19
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai Kedelai (Glycine max) sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM dan baru masuk ke Indonesia, terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai paling baik ditanam di ladang dan persawahan antara musim kemarau dan musim hujan. Sedangkan rata-rata curah hujan tiap tahun yang cocok bagi kedelai adalah kurang dari 200 mm dengan jumlah bulan kering 3-6 bulan dan hari hujan berkisar antara 95-122 hari selama setahun. Kedelai mempunyai perawakan kecil dan tinggi batangnya dapat mencapai 75 cm. Bentuk daunnya bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang pohon. Menurut varietasnya ada kedelai yang berwarna putih dan hitam. Baik kulit luar buah polong maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu yang kasar berwarna coklat. Untuk budidaya tanaman kedelai di pulau Jawa yang paling baik adalah pada ketinggian tanah kurang dari 500 m di atas permukaan laut (Ipteknet 2007). Klasifikasi ilmiah kedelai adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, sub kingdom Traceeobionta,
superdivisi
Spermatophyta,
divisi
Magnoliophyta,
kelas
Magnoliopsida, sub kelas Rosidae, ordo Fabales, family Fabaceae, genus Glycine, spesies G.max (L.) Merr (USDA 2007). Tanaman kedelai banyak ditanam di sawah setelah panen padi sebagai palawija yang dapat memperbaiki keadaan tanah. Kedelai merupakan tanaman semak semusim, tingginya 20 – 60 cm. Batang tanaman kacang-kacangan ini bersegi, berwarna hijau keputih-putihan. Daunnya segitiga majemuk, berbentuk bulat telur, ujung tumpul, tepi rata. Bunganya majemuk, berbentuk tandan, berwarna ungu / kuning keputihan. Buah kedelai berbentuk polong, seperti kacang, bertangkai pendek, pipih. Buah mudanya berwarna hijau dan tuanya berwarna kuning. Kedelai tidak hanya mengandung lebih banyak protein melebihi daging sapi dan ayam, tetapi juga kadar lemaknya yang lebih rendah tapi bernilai tinggi (Asiamaya 2007). Kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, dalam arti bahwa untuk memperoleh jumlah protein yang cukup diperlukan kedelai dalam jumlah
20
yang kecil. Selain mengandung protein, kedelai juga mengandung zat besi, kalsium, vitamin A dan vitamin B1 (Cahyadi 2007) (tabel 1). Protein kedelai merupakan satu-satunya leguminosa yang mengandung semua asam amino esensial (tabel 2). Asam amino tersebut tidak dapat disintesis oleh tubuh, jadi harus dikonsumsi dari luar. Meskipun kadar minyaknya sekitar 18%, tetapi ternyata kadar lemak jenuhnya rendah dan bebas terhadap kolesterol serta rendah nilai kalorinya. Kedelai banyak dikonsumsi oleh manusia sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan protein hewani yang relatif lebih mahal (Cahyadi 2007). Tabel1. Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram Komponen Kalori (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Air (gram)
Jumlah 331.0 34.9 18.1 34.8 227.0 585.0 8.0 110.0 1.1 7.5 (Cahyadi 2007)
Tabel 2. Kandungan asam amino essensial biji kedelai Asam Amino Isoleusin Leusin Lisin Fenilalanin Tirosin Sistin Treonin Triptofan Valin Metionin
Jumlah (mg/g N) 340 480 400 310 200 110 250 90 330 80 (Cahyadi 2007)
Kedelai mengandung lemak tak jenuh linoleat, oleat dan arakhidat, berfungsi sebagai zat yang mencegah penumpukan lemak berlebihan dalam tubuh
21
(lipotropikum) dan kandungan serat kedelai yang sangat tinggi berfungsi untuk membantu merangsang metabolisme dan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah serta genistein yaitu senyawa fitoesterogen dalam kedelai yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker atau tumor (Asiamaya 2007). Menurut Cahyadi (2007) kedelai mentah yang tidak mengalami proses fermentasi mengandung senyawa antigizi diantaranya antitripsin, hemaglutinin, asam fitat dan oligosakarida penyebab timbulnya gas dalam perut sehingga perut menjadi kembung (flatulensi). Kedelai memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dibanding tanaman bahan pangan lainnya. Isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antiestrogen, antioksidan dan antikarsinogenik. Isoflavon dari golongan genistien dan daidzien dinilai paling berperan untuk kesehatan. Genotipe kedelai asal Brasilia, yaitu BRM95-50570 memiliki kandungan isoflavon cukup tinggi yaitu 290 mg/100 g biji kedelai. Hasil identifikasi yang dilakukan di Cina juga memperoleh tiga kedelai dengan kandungan isoflavon antara 548 hingga 656 mg/100 g biji kedelai. Genotipe IAC 100 (asal Brasilia) juga memiliki kandungan isoflavon 447,5 mg/100 g biji, dan genotipe tersebut tersedia di Indonesia (Muchlis dan Krisnawati 2007).
Tempe Berbagai produk dapat dihasilkan dari kedelai, baik sebagai bahan makanan manusia, makanan ternak dan bahan industri lainnya. Pengolahan kedelai dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu dengan fermentasi dan tanpa fermentasi. Pengolahan melalui fermentasi akan menghasilkan produk seperti tempe, kecap, oncom, dan tauco. Sedangkan bentuk olahan tanpa melalui fermentasi adalah susu kedelai, tahu, tauge dan tepung kedelai. Sebagian masyarakat menyukai bentuk olahan berupa tempe, tahu dan kecap (Koswara 1995). Tempe sebagai salah satu produk olahan hasil fermentasi, terbentuk karena aktifitas kapang Rhizopus sp pada kedelai yang telah direbus sehingga membentuk massa yang padat dan kompak. Tempe yang baik tampak kompak, diselaputi miselium kapang yang berwarna putih pada seluruh bahan, tidak bernoda hitam
22
akibat timbulnya spora, tidak berlendir, mudah diiris, tidak busuk dan tidak berbau amoniak (Syarief et al. 1999). Keterlibatan mikroorganisme pada proses pembuatan tempe terutama terjadi pada saat perendaman oleh bakteri pembentuk asam dan saat fermentasi oleh aktifitas kapang. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi dan lebih mudah dicerna. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbentuknya senyawa-senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon) dan terbentuknya senyawa faktor-II (6,7,4’-trihidroksiisoflavon) (Pawiroharsono 2007). Senyawa faktor II pada tempe berpotensi sebagai antikontriksi pada pembuluh darah dan menghambat pembentukan Low Density Lipoprotein (LDL), sehingga dapat mengurangi terbentuknya kerak lemak pada dinding pembuluh darah (atherosklerosis) (Jha et al. 1997). Menurut Wang dan Murphy (1994) senyawa faktor II berpotensi tinggi sebagai antioksidan. Tempe mengandung berbagai unsur yang bermanfaat bagi kesehatan. Seperti hidrat arang, lemak, protein, serat, vitamin, enzim, daidzein, genistein serta komponen anti-bakteri. Kandungan zat aktif isoflavon, khususnya daidzein, genistein, serta isoflavon faktor II yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh dapat mengurangi keluhan psikovasomotor khususnya semburan atau hentakan panas di dada sebagaimana yang dialami perempuan saat memasuki masa menopause (Pawiroharsono 2007). Menurut Cahyadi (2007) tempe merupakan bahan makanan yang berkadar protein tinggi yaitu sekitar 20%, juga mengandung lemak berkadar rendah. Tempe yang baik dan bermutu tinggi memiliki cita rasa, aroma serta tekstur yang khusus dan sangat karakteristik, harus padat dengan jahitan miselia yang rapat dan kompak. Warna utama harus putih seperti kapas. Komposisi kimia tempe dapat dilihat pada tabel 3.
23
Tabel 3. Komposisi kimia tempe kedelai (dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan) Komponen Protein (gram) Lemak Karbohidrat Abu Serat Karoten total (mg) Kalsium Besi Fosfor Air Vitamin B1
Tempe 20.8 8.8 13.5 1.6 1.4 34 155 4.0 326 55.3 0.19 (Cahyadi 2007)
Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan suatu substrat yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang strukturnya hampir sama dengan estrogen. Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman, antara lain isoflavon, flavon, lignan, coumestans, tripterpene glycosides, acyclics, dan lain-lain. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen sel-sel duktus kelenjar susu, jika seluruh reseptor diblokir oleh genistein, estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor. Fitoestrogen dapat mencegah pertumbuhan sel-sel kanker dan dapat mengurangi kadar kolesterol (Cahyadi 2007). Sel kanker sering kali menghasilkan satu atau lebih protein tirosin kinase dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan sel normal (Sofyan 2000). Pertumbuhan dan perkembangan sel normal maupun sel kanker sangat tergantung pada aktivitas reseptor. Reseptor tirosin kinase adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor). Isoflavon dapat menghambat aktivitas protein tirosin kinase spesifik dengan menghambat aktivitas EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor) secara kompetitif dengan ATP (Akiyama 1987). Genistein dapat menghambat protein tirosin kinase dan reseptornya (Hudson 2003).
24
Isoflavon Isoflavon (gambar 1) tergolong kelompok flavonoid yang banyak ditemukan dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan biji-bijian. Isoflavon kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu 1) Glikosida: daidzin, genistin, dan glisitin; 2) Asetil glikosida: 6-0 Asetildaidzin, -genistin dan –glisitin; 3) Malonil glikosida: 60 Malonildaidzin, -genistin dan –glisitin; 4) Aglikon: daidzein, genistein, dan glisitein. Isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida (genistin dan daidzin) sedangkan yang dominan pada tempe adalah aglikon (genistein dan daidzein) yang dihasilkan dari pelepasan glukosa dari glikosida. Bentuk aglikon mempunyai bioviabilitas yang lebih baik dibandingkan bentuk glikon. Glikosida dipertahankan oleh tanaman dalam bentuk inaktif sebagai antioksidan. Isoflavon kedelai menstimulasi aktivitas osteoblastik (pembentukan sel-sel tulang) melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen, mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insuline-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang (Yulianto 2003).
Gambar 1. Struktur Isoflavon (Winarsi 2005) Hasil penelitian Astuti (1999) menunjukkan bahwa senyawa isoflavon yang dominan pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah daidzein dan genistein. Kandungan total isoflavon pada tepung kedelai impor varietas americana adalah 22,93 mg/100g bk dan kandungan total isoflavon pada tepung tempe kedelai impor varietas americana 77,98 mg/100g bk (tabel 4). Tabel 4. Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe.
25
Komponen
Tepung kedelai (mg/100g bb) 0,04 14,59 0,97 5,74 21,34
Tepung tempe (mg/100g bb) 0,37 27,10 0,74 41,76 69,97
Faktor II Daidzein Glisitein Genistein Total isoflavon Keterangan: bb = berat basah; bk = berat kering. 1999)
Tepung kedelai (mg/100g bk) 0,04 15,68 1,04 6,17 22,93
Tepung tempe (mg/100g bk) 0,41 30,20 0,83 46,54 77,98 ( Astuti
Hasil penelitian Nakajima et al. (2005) menunjukkan bahwa kandungan total isoflavon dalam tempe yang berasal dari kedelai kuning adalah 102,7 mg per 100 g berat basah dan kandungan total isoflavon dalam tempe yang berasal dari kedelai hitam adalah 103,2 mg per 100 g berat basah. Isoflavon mempunyai efek estrogenik bagi manusia dan hewan tergantung pada dosis yang digunakan (Yulianto 2003). Dosis Isoflavon yang digunakan oleh manusia berkisar 0,4 – 10 mg/kg berat badan/hari sedangkan dosis isoflavon pada rodensia berkisar 1-10 mg/100g berat badan/hari (Whitten dan Patisaul 2001).
Hormon Estrogen Struktur kimia dan Fungsi Hormon Estrogen Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh korpus luteum, plasenta, korteks adrenal dan testis kemudian estrogen diekskresikan dari tubuh melalui urin. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol, sedangkan senyawa organik yang mempunyai efek estrogenik yang disintesa di laboratorium adalah dietilstilbestrol. Seperti halnya hormon-hormon yang lain, grup estrogen bekerja secara selektif. Pengaruhnya yang jelas adalah langsung terhadap traktus reproduksi dan glandula mammae (Gadjahnata 1989). Estrogen terdapat dalam bentuk estradiol, estron, dan estriol (Gambar 2). Potensi estrogenik estradiol adalah 12 kali kekuatan estron dan 80 kali lebih besar dari pada estriol. Dengan mengingat potensi relatif ini, efek total estrogenik dari
26
estradiol biasanya beberapa kali lipat dari estrogen yang lain, sehingga estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Guyton 1996).
Estriol
Estradiol
Estron
Gambar 2. Bentuk-bentuk Estrogen (Guyton 1996) Fungsi utama dari estrogen adalah untuk menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi (Guyton 1994). Estradiol bertanggungjawab atas timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder pada hewan betina. Hormon ini menyebabkan timbulnya estrus, merangsang kontraksi uterus, merangsang pelemasan symphysis pubis pada waktu partus, menggertak pertumbuhan sistem saluran kelenjar ambing dan mempercepat osifikasi epifise tulang-tulang tubuh. Menjelang ovulasi, konsentrasi estrogen mencapai kadar yang tinggi di dalam tubuh dan berfungsi menekan produksi FSH dan merangsang pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi (Cole dan Cupps 1977).
Biosintesis dan Metabolisme Hormon Estrogen Hormon estrogen disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah, walaupun dalam jumlah kecil juga diperoleh dari asetil ko-
27
enzim A, suatu molekul multipel yang dapat berkombinasi membentuk inti steroid yang tepat. Selama sintesis, progesteron dan testosteron akan disintesis pertama kali, baru kemudian sebelum hormon ini keluar dari ovarium, hampir semua testosteron dan sebagian progesteron akan diubah menjadi estrogen (Guyton 1994). Prekursor hormon estrogen adalah kolesterol. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukannya dari androgen, juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion didalam sirkulasi. Aromatase adalah enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dan bekerja melalui AMP siklik untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH, dan LH juga merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003) (gambar 3). Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses pengikatannya terjadi di dalam hati. Hati melaksanakan peranan ganda dalam metabolisme estrogen, yaitu menginaktifkan steroid ini dan juga memberikan pengaruh mengaktifkan lewat pembentukan estoprotein. Kira-kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat; dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu, sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urine dan feses (Turner dan Bagnara 1976). Kolesterol adalah prekursor hormon-hormon steroid. Kolesterol diperoleh dari lemak dan karbohidrat melalui jalur metabolisme karbohidrat dan lemak. Kolesterol diabsorpsi dari usus dan dimasukkan ke dalam kilomikron yang dibentuk di dalam mukosa. Setelah kilomikron mengeluarkan trigliseridanya di jaringan adiposa, kilomikron sisanya menyerahkan kolesterol di hati. Hati dan jaringan-jaringan lain juga menyintesis kolesterol. Kelebihan protein di dalam
28
tubuh akan diekskresikan melalui siklus urea (Ganong 2003). Jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 3. Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel (Johnson dan Everitt 1984).
29
Gambar 4. Hubungan jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Ganong 2003).
Biologi Umum Tikus Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan mamalia yang merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan sebagai model dalam penelitian. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis (2.5-3 tahun), lama kebuntingan berkisar 21-23 hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas 50-60 hari, angka kelahirannya 6 – 12 ekor per kelahiran, memiliki panjang siklus estrus 4-5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9-12 jam, interval antar generasi relatif pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan (10 g/100 g berat badan) (Smith
dan
Mangkoewidjojo
1988).
Ditambahkan
oleh
Smith
dan
Mangkoewidjojo (1988), bahwa berat badan tikus betina dewasa sekitar 250-300 g
30
dan mulai dikawinkan umur 65-110 hari dan tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5-6 gram. Tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus birahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Perkawinan yang terjadi dalam jangka waktu 24 jam dapat diketahui dengan memeriksa adanya spermatozoa dalam usapan vagina (Malole dan Pramono 1989). Adapun klasifikasi ilmiah tikus adalah : Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Rodensia, Famili Muridae, Sub Famili Murinae, Genus Rattus, Spesies Rattus norvegicus (Sullivan 2007).
Siklus Estrus Sederetan proses perubahan kegiatan fisiologis pada organ-organ reproduksi dari awal hingga berulang kembali disebut sebagai siklus estrus. Siklus estrus pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan vagina yang terjadi pada umur 28-29 hari (Malole dan Pramono, 1989). Siklus estrus pada hewan dapat dibagi menjadi fase folikuler dan fase luteal dengan masing-masing memiliki periode perkembangan yang berkaitan dengan periode fungsional ovarium (Macmillan & Burke 1996). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya folikel Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal merupakan periode sekresi progesteron oleh corpus luteum meliputi lebih dari dua pertiga dari siklus estrus (Hunter 1995). Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi 4 (empat) stadium yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi; fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan diakhiri dengan luteolisis (Macmillan & Burke 1996). Siklus estrus pada tikus dapat diketahui dari perubahan epitel vagina yang dipengaruhi oleh hormon estrogen (Turner dan Bagnara 1976). Proestrus merupakan fase menjelang estrus dimana gejala birahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Peningkatan
konsentrasi
estrogen
dan
penurunan
sekresi
progesteron
menyebabkan corpus luteum mengecil dan atresia. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-
31
sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Menurut Baker et al. (1980), fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk (berlapis-lapis) jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Pada tikus fase ini berlangsung selama kirakira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Fase estrus merupakan fase setelah proestrus ditandai dengan keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Pada fase ini estradiol yang berasal dari folikel de Graaf yang matang akan menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi betina (Toelihere 1985). Menurut Nalbandov (1990), pada tikus fase estrus berlangsung selama 12 – 14 jam dan pada akhir fase ini terjadi ovulasi. Baker et al. (1980) menyatakan bahwa fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel tanduk yang banyak pada lumen vagina yang biasanya nampak pada preparat ulas vagina. Kondisi demikian disebabkan oleh banyaknya pembelahan mitosis yang terjadi didalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk, sementara lapisan permukaan memiliki bentuk skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Partodihardjo 1992). Fase estrus dipengaruhi mekanisme hormonal yaitu berhubungan antara hormon-hormon hipotalamus-hipofisis (GnRH, LH, FSH), hormon-hormon ovarial (estradiol dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Proses estrus sangat erat kaitannya dengan mekanisme sistem hormonal. Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya bahwa pada saat estrus konsentrasi estrogen meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel de Graaf, dan selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisis anterior terjadilah ovulasi dan selanjutnya terjadi pembentukan corpus luteum (CL). Pada waktu CL telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional akan terjadi peningkatan konsentrasi progesteron (Turner dan Bagnara 1976). Menurut Silva et al. (2004), secara in vitro FSH dapat mempengaruhi pertumbuhan folikel primordial pada kambing. Yu et al. (2003) melaporkan bahwa FSH dan LH dapat mencegah terjadinya folikel atresia. Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung selama 10 – 14 jam. Pada fase ini, ovarium mengandung corpora lutea dan folikel-
32
folikel kecil. Fase ini ditandai dengan bertumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh Luteinizing hormone (LH) dari adenohyphofisa. Menurut Baker et al. (1980) fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa fase metestrus dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium 1 yang berlangsung kira-kira 15 jam dan stadium 2 kira-kira berlangsung selama 6 jam. Fase Diestrus adalah fase setelah metestrus. Fase ini merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60 – 70 jam. Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulasan vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner dan Bagnara 1976). Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Ia segera memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel (Guyton 1996). Menurut Gadjahnata (1889) pembelahan dan proses penandukan (kornifikasi) epitel vagina tergantung dari meningkatnya kadar estrogen dalam tubuh sehubungan dengan akhir periode pertumbuhan folikel. Pelepasan epitel dan penyusunan leukosit terjadi bila kadar estrogen menurun dan bila pengaruh estrogen menghilang epitel vagina kembali dalam keadaan inaktif. Pada fase proestrus, kadar estrogen mulai meningkat dan saluran mukosa vagina mulai mendapatkan peningkatan aliran darah (vaskularisasi) yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Fase estrus, kadar estrogen tinggi dan suplai darah ke vagina bertambah sehingga epitel vagina mengalami kornifikasi dengan cepat dan lendir disekresikan (Toelihere 1979). Pada fase metestrus, kadar estrogen menurun dan vaskularisasi berkurang sehingga terjadi pelepasan sel epitel vagina dan penyusunan leukosit. Pada fase
33
diestrus, kadar estrogen pada level rendah, mukosa vagina tipis dan leukosit bertambah jumlahnya (Turner dan Bagnara 1987).