BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lapisan Air Mata dan Kelenjar Meibom 2.1.1 Lapisan Air Mata Permukaan bola mata dilindungi oleh lapisan air mata yang berfungsi mempertahankan kelembaban permukaan mata, sebagai media pembersih dari debris, melindungi permukaan mata, dan menyediakan oksigen dan nutrisi kepada epitel kornea. Lapisan air mata mengangkut zat-zat dan debris kemudian dikeluar melalui pungtum lakrimal. Sebagai tambahan lapisan air mata juga mengandung bahan-bahan antimikroba, sebagai lubrikasi antara kornea dan kelopak mata serta mencegah pengeringan permukaan mata. (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a) Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin. Lapisan air mata memiliki ketebalan sekitar 8-9 µm. Lapisan lipid memiliki ketebalan 0,10,2 µm dan merupakan lapisan yang terletak paling luar yang berfungsi mencegah penguapan air mata dan mempertahankan stabilitas air mata. Lapisan aqueous di bagian tengah memiliki ketebalan 7-8 µm merupakan komponen utama lapisan air mata. Lapisan aqueous mengandung elektrolit, air, dan protein yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama yang terletak dalam orbita maupun oleh kelenjar lakrimal tambahan seperti kelenjar Krause dan Wolfring pada konjungtiva. Protein pada lapisan aqueous meliputi immunoglobulin A (IgA), IgG, IgD dan IgE yang berperan sebagai mekanisme pertahanan lokal di bagian permukaan mata. Lapisan aqueous
8
9
selain sebagai antibakteri dan antiviral, juga berfungsi sebagai pelarut nutrisi, penyedia oksigen, dan menjaga regularitas kornea. Bagian posterior lapisan air mata adalah lapisan musin dengan ketebalan 1µm mengandung glikoprotein. Lapisan musin berperan sebagai barrier dari perlengketan maupun penetrasi partikel asing atau bakteri ke permukaan bola mata. Lapisan musin ini diproduksi oleh kelenjar goblet konjungtiva. (American Academy of Ophthalmology Staff, 20112012a; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b) 2.1.2 Kelenjar Meibom Sebuah kelenjar meibom dibentuk oleh sekumpulan secretory acini yang tersusun sirkular mengelilingi sebuah duktus yang panjang dan secretory acini ini terhubung dengan duktulus yang lebih pendek. Orifisium dari duktus kelenjar berakhir di batas posterior palpebra sebelah anterior dari MCJ di tepi palpebra, tempat lipid disekresikan ke dalam meniscus air mata. (Knop et al., 2011). Kelenjar meibom terletak di tarsus palpebra berjumlah 30-40 kelenjar di palpebra superior dan 20-30 kelenjar di palpebra inferior. Panjang satu kelenjar dilaporkan sekitar 5,5 mm di bagian tengah palpebra superior dan 2 mm di palpebra inferior. Kelenjar di palpebra inferior cederung lebih lebar dari pada di superior. Jumlah secretory acini pada setiap kelenjar meibom diperkirakan sekitar 10-15 buah dan lebih banyak pada palpebra superior dibandingkan inferior. (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Knop et al., 2011). Lipid kelenjar meibom diproduksi di reticulum endoplasma sel meibocyte. Lipid droplet hasil dari reticumlum endoplasma ini berintegrasi dengan protein dan asam nukleat membentuk produk sekresi minyak yang disebut dengan meibum.
10
Meibum kemudian disekresikan dari acinus ke sistem duktus dan diteruskan ke tepi palpebra. Mekanisme pengeluaran sekresi meibum melalui mekanisme tekanan yaitu (1) melalui sekresi terus menerus oleh secretory acini yang menghasilkan tekanan di acinus yang menekan meibum ke sistem duktus dan kemudian menuju orifisium, (2) mekanisme penekanan oleh m. orbicularis oculi yang terletak di luar tarsus dan m. riolan yang terletak melingkar di bagian terminal kelenjar meibom pada saat mengedip. (Knop et al., 2011)
Gambar 2.1 Morfologi kelenjar meibom dan mekanisme pengeluaran sekresi meibum ke tepi palpebra. (Knop et al., 2011) 2.1.3 Lapisan lipid air mata Meibum normal memiliki karakteristik berwarna jernih dan cairan lemaknya dengan mudah menyebar melapisi permukaan mata membentuk lapisan lipid air mata. Lapisan lipid air mata memiliki ketebalan antara 20 sampai 160 nm yang terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar berupa lapisan lipid non-polar dan lapisan
11
dalam berupa lapisan lipid polar (Gambar 2.2). Lipid hasil sekresi kelejar meibom merupakan campuran kompleks yang mengandung ester kolesterol, triasilgliserol, kolesterol bebas, asam lemak bebas, fosfolipid, wax esters, dan diesters. Meibum ini memiliki titik leleh antara suhu 19°C sampai 37°C sehingga pada suhu tubuh normal 37°C akan dengan mudah untuk keluar ke tepi palpebra (Green-Church et al., 2011; Macsai, 2008)
Gambar 2.2 Lapisan air mata manusia (Nichols et al., 2011) Lapisan lipid air mata memiliki fungsi untuk menghambat penguapan, berperan pada pembiasan cahaya karena posisi pada antarmuka udara-film air mata, mempertahankan barier hidrofobik yang mencegah air mata mengalir berlebihan dengan
meningkatkan
tegangan
permukaan.
(American
Academy
of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Green-Church et al., 2011) Lapisan lipid air mata berperan penting dalam stabilitas lapisan air mata. Ketidakstbilan lapisan air mata merupakan salah satu dari mekanisme terjadinya mata kering terjadi akibat tidak adekuatnya lapisan lipid air mata. Waktu pecah atau
12
break up time air mata dianggap menunjukkan stabilitas air mata. Break up time merupakan pemeriksaan untuk mengukur kekeringan kornea sesudah satu kedipan pada waktu tertentu. Pemeriksaan fluoresceine break up time (FBUT) mengukur waktu yang diperlukan untuk air mata pecah di dalam mata. Uji FBUT berperan dalam menilai fungsi kelenjar meibom dan dianggap relevan dipakai pada diagnosis DKM (Tomlinson et al., 2011). 2.2 Disfungsi Kelenjar Meibom 2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Disfungsi kelenjar meibom atau meibomian gland dysfunction (MGD) adalah suatu abnormalitas kronis dan difus pada kelenjar meibom yang umumnya ditandai dengan obstruksi duktus terminus dan atau perubahan kuantitatif / kualitatif pada sekretnya sehingga dapat mengakibatkan perubahan film air mata, gejala-gejala iritasi mata, inflamasi yang tampak secara klinis dan adanya penyakit permukaan mata (Nelson et al., 2011). Terminologi yang digunakan disini adalah disfungsi yang berarti terdapat gangguan dari fungsi kelenjar meibom. Kelainan pada DKM bersifat difus oleh karena mengenai sebagian besar kelenjar meibom dan menyebabkan terjadinya abnormaitas film air mata atau epitel permukaan mata. Aspek yang paling menonjol pada DKM ini adalah adanya perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif dari sekresi kelenjar meibom. Gejala subjektif berupa iritasi pada mata dimasukkan pada definisi DKM karena gejala-gejala tersebut paling dirasakan oleh pasien dan menjadi perhatian utama dokter (Nichols et al., 2011).
13
Gambar 2.3 Klasifikasi DKM oleh International Workshop on MGD dibedakan menjadi subgrup berdasarkan tingkat sekresi dan kemudian dibagi menjadi manifestasinya. (Nelson et al., 2011) Disfungsi kelenjar meibom diklasifikasikan menjadi dua kategori mayor berdasarkan sekresi kelejar meibom yaitu DKM beraliran kecil (low delivery MGD) dan DKM beraliran besar (High delivery MGD). DKM beraliran kecil terbagi menjadi DKM hiposekresi dan DKM obstruktif. DKM obstruktif sendiri terdiri dari dua subkategori yaitu DKM sikatrik dan non sikatrik. Secara histologi pada DKM obstruksi terjadi hipertrofi sel epitel duktus dan hiperkeratinasi epitel orifisium. Hiposekresi kelenjar meibom ditandai dengan penurunan sekresi lipid meibom tanpa adanya obstruksi. Karakteristik DKM hiperekresi ditandai dengan pelepasan lipid meibom dalam jumlah besar di tepi palpebra sebagai respon dari adanya tekanan pada tarsus. Kelainan hipersekresi ini tidak berhubungan dengan adanya
14
peradangan aktif dan tidak adanya perubahan pada struktur kelenjar. (Nelson et al., 2011) 2.2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko Prevalensi DKM berkisar antara 3,5 -70 %, angka lebih besar terutama di Asia. (Schaumberg et al., 2011) Berdasarkan penelitian di Bangkok prevalensi DKM dilaporkan sebesar 46,2% (Lekhanont et al., 2006), di Shihpai Eye study dilaporkan sebesar 60,8% (Lin et al., 2003), di Jepang sebesar 61,9% (Uchino et al., 2006) dan di Beijing sebesar 69,3% (Jie et al., 2009). Prevalensi di Asia ini sangat berbeda dengan di populasi kaukasia yaitu 3,5% pada penelitian Salisbury dan 19,9% di Australia. (Schaumberg et al., 2011) Disfungsi kelenjar meibom merupakan gangguan yang umum ditemukan pada praktek dokter mata. Hom et al (1990) melaporkan prevalensi DKM sebesar 38,9 % sedangkan Morniali dan Stanek (2000) menemukan prevalensi sebesar 33% pada pasien berusia kurang dari 30 tahun dan 71,1% pada individu berusia 60 tahun atau lebih. (Matsumoto et al., 2008; Hom et al., 1990; Morniali and Stanek, 2000) Faktor lokal mata, sistemik dan pengobatan berperan pada perkembangan DKM. Faktor lokal di mata yang berperan termasuk blefaritis, penggunaan lensa kontak, dan penyakit mata kering. Kelainan sistemik yang berperan dalam DKM antara lain defisiensi androgen, menopause, penuaan, sindrom Sjogren, kadar kolesterol darah, psoriasis, rosacea, hipertensi, dan hiperplasia prostat jinak. Faktor medikasi juga dihubungkan dengan patogenesis DKM yaitu antiandrogen, pengobatan untuk mengobati BPH, terapi hormon pascamenoupause seperti estrogen dan progestin, antihistamin, antidepresan dan pemakaian retinoid.
15
Sedangkan konsumsi asam lemak omega-3 merupakan faktor protektif. (Nichols et al., 2011) 2.2.3 Patogenesis Disfungsi Kelenjar Meibom Knop et al. (2011) menggambarkan faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis DKM. Faktor penyebab yang sudah diketahui yaitu proses penuaan, umur, jenis kelamin, gangguan hormon, faktor lingkungan, lensa kontak, dan perubahan kualitas atau kuantitas meibum saling berinteraksi menyebabkan terjadinya hiperkeratinisasi sistem duktus kelenjar meibom, peningkatan viskositas meibum, atrofi acinar kelenjar. (Knop et al., 2011) Hiperkeratinisasi
dan
peningkatan
viskositas
meibum
merupakan
mekanisme inti dalam terbentuknya obstruksi orifisium kelenjar meibom yang akan menyebabkan pengeluaran meibum ke tepi palpebra sangat rendah. Obstruksi orifisium ini juga menyebabkan stasisnya meibum di sistem duktus menyebabkan peningkatan tekanan, dilatasi sistem duktus dilanjutkan terjadinya atrofi acinar yang akhirnya menyebabkan sekresi meibum rendah. (Knop et al., 2011) Perubahan pada kualitas dan kuantitas meibum mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas dan atau peningkatan volume sekresi meibum. Adanya perubahan viskositas, volume sekresi dan stasisnya meibum oleh karena obstruksi menyebabkan bakteri-bakteri permukaan mata semakin berkembang. Bakteri komensal seperti stafilokokus koagulase negative, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acnes dihubungkan dan berkontribusi terhadap patogenesis DKM. Bakteri yang tumbuh di permukaan mata tersebut melepaskan enzim lipase yang memicu pelepaskan mediator-mediator toksik seperti asam lemak dan
16
menginisiasi reaksi peradangan subklinis dengan dilepasakan sitokin peradangan. Mediator-mediator toksik ini akhirnya akan memicu terjadinya penyakit mata kering tipe evaporative. (Knop et al., 2011)
Gambar 2.4 Skema patogenesis DKM (Knop et al., 2011) 2.2.4 Diagnosis Disfungsi Kelenjar Meibom Penegakan diagnosis DKM berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang timbul pada DKM meliputi rasa terbakar, sensasi benda asing, hiperemia palpebra dan konjungtiva, dan kalazian rekuren. Penggunaan kuisener Seperti Ocular Surface Disease Index (OSDI) dapat digunakan untuk mengetahui secara lengkap keluhan-keluhan mata kering yang muncul akibat DKM (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b, Tomlinson et al., 2011).
17
Tanda klinis DKM ditemukan adanya dropout kelenjar meibom, perubahan sekresi kelenjar, dan perubahan morfologi palpebral. Dropout kelejar meibom mengacu pada hilangnya jaringan acinar yang terditeksi melalui pemeriksaam meibografi. Dropout kelenjar meibom meningkat seiring dengan bertambahnya usia pada subjek normal. Jumlah kelenjar yang dropout dapat menunjukan keparahan dari DKM. Kehilangan dapat terjadi di bagian proximal, centra, distal atau keseluruhan kelenjar. Dropout kelenjar yang ekstensif dihubungkan dengan peningkatan penguapan air dari mata. (Tomlinson et al., 2011) Perubahan sekresi kelenjar meibom dinilai dari kualitas dan expresibilitas meibum. Untuk mengetahui expresibilitas kelenjar meibom dilakukan penekanan dengan jari tangan pada palpebra. Pada subjek normal penekanan yang ringan sudah mampu mengeluarkan sekresi kelenjar meibom, sedangkan penekanan yang lebih keras dilakukan pada derajat meibum yang lebih tebal. Ekspresibilitas kelenjar meibom dinilai menggunakan skala 0 -3 dilihat pada 8 kelenjar meibom di palpebra inferior atau superior. Berdasarkan jumlah kelenjar yang mengeluarkan sekresi / ekspresibilitas : skor 0 (bila semua kelenjar); skor 1, (3 sampai 4 kelenjar); skor 2, (1 sampai 2 kelenjar), dan nilai skor 3 (bila tidak ada kenjar sama sekali). Pada DKM kualitas dari minyak yang terekspresi bervariasi antara cairan keruh, cairan viscous yang mengandung partikulat dan berwarna keruh tebal, dan material seperti pasta gigi. Skor yang digunakan menggunakan sistem 4 nilai yaitu skor 0 (jernih /normal); skor 1 (keruh) ; skor 2 (keruh dengan partikel); skor 3 (seperti pasta gigi). Kualitas sekresi ini dinilai pada 8 kelenjar di palpebral superior dan inferior. Skor kelenjar meibom didapatkan dengan menjumlahkan skor ekspresibilitas dan skor
18
kualitas sekresi. Menurut IWMGD bila umur <= 20 tahun nilai 1 pada skor ekspresibiltas atau kualitas sekresi dianggap abnormal, bila umur <= 20 tahun nilai skor 1 pada skor ekspresibiltas dan kualitas sekresi dianggap abnormal, atau nilai > 1 pada salah satu skor eksresibilitas atau kualitas sekresi meibom (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b; Tomlinson et al., 2011)
0
2
1
3
Gambar 2.5 Derajat Disfungsi Kelenjar Meibom (Abelson and Oberoi, 2006; Tomlinson et al., 2011; Bron, Benjamin and Snibson, 1991) Penelitian oleh Paiva et al. (2003) yang membandingkan normal subjek dengan subjek yang mengeluh iritasi mata didapatkan perubahan mofologi palpebra dapat dilihat adanya metaplasia di orifisium kelenjar, brush mark (tanda vascular linear). Perubahan morfologi palpebral oleh Arita et al. (2009) dinilai dari ada atau tidak abnormalitas palpbera seperti : irregularitas palpebra, engorgement pembuuh darah palpebra, penyumbatan orifisium kelenjar meibom dan pergeseran anterior
19
atau posterior dari pertautan mukokutaneous. (Tomlinson et al., 2011; Arita et al., 2009; Paiva et al., 2003) Pemeriksan penunjang lain dilakukan selain untuk diagnosis DKM itu sendiri juga dilakukan terutama untuk mengetahui apakah ada penyakit yang berhubungan dengan DKM. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu pemerikaan untuk mengetahui kualitas dan kuatitias lapisan air mata seperti pemeriksaan lapisan lipid air mata, tes penguapan, osmolaritas, stabilitas, volume dan sekresi serta pemeriksaan tanda peradangan pada pemukaan mata (Tomlinson et al., 2011). Pemeriksaan FBUT adalah Pemeriksaan untuk mengetahui stabilitas lapisan air mata. Tes ini dikerjakan dengan menggunakan floresin yang diteteskan di fornix konjungtiva, kemudian subjek diperintahkan untuk berkedip beberapa kali. Pemeriksaan dilakukan di slit lamp dengan filter biru, subjek diminta berkedip secara alami dan setelah kedipan terakhir dimulai pengukuran waktu pecahnya film air mata atau bintik hitam di kornea. Nilai FBUT normal adalah >10 detik. Sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan FBUT dilaporkan sebesar 72% dan 62%. (Tomlinson, et al., 2011). Pemeriksaan Schirmer I adalah pemeriksaan untuk mengetahui kualitas sekresi air mata. Tes ini dikerjakan dengan menggunakan kertas filter Schirmer pada sepetiga lateral kelopak mata bawah selama 5 menit dengan mata terpejam. Pemeriksaan dilakukan tanpa pemeberian anestesi topical. Panjang kertas filter yang basah karena air mata dinyatakan dalam millimeter (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
20
2.2.5 Penatalaksanaan Disfungsi Kelenjar Meibom Penatalaksanaa DKM disesuaikan dengan derajat keparahan DKM. IWMGD merekomendasikan algoritma penatalaksanaan DKM berdasarkan pendekatan berbasis bukti. (Nichols et al., 2011) Algoritma disusun berdasarkan keluhahan, tanda klinis DKM yaitu kualitas sekresi meibum, ekspresibilitas, dan morfologi tepi palpebra serta perwarnaan permukaan mata (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Algoritma penalaksanaan DKM berdasarkan pendekatan bukti (Nichols et al., 2011) Derajat 1
2
Tanda Klinis
Penalaksanaan
Tidak ada keluhan mata tidak Informasi kepada pasien tentang nyaman, gatal atau silau DKM, akibat potensial dari diet, dan efek lingkungan rumah atau Tanda Klinis DKM berdasarkan tempat kerja terhadap air mata. ekspresi kelenjar meibom - Perubahan Sekresi minimal Pertimbangan higienitas : Gradasi ≥2-4 palpebra termasuk penghangatan - Ekspresibilitas : 1 dan penekanan Tanpa pewarnaan permukaan mata Keluhan minimal sampai ringan Saran pada meningkatkan dari keluhan tidak nyaman mata, kelembaban, optimalisai tempat gatal, atau silau kerja dan peningkatan konsumsi asam lemak omega-3 Tanda klinis DKM minimal sampai ringan Higienitas palpebra dengan - Fitur tepi palpebra yang penghangatan ( minimal 4 menit, tersebar 1 – 2 kali sehari) diikuti dengan - Perubahan sekresi ringan : pemijatan dan pengeluaran gradasi ≥4 - <8 sekresi kelenjar - Ekspresibilitas : 1 Semua yang disebutkan diatas Pewarnaan permukaan mata dikombinasi : terbatas - Air mata buatan - Azitromicin topikal - Spray liposomal - Pertimbangkan derivat tetrasiklin oral
21
3
4
Keluhan sedang pada rasa tidak Terapi seperti yang disebutkan nyaman, gatal, dan silau pada stage 2 plus: - Derivat tetrasiklin oral Tanda klinis DKM sedang - Salep lubrikasi saat tidur - Fitur tepi palpebra : - Terapi anti peradangan penyumbatan, vaskularitas untuk mata kering sesuai - Perubahan sekresi sedang : indikasi gradasi ≥8 - <13 - Ekspresibilitas : 2 Perwarnaan konjuntiva dan kornea perifer, lebih sering di inferior ringan sampai sedang Keluhan yang jelas pada rasa tidak Terapi seperti yang disebutkan nyaman pad amata , gatal dan silau pada stage 3 , plus yang mengganggu aktivitas sehari- Terapi anti peradangan hari untuk mata kering Tanda klinis DKM berat - Fitur tepi palpebra : droupout, displacement - Perubahan sekresi sedang : gradasi ≥13 - Ekspresibilitas : 3 Peningkatan perwarnaan konjungtiva dan kornea termasuk pewarnaan sentral Peningktan tanda peradangan : hiperemi konjungtiva
Suplementasi asam lemak omega-3 mendapatkan kenaikan popularitas dalam beberapa tahun terakhir karena efek anti peradangan. Asam lemak omega-3 dan omega-6 menurunkan ekspresi tanda peradangan konjungtiva HLA-DR dan mungkin membantu memperbaiki keluhan mata kering (Brignole-Baudouin et al., 2011). Terdapat hubungan antara komsumsi asam lemak omega-3 per oral dengan penurunan laju penguapan air mata, perbaikan pada keluhan mata kering dan peningkatan sekresi air mata (Kangari et al., 2013). Hal yang sama juga ditemukan oleh Bhargava et al. (2013) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada
22
peningkatan nilai test Schirmer, FBUT dan penurunan keluhan pada kelompok omega-3 dibandingkan kontrol. (Kangari et al., 2013; Bhagava et al., 2013; Brignole-Baudouin et al., 2011) Efikasi suplementasi asam lemak omega-3 pada DKM telah dilaporkan pada berbagai penelitian. Pinna et al (2007) melaporkan superioritas suplementasi omega-3 dibandingkan dengan placebo atau higienitas palpebra pada pasien dengan DKM. Macsai (2008) melaporkan penelitian randomize clinical trial untuk menilai efikasi omega-3 pada pasien dengan DKM obstruksi ringan dan blefaritis yang telah mendapatkan terapi topical dan tetrasiklin oral. Pada penelitian tersebut didapatkan perbaikan pada keluhan dan tanda objektif seperti stabilitas dan produksi air mata, pewarnaan permukaan mata, asesmen kelenjar meibom, evaluasi meibum antara baseline dengan setelah 1 tahun pengukuran. Untuk pengukuran FBUT, Meibum skor, OSDI tidak ditemukan perbedaan antara kedua grup perlakuan dan placebo karena kedua grup memberikan perbaikan. Penelitian lain oleh Olenik didapatkan hasil yang sama yaitu terjadi perbaikan OSDI, FBUT, peradangan tepi kelopak mata, dan sekresi kelenjar meibom setelah pemeberian kapsul omega-3 selama 3 bulan. (Macsai, 2008; Olenik et al., 2013; Pinna et al., 2007) 2.3 Dislipidemia Dislipidemia adalah keadaan yang ditandai oleh abnormalitas kadar lipid darah yaitu peningkatan kadar trigliserida, LDL, kolesterol total dan penurunan kolesterol HDL. Dislipidemia menurut ATP III adalah Total kolesterol (TC) > 200 mg/dl, TG > 150 mg/dl , LDL > 130 mg/dl, HDL <40 mg/dl. (Adult Treatment Panel III, 2002)
23
Tabel 2.2 Kadar lipid serum normal menurut NCEP (National
Cholesterol
Education Program) ATP III (Adult Treatment Panel III) (2000) (dalam mg/dl) Total Kolesterol <200 200-239 ≥240
Optimal Diinginkan Tinggi
LDL <100 100-129 130-159 160-189 ≥190 Trigliserida <150 150-199 200-499 ≥500 HDL <40 ≥60
Optimal Mendekati optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi Optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi Rendah Tinggi
Penelitian-penelitian mengenai lipid yang sudah dilakukan sebagian besar diutamakan pada risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Keadaan hiperkolesterolemia menginduksi terjadinya proses atherogenesis yang memicu pembentukan antherosklerosis pada pembuluh darah. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL dengan atau tanpa faktor risiko lain meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. (Wilson et al., 1998) Prevalensi disipidemia di Amerika serikat didapatkan kadar kolesterol total lebih dari 200 mg/dl adalah sebesar 45,% dan kolesterol total lebih dari 240mg/dl adalah sebesar 15,7%. Sedangkan prevanlensi LDL > 130 mg/dl 32,8%, HDL <40 mg/dl 15,5% dan trigliserida > 150 mg/dl adalah 33,1%. (Dao et al., 2010) Di
24
Indonesia prevalensi dislipidemia semakin meningkat. Survei MONICA III tahun 2000 dengan responden sebanyak 1856 yang terdiri dari 60,3% wanita dan 39,7% laki-laki didapatkan profil lipid plasma menunjukkan kadar kolesterol total rata-rata 209,96 ± 45,47 mg/dl, HDL rata-rata 42,89 ± 11,66 mg/dl, sedangan LDL 141,11 ± 37,65 mg/dl, dan trigliserida 130,30 ± 81,89 mg/dl. Proporsinya ditemukan hiperkolesterolemia > 250 mg/dl sebanyak 27.7%, 200mg/dl sebanyak 56.5%, HDL < 40mg/dl sebanyak 47.3%, LDL > 160 sebanyak 28.8%, trigliserida > 160 sebanyak 22.0% dan rasio kolesterol total/HDL > 5 sebanyak 51.9%. (Supari, 2007) Penatalaksaan dislipidemia terdiri atas nonfarmakologis dan penggunaan obat penurun lipid. Penatalaksanaan nonfarmakologi disarankan untuk dilakukan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat penurun lipid. Perubahan gaya hidup merupakan penatalaksanaan non-farmakologi yang meliputi terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik. Omega-3 merupakan salah satu obat untuk menurunkan kadar kolesterol darah. (Adam, 2009) 2.4 Disfungsi Kelenjar Meibom dan Dislipidemia Hubungan antara kejadian dislipidemia dan DKM masih menjadi kontrovesi. Dao et al (2010) menemukan bahwa pasien dengan DKM derajat sedang sampai berat diketahui insiden dislipidemia lebih tinggi pada peningkatan kadar total kolesterol > 200mg/dlibandingkan kontrol. Namun pada penelitian tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar LDL, HDL dan trigliserida. (Dao et al., 2010) Penelitian lain oleh Pinna et al., (2013) menemukan terdapat perbedaan kadar kolesterol total, LDL dan HDL pada pasien DKM tanpa riwayat hiperkolesterolemia sebelumnya dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini juga
25
menemukan kejadian hiperkolesterolemia >200 mg/dl sebesar 58% pada pasien DKM. (Pinna et al., 2013) Hasil berbeda didapatkan oleh Bukhari et al. (2013) bahwa tidak ada korelasi antara DKM dengan dislipidemia. Penelitian ini ternyata menemukan bahwa prevalensi tingginya kadar triglierida dan LDL meningkat sesuai dengan meningkatnya derajat DKM. Prevalensi meningkatnya kadar trigliserida pada DKM derajat 1 5,7%, derajat 2 14,6%, 39,3% pada derajat 3. Kadar LDL tinggi didapatkan pada derajat 1 sebesar 17,1%, derajat 2 29,3% dan derajat 3 35,7%. Hal ini terjadi karena skresi kelenjar meibom yang mengandung trigliserida sebesar 1%2% pada sekresi meibum normal. Peningkatan kadar trigliserida dan LDL kemungkinan memberi peran pada peningkatan titik leleh meibum dan penurunan viskositasnya yang pada akhirnya menyebabkan buntunya orifisium kelenjar meibom. (Bukhari, 2013) 2.5 Asam Lemak Omega-3 Terdapat 2 jenis Polyunsuturated Fatty Acid (PUFA) yaitu omega-3 dan omega-6. Omega-3 dan omega-6 merupakan lemak esensial yang diperlukan pada proses pertumbuhan dan perkembangan. Asam lemak omega-3 terdiri atas 2 subkelas pada dalam diet manusia yang bersumber dari tumbuhan dan makanan laut. Subkelas pertama yang lebih dahulu diketahui terdiri dari 1 asam lemak omega-3 yaitu αlinolenic acid (ALA) dan subkelas kedua terdiri dari 3 asam lemak omega-3 yaitu eicosapentaenoic acid (EPA), docosapentaenoic acid (DPA) dan docosahexaenoic acid (DHA). (Macsai, 2008; Harris and Jacobson, 2009)
26
Omega-3 dan omega-6 bersaing untuk enzim yang sama untuk akhirnya akan dikonversi menjadi prostaglandin anti inflamasi (PGE3) dan leukotrin inflamasi rendah pada omega-3 dan omega-6 dikonversi mejadi prostaglandin pro inflamasi (PGE2) dan leukotrin dengan inflamasi lebih banyak. Calder (2003) mendemontrasikan bahwa produksi berlebihan dari PGE2 dan produksi yang rendah dari PGE1 dan PGE3 yang bersifat anti infalmasi terjadi pada perbandingan omega-6 dan omega-3 yang tinggi. (Macsai, 2008; Calder, 2003) Omega-3 memodulasi metabolism prostaglandin melalui sintesis PGE3 sebagai inhibitor kompetitif pada jalur asam arakidonat. Pada fase awal terjadinya inflamasi, sejumlah besar interleukin dan mediator lipid dilepaskan. Eicosanoid proinflamasi dari metabolism arakidonat dilepaskan dari membrane fosfolipid di tempat inflamasi diaktifkan. Eicosapentaenoic acid berkompetisi dengan asam arakidonat untuk sintesis prostaglansin dan leukotriene antiinflamasi oleh EPA dan proinflamasi oleh asam arakidonat pada tingkat siklooksigenasi dan lipooksigenasi. (Macsai, 2008) Peningkatan jumlah EPA dan DHA sistemik menyebabkan : (1). Penurunan produksi prostaglandin E2, (2). Penurunan thromboxane A2, platelet aggregator dan vasokonstritor poten, (3). Penurunan pembentukan leukotriene B4, pemicu inflamasi, kemotaksis leukosit dan aderen, (4). Peningktan thromboxane A3, platelet aggregator dan vasokontriktor lemah, (5) peningkatan prostacyclin PGI3, inhibitor agregasi platelet (6). Peningkatan leukotriene B5 , pemicu inflai dan agen kemotaksis yang lemah. (Macsai, 2008)
27
Gambar 2.6 Jalur metabolik omega-3 dan omega-6 (Macsai, 2008) 2.5.1 Mekanisme Kerja Omega-3 pada Disfungsi Kelenjar Meibom Salah satu penyebab terjadinya DKM adalah adanya hiperkeratinasi dan pathogenesis lain yang berhubungan seperti dilatasi duktus dan atrofi acinar. Penyebab lain seperti atopi, pempigoid, acne rosasea, dan seboroic dihubungan dengan DKM dan inflamasi kronis di permukaan mata. Salah satu mekanisme kerja omega-3 pada penyakit mata kering dan DKM adalah efek dari pemecahan omega3 menghasilkan molekul yang mampu menekan inflamasi. Metabolime omega-3 menyebabkan penghambatan metabolism omega-6 yang bersifat proinflamasi yang kemudian menurunkan status inflamasi di tepi palpebra dan daerah sekitar kelenjar meibom. Pada pasien dengan DKM dan penyakit mata kering yang merupakan
28
akibat dari inflamasi, penurunan status inflamasi sitemik juga meringankan keluhan mata kering dan DKM (Brignole-Baudouin et al., 2011; Macsai, 2008) Macsai (2008) melaporkan bahwa pemberian suplementasi omega-3 pada DKM selain berperan sebagai antiinflamasi juga berperan pada perubahan jenis dan komposisi asam lemak pada sekresi kelenjar meibom. Hal tersebut bermanfaat kepada stabilitas lapisan air mata dan kemungkinan mencegah stagnasi dan inflamasi di duktus kelenjar meibom. (Macsai, 2008) 2.5.2 Dosis Omega-3 Pada Disfungsi Kelenjar Meibom Sampai saat ini belum terdapat rekomendasi mengenai dosis omega-3 yang diberikan pada disfungsi kelenjar meibom. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan pemberian 2 gram sebanyak 3 kali sehari omega-3 dalam bentuk flaxeed oil memberikan efek penurunan skor meibum secara signifikan (Macsai, 2008). Dosis 6 gram flaxeed oil diberikan mengacu pada dosis maksimal per hari yang boleh diberikan. Penelitian lain oleh Olenik et. al. tahun 2013 didapatkan terjadi perbaikan pada skor OSDI, FBUT, peradangan tepi kelopak mata, dan ekspresi kelenjar meibom yang menggunakan kapsul omega-3 1,5 gram per hari selama 3 bulan, dosis per kapsul mengandung 350 mg DHA, 42,5 mg EPA dan 30 mg DPA. (Olenik et al., 2013) 2.5.3 Efek samping Omega-3 Efek samping yang bisa terjadi bila mengkonsumsi omega-3 adalah alergi terhadap omega-3, rasa tida nyaman seperti mual, peningkatan terjadinya perdarahan dan peningkatan risiko kangker prostat pada laki-laki. Perdarahan terjadi karena omega-
29
3 menghambat fungsi platelet melalui mekanisme kompetisi dengan asam arakidonat yang berperan pada pembentukan eicosanoid pada siklooksigenase. (Harris dan Jacobson, 2009). Pasien yang mendapat dosis omega-3 dengan rentang 2-5 gram per hari tidak ditemukan bukti adanya peningkatan tendensi terjadinya perdarahan. (Macsai, 2008) Hubungan antara konsumsi omega-3 dengan kejadian kangker prostat masih menjadi kontroversi. Peningkatan risiko terjadinya kangker prostat diketahui berdasarkan peningkatan kadar serum prostat spesifik antigen (PSA) pada subjek yang mendapatkan suplemen omega-3 (Brouwer et al., 2013). Kadar PSA pada pasien yang mengkonsusi omega-3 didapatkan sebesar 0,52 ng/mL dibandingkan dengan placebo sebesar 0,42 ng/mL namun secara statistik tidak bermakna (Brouwer et al., 2013)