Falconer dan Mackay 1996). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah, seleksi terhadap daun yang luas dimungkinkan memperoleh kerapatan trikoma yang rendah, daun yang tipis, dan kandungan klorofil yang lebih tinggi, atau seleksi terhadap kerapatan trikoma yang rendah dimungkinkan memperoleh daun yang luas dan tipis serta kandungan klorofil yang tinggi, dan seterusnya. Informasi ini menunjukkan bahwa seleksi terhadap satu karakter memberi peluang untuk memperoleh karakter lainnya. Keragaman Karakter Hasil analisis (Tabel 15) menunjukkan bahwa dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah jumlah polong berisi, bobot biji/tanaman, luas daun trifoliat, kerapatan trikoma dan stomata, tebal daun dan lapisan palisade,
122
kandungan klorofil, dan intensitas kehijauan daun memiliki ragam genetik (s 2 g) yang lebih besar dibandingkan dengan ragam lingkungan ( s 2 e). Hal ini menunjukkan bahwa peranan faktor genetik terhadap ekspresi karakter-karakter tersebut lebih besar dibandingkan dengan peranan faktor lingkungan. Sebaliknya, jumlah polong hampa, bobot 100 butir, luas daun total, luas daun spesifik, dan kandungan antosianin memiliki ragam genetik yang lebih kecil dibandingkan ragam lingkungan. Ini berarti, peranan faktor non- genetik terhadap ekspresi karakter-karakter tersebut lebih besar dibandingkan dengan peranan faktor genetik. Ekspresi suatu karakter yang lebih banyak dipengaruhi faktor genetik akan mudah diwariskan, sedangkan karakter yang lebih banyak dipengaruhi faktor lingkungan akan sukar diwariskan (Falconer 1985). Tabel 15 Ragam genetik, ragam lingkungan, dan ragam fenotip beberapa karakter agronomi, morfo-anatomi, dan pigmen pada kedelai dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah Peubah Jumlah polong isi
Komponen Ragam 2
s p
s 2e
s 2g
199.889
7.203
192.687
Jumlah polong hampa
8.802
4.932
3.869
Bobot 100 biji
2.489
2.411
0.789
Bobot biji per tanaman
3.373
0.729
2.644
Luas daun total
70948.210
45250.080
25698.130
Luas daun spesifik
10791.210
7211.030
3580.170
Luas daun trifoliat
38.100
6.760
31.340
Kerapatan trikoma
9163.710
3468.580
5695.140
Kerapatan stomata
3.760
1.740
2.020
Ketebalan daun
0.140
0.050
0.100
Panjang lapisan palisade
0.050
0.010
0.030
Klorofil a
0.065
0.010
0.055
Klorofil b
0.015
0.002
0.012
Klorofil total
0.112
0.009
0.103
Nisbah klorofil a/b
0.070
0.032
0.038
0,0157
0,0045
0,0112
0.005
0.003
0.002
Intensitas kehijauan daun Antosianin
Keterangan : s 2 g = ragam genetik, s 2 e = ragam lingkungan, s 2 p = ragam fenotipe
123
Analisis Dialel Analisis dialel merupakan suatu rancangan persilangan genetik yang banyak digunakan untuk memisahkan kontrol genetik dari kontrol lingkungan yang mengendalikan suatu karakter kuantitatif (Murtaza 2005), dikembangkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme genetik yang terlibat dalam generasi awal (Khan dan Habib 2003) atau dalam generasi segregasi (Salem et al. 2005). Analisis dialel juga memungkinkan memperoleh informasi daya gabung tetua (de Sousa dan Maluf 2003), nilai duga komponen ragam, serta parameter genetik (Dudley et al. 1999). Persilangan dialel memungkinkan analisis genetik yang sistematik dan lengkap (Fehr 1987). Menurut Singh dan Chaundhary (1979) dan Roy (2000), dalam penerapan persilangan dialel dibutuhkan asumsi sebagai beriktut: (1) merupakan segregasi diploid, (2) tidak terdapat pengaruh tetua (tidak terdapat perbedaan resiprok), (3) aksi gen beda alel bersifat independen, (4) tidak terdapat peristiwa multiple allel, (5) tetua bersifat homosigot, (5) gen-gen terdistribusi secara bebas di antara tetua, dan (6) koefisien inbriding sama dengan satu. Berdasarkan informasi tersebut, maka maka tahapan analisis dialel pada penelitian ini mencakup pengujian asumsi ada-tidaknya pengaruh tetua betina, pendugaan daya gabung, pendugaan aksi gen, dan pendugaan heritabilitas. Selanjutnya, nilai duga komponen ragam dan heritabilitas digunakan untuk menduga kemajuan seleksi untuk daya hasil.
Pada lingkungan bercekaman,
perbaikan daya hasil menghadapi kendala karena faktor-faktor yang menyebabkan penurunan hasil sulit dipisahkan dan dikendalikan oleh banyak gen sehingga cenderung memiliki heritabilitas yang rendah. Hal ini menyebabkan seleksi terhadap daya hasil memberikan kemajuan seleksi yang rendah sehingga pemanfaatan kemajuan seleksi karakter sekunder menjadi penting. Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Pewarisan maternal terjadi jika faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat di luar nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma tetua betina (Yunianti dan Sujiprihati 2006) sehingga apapun genotipe turunan, fenotipenya akan sama dengan tetua betina. Tetua jantan yang memberikan pollen (serbuk sari) sama sekali tidak berpengaruh (Suryo 1995).
124
Informasi tentang pengaruh tetua betina sangat penting bagi pemulia dalam kaitannya dengan jenis persilangan yang akan diterapkan dan sebaran gen-gen pengendali karaktaer yang sedang dipelajari. Apabila terdapat pengaruh tetua betina maka persilangan dialel penuh akan menjadi pilihan karena gen-gen pengendali karakter tersebar pada tetua yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam keadaan ternaungi terdapat pengaruh genotipe yang sangat nyata terhadap penampilan kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan hasil biji/tanaman( Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa dari seluruh genotipe yang diuji paling kurang terdapat satu pasang nilai tengah genotipe yang berbeda nyata. Tetapi nilai duga resiprok berpengaruh tidak nyata (Tabel 17) yang berarti bahwa pasangan nilai tengah resiprok tidak berbeda nyata. Hasil uji t (Tabel 18) juga memberikan hasil yang sama dimana rata-rata suatu persilangan tidak berbeda nyata dengan persilangan resiproknya. Nilai duga resiprok yang tidak berpengaruh nyata merupakan isyarat bahwa tidak terjadi pengaruh tetua betina (maternal effect) sehingga dapat dikemukakan bahwa hasil pengujian ini memenuhi asumsi analisis dialel. Tabel 16 Anova kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman dalam intensitas cahaya rendah Sumber Keragaman
Kerapatan Trikoma
Derajat Bebas
Ulangan Perlakuan Error CV (%)
2 15 30
0.0752 12.6322** 0.2294 8.17%
Klorofil a
Klorofil b
Kuadrat Tengah 0.0019 0.0022 0.1558** 0.0342** 0.0098 0.0023 4.16% 4.75%
Bobot biji/ Tanaman 0.0059 6,5236** 2,1703 33.41%
Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata
Handayani (2003) dalam penelitiannya menggunakan kedelai juga melaporkan bahwa tidak terjadi pengaruh tetua betina terhadap kandungan klorofil. Soverda (2002) juga menemukan hal yang sama dalam penelitiannya menggunakan padi gogo. Tidak adanya pengaruh tetua betina mengindikasikan bahwa gen yang mengendalikan sifat efisiensi penangkapan cahaya terdapat di dalam inti sel, bukan dalam sitoplasma. Dengan demikian tetua Pangrango dan Ceneng yang merupakan tetua toleran intensitas cahaya rendah dapat digunakan sebagai tetua pada persilangan, baik sebagai tetua jantan maupun tetua betina untuk
125
mempelajari pola pengendalian karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil a dan b, serta bobot biji/tanaman. Tabel 17 Anova daya gabung untuk kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman dalam intensitas cahaya rendah Sumber Keragaman Daya Gabung Umum Daya Gabung Khusus Resiprok Error
Derajat Bebas
Kerapatan Trikoma
3 6 6 30
13.4282** 3.6930** 0.1197ns 0.0765
Klorofil a
Klorofil b
Kuadrat Tengah 0.1615** 0.0284** 0.0485** 0.0141** 0.0005ns 0.0002ns 0.0033 0.0008
Bobot biji/ Tanaman 8.2521** 1.5622** 0.3143ns 0.2431
Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata; ns = berpengaruh tidak nyata
Tabel 18 Hasil uji t pengaruh tetua betina untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan hasil biji/tanaman Karakter Kerapatan trikoma
Persilangan PC : CP PG : GP PS : SP
4.83 : 4.40
-3.38
0.0775
-0.09
tn
0.9345
3.17
tn
0.0869
tn
0.9356
3.87 : 3.83
0.09
5.28 : 5.78
-0.78 tn
0.5166
tn
0.0804
PC : CP PS : SP CG : GC CS : SC GS : SG
9.21 : 10.17 2.58 : 2.62 2.10 : 2.10 2.41 : 2.39 2.68 : 2.63 2.60 : 2.63 2.19 : 2.22
-3.31
tn
0.6611
tn
0.9463
tn
0.8406
tn
0.5718
tn
0.7300
tn
0.8198
tn
0.51
-0.08 0.23 0.67
-0.40 -0.26
PC : CP
1.05 : 1.09
0.74
0.5386
PG : GP
0.93 : 0.94
0.37tn
0.7441
0.95 : 0.95
tn
0.9928
tn
0.8560
tn
0.8393
tn
0.2920
tn
0.3519
tn
0.6767
tn
PS : SP CG : GC CS : SC GS : SG Bobot biji/tanaman
6.10 : 6.06
Pr > |t|
tn
CS : SC
PG : GP
Klorofil b
3.74 : 3.48
t hitung
CG : GC GS : SG Klorofil a
Rata-rata
PC : CP PG : GP
1.24 : 1.24 0.99 : 0.97 0.94 : 0.92 5.23 : 4.06 3.71 : 4.28
0.01 0.21 0.23 1.42
-1.20 0.48
PS : SP
2.23 : 3.53
-2.53
0.1271
CG : GC
4.01 : 3.66
0.52tn
0.6572
4.63 : 4.44
tn
0.4702
CS : SC
0.88
tn
GS : SG 3.68 : 3.18 -1.13 0.3747 Keterangan : P=Pangrango, C=Ceneng, G=Godek, S=Slamet; tn=tidak berbeda nyata berdasarkan prosedur t test cochran
126
Daya Gabung Hasil analisis daya gabung umum dan daya gabung khusus untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil a dan b, serta bobot biji/tanaman menunjukkan bahwa nilai duga daya gabung umum dan daya gabung khusus berpengaruh nyata terhadap karakter yang diuji (Tabel 17), yang berarti bahwa dari seluruh genotipe yang diuji paling kurang terdapat satu pasang genotipe dengan nilai tengah daya gabung umum dan daya gabung khusus yang berbeda nyata. Daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam genetik aditif (Bolanos-aquilar et al. 2001). Daya gabung umum yang tinggi untuk karakter kerapatan trikoma, klorofil a, klorofil b, dan bobot biji/tanaman menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif. Fronza et al. (2004) mengemukakan bahwa ragam aditif yang tinggi mengindikasikan tingginya kontribusi pengaruh aksi gen aditif terhadap karakter yang dipelajari. Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dapat difiksasi sehingga seleksi terhadap karakter tersebut dapat dilakukan pada generasi awal (Noshin et al. 2003). Ragam aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi (Allard 1960). Daya gabung khusus merupakan ekspresi ragam genetik non-aditif, dominan dan epistasis (Bolanos-aquilar et al. 2001). Mahmood et al. (2002) menjelaskan bahwa nilai daya gabung khusus yang tinggi menunjukkan adanya pengaruh aksi gen non-aditif yang tinggi pada karakter tersebut. Berdasarkan Tabel 17, pengaruh daya gabung khusus bersifat sangat nyata, maka dapat dikemukakan bahwa peranan aksi gen dominan dan epistasis pada karakter yang dipelajari juga signifikan. Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen dominan dan epistasis sulit diseleksi pada generasi awal (Ambreen et al. 2002, Noshin et al. 2003), karena itu seleksi harus ditunda (Fehr 1987). Pada semua karakter yang dipelajari, pengaruh daya gabung umum lebih besar dari pengaruh daya gabung khusus. Hal ini menunjukkan bahwa aksi gen aditif memiliki peranan yang lebih besar terhadap karakter yang dipelajari dibandingkan dengan peranan aksi gen non-aditif. Nilai duga daya gabung umum tertinggi untuk karakter kerapatan trikoma, klorofil a, klorofil b, dan bobot
127
biji/tanaman terdapat pada tetua Ceneng (Tabel 19). Data ini mengindikasikan bahwa tetua Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mewariskan karakter-karakter tersebut, sehingga mudah diamati dan diseleksi pada keturunannya. Karena itu Ceneng dapat dipilih menjadi tetua persilangan sebagai donor sifat efisiensi penangkapan cahaya, baik sebagai jantan maupun sebagai betina. Mahmood et al. (2002) menjelaskan bahwa tetua yang memiliki daya gabung umum tinggi dapat digunakan sebagai donor sifat yang sedang dipelajari. Tabel 19 Daya gabung umum dan daya gabung khusus untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman Karakter
Pengaruh daya gabung umum GG
Pengaruh daya gabung khusus
PP
CC
SS
PC
PG
PS
CG
CS
GS
K_trk
-0.79
-1.19
0.06
0.16
-0.05
-0.12
-1.52
-1.74
0.00
1.63
Klr_a
-0.03
0.09
-0.08
-0.04
0.04
-0.13
0.11
0.19
0.09
0.00
Klr_b
-0.02
0.04
-0.01
-0.04
0.00
-0.05
0.02
0.16
-0.04
-0.01
BBT -0.22 0.64 -0.34 -0.34 -0.57 0.93 -0.20 0.94 -0.26 0.77 Keterangan : K_trk = kerapatan trikoma, Klr_a = klorofil a, Klr_b = klorofil b, BBT = bobot biji/tanaman
Kandungan klorofil a dan kerapatan trikoma memiliki daya gabung umum yang lebih tinggi dibandingkan dengan daya gabung khusus (Tabel 19) yang berarti bahwa peranan aksi gen aditif sangat besar dalam mengendalikan karakter tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Pandini et al. (2002) melaporkan bahwa suatu karakter dengan kontribusi pengaruh daya gabung umum yang nyata mengindikasikan adanya aksi gen aditif dan memungkinkan diperoleh kemajuan genetik yang besar dalam program pemuliaan intra populasi. Berdasarkan Tabel 19, juga diketahui bahwa daya gabung khusus tertinggi untuk karakter kerapatan trikoma, klorofil a, klorofil b, dan bobot biji/tanaman terdapat pada persilangan Ceneng x Godek. Ini berarti, untuk karakter-karakter tersebut maka penampilan progeni terbaik akan diperoleh dari persilangan Ceneng x Godek. Daya gabung khusus merupakan ekspresi pengaruh gen- gen non-aditif (Bolanos-aquilar et al. 2001, Mahmood et al. 2002). Aksi Gen Pengendali Berdasarkan hasil analisis ragam genetik aditif dan dominan (Tabel 20), dapat diduga bahwa ekspresi karakter kerapatan trikoma dan kandungan klorofil
128
kedelai dalam keadaan ternaungi dikendalikan oleh aksi gen-gen aditif dan dominan dengan pengaruh lingkungan yang kecil. Nilai duga ragam genetik aditif untuk karakter kerapatan trikoma dan bobot biji/tanaman lebih besar dari nilai duga ragam genetik dominan. Hasil ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya bahwa peranan aksi gen aditif untuk kerapatan trikoma dan bobot biji/tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan aksi gen non-aditif (dominan). Khan dan Habib (2003) juga menemukan bahwa hasil biji Triticum aestivum L. dikendalikan oleh aksi gen aditif. Aksi gen demikian mudah difikasasi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Ambreen et al. 2002, Noshin et al. 2003, Khan dan Habib 2003). Tabel 20 Ragam genetik aditif (s 2 gA) dan ragam genetik dominan (s 2 gD), kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman kedelai pada keadaan ternaungi Karakter
Komponen Ragam s 2 gA
s 2 gD
Kerapatan trikoma
2.503
2.226
Klorofil a
0.029
0.028
Klorofil b
0.004
0.008
Bobot biji/tanaman.
1.698
0.812
Aksi gen yang mengendalikan karakter kerapatan trikoma belum dilaporkan baik pada kedelai maupun tanaman lainnya. Namun demikian, pada Arabidopsis, perkembangan trikoma bersifat kompleks dan melibatkan gen-gen yang mengatur kerapatan dan morfologi trikoma (Szymanski et al.1998). Pada kedelai cultivar Clark, kepadatan trikoma telah menjadi penciri untuk membedakan galur- galur isogenik dan Clark tetraploid (Rosaria et al. 2004). Pada karakter kandungan klorofil a nilai duga ragam genetik aditif kurang lebih sama dengan nilai duga ragam genetik dominan yang berarti bahwa peranan aksi gen aditif relatif sama dengan aksi gen dominan dalam mengendalikan kandungan klorofil a. Sebaliknya, pada kandungan klorofil b, nilai duga ragam genetik aditif lebih kecil dibanding nilai duga ragam genetik dominan yang berarti bahwa peranan aksi gen dominan lebih besar dalam mengendalikan kandungan klorofil b dibandingkan dengan aksi gen aditif.
129
Hasil di atas menunjukkan bahwa aksi gen yang mengendalikan kerapatan trikoma dan bobot biji/tanaman bersifat aditif, kandungan klorofil a bersifat aditifdominan, sedangkan kandungan klorofil b bersifat dominan. Tanaman kedelai sebagai tanaman yang menyerbuk sendiri, maka perbaikan efisiensi penangkapan cahaya menggunakan karakter kerapatan trikoma yang aksi gen pengendalinya bersifat aditif akan memberikan harapan yang lebih besar. Menurut Allard (1960) ragam aditif dan aditif x aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi. Aksi gen aditif merupakan komponen penting sebagai penyebab utama kemiripan antar kerabat (resemblance between relative). dan merupakan penentu utama sifat genetik yang dapat diamati dari populasi serta penentu tanggapan populasi terhadap seleksi (Soemartono et al. 1992). Apabila perbaikan efisiensi penangkapan cahaya akan dilakukan melalui kandungan klorofil terutama klorofil b maka seleksi sebaiknya dilakukan pada generasi yang lebih lanjut. Apabila suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan maka seleksi pada generasi awal tidak akan efektif (Mahmood et al. 2002. Noshin et al. 2003. Khan dan Habib 2003). Penundaan seleksi ini akan meningkatkan ragam aditif karena meningkatnya homozigositas (Fehr 1987). Heritabilitas Berdasarkan hasil analisis menggunakan ragam fenotipe dan ragam genetik aditif, diketahui bahwa heritabilitas arti luas untuk karakter kerapatan trikoma. kandungan klrofil a dan b. serta bobot biji/tanaman tergolong tinggi (Tabel 21). Untuk heritabilitas arti sempit, yang tergolong tinggi adalah kerapatan trikoma dan bobot biji/tanaman sedangkan untuk kandungan klorofil a dan b tergolong sedang. Hal ini sesuai dengan klasifikasi heritabilitas oleh Stansfield (1988) dan Mangoendidjojo (2003) : h2 > 50% = tinggi. 20% ≤ h2 ≤ 50% = sedang. dan h2 < 20% = rendah. Rahmadi et al. (1996) juga menemukan heritabilitas yang tinggi untuk karakter bobot biji/tanaman pada kedelai yang ditumpangsarikan dengan singkong. Dalam kondisi normal tanpa cekaman intensitas cahaya rendah, karakter hasil pada kedelai juga memiliki heritabilitas yang tinggi (Burton 1987). Berdasarkan nilai duga heritabilitas di atas (Tabel 21), dapat dikemukakan bahwa seleksi sifat efisiensi penangkapan cahaya akan lebih efektif apabila
130
menggunakan karakter kerapatan trikoma. Kerapatan trikoma dengan nilai heritabilitas yang tinggi akan memberikan harapan yang besar dalam perakitan varietas tanaman kedelai yang lebih efisien dalam menangkap cahaya. Perakitan varietas ini dapat dilakukan melalui seleksi pedigree atau seleksi bulk (Fehr 1987). Tabel 21 Heritabilitas arti luas (h2 bs) dan heritabilitas arti sempit (h2 ns) dari kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman kedelai pada keadaan ternaungi Karakter
Heritabilitas
Kriteria
h 2bs
h 2ns
Krptn trikoma
98.41
52.09
Tinggi
Klorofil a
94.53
48.26
Sedang
Klorofil b
93.75
29.69
Sedang
Bobot biji/tanaman.
91.17
61.68
Tinggi
Nilai heritabilitas menunjukkan besarnya proporsi faktor genetik dalam fenotipe suatu karakter (Fehr 1987, Falconer dan Mackay 1996). Hal ini menunjukkan bahwa, nilai heritabilitas dapat digunakan untuk menduga gen-gen pengendali suatu karakter. Nilai duga heritabilitas yang rendah mengindikasikan karakter tersebut merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan banyak gen. Pada karakter semacam ini. pengaruh lingkungan terhadap fenotipe sangat besar. Sebaliknya. nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa karakter tersebut merupakan karakter yang dikendalikan oleh gen-gen mayor.
Kemajuan Genetik Apabila seleksi telah dilakukan terhadap suatu populasi tanaman, diharapkan tanaman yang terpilih akan memberikan hasil yang lebih baik. Besarnya kenaikan hasil yang akan diperoleh dapat diperkirakan dengan menghitung kemajuan genetik. Kemajuan genetik diartikan sebagai kemajuan seleksi yang dilakukan. Dalam pendugaan kemajuan genetik, diperlukan pengenalan secara baik terhadap populasi beserta keragamannya dan pengetahuan mengenai besarnya heritabilitas. Berdasarkan hasil analisis ragam genetik dan heritabilitas dapat diduga kemajuan genetik (∆G) (Tabel 22). Apabila dari populasi dasar dipilih 10% yang
131
terbaik untuk digunakan sebagai material seleksi pada siklus berikutnya maka kemajuan genetik untuk karakter kerapatan trikoma, klorofil a, klorofil b, dan bobot biji/tanaman masing- masing sebesar 3.80, 0.41, 0.19, dan 2.66. Data tersebut mengindikasikan bahwa dengan memilih 10% tanaman yang memiliki kerapatan trikoma paling rendah, diperkirakan kemajuan seleksi yang akan dicapai adalah 3.80/cm2 luas daun. Artinya diperkirakan, kerapatan trikoma akan berkurang sebanyak 3.80/cm2 luas daun.
Apabila seleksi dilakukan terhadap
kandungan klorofil a dan b, diperkirakan kemajuan seleksi yang akan dicapai masing- masing adalah 0.41 dan 0.19 mg/g berat basah daun. Ini berarti pada kandungan klorofil a dan b, masing- masing akan meningkat sebesar 0.41dan 0.19 mg/g berat basah daun. Kemajuan seleksi sebesar 2.66 g/tanaman akan dicapai apabila seleksi menggunakan bobot biji/tanaman. Artinya bobot biji/tanaman akan meningkat sebesar 2.66 g/tanaman. Tabel 22 Kemajuan genetik (∆G) dan respon ikutan (CRy /Ry ) dari kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman kedelai pada keadaan ternaungi Karakter
∆G
CRy /Ry
Krapatan trikoma
3.80
0.97
Klorofil a
0.41
0.89
Klorofil b
0.19
0.55
Bobot biji/tan.
2.66
Apabila diinginkan memperbaiki sifat bobot biji/tanaman (karakter utama = Y) melalui karakter sekunder (X) seperti kerapatan trikoma atau klorofil sebagai karakter seleksi tidak langsung, maka kemajuan seleksi tidak langsung karakter X terhadap Y perlu diketahui. Penilaian kemajuan seleksi tidak langsung menggunakan karakter X terhadap seleksi langsung karakter Y dapat diduga berdasarkan persamaan CRy /Ry = rA(ix hx /iy hy ); CRy = perubahan dalam Y karena seleksi tidak langsung melalui karakter X yang berkorelasi dengan Y (correlated response), Ry = respon seleksi langsung di dalam Y, rA = koefisien korelasi genetik aditif, i = intensitas seleksi, h = heritabilitas arti sempit (Roy 2000). Jika nisbah CRy /Ry lebih dari satu, seleksi tidak langsung melalui karakter X akan lebih baik, sebaliknya jika kurang dari satu maka seleksi langsung akan lebih baik.
132
Dalam penelitian ini, nisbah CRy /Ry untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil a, dan kandungan klorofil b, masing masing hanya mencapai 0.97, 0.89, dan 0.55. Ini berarti bahwa, kemajuan seleksi menggunakan karakter sekunder (kerapatan trikoma, kandungan klorofil a, dan kandungan klorofil b) sebagai karakter seleksi dalam rangka perbaikan bobot biji/tanaman akan lebih rendah.
Jadi,
seleksi
langsung
melalui
bobot
biji/tanaman
akan
lebih
menguntungkan. Hasil ini sejalan dengan nilai duga heritabilitas arti sempit (h2 ns) (Tabel 20) dimana h2 ns untuk bobot biji/tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan h2 ns karakter lainnya. Falconer (1985) menyebutkan bahwa seleksi tidak langsung akan lebih menguntungkan daripada seleksi langsung bila sifat sekunder mempunyai heritabilitas yang lebih besar daripada sifat primer.
SIMPULAN Jumlah polong berisi, luas daun trifoliat, kandungan, dan intensitas kehijauan daun berkorelasi positif dengan bobot biji/tanaman, sedangkan jumlah polong hampa, kerapatan trikoma, ketebalan daun, dan panjang lapisan palisade berkorelasi negatif dengan bobot biji/tanaman. Luas daun trifoliat memberikan kontribusi langsung terbesar terhadap bobot biji/tanaman, disusul panjang lapisan palisade, ketebalan daun, jumlah polong isi, klorofil a, dan kerapatan trikoma. Penampilan jumlah polong berisi, bobot biji/tanaman, luas daun trifoliat, kerapatan trikoma dan stomata, tebal daun dan lapisan palisade, kandungan klorofil, dan intensitas kehijauan daun lebih banyak dipengaruhi faktor genetik sehingga karakter-karakter tersebut memiliki heritabilitas yang tinggi. Karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, dan bobot biji/tanaman, tidak dipengaruhi tetua betina dan pengaruh daya gabung umum lebih besar. Peranan aksi gen aditif dalam pengendalian karakter kerapatan trikoma lebih besar dibandingkan dengan peranan aksi gen non-aditif. Pada klorofil a, aksi gen aditif relatif sama dengan aksi gen dominan sedangkan pada klorofil b aksi gen dominan lebih besar. Ketiga karakter tersebut diwariskan dengan heritabilitas tinggi, meskipun demikian tidak memenuhi syarat kriteria seleksi.