BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan periosteumnya(Probst dkk, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006)
Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui tuba Eustachius dan dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia. Berbagai struktur
7
8
penting berbatasan dengan atau meliputi telinga tengah, diantaranya adalah nervus fasialis, arteri karotis interna, sinus venosus yang berasal dari kranium, dura, dan telinga dalam. Kavum timpani dipisahkan dengan telinga luar oleh membran timpani dan berisi osikel atau tulang-tulang pendengaran. Tulang-tulang pendengaran ini terdiri dari maleus, inkus dan stapes (Probst dkk, 2006). Telinga dalam terletak di pars petrosus tulang temporal dan terdiri dari banyak duktus yang saling terhubung yang secara kolektif disebut labirin. Labirin dibagi dua yaitu labirin membranosa dan labirin oseus. Labirin membranosa terletak di da-lam labirin oseus yang terdiri dari organ keseimbangan dan pendengaran. Koklea adalah struktur berbentuk rumah siput yang berisi organ sensori pendengaran, dan pada manusia memiliki sekitar dua setengah putaran (Norton dkk, 2010; Probst dkk, 2006). Koklea dibagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala media terletak di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani mengandung perilimfe, suatu cairan ekstraseluler dengan konsentrasi kalium 4 mEq/L dan konsentrasi natrium 139 mEq/L. Skala media dibatasi oleh membran Reissner, membran basilar dan lamina spiral osseus, dan dinding lateral. Skala media berisi endolimfe, yaitu cairan intraseluler dengan konsentrasi kalium 144 mEq/L dan konsentrasi natrium 13 mEq/L. Skala media menyempit ke arah apeks koklea, berakhir sedikit dari akhir apikal labirin tulang. Bukaan dekat apikal berakhirnya labirin tulang, disebut helikotrema, memungkinkan hubungan antara skala vestibuli dan skala timpani, pada manusia luasnya sekitar 0,05 mm 2.
9
Membran basilaris memisahkan suara sesuai dengan frekuensi atau spektrum dan organ Corti yang terletak di sepanjang membran basilar, mengandung sel-sel sensorik atau sel rambut yang mengubah getaran membran basilaris menjadi impuls saraf (Moller, 2006; Probst dkk, 2006).
Gambar 2.2. Penampang koklea (Moller, 2006).
Organ Corti terdiri dari bermacam-macam sel. Salah satunya adalah sel-sel rambut, yang merupakan sel-sel sensorik dan berbentuk seperti kumpulan rambut yang terletak dan tersusun berbaris di bagian atas membran basilaris. Sel-sel rambut memiliki kumpulan stereosilia pada bagian atasnya. Sel-sel rambut terdiri dari dua jenis utama yaitu sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam. Koklea manusia memiliki sekitar 12.000 sel rambut luar yang teratur dalam 3-5 baris sepanjang membran basilar, dan sekitar 3.500 sel-sel rambut dalam yang teratur dalam satu baris. Pada setiap sel rambut luar terdapat 50-150 stereosilia yang
10
disusun dalam 3-4 baris berbentuk W atau V sedangkan pada sel-sel rambut dalam terdapat stereosilia dalam formasi berbentuk U datar (Moller, 2006). Stria vaskularis merupakan struktur penting yang terletak antara ruang perilimfatik dan endolimfatik sepanjang dinding koklea. Stria vaskularis memiliki banyak suplai darah dan sel-sel yang banyak pada mitokondria, menunjukkan bahwa stria vaskularis terlibat dalam aktivitas metabolik. Membran basilar terdiri dari jaringan ikat dan membentuk dasar dari skala media. Membran basiler ini memiliki lebar sekitar 150 µM di dasar koklea dan lebar sekitar 450 µM di apeks. Jika suara telah memasuki koklea akan terjadi kekakuan yang bergantian mulai dari dasar menuju ke apeks. Akibat perubahan kekakuan yang bertahap ini, suara yang sampai ke telinga membuat gelombang pada membran basilar yang bergerak dari dasar menuju puncak koklea. Gerak gelombang berjalan ini adalah dasar pemisahan frekuensi sebelum suara mengaktifkan sel sensorik yang terletak di sepanjang mem-bran basilar. Analisis frekuensi pada koklea sangat kompleks, melibatkan interaksi antara membran basilar, cairan sekitarnya dan sel sensorik (Moller, 2006). Terdapat tiga jenis serat saraf yang mempersarafi koklea, yaitu serat saraf aferen pendengaran, serat eferen pendengaran atau berkas olivokoklearis dan serat saraf otonom. Serat aferen saraf pendengaran merupakan sel bipolar, terletak di ganglion spiralis dalam kanal tulang yang disebut Rosenthal’s canal. Saraf pendengaran manusia memiliki sekitar 30.000 serabut saraf aferen. Dua jenis serat aferen telah diidentifikasi, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan serat saraf bermyelin, memiliki badan sel yang besar dan merupakan 95% dari serat-serat
11
saraf pendengaran. Serat aferen tipe II merupakan serat saraf tak bermyelin dan memiliki badan sel yang kecil (Moller, 2006). Nervus VIII terdiri dari tiga komponen yang berbeda. Ada dua saraf vestibularis yaitu superior dan inferior dan saraf koklearis. Saraf-saraf tersebut bersamasama melalui tulang kepala di meatus auditori internal. Kanal ini juga berisi N VII dan pasokan darah ke telinga bagian dalam yaitu arteri auditori internal. Saraf melewati meningen menuju ke batang otak. Saraf vestibularis menuju ke nukleus vestibularis dan saraf koklearis menuju ke nukleus koklearis (Mutton, 2006). Proses pendengaran akan dimulai saat gelombang suara ditangkap oleh pinna dan diarahkan oleh KAE untuk menggetarkan membran timpani. Selanjutnya, gelombang suara akan dikonduksikan dari membran timpani melewati tulang-tulang pendengaran menuju tingkap lonjong. Perjalanan gelombang suara dari telinga luar menuju telinga tengah akan melewati perubahan medium, yaitu dari udara di telinga luar menuju cairan di telinga dalam yang memiliki perbedaan impedans. Perbedaan impedans ini akan menyebabkan penurunan energi suara yang melaluinya. Telinga tengah berperan sebagai impedance-matching device untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan energi tersebut. Proses ini diperoleh dari efek perbandingan luas membran timpani terhadap luas footplate stapes, aksi tuas tulang-tulang pendengaran, dan bentuk membran timpani. Bentuk membran timpani berkontribusi minor terhadap proses impedance-matching (Lee, 2003). Luas membran timpani sebesar 85-90 mm2 dengan area vibrasi optimal sebesar 55 mm2 sedangkan luas footplate stapes sebesar 3,2 mm2, sehingga
12
memberikan peningkatan energi suara sebesar 17:1. Saat membran timpani bervibrasi, tulang-tulang pendengaran akan ikut bergerak. Manubrium maleus yang panjangnya 1,3 kali dibandingkan prosesus longus inkus akan membuat tekanan yang diterima oleh footplate stapes lebih besar dibandingkan tekanan yang diterima oleh maleus sebesar 1,3:1. Jika efek tuas tulang-tulang pendengaran dan efek luas area membran timpani, telinga tengah menghasilkan peningkatan energi suara sebesar 22 kali, yaitu kira-kira sebesar 25 dB (Lee, 2003). Saat gelombang suara mencapai tingkap lonjong, koklea mengubah energi mekanik suara menjadi energi hidrolik, lalu menjadi energi bioelektrik saat mencapai sel-sel rambut. Saat footplate stapes bergerak masuk-keluar pada tingkap lon-jong, suatu gelombang akan terbentuk dan berjalan di dalam koklea dari basal me-nuju apeks. Gelombang tersebut akan menggerakkan membran basilaris dan tekto-rial. Kedua membran ini memiliki perbedaan titik-titik perlekatan sehingga perge-rakannya
akan
menekuk
stereosilia
sel-sel
rambut,
kemudian
mengakibatkan depo-larisasi sel-sel rambut dan menghasilkan impuls elektrik saraf aferen (Lee, 2003). Begitu impuls saraf terbentuk, implus ini akan berjalan sepanjang jaras auditori dari sel ganglion spiralis di dalam koklea menuju modiolus, letak seratserat cabang koklearis dari nervus VIII. Serat-serat ini kemudian berjalan menuju nukleus koklearis di batang otak secara ipsilateral, lalu menuju kompleks olivarius superior kontralateral. Perjalanan serat-serat ini berlanjut menuju lemniskus lateralis, kolikulus inferior dan ganglion genikulatum sebelum akhirnya mencapai korteks auditori (Lee, 2003).
13
2.2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Pemeriksaan telinga dan fungsi pendengaran dimulai dengan anamnesis yang meliputi riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Pemeriksaan dilanjutkan dengan inspeksi menyeluruh daun telinga dan sekitarnya serta pemeriksaan otos-kopi untuk memeriksa liang telinga dan membran timpani. Pemeriksaan hidung dan tenggorok juga dilaksanakan (Probst dkk, 2006). Evaluasi fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, mulai dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan pengukuran kuantitatif dapat dilakukan dengan audiometri nada murni, Oto Acoustic Emission atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau ASSR (Probst dkk, 2006). 2.2.1. Audiometri Nada Murni Audiometri nada murni merupakan pengukuran fungsi pendengaran pada berbagai frekuensi. Pemeriksaan ini dilaksanakan memakai audiometer dalam ruang kedap suara dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius mulai dari telinga luar hingga korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Ambang dengar diukur pada konduksi udara dan konduksi tulang. Saat mengukur
konduksi
udara,
stimulus
nada
murni
yang
berbeda-beda
14
ditransmisikan melalui earphone. Ambang konduksi udara menggambarkan mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pengukuran konduksi tulang, sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada prominensia mastoid. Nada murni akan merangsang koklea setelah melewati liang telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam bentuk grafik yang menggambarkan am-bang pendengaran dalam berbagai frekuensi (Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel hearing level (dBHL). Rerata ambang de-ngar frekuensi bicara yang umum digunakan didapatkan dari rerata frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Selanjutnya berdasarkan ambang dengar ini gangguan pendengaran dapat dikategorikan menjadi tidak ada gangguan atau normal (<25 dBHL), derajat ringan (26-40 dBHL), derajat sedang (41-60 dBHL), derajat berat (61-80 dBHL), dan profound (>81 dBHL) (Mathers dkk, 2000).
2.3. Fungsi ginjal Fungsi ginjal secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi ekskretorik dan fungsi metabolik. Sebagai organ ekskretorik, ginjal berfungsi mengekskresikan sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh melalui aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan tubuh, dan menjaga keseimbangan asam dan basa (Hall, 2015; Pranawa dkk, 2007).
15
Sebagai fungsi metabolik ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu berpartisipasi dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil eritropoetin yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah, ikut mengatur tekanan darah dengan menghasilkan renin
yang
merangsang
pembentukan
angiotensinogen,
dan
menjaga
keseimbangan kalsium dan fosfor dengan berperan dalam metabolisme vitamin D. Selain itu, ginjal juga berperan dalam metabolisme beberapa hormon, diantaranya hormon paratiroid atau PTH (Hall, 2015; Pranawa dkk, 2007).
2.4. Penyakit ginjal kronik Penyakit ginjal kronik atau PGK didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang muncul lebih dari tiga bulan dan berdampak pada kesehatan. Berdasarkan penyebabnya, PGK dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu penyakit ginjal diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan penyakit pada transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; KDIGO, 2013). Kriteria diagnosis PGK adalah jika terdapat penanda kerusakan ginjal dan/ atau penurunan glomerular filtration rate/ GFR (<60 ml/menit/1,73m2) yang telah berlangsung tiga bulan atau lebih. Penanda-penanda kerusakan ginjal adalah albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, dan abnormalitas lain akibat gangguan tubulus, abnormalitas struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, abnormalitas yang terdeteksi secara histopatologik, dan riwayat transplantasi ginjal (KDIGO, 2013). Klasifikasi stadium PGK didasarkan atas GFR dan dibagi menjadi lima stadium seperti yang tercantum pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Stadium penyakit ginjal kronik (Pranawa dkk, 2007)
16
GFR mL/menit/1,73m2 >90 60-89 30-59 15-29 <15
Deskripsi Stadium I (kerusakan ginjal dengan GFR normal) Stadium II (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan) Stadium III (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang) Stadium IV (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat) Stadium V (kerusakan ginjal stadium akhir)
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, namun secara umum dapat dibagi menjadi penyakit ginjal diabetik, hipertensi, penyakit vaskular, penyakit glomerular primer maupun sekunder, penyakit ginjal kistik, penyakit tubulointersisial, disfungsi atau obstruksi saluran kemih, batu ginjal, kelainan kongenital, dan cidera ginjal akut yang tidak teratasi (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007). Penyakit ginjal kronik pada stadium 1 dan 2 umumnya tidak menimbulkan gejala apapun dari penurunan GFR. Jika GFR telah menurun dan pasien memasuki stadium 3 dan 4, komplikasi PGK akan terlihat lebih jelas baik secara klinik maupun laboratorik (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007). End-stage renal disease atau ESRD merupakan tahap akhir PGK yang ditandai dengan akumulasi toksin, cairan dan elektrolit yang normalnya diekskresikan oleh ginjal sehingga menimbulkan sindrom uremia. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian kecuali toksin tersebut diekskresikan melalui terapi pengganti ginjal, baik melalui dialisis maupun transplantasi ginjal (Bargman dan Skorecki, 2015). Gejala penyakit ginjal kronik akan ditunjukkan oleh semua organ, namun yang umum ditemukan adalah kelelahan, mual, muntah, penurunan nafsu makan dan berat badan, kulit pucat, rapuh dan gatal, sering kencing, dan haus. Gejala lain
17
berupa edema pada tungkai atau seluruh tubuh, perdarahan cenderung sulit berhenti, penurunan libido, dan sesak nafas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan fungsi ginjal, anemia, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, penurunan estrogen dan testoteron, abnormalitas kalsium, fosfor dan hormon yang mengatur mineral, serta abnormalitas homeostasis sodium, potasium, air, dan asam-basa (Pranawa dkk, 2007). Penderita PGK stadium 5 atau end-stage renal disease (ESRD)
mengalami
gangguan
bermakna
dalam
aktivitas
sehari-hari,
kesehatannya, status nutrisi, dan gangguan keseimbangan air serta elektrolit, yang menandai terjadinya sindrom uremik (Bargman dan Skorecki, 2015). Penanganan PGK secara umum bertujuan untuk menghambat aatau menghentikan progresivitas PGK, mendiagnosis dan menangani manifestasi patologik PGK dan merencanakan terapi pengganti ginjal untuk jangka waktu panjang. Dalam praktek klinik sehari-hari, penanganan PGK secara umum meliputi pengobatan penyakit dasar, pengendalian keseimbangan air dan garam, diet rendah protein tinggi kalori, pengendalian tekanan darah, keseimbangan elektrolit dan asambasa, pencegahan dan pengobatan osteoditrofi ginjal, pengobatan gejala uremia spe-sifik, deteksi dini dan pengobatan infeksi, penyesuaian dosis obat-obatan, deteksi dan pengobatan komplikasi, serta persiapan terapi pengganti ginjal, baik melalui dialisis ataupun transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).
2.5. Neuropati Uremikum
18
Neuropati uremikum atau uraemic neuropathy merupakan polineuropati saraf sensorimotorik yang disebabkan oleh uremia. Kondisi ini lebih sering mengenai saraf sensorik daripada motorik. Pemeriksaan histopatologik mendapatkan terjadi retraksi aksonal, yang ditandai dengan berkurangnya diameter akson, reorganisasi myelin dan degenerasi total akson. Hal ini akan menimbulkan penurunan kecepatan konduksi saraf (Bargman dan Skorecki, 2015; Ramirez dan Gomez, 2012). Manifestasi neuropati uremikum umumnya muncul saat GFR <12 ml/menit. Senyawa uremik yang bersifat neurotoksin menguras suplai energi akson dengan menghalangi kerja enzim serat saraf yang berfungsi dalam produksi energi tersebut. Suplai enzim dari soma saraf tidak mencukupi kebutuhan enzim yang diperlukan oleh akson yang akhirnya menyebabkan berbagai perubahan patologik dan degenerasi saraf (Ramirez dan Gomez, 2012). Penurunan kecepatan konduksi saraf diduga diakibatkan oleh disfungsi membran dan inhibisi aktivasi pompa Na+/K+ ATPase. Disfungsi membran ditemukan pada perineurium dan dalam endoneurium. Perineurium berfungsi sebagai sawar difusi antara cairan intersisial dengan saraf, sedangkan endoneurium berfungsi sebagai sawar antara darah dan saraf. Akibat disfungsi tersebut, toksin-toksin uremik dapat memasuki ruang endoneural dan dapat menyebabkan kerusakan saraf secara langsung. Inhibisi aktivasi pompa Na+/K+ ATPase pada aksolemma, membran sel yang menutupi suatu akson, menyebabkan akumulasi natrium intrasel dan mengubah potensial istirahat membran (membrane
19
resting potential). Hal ini akan menyebabkan degenerasi aksonal dan demyelinisasi seg-mental sekunder (Ramirez dan Gomez, 2012). Neuropati uremikum lebih sering mengenai ekstremitas bawah dibandingkan ekstremitas atas yang bermanifestasi sebagai defisit sensorik dan motorik. Nervus kranialis yang dilaporkan paling sering mengalami neuropati uremikum adalah nervus vestibulokoklear. Hal ini menyebabkan keluhan gangguan pendengaran dalam berbagai derajat pada pasien PGK (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012). Penanganan neuropati uremikum meliputi berbagai modalitas, namun hanya transplantasi ginjal yang efektif. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal akan menunjukkan perbaikan klinik secara umum dalam waktu tiga hingga enam bulan. Modalitas lainnya adalah hemodialisis, penanganan nyeri dengan antidepresan trisiklik dan obat antikonvulsi, suplemen vitamin serta restriksi asupan K+ (Ramirez dan Gomez, 2012). Hemodialisis standar umumnya akan menghentikan progresivitas neuropati, namun jarang memberikan perbaikan klinik yang bermakna. Sebelum menjalani HD, berbagai parameter eksitabilitas aksonal saraf menunjukkan berbagai abnormalitas. Hemodialisis akan menyebabkan normalisasi parameter-parameter eksitabilitas tersebut dengan cepat dan signifikan, walaupun beberapa abnormalitas minor akan menetap. Sebagian besar pasien PGK menunjukkan HD reguler dapat mensta-bilkan neuropati yang dialami pasien PGK. Perburukan neuropati mengindikasikan perlunya memulai terapi HD pada pasien PGK dan
20
ketidakcukupan HD bagi pasien yang telah menjalani dialisis (Ramirez dan Gomez, 2012).
2.6. Hemodialisis Hemodialisis atau HD merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal pada pasien PGK yang telah memasuki ESRD dan hanya menggantikan sebagian kecil dari fungsi ekskresi ginjal (Daugirdas dkk, 2007). Indikasi pemberian HD reguler pada pasien PGK adalah adanya sindrom uremik, hiperkalemia yang tidak merespon terhadap penanganan konservatif, ekspansi volume ekstraseluler persisten walaupun telah mendapat terapi diuretik, asidosis yang refrakter terhadap terapi medikamentosa, diastesis perdarahan, dan klirens kreatinin atau perkiraan GFR kurang dari 10 ml/menit/1.73 m2 (Liu dan Chertow, 2015). Hemodialisis memiliki tiga komponen, yaitu dialiser, diasilat, dan sistem penghantaran
darah.
Dialiser
merupakan
ruang
plastik
yang
mampu
memperfusikan kompartemen darah dan diasilat secara simultan dengan kecepatan tinggi. Diasilat merupakan cairan yang berfungsi untuk menarik sisa produk metabolik dari sirkulasi. Sistem penghantaran darah terdiri dari dua komponen, yaitu sirkuit ekstrakorporeal yang terdapat pada mesin dialisis dan akses dialisis. Mesin dialisis memiliki pompa darah yang mengalirkan darah dari lokasi akses dialisis melewati dialiser kemudian kembali ke tubuh pasien. Akses dialisis merupakan fistula, graft atau kateter tempat darah diperoleh dari pasien untuk keperluan hemodialisis (Liu dan Chertow, 2015).
21
Kerja HD didasarkan atas prinsip difusi senyawa terlarut atau solutes melewati membran semipermeabel. Prosedur hemodialisis berlangsung dengan memompa darah yang terheparinisasi dengan laju 300-500 ml/menit, sedangkan diasilat mengalir dari arah yang berlawanan dalam laju 500-800 ml/menit. Transfer produk sisa metabolik berlangsung mengikuti gradien konsentrasi dari sirkulasi menuju diasilat. Berdasarkan hukum difusi, molekul yang lebih besar memiliki laju transfer yang lebih lambat melewati membran. Molekul kecil seperti urea dengan ukuran 60 Da akan dibersihkan lebih efektif dibandingkan kreatinin yang memiliki ukuran 113 Da (Liu dan Chertow, 2015).
2.6.1. Adekuasi hemodialisis De Palma pada tahun 1971, seperti yang dikutip oleh Widiana (2013), menyatakan dialisis dapat dianggap cukup bila pasien mengalami rehabilitasi penuh, nafsu makan normal, tubuh dapat memproduksi sel darah merah yang cukup, tekanan darah normal tercapai, dan dapat mencegah terjadinya neuropati. Definisi tersebut cukup holistik dan valid, namun masih bersifat subjektif sehingga diperlukan definisi yang lebih objektif memakai parameter laboratorik. Ureum darah merupakan solut yang dipakai untuk mengukur efektivitas dialisis karena urea diasumsikan terdistribusi merata dalam darah serta diproduksi dan dibersihkan dengan kecepatan yang konstan. Untuk itu, pada orang dengan fungsi ginjal yang dapat diabaikan, klirens urea dapat dipakai untuk mengukur
22
adekuasi hemodialisis. Model ini disebut sebagai urea kinetic modeling atau UKM (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010). Setiap pasien yang menjalani HD diberikan resep dosis HD. Persamaan matematika untuk menghitung dosis HD yang didasarkan atas UKM adalah Kt/V. Kt/V adalah parameter jumlah plasma yang dibersihkan terhadap urea (K*t) dibagi dengan volume distribusi urea (V) dalam badan dan merupakan suatu rasio tanpa satuan. Kt/V dibagi menjadi dua, yaitu Kt/V yang diresepkan atau prescribed dan Kt/V yang terlaksana atau delivered (Widiana, 2013). Dosis HD ditentukan dengan menetapkan nilai Kt/V yang diresepkan terlebih dahulu. Target Kt/V untuk HD yang dilaksanakan dua kali seminggu adalah 1,8 (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana, 2013). Adekuasi
hemodialisis
didapatkan dengan
menghitung Kt/V yang
terlaksana, yang dinyatakan sebagai nilai Kt/V. Formula yang digunakan untuk menghitung Kt/V ini adalah formula Daugirdas, yaitu: (
)
(
)
ln merupakan log natural (e); R merupakan perbandingan konsentrasi urea predialisis (BUNpre) dan paskadialisis (BUNpost), yaitu BUNpost/BUNpre; t adalah du-rasi satu sesi dialisis; UF/W adalah perbandingan ultrafiltrat dan berat badan pasien (BB), dihitung memakai rumus: (BB predialisis-BB paskadialisis)/ BB paskadia-lisis (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana, 2013).
23
Nilai Kt/V yang terlaksana tidak selalu sama dengan nilai Kt/V yang diresepkan. Jika nilai Kt/V yang terlaksana kurang dari nilai Kt/V yang diresepkan, maka hemodialisisnya dikatakan tidak adekuat atau memiliki adekuasi hemodialisis yang tidak cukup. Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam pemeriksaan ureum darah(Laaksonen dkk, 2000; Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010). Adekuasi hemodialisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi klinik pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler. Kt/V di bawah 1,2 diasosiasikan dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien HD reguler (Jindal dkk, 2006). Pourfarziani dkk. (2008) berdasarkan pene-litian terhadap 338 pasien HD menyimpulkan bersihan urea yang tidak optimal pada HD yang tidak adekuat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, menurunkan produktivitas pasien HD, dan kerugian material akibat penurunan produktivitas tersebut. 2.7. Gangguan Pendengaran pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Prevalensi gangguan pendengaran ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Vilayur dkk. (2010) mendapatkan gangguan pendengaran pada pasien PGK derajat sedang sebesar 54,4%, sedangkan pada populasi individu dengan GFR >60 ml/menit/1,73m2 dilaporkan sebesar 28,3%. Lasisi dkk. (2007) mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 67% pada pasien PGK, sedangkan pada kontrol sebesar 32%. Tipe gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilaporkan sebagian besar bersifat tuli sensorineural. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh
24
PGK memiliki predileksi pada frekuensi rendah (125-250 Hz) dan frekuensi tinggi (4.000-8.000 Hz), sedangkan frekuensi 500-2.000 Hz dilaporkan dalam batas normal atau terjadi sedikit peningkatan. Hal ini membuat gambaran audiometri pada pasien PGK berbentuk seperti kubah atau dome (Gatland dkk, 1991; Sharma, 2011; Zeigelboim dkk, 2001).
Gambar 2.3. Audiogram pasien PGK yang berbentuk seperti kubah (Gatland dkk, 1991). Lasisi dkk. (2007) melaporkan rerata ambang dengar pasien PGK sebesar 47,42 dBHL. Sharma dkk. (2011) juga melaporkan hal serupa, di mana derajat ketulian berkisar antara derajat ringan hingga sedang seperti pada gambar 2.7.
25
Gambar 2.4. Rerata ambang dengar pada pasien PGK pada masing-masing frekuensi (Sharma dkk, 2011).
2.8. Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penyakit Ginjal Kronik Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih kontroversial. Bebera-pa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya gangguan pendengaran pada pa-sien PGK adalah kemiripan antara ginjal dan koklea, gangguan elektrolit, uremia, kondisi komorbid, obat-obat ototoksik, dan hemodialisis (Thodi dkk, 2006). Nefron pada ginjal dan stria vaskularis pada koklea memiliki kemiripan fisiologi, ultrastruktur dan antigen yang diduga sebagai kaitan antara gangguan pendengaran dan penyakit ginjal kronik. Membran basilaris pada endotelium kapiler kapsul Bowman dan tubular proksimal ginjal serta stria vaskularis koklea pada pemeriksaan histologi sangat mirip. Sel epitel pada kedua organ ini berperan dalam transpor aktif cairan dan elektrolit dan mengandung banyak mitokondria, Na+/K+ ion pump ATP-ase dan karbonik anhidrase. Ginjal dan koklea juga memiliki kemiripan farmakologik, yaitu beberapa obat yang bersifat nefrotoksisk juga bersi-fat ototoksik, seperti aminoglikosida. Perkembangan ginjal dan koklea diduga dipe-ngaruhi oleh gen yang sama, seperti pada sindrom Alport yang menunjukkan gangguan kongenital pada koklea dan ginjal. Kemiripan-kemiripan ini menge-sankan faktor yang sama dapat menyebabkan gangguan pada koklea dan ginjal. Selain itu gangguan pendengaran dan PGK memiliki faktor risiko yang
26
sama, diantaranya usia tua, diabetes dan hipertensi (Muyassaroh dan Ulfa, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Gangguan keseimbangan elektrolit dalam darah yang terjadi pada pasien PGK akan mengganggu keseimbangan elektrolit di dalam koklea. Komposisi elektrolit cairan telinga dalam berperan untuk mempertahankan elektromotilitas sel-sel rambut koklea. Rasio konsentrasi Na+/K+ pada endolimfe dan perilimfe berbeda dan tranduksi sensorik sel-sel rambut koklea terjadi sebagai hasil pertukaran ion Na+ dan K+. Gangguan pada keseimbangan konsentrasi elektrolit ini akan meng-ganggu fungsi koklea dan menimbulkan gangguan pendengaran (Govender dkk, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal pasien PGK mendapatkan sedimentasi pada stria vaskularis, berku-rangnya sel-sel rambut luar koklea, demyelinisasi seratserat preganglionik koklea dan kehilangan sel-sel pada ganglion spiralis (Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Uremia dapat menimbulkan neuropati uremikum yang mengenai nervus vestibulokoklear dan menyebabkan gangguan konduksi impuls saraf (Burn dan Bates, 1998). Berbagai penelitian elektrofisiologi memakai auditory brainstem response atau ABR membuktikan adanya perlambatan konduksi saraf. Penelitian oleh Antonelli dkk. (1990) yang memakai ABR pada pasien PGK dan kontrol tanpa PGK dengan gangguan pendengaran serupa mendapatkan kelompok PGK memiliki interpeak latency gelombang I-III yang secara signifikan lebih panjang dibanding-kan kelompok kontrol. Interpeak latency gelombang I-III mewakili waktu konduksi dari koklea menuju nukleus koklearis, sehingga temuan ini
27
diinterpretasikan seba-gai disfungsi subklinik nervus vestibulokoklear yang diakibatkan oleh neuropati uremikum. Sharma dkk. (2012) mendapatkan adanya perbedaan yang signifikan pemanjangan latensi absolut gelombang III dan V ABR, interpeak latency ge-lombang I-III dan I-V pada pasien PGK tanpa gangguan pendengaran dengan GFR <10 ml/menit/1,73m2 dibandingkan dengan pasien PGK tanpa gangguan pende-ngaran dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2 namun lebih dari 10 ml/menit/1,73m2. Komorbiditas yang sering ditemukan pada pasien PGK adalah hipertensi dan diabetes melitus. Kedua kondisi ini secara independen dihubungkan dengan terjadinya gangguan pendengaran. Pemeriksaan histopatologik koklea pada pasien diabetes melitus menunjukkan penebalan dinding kapiler pada stria vaskularis, ber-kurangnya jumlah serat dalam lamina spiralis, degenerasi organ Corti, dan penurunan fungsi sel-sel rambut luar. Hormon natriuretik yang sering ditemukan dalam aliran darah pasien hipertensi diduga menghambat aksi Na+/K+ ion pump, sehingga mengganggu fungsi stria vaskularis koklea (Govender dkk, 2013). Penanganan PGK meliputi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal yang lebih agresif memakai dialisis ataupun transpalantasi ginjal. Beberapa jenis pengobatan dan metode yang digunakan memiliki efek terhadap fungsi pendengaran pasien PGK. Salah satu obat yang paling sering digunakan oleh pasien PGK adalah furosemide yang merupakan diuretik yang bersifat ototoksik. Pemakaian furosemide diketahui dapat menimbulkan penurunan potensial endokoklea dan aksi potensial N.VIII yang cepat namun reversibel, serta penurunan konsentrasi K+ endolimfe yang perlahan. Gangguan ini diduga karena
28
furosemide menghambat transport K+ pada stria vaskularis. Antibiotika golongan aminoglikosida mening-katkan efek ototoksisitas furosemide (Rybak, 1985). Efek HD terhadap fungsi pendengaran pasien PGK masih diperdebatkan. Gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilakukan HD diduga terjadi akibat perubahan cairan dan komposisi elektrolit endolimfe, serta kemungkinan paparan membran selusosa asetat dari mesin hemodialisis yang digunakan, sehingga produk degradasi asetat tersebut masuk ke dalam aliran darah (Muyassaroh dan Ulfa, 2013). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal pasien PGK yang menjalani HD dan mengalami gangguan pendengaran mendapatkan adanya kolaps sistem endolimfatik, edema dan atrofi sebagian selsel di dalam koklea. Perubahan-perubahan ini diduga akibat gangguan osmotik karena HD (Thodi dkk, 2006). Mancini dkk. (1996) mendapatkan insiden tuli sensorineural pada pasien anak-anak PGK yang mendapatkan terapi konservatif sebesar 29% dan HD sebesar 28%. Angka ini didapatkan tidak signifikan dan mengambil kesimpulan bahwa onset ketulian telah terjadi pada tahap awal perjalanan PGK dan tidak disebabkan oleh terapi yang diberikan. Hasil serupa juga didapatkan oleh Ozturan dan Lam. (1998), yaitu tidak terdapat hubungan bermakna antara tuli sensorineural dan HD berdasarkan penelitian pada 15 subjek dan 10 kontrol memakai audiometri nada murni dan DPOAE. Samir dkk. (1998) mendapatkan insiden disfungsi koklea yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien PGK anak-anak yang menjalani HD dibandingkan dengan yang menjalani terapi konservatif. Namun fungsi ginjal pada pasien HD lebih buruk dibandingkan
29
dengan pasien yang menjalani terapi konservatif, sehingga hal ini dapat mengaburkan interpretasi efek fungsi ginjal yang buruk dan efek terapi terhadap fungsi pendengaran. Penelitian oleh Aspris dkk. (2008) mendapatkan adanya perbaikan latensi gelombang I dan V yang signifikan pada pasien PGK setelah HD dibandingkan dengan sebelum HD. Namun semua latensi gelombang ini tetap mengalami pemanjangan yang signifikan dibandingkan dengan subjek kontrol normal. Mereka berkesimpulan HD dapat memperbaiki fungsi jaras auditorik secara keseluruhan, tetapi tidak dapat mengembalikan fungsinya sampai normal. Gafter dkk. (1989) mendapatkan perbaikan transien latensi gelombang III setelah HD. Hal ini menunjukkan HD mungkin memiliki efek positif sementara, namun efek HD jangka panjang tampaknya tidak mempengaruhi konduksi sepanjang jaras saraf auditorik. Jakic dkk. (2010) melaporkan 63,64% dari total 66 pasien yang menjalani HD kronik mengalami peningkatan ambang dengar di atas 20 dBHL. Pasien HD yang berusia di bawah 60 tahun memiliki rerata ambang dengar 23,60 dBHL dengan simpang baku 10,95, sedangkan yang berusia di atas 60 tahun memiliki rerata ambang dengar sebesar 30,30 dBHL dengan simpang baku 7,95. Rerata ambang dengar ini didapatkan tidak berkorelasi dengan durasi HD dan hanya berkorelasi signifikan dengan usia pasien. Etiologi yang diduga berperan dalam terjadinya gangguan pendengaran ini adalah akibat neuropati uremikum dan penuaan vaskular prematur, walaupun faktor-faktor lain juga diduga ikut berkontribusi.
30
2.9. Adekuasi Hemodialisis dan Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler Penelitian yang meneliti mengenai pengaruh adekuasi hemodialisis terhadap ambang dengar belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun berdasarkan laporan sebelumnya yang menyatakan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK, salah satunya adalah perburukan neuropati uremikum (Ramirez dan Gomez, 2012). Laaksonen dkk (2000) meneliti hubungan antara adekuasi hemodialisis dan fungsi nervus autonomik jantung, yang dinilai dari variabilitas detak jantung, pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Mereka mendapatkan adekuasi HD merupakan prediktor terhadap fungsi nervus autonomik jantung. Hanya pasien dengan Kt/V di atas 1,2 menunjukkan perbaikan variabilitas detak jantung, sedang-kan pasien dengan Kt/V di bawah 1,2 tidak menunjukkan perbaikan, bahkan beberapa menunjukkan perburukan. Hasil serupa juga diharapkan terjadi pada nervus vestibulokoklear. Nervus vestibulokeklear yang berperan dalam proses mendengar dan keseimbangan merupakan nervus kranialis yang paling sering mengalami neuropati uremikum (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012). Pasien dengan adekuasi HD yang tidak cukup diduga memiliki ambang dengar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasuien dengan adekuasi HD yang cukup.