4
TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir.
Setiap kuartir memiliki satu puting,
keempat perempatan ambing di bagian medial dipisahkan oleh suatu lekuk yang disebut lekuk longitudinal atau sulcus intermamaria. Pada bagian ujung puting terdapat saluran pendek yang disebut saluran ujung puting, ductus papillaris atau streak canal.
Streak canal berperan dalam pengaturan keluarnya susu dan
mencegah masuknya bakteri luar ke dalam ambing (Schalm et al. 1971). Ambing yang kosong pada sapi yang sedang laktasi memiliki berat 6.5-75.3 kg dengan berat rata-rata 22.7 kg (Subronto 2003). Setiap kuartir sapi mampu mensekresikan 60% susu, dan ambing sapi akan mencapai berat dan kapasitas yang maksimal pada sapi berumur enam tahun (Tyler & Ensminger 1993). Struktur pendukung utama ambing adalah kulit, ligamentum suspensorium mediale, dan ligamentum suspensorium laterale.
Penyangga utama ambing
adalah ligamentum suspensorium laterale et mediale, sedangkan kulit luar hanya bersifat pelindung daripada sebagai penyangga ambing.
Ambing memiliki
beberapa sistem yang mendukung dalam strukturnya, antara lain terdapat sistem peredaran darah, limfe, saraf, dan sistem saluran yang berperan dalam penyimpanan dan sekresi susu ke dalam sel epitel yang disebut juga dengan alveoli (Foley et al. 1972). Produksi susu pada sapi tergantung pada aktifitas alveoli. Masing-masing alveol ini dihubungkan oleh pembuluh darah kapiler yang membawa nutrisi sebagai bahan pembawa susu dan sensitif terhadap hormon oksitosin. Oksitosin disekresikan ke dalam darah, maka akan timbul kontraksi sel otot yang mampu merangsang untuk ekskresi susu.
5
Gambar 1 Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011).
Susu Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 3141.1:2011 tentang Susu Segar, susu didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan benar, yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Bagian terbesar susu adalah air. Air dalam susu diperoleh langsung dari cairan dalam darah melalui suatu proses selektif permeabel oleh sel epitel selapis alveolus. Faktor fisiologis yang mampu mempengaruhi jumlah dan komposisi susu antara lain; bangsa dan genetik, periode laktasi, keberadaan folikel yang tidak ovulasi, estrus, kebuntingan, jarak kelahiran, pengeluaran susu yang pertama dan terakhir, usia, dan ukuran ambing (Diggins & Bundy 1961; Ensminger 1991). Komposisi kimia susu diperlihatkan dalam Tabel 1.
6
Tabel 1 Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993) Bahan penyusun Jumlah (%) Variasi normal 87.2 82.4-90.7 Air 3.7 2.5-6 Lemak 9.1 6.8-11.6 Bahan kering tanpa lemak 3.5 2.7-4.8 Protein 2.8 2.3-4 Kasein 0.7 0.4-0.8 Laktalbumins dan Laktoglobulins 4.9 3.5-6 Laktosa 0.7 0.6-0.8 Mineral 12.8 9.3-17.6 Bahan kering
Mastitis Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu (Tyler & Ensminger 1993). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan pengembalian fungsi normal ambing (Foley et al. 1972). Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadinya perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. Perubahan secara kimiawi meliputi penurunan jumlah kasein dan laktosa (Subronto 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik (Sudarwanto 1999). Mastitis klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas susu dan ditemukan reaksi peradangan pada ambing berupa panas, merah, bengkak, fungsi abnormal, serta timbul rasa sakit bila dipalpasi.
Keadaan ini berbeda dengan kejadian
mastitis subklinis yang tanpa adanya perubahan secara fisik pada eksternal ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan berupa perubahan kualitas dan kuantitas
7
serta ditemukannya kuman patogen pada susu. Mastitis non-spesifik merupakan kejadian mastitis yang dapat diakibatkan oleh trauma pada ambing. Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis subklinis tidak ditandai dengan perubahan fisik ambing sehingga menyulitkan dalam deteksi. Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain; terjadinya penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a).
Sel Somatis Sel somatis merupakan kumpulan sel yang terdiri dari sel epitel, sel neutrofil, eosinofil, limfosit, eritrosit, sel plasma, colostrum corpuscle. Keberadaan sel somatis dalam susu dapat dijadikan indikator dalam penilaian kualitas susu segar. Normalnya sel somatis dapat ditemukan dalam susu segar dalam batasan tertentu.
Sel somatis dapat dijadikan penilaian kualitas susu.
Peningkatan jumlah sel somatis dapat menandakan telah terjadinya infeksi pada ambing. Sel leukosit termasuk kedalam sel somatis, berperan dalam pertahanan tubuh untuk menyerang agen dari luar. Keberadaan leukosit yang tinggi pada susu menandakan telah terjadinya peradangan ataupun infeksi pada ambing. Keberadaan sel somatis dapat menentukan produksi dan kualitas susu, jumlah sel somatis yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kualitas susu. Jumlah sel somatis yang meningkat menyebabkan kualitas produk susu menjadi menurun sebagai akibat dari aktifitas enzimatis, yaitu protease dan lipase. Aktifitas enzimatis menyebabkan penurunan produk keju, menurunnya daya tahan susu pasteurisasi, perubahan produksi asam pada produk-produk susu fermentasi, produk mentega menjadi tengik dan adanya perubahan rasa pada
8
sebagian produk olahan (Lukman et al. 2009). Hubungan keberadaan jumlah sel somatis terhadap produksi dan kualitas susu diperlihatkan dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et al. 2009) Jumlah sel somatis/ml 5 × 10³ - 1 × 106 1 × 106 – 5 × 106 > 5 × 106
Penurunan produksi susu 10% 24.6% 37.5%
Tabel 3 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al. 1977, diacu dalam Sudarwanto et al. 1984) Jumlah sel somatis/ml < 1.25 × 105 1.25 × 105 – 2.5 × 105 2.5 × 105 – 3.75 × 105 3.75 × 105 – 5 × 105 > 5 × 105
Penilaian Baik sekali Baik Cukup Kurang Jelek
Pengujian Mastitis Menggunakan Uji Mastitis IPB-1 dan Breed Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis (Sudarwanto 1998). Deteksi mastitis
subklinis
dilakukan
melalui
pemeriksaan
mikrobiologik
dan
penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Sel somatis dapat dihitung dengan menggunakan metode Breed yaitu dengan menghitung secara langsung jumlah sel somatis.
Secara tidak langsung sel somatis dapat dihitung berdasarkan pada
intensitas reaksi, metode yang sering dipakai antara lain Aulendorfer Mastitis Probe (AMP), California Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT), Michigan Mastitis Test (MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972; Sudarwanto 1998). Sudarwanto (1993) melakukan pengembangan lebih lanjut dari pereaksi AMP dan pengembangan ini menghasilkan uji mastitis IPB-1. Prinsip kerja uji mastitis IPB-1 berdasarkan pada reaksi reagen yang berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental seperti gelatin. Masa yang terbentuk semakin kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu. Penelitian Sudarwanto (1993) dan penelitian Sukada (1996) yang menggunakan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis, ternyata uji mastitis IPB-1 memiliki spesifisitas dan sensitivitas
9
yang tinggi untuk mendiagnosa mastitis subklinis, mudah pengerjaannya dan murah harganya. Kelemahan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis memiliki pH yang tidak stabil, perubahan pH menyebabkan pereaksi tidak bekerja secara optimal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a). Kelebihan pengujian secara tidak langsung diantaranya adalah hasil lebih cepat diperoleh dengan tenaga dan waktu yang lebih sedikit. Pengujian secara tidak langsung sangat baik untuk pemeriksaan contoh susu dalam jumlah besar dan pemeriksaan teratur di lapangan (Sukada 1996).
Kelemahannya adalah
jumlah sel somatis yang didapatkan hanyalah dugaan dan dapat dikatakan sebagai diagnosa pendahuluan (Sudarwanto 1982). Pemeriksaan secara tidak langsung pada susu sapi yang diduga terinfeksi mastitis dapat diukur berdasarkan pada tingkat kekentalan bahan pereaksi setelah dicampur dengan susu. kekentalan menunjukkan tingkat keparahan infeksi pada ambing.
Tingkat Hubungan
tingkat kekentalan pereaksi terhadap susu dengan jumlah sel somatis diperlihatkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel somatis/ml (Foley et al. 1972) Nilai Negatif 1 2 3 4
Deskripsi reaksi Tidak ada gel Gel yang terbentuk sangat tipis Gel yang terbentuk agak tebal Gel yang terbentuk tebal Gel yang terbentuk sangat kental
Perkiraan jumlah sel/ml < 2 × 105 5 × 105 1.5 × 105 5 × 106 >5 × 106