BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Neuromuskular junction Regio antara motor neuron dan sel otot disebut neuromuscular junction (gambar 1). Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20nm), belahan sinap. Pada saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi influks ion-ion kalsium melalui gerbang saluran kalsium bervoltasi ke sitoplasma saraf yang menyebabkan vesikel di membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin (Acethylcholine). Molekul acethylcholine berdifusi sepanjang belahan sinap untuk berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada membran otot, di motor end-plate. Setiap neuromuscular junction berisi 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan 500,000 reseptor untuk kontraksi normal otot.3,4,5,29. Gambar 1
The neuromuscular junction. V, transmitter vesicle; M, mitochondrion; Acethylcholine, acetylcholine; AcethylcholineE, acetylcholinesterase; JF, 7 Universitas Sumatera Utara
junctional folds. (Reproduced, with permission, from DrAcethylcholineman DB: Myasthenia gravis. N Engl J Med 1978;298:135.)
Struktur reseptor acethylcholine bervariasi di setiap jaringan dan perkembangannya
juga
berbeda.
Setiap
reseptor
acethylcholine
pada
neuromuskular junction normalnya mempunyai 5 subunit protein, 2 subunit α dan subunit tunggal β, δ, dan ε. Hanya sub unit α identik yang bisa mengikat molekul acethylcholine. Bila kedua tempat pengikat diduduki acethylcholine, terjadi perubahan cepat pada subunit (1milisekon) membuka saluran ion pada inti reseptor (gambar 2). Saluran ini tidak akan terbuka jika acethylcholine hanya menduduki satu tempat. 4,5,30. Gambar 2.
8 Universitas Sumatera Utara
A: struktur reseptor Acethylcholine. Note 2 subunit
yang sama berikatan
dengan Acethylcholine dan center channel. B: berikatannya Acethylcholine dengan reseptor pada mucle end-plate menyebaban terbukanya saluran (channel) dan ion flux.
Kation keluar melalui saluran acethylcholine yang terbuka (sodium dan kalsium masuk; potasium keluar), menghasilkan end-plate potential.Jika reseptorreseptor telah cukup diduduki oleh acethylcholine, end-plate potential akan cukup kuat mendepolarisasi membran perijunctional. Saluran-saluran sodium pada bagian ini akan terbuka bila ambang batas voltase terlewati, berlawanan dengan reseptor-reseptor end-plate yang terbuka jika ada acethylcholine (gambar 3). Area perijunctional pada membran otot mempunyai densitas yang lebih tinggi terhadap saluran-saluran sodium dibandingkan bagian-bagian lainnya. Resultan potensial aksi menyebar sepanjang membran otot dan sistem T-tubule yang membuka saluran-saluran sodium dan melepaskan kalsium dari sarkoplasma retikulum. 9 Universitas Sumatera Utara
Kalsium intraselular ini membuat actin dan myosin berinteraksi, yang membuat kontraksi otot. Jumlah acethylcholine yang biasanya terlepas dan jumlah reseptorreseptor yang selanjutnya teraktivasi secara normal melebihi kebutuhan minimum untuk memulai suatu potensial aksi.4,5,29 Acethylcholine segera dihidrolisis ke dalam bentuk asetat dan kolin oleh enzim
spesifik
acetylcholinesterase.
Enzim
ini
(disebut
juga
specific
cholinesterase atau true cholinesterase) tertanam pada membran motor end-plate dan segera mendekati reseptor-reseptor acethylcholine. Akhirnya reseptor saluran ion menutup, menyebabkan repolarisasi end-plate. Ketika potensial aksi berhenti, saluran-saluran sodium pada membran otot juga tertutup. Kalsium memisahkan diri ke sarkoplasmik retikulum, dan sel otot relaks.4,5,29 2.2 Mekanisme Kerja Seperti acethylcholine, seluruh zat – zat penghambat neuromuskular memiliki rantai ammonium yang secara positif mengisi nitrogen sebagai afinitas terhadap reseptor acethylcholine nikotinik. 4,29 2.2.1 Obat Blok Depolarisasi Relaksan otot depolarisasi sangat mirip dengan acethylcholine dan oleh karena itu berikatan dengan reseptor acethylcholine, menimbulkan potensial aksi otot, tidak seperti acethylcholine, obat – obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, dan konsentrasi mereka pada celah sinaps tidak cepat menurun, mengakibatkan depolarisasi memanjang pada sel-sel otot (muscle end plate). 4,29 Depolarisasi end-plate terus menerus menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan gerbang bawah pada saluran natrium perijunctional adalah terbatas waktu. Setelah eksitasi inisial dan pembukaan (gambar 3b), saluran natrium ini menutup (gambar 3c) dan tidak bisa terbuka kembali sampai repolarisasi endplate. End-plate tidak bisa repolarisasi sepanjang relaksan otot depolarisasi terus berikatan dengan reseptor acethylcholine ; hal ini disebut suatu blok fase I. 10 Universitas Sumatera Utara
Setelah satu periode waktu, depolarisasi end-plate memanjang bisa menyebabkan perubahan ion pada reseptor acethylcholine yang menimbulkan blok fase II, yang secara klinis menggambarkan relaksan otot non depolarisasi.4,29 Gambar 3.
Skema saluran sodium.saluran sodium adalah protein transmembran yang mempunyai 2 gerbang fungsional.Ion sodium hanya lewat bila kedua gerbang terbuka.pembukaan gerbang bawah inaktivasi adalah tergantung waktu, dimana gerbang atas adalah tergantung voltase. Saluran ini mengalami tiga bagian fungsiaonal. Pada saat istirahat gerbang bawah terbuka tapi gerbang atas tertutup (A). jika membrane otot mencapai ambang batas depolarisasi, gerbang atas terbuka dan sodium bisa lewat (B). sesaat sterlah gerbang atas terbuka gerbang bawah yang tergantung waktu tertutup (C). ketika membrane kembali repolarisasi ke voltase istirahat gerbang atas tertutup dan gerbang bawah terbuka 11 Universitas Sumatera Utara
(A).
2.2.2 Obat Blok Non Depolarisasi Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor asetilkolin dengan cara:3,4,29 a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor,sehingga mencegah depolarisasi motor end plate. b. Molekul relaksan akan masuk ke terowongan reseptor, menyebabkan blockade channel c. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptik site, memblok terowongan Na+ dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site.
2.3 Suksinilkolin 2.3.1Sejarah Suksinilkolin Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tahun 1906, SC pertama kali disintesa di laboratorium kesehatan di Washington D.C, sekarang dikenal sebagai Institusi Kesehatan Nasional. Reid Hunt, Kepala divisi farmakologi, dan asistennya, Renee de M. Taveau, menghasilkan 17 dari 19 kumpulan derivat kolin yang
dipergunakan
dalam
percobaan
mereka,
satu
diantaranya
adalah
suksinilkolin.1 Awal tahun 1950, segera setelah ditemukannya keberadaan penghambat neuromuskular, uji klinis suksinilkolin di seluruh dunia. Uji coba pertama yang tercatat di Amerika dilakukan oleh Foldes pada tahun 1952. Foldes dipercayai untuk memperkenalkan suksinilkolin kedalam praktek klinis di Amerika. Dalam laporan dari uji coba klinis suksinilkolin pertama, Foldes menjelaskan kriteria dari perelaksasi otot yang baik, dan menyimpulkan bahwa suksinilkolin adalah obat penghambat neuromuskular yang paling mendekati kriteria itu.1 12 Universitas Sumatera Utara
Walaupun sudah lebih dari 50 tahun sejak uji coba pertama itu, suksinilkolin adalah satu satunya deporalisasi perelaksasi otot yang dipergunakan di Amerika. Saat ini pun, suksinilkolin masih satu-satunya obat penghambat neuromuskular yang mempunyai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal, termasuk (1) onset cepat, (2) kelumpuhan yang lengkap dan dapat diperkirakan, (3) pemulihan lengkap dan cepat, dan (4) tidak membutuhkan obat pembalik. Setelah beberapa dekade terlalui, banyak percobaan yang dilakukan untuk menggantikan suksinilkolin dengan perelaksasi otot yang lebih baru, tapi tidak ada yang dapat lebih menyamai karakteristik dari suatu perelaksasi otot ideal.1 Suatu penelitian yang paling mendekati untuk menghasilkan suatu perelaksasi otot ideal yang dikembangkan dari perelaksasi non depolarisasi. Pada tahun 1990, Rapacuronium dan Rocuronium telah diperkenalkan kedalam praktek klinis. Kedua obat ini memberikan harapan bagi klinisi bahwa suksinilkolin akan dapat digantikan. Rokuronium tertinggal dalam penggunaan klinis saat ini, bagaimanapun rokuronium tidak mempunyai onset secepat suksinilkolin, dan jangka waktu kerjanya juga lebih panjang, dan membutuhkan penggunaan dari suatu obat pembalik.1 2.3.2 Rumus Kimia Suksinilkolin
juga disebut diacetylcholine atau suxamethonium –
memiliki 2 acethylcholine molekul yang bersatu (gambar 4). Suksinilkolin adalah inti dari 2 molekul asetilkolin dalam kelompol metil asetat. Formula kimianya adalah C14H30N204. Struktur yang menyerupai acethylcholine inilah yang bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja dari suksinilkolin, efek sampingnya dan metabolismenya.4,5,6
13 Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Farmakologi Suksinilkolin Suksinilkolin bekerja di neuromuskular junction, meningkatkan transmisi neuromuskular. Mekanisme kerja ini membuat postjunctional dan prejunctional memberikan efek yang menyebabkan peningkatan depolarisasi obat. Struktur kimiawi suksinilkolin membuat proses eliminasi yang unik, yang memenuhi kriteria muscle relaxan yang ideal.1 Efek postjunctional Suksinilkolin dapat dibagi menjadi 2 fase, fase I dan fase II. Inilah yang dianggap sebagai akibat dari uniknya struktur kimia asetilkolin. Seperti asetilkolin, suksinilkolin terikat ke subunit α di posjunctional nikotinik asetilkolin reseptor, menyebabkan reseptor terbuka dan ion sodium masuk sebanyak keluarnya potassium dan menyebabkan ion kalsium masuk. Sehingga suksinilkolin menyebabkan depolarisasi end plate dan menjadi pendepolarisasi neuromuskular blok disebut blok fase I,sementara blok fase II yaitu dengan paparan suksinilkolin yang kontiniu maka depolarisasi end plate berkurang dan membran akan mengalami repolarisasi tetapi membran menjadi tidak mudah mengalami depolarisasi kembali sehingga terjadi desensitasi. Tidak seperti Asetilkolin, suksinilkolin menjadi aktif di neuromuskular junction untuk waktu yang lama. Ini mencegah repolarisasi endplate dan timbulnya paralisa. Pemberian suksinilkolin menyebabkan efek agonis di reseptor asetil nikotinik, menyebabkan peningkatan pelepasan dari asetilkolin.1,3,4,5 Banyak karekteristik suksinilkolin dapat melengkapi bagaimana obat ini tereleminasi. Studi ini memberi konstribusi penjelasan bagaimana tubuh mengeliminasi suksinilkolin, ini dimulai di awal tahun 1950. Pada tahun 1951, Whittaker, menemukan bahwa suksinilkolin di hidrolisa melalui 2 langkah oleh horse
kolinesterase.
Pertama
sekali
suksinilkolin
dipecah
menjadi
suksinilmonokolin dan kolin, dan kemudian hidrolisa berkelanjutan menghasilkan asam suksinat dan kolin. Penelitian lebih lanjut tahun 1953 dan 1955 mendukung fakta bahwa suksinilkolin juga dapat dihidrolisa di plasma manusia oleh kolinesterase. Ini digambarkan bahwa kira-kira 150 mg suksinilkolin dapat dihidrolisa dalam waktu 1 menit. Bagaimanapun, sesuai dengan cepatnya difusi 14 Universitas Sumatera Utara
obat dari plasma ke neuromuskular junction, bagian kecil obatnya, kurang dari 10 % masih dapat mencapai neuromuskular junction, dan menyebabkan kelumpuhan saat konsentrasi di sinaps meningkat. Bentuk kimia suksinilkolin yang unik tidak langsung menyebabkan hidrolisa oleh asetilkolinesterase yang terdapat di neuromuscular junction. Efek paralisa suksinilkolin berkurang sejalan dengan obat yang masuk ke jaringan dan plasma, dimana butir kolinesterase meenghidrolisa dalam 2 langkah untuk mencapai hasil akhir asam suksinat dan kolin. Hidrolisa cepat ini terjadi di dalam plasma, mengusahakan distribusi yang cepat, memperlama kerja obat.1,3,4,5 2.3.4 Dosis Suksinilkolin Dosis standarnya dihitung berdasarkan respon otot, biasanya pada otot adductor, yang terstimulasi setelah pemberian obat. Teknik ini digunakan untuk menentukan potensi obat melalui respon gerakan otot adductor ketika terstimulasi. Respon gerakan kurang dari 0 % ketika terjadi kelumpuhan lengkap, dan akan 100 % ketika tidak ada hambatan neuromuskular.1 Karena mula kerja yang cepat, durasi yang singkat dan murah, banyak klinisi yang memilih suksinilkolin sebagai obat yang rutin digunakan untuk intubasi pada dewasa. Dosis intubasi suksinilkolin dewasa biasanya 1 – 2 mg/kg intravena,onsetnya 35-45 detik,durasi 5-10 menit dan ED95 0,5 mg/kgBB suksinilkolin sebaiknya disimpan di lemari es ( 2 – 8ºC), dan sebaiknya digunakan dala 14 hari setelah dikeluarkan dari lemari es.1,4,5 2.3.5 Efek Suksinilkolin Efek samping suksinilkolin yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 31 A. Fasikulasi otot Lebih dari 50 tahun sejak memperkenalkan suksinilkolin dalam praktek klinik, fasikulasi otot dicatat sebagai efek samping pemberian suksinilkolin. Walaupun percobaan klinik pertama kali tahun 1950an, adanya gerakan otot atau kontraksi yang direkam muncul setelah pemberian suksinilkolin. Dalam beberapa 15 Universitas Sumatera Utara
laporan,
faskulisasi
digambarkan
sebagai
kesakitan,
menyebabkan
ketidaknyamanan dalam pemberian obat saat tidak dianastesi. Tahun 2005, Schreirber melaporkan hasil dari meta-analisis dari 52 percobaan acak dari tahun 1971-2003. Percobaan ini menggunakan berbagai jenis obat pencegah faskulisasi otot. Secara keseluruhan hasilnya adalah 95% peserta mengalami faskulisasi, dimana peserta ini tidak mendapatkan obat anti faskulisasi. Faskulisasi ini menjadi topik pembicaraan utama para klinisi dengan tujuannya adalah menurunkan insiden faskulisasi.11 A.1 Fisiologi Fasikulasi Banyak pembelajaran terfokus pada mekanisme fisiologis suksinilkolin dapat menyebabkan faskulisasi. Dua mekanisme kerja yang dibicarakan adalah ikatan prejunctional dan postjunctional Suksinilkolin ke otot dan masing-masing reseptor asetilkolin nikotinik.1,3,4,5 Mekanisme
dari
faskulisasi
dilengkapi
asetilkolin
seperti
efek
suksinilkolin saat menyentuh reseptor asetilkon nikotinik di motor end plate. Ini menyebabkan channel ion sodium terbuka, dan otot memulai depolarisasinya, dimana jika ambang batas dicapai, hasil dari potensial aksi ini menyebabkan kontraksi otot yang terlihat sebagai faskulisasi. Karena suksinilkolin tidak didegradasi oleh asetilkolinesterase di klep junctional, maka akan mengikat reseptor berulang-ulang dan sodium channel menjadi tidak aktif walaupun otot paralisa.1,3,4,5,15 Mekanisme prejunctional menjadi faskulisasi dilengkapi dengan ikatan molekul suksinilkolin ke reseptor asetilkolin nikotinik yang berada di presinaps neuromuskular junction yang berdepolarisasi dan menyebabkan aktifitas saraf yang berulang. Pengulangan aktifitas ini disebabkan oleh impuls saraf yang berjalan ke arah berlawanan dari normalnya (refleks akson antidromik) dari terminal saraf motor yang terstimulasi yang berjalan ke serat motor unit lainnya. Kecepatan dari blok neuromuskular muncul pada reseptor post junctional adalah 16 Universitas Sumatera Utara
berbanding terbalik dengan proporsional potensi obat dan fenomena yang mirip dapat terjadi pada reseptor prejunctional.1,3,4,5 Berdasarkan studi topografi, otot-otot skeltal yang terlibat dalam fasikulasi dapat dibagi menjadi tiga kelompok ; a. Kelompok otot yang sensitif suksinilkolin (98-100% mengalami fasikulasi ), yaitu biseps brakhii, deltoid, ibu jari, gastroknemius, fleksor digiti brevis, otot mata. b.
Kelompok otot yang resisten suksinilkolin (0- 10% mengalami fasikulasi ), yaitu obliqua ekternal, pektoralis mayor, rektus abdominis , latisimus dorsi dan rektus femoralis.
c. Kelompok otot intermediate ( 50- 63% mengalami fasikulasi ), yaitu triseps brakhii, trapezius ,biseps femoralis dan tibialis anterioir.34 Ada banyak laporan mengenai prejunctional dan postjunctional yang menyebabkan faskulisasi, apapun mekanismenya, faskulisasi tetap menjadi masalah terhadap pasien dan klinisi anastesi di klinik.1 Derajat fasikulasi dapat dilihat dengan menggunakan empat skala yaitu: Nilai
Derajat
Keterangan
0
Nol
Tidak tampak fasikulasi
1
Mild
Fasikulasi dijumpai hanya pada jari-jari dan otot wajah
2
Moderate
Fasikulasi minimal pada tungkai dan ekstremitas
3
Severe
Fasikulasi dijumpai pada keseluruhan tungkai dan ekstremitas
17 Universitas Sumatera Utara
A.2 Pencegahan dari Fasikulasi Antagonisme dari blokade depolarisasi dihasilkan dari aksi kompetitif non depolarisasi muskular blok dengan Suksinilkolin pada post junctional reseptor kolinergik nikotik subunit α.17 Pada penelitian Susan C Harvey dkk, fasikulasi adalah hasil dari depolarisasi konduksi aksonal yang antidromic diinisiasi dengan ikatan suksinilkolin pada reseptor prejunctional nicotinic cholinergic. Kemungkinan mencegah fasikulasi dihubungkan dengan besarnya afinitas obat tersebut pada prejunctional colinergic.
1,17
Meta- analisis lengkap oleh Schreiber dan kolega-koleganya juga termasuk data yang dikumpulkan dari beberapa studi yang secara total berisikan fasikulasi dari 12 regimen pretreatment fasikulasi. Meta analisa dari uji coba pretreatment fasikulasi ini mengindikasikan bahwa 4 pretreatment yang memberi keuntungan lebih adalah d-tubocurarin, atracurium, recuronium dan channel sodium bloker (lidokain, phenytoin). 1,7 B. Mialgia postoperasi Selama ujicoba klinis Suksinilkolin pertama pada tahun 1950, peneliti mengungkapkan fenomena dari timbulnya mialgia disertai rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien post operasi. Kejadian pertama yang dilaporkan terhadap mialgia post operasi adalah pada tahun 1952, ketika Bourne fokus terhadap nyeri otot yang dianggap “ kaku otot ” yang disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat karena pemberian Suksinilkolin. Beberapa tahun kemudian, tahun 1954, Churchill – Davidson mengajukan deskripsi awal dari sindrom mialgia postopearasi pada studi pertama yang mengkhususkan tentang mialgia, dimana dilaporkan bahwa nyeri otot yang dirasakan oleh pasien adalah hasil dari pemberian Suksinilkolin. Berbagai deskripsi keterbatasan fisik akibat efek yang disebabkan oleh mialgia postoperasi sering disebutkan pasien melalui literatur tersebut. Gejala yang sering dikeluhkan pasien antara lain adalah gejala yang menyerupai flu ( flu – like 18 Universitas Sumatera Utara
symptom ), nyeri otot seperti telah melakukan olahraga berat, nyeri seperti ditendang kuda, terinjak oleh gajah atau pun terlibat dalam pertandingan.1 Berdasarkan jawaban 218 pasien suatu penelitian (52%)yang mengeluh mengalami mialgia akibat suksinilkolin ,nyeri otot yang dirasakan paling banyak berturut turut berlikasi pada leher (54%), dada (28%), bahu (17% ),punggung (16 %)dan anggota tubuh (6 %).34 Untuk mengetahui derajat mialgia dapat digunakan sistem skoring seperti dibawah ini. 8,12,32 NILAI
DERAJAT
KETERANGAN
0
Nol
Tidak ada nyeri otot atau kebas.
1
Ringan
Nyeri otot atau kebas pada satu tempat tetapi tidak menyebabkan
ketidakmampuan atau pembatasan
aktifitas. 2
Sedang
Nyeri otot atau kebas lebih dari satu tempat tetapi tidak menyebabkan
ketidakmampuan
atau
pembatasan
aktifitas. 3
Berat
Nyeri otot dan kebas lebih dari satu tempat dan menyebabkan ketidakmampuan ataupun pembatasan aktifitas misalnya susah bangun dari tempat tidur atau memutar kepala.
Tingginya insidensi dari mialgia postoperasi dengan berbagai tingkat keparahannya yang telah dikeluhkan oleh pasien menjadikan efek samping ini sebagai prioritas utama bagi dokter untuk menemukan suatu cara, baik untuk meniadakan atau paling sedikit mengurangi persentase dari insiden tersebut.1,6,15
19 Universitas Sumatera Utara
B.1 Patogenesa dari Mialgia poastoperasi
Selama
bertahun–tahun
para
peneliti
telah
mencoba
untuk
mengungkapkan patogenesis dari mialgia postoperasi dengan tujuan untuk mendapatkan pengobatan yang paling efektif. Walaupun suksinilkolin telah dipergunakan dalam praktek klinik selama lebih dari 50 tahun, peneliti masih belum dapat mengidentifikasikan mekanisme yang tepat tentang bagaimana suksinilkolin menyebabkan mialgia postoperasi.1,3,4,5 Beberapa teori telah mengemukakan bahwa kerusakan otot termasuk hasil dari kontraksi otot yang tidak terjadi secara serentak. Pada tahun 1959, Paton mengemukakan kemungkinan alasan dari mialgia postoperasi. Nyeri tersebut dibandingkan dengan nyeri otot setelah latihan berat. Paton mengemukakan bahwa hal ini berdasarkan asal nyeri dan periode waktu terakhir, trauma otot terjadi selama fase depolarisasi dari pemberian suksinilkolin. Dia merasa selama fasikulasi, berkas serabut otot berkontraksi secara bebas dan tidak terjadi secara serentak. Berkas otot tersebut tidak didukung oleh tekanan yang timbul bila otot sedang berkontraksi secara keseluruhan dan geraknya menjadi terbatas oleh karena terikatnya beberapa oleh berkas otot itu sendiri di beberapa tempat. Selama kontraksi yang hebat dan tidak serentak, ketidakmampuan berkas otot untuk mempersingkat kerusakan dan ruptur dari serat, yang menghasilkan nyeri.1 Pada tahun 1971, Waters dan Mapleson mengatakan bahwa timbulnya kontraksi serabut otot yang tidak serentak merupakan hasil dari konsentrasi obat yang bervariasi dibutuhkan untuk serabut otot yang berbeda untuk mencapai ambang batas konsentrasi dari depolarisasi, menghasilkan kontraksi. Dua serat otot yang berdekatan terikat pada salah satu ujung struktur padat seperti tulang dan pada ujung lainnya terikat pada salah satu struktur lainnya misalnya fasia. Timbulnya kontraksi serabut otot yang tidak terjadi secara tidak serentak, memotong kekuatan untuk merusak jaringan ikat yang berada diantara 2 serabut, menghasilkan nyeri. Mereka juga mengatakan bahwa sedikitnya kerusakan ketika fasikulasi hebat teramati, umumnya pada otot-otot yang besar dimana pasokan 20 Universitas Sumatera Utara
darah ke serabut-serabut otot melalui berkas diantara tersebar secara lebih merata, membuat kontraksi terjadi lebih serentak dan lebih mudah terlihat. Kontraksi yang tidak dihasilkan dalam kekuatan memotong yang dapat merusak jaringan ikat. Dengan kata lain, bahagian yang lebih mendetail dari adanya kontraksi serabut yang terjadi secara tidak serentak, menyebabkan fasikulasi mungkin sedikit terlihat, dan lebih banyak kerusakan timbul pada jaringan ikat diantara serabutserabut yang berkontraksi tersebut. Banyak studi penelitian berdasarkan literatur yang tidak dapat dihubungkan dengan tingkat penampakan fasikulasi dengan keparahan dari mialgia postoperasi. Meskipun beberapa studi telah menemukan suatu hubungan.1,3,5,15 Pada tahun 1975, Collier melaporkan hasil dari sebuah studi untuk menjelaskan hubungan yang timbul diantara fasikulasi dan mialgia postoperasi. Dia menyadari dengan mata telanjang penilaian terhadap kekuatan fasikulasi tidak begitu berhubungan dengan aktifitas. Collier menemukan bahwa tidak adanya hubungan antara insiden mialgia selama durasi dari aktifitas EMG, mulai dari nilai istirahat sampai puncak aktifitas, atau pada saat interval antara injeksi medikasi dan onset dari aktifitas. Namun dia menemukan adanya persamaan yang signifikan tentang hubungan antara mialgia postoperasi dan tingginya nilai frekuensi yang dikeluarkan, dimana 39 dari 42 pasien yang mengeluarkan frekuensi lebih besar dari 50Hz mengalami mialgia postoperasi. Collier mencatat bahwa dengan range frekuensi antara 48 – 72 Hz tidak dapat lagi ditemukan hubungan antara beratnya nyeri terhadap frekuensi yang sebenarnya. Dia melaporkan bahwa kekambuhan gejala ditemukan pada frekuensi tertentu. Bessou dkk melaporkan bahwa tetanus pada serat intrafusal dapat ditemukan pada tingkat frekuensi 47Hz. Makin tinggi frekuensi, makin hebat tekanan, dimana bisa menghasilkan kerusakan pada mekanisme kumparan otot. Telah dilaporkan bahwa suksinilkolin memperpanjang kontraksi dari serat intrafusal terutama pada kantong serat nuklear dan sebagai tambahannya menghasilkan eksitasi yang kuat pada ujung afferent. Hal ini dihasilkan pada suatu bagian kumparan otot yang mempunyai kekuatan untuk meregang, menghasilkan kerusakan pada mekanisme 21 Universitas Sumatera Utara
kumparan. Collier melaporkan bahwa mialgia biasanya dialami pada leher, punggung, dada bawah, dan densitas kumparan yang diukur secara per gram otot adalah tertinggi di wilayah ini.1 Laporan tambahan oleh Bourke dan Rosenberg memperlihatkan penurunan kadar kalsium dari pasien yang diberikan Suksinilkolin. Bourke dan Rosenberg mengemukakan bahwa penjelasan untuk penurunan kadar serum kalsium melibatkan pengangkutan aktif dari ion kalsium dari ruang ekstraseluler sebagai depolarisasi dari pemberian Suksinilkolin berpindah melewati tubulus transverses. Sekali ion kalsium berpindah kedalam ruang intraseluler, akan memulai terjadinya kontraksi otot skeletal.1,11 Dari berbagai penelitian terjadinya mialgia dapat disebabkan secara langsung dengan stimulasi diekstrafusal motor sistem dengan inisiasi di presinap dan postsinap dan juga stimulasi di intrafusal motor sistem otot spindles dan gamma efferent sementara secara tidak langsung dengan pelepasan kalium dan timbulnya asam laktat saat terjadi ketiksinkronan kontraksi otot akibat fasikulasi. B.2 Pencegahan Mialgia Sejak awal tahun 1950 dimana penjabaran pertama kali dari fenomena mialgia postoperasi, ratusan penelitian telah dilakukan untuk mencari jalan keluar untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi insidensi dari mialgia postoperasi sebagai tujuan untuk mengurangi nyeri dan penderitaan pasien. Sehubungan dengan tidak jelasnya patogenese dari mialgia yang disebabkan suksinilkolin tidak ada obat yang paling baik,namun peneliti lebih menghubungkan kejadiaan mialgia dengan timbulnya fasikulasi sehingga pencegahanya dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti Atracurium, Rocuronium,d-Tubocurarin.33 Dari berbagai penelitian diatas peneliti masih terus mencari formula yang tepat, hal ini mungkin disebabkan kejadian POM masih belum jelas mekanisme terjadinya.Pada penelitian Jan-Uwe Schreiber dkk untuk mengetahui apakah 22 Universitas Sumatera Utara
mialgia yang disebabkan suksinilkolin
mempunyai marker inflamasi dengan
Interleukin 6 sebagai marker ternyata pada pasien dalam percobaan ini tidak dijumpai marker interleukin 6 tersebut sehingga pengobatan dengan obat anti inflamasi tidak memberikan hasil yang memuaskan.1 C. Kardiovaskular Akibat miripnya relaksan otot ini dengan Acethylcholine, tidak mengejutkan
bahwa
mereka
mempengaruhi
reseptor
kolinergik
selain
mempengaruhi junction neuromuskular. Sistem parasimpatis secara keseluruhan dan sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula adrenal, dan kelenjar keringat) tergantung pada Acethylcholine sebagai neurotransmiter. Suksinilkolin tidak hanya menstimulasi reseptor kolinergik nikotinik pada junction neuromuskular, ia menstimulasi seluruh reseptor Acethylcholine. Oleh karena itu, kerja suksinilkolin pada kardiovaskular sangat kompleks. Stimulasi reseptor nikotinik pada ganglia saraf parasimpatis dan simpatis dan reseptor muskarinik di nodus sinoatrial jantung bisa meningkatkan atau menurunkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Dosis rendah suksinilkolin bisa menimbulkan efek kronotropik dan inotropik negatif, namun dosis yang lebih tinggi biasanya meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas dan meningkatkan kadar katekolamin yang beredar dalam sirkulasi. Anak-anak biasanya rentan pada efek bradikardi yang timbul setelah pemberian suksinilkolin. Bradikardia biasanya muncul pada orang dewasa hanya jika bolus suksinilkolin yang kedua diberikan kira-kira 3-8 menit setelah dosis pertama. Suatu metabolit suksinilkolin, suksinilmonokolin, muncul untuk mensensitisasi reseptor kolinergik muskarinik pada nodus sinoatrial terhadap bolus kedua suksinilkolin, mengakibatkan bradikardia. Atropin intravena (0,02mg/kg pada anak-anak, 0,4 mg pada orang dewasa) biasanya diberikan sebagai profilaksis pada anak-anak sebelum dosis pertama dan selalu sebelum dosis yang kedua. Aritmia lain seperti bradikardi nodus dan ektopik ventrikel telah dilaporkan.3,4,5,20 23 Universitas Sumatera Utara
D. Hiperkalemia Otot normal melepaskan cukup kalium selama depolarisasi yang disebabkan suksinilkolin untuk meningkatkan kalium serum sebesar 0.5mEq/L. Walaupun hal ini biasanya tidak signifikan pada pasien-pasien dengan kadar kalium dasar normal, hal ini bisa mengancam jiwa pada pasien-pasien dengan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya atau pasien dengan luka bakar, trauma masif, kelainan neurologi, dan beberapa kondisi lainnya. Henti jantung yang mengikuti bisa terbukti menjadi agak refrakter/bias terhadap resusitasi kardiopulmonar rutin, membutuhkan kalsium, insulin, glukosa, bikarbonat, epinefrin, kation-pertukaran resin, dantrolene, dan bahkan bypass kardiopulmonar untuk menurunkan asidosis metabolik dan kadar kalium serum.3,4,5,20 Setelah cedera saraf, reseptor Acethylcholine isoform, imatur bisa diekspresikan didalam dan diluar junction neuromuskular (up-regulation). Reseptor extrajunctional ini membiarkan suksinilkolin untuk menimbulkan efek depolarisasi yang luas dan pelepasan kalium yang ekstensif. Pelepasan kalium yang mengancam jiwa tidak bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan non depolarisasi. Risiko hiperkalemia biasanya tampak memuncak dalam 7-10 hari setelah cedera, namun waktu onset pasti dan durasi periode risiko bervariasi.3,4,5 E. Peningkatan Tekanan Intragastrik Fasikulasi otot dinding abdomen meningkatkan tekanan intragastrik, yang diimbangi dengan peningkatan tonus sfingter osoefagus bawah. Oleh karena itu, resiko refluk lambung atau aspirasi pulmonar mungkin tidak ditingkatkan oleh suksinilkolin. Walaupun terapi awal dengan relaksan non depolarisasi meniadakan peningkatan tekanan lambung, ia juga mencegah peningkatan tonus sfingter esofagus.3,4,5,20
24 Universitas Sumatera Utara
F. Peningkatan Tekanan Intraokular Otot-otot ekstra-okular berbeda dari otot lurik lain dimana ia memiliki motor end-plate multipel pada tiap sel. Depolarisasi membran yang memanjang dan kontraksi otot ekstra-okular setelah pemberian suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokular sementara dan bisa membahayakan mata yang cedera. Peningkatan tekanan intraokular tidak bisa selalu dicegah dengan terapi awal dengan relaksan non-depolarisasi.3,4,5 G. Kekuatan otot Masetter Suksinilkolin sementara meningkatkan tonus otot masetter. Beberapa kesulitan bisa pada awalnya dijumpai pada pembukaan rongga mulut karena relaksasi rahang yang tidak lengkap. Suatu peningkatan bermakna pada tonus yang mencegah laringoskopi tidak normal dan bisa merupakan tanda awal hipertermia maligna.3,4,5 H. Hipertensi Maligna Suksinilkolin merupakan obat perangsang yang poten pada pasien-pasien yang rentan terhadap malignan hipertemia, suatu kelainan hipermetabolik otot skeletal. Walaupun tanda dan gejala sindroma neurolepti malignan (NMS) menyerupai hipertermia maligna, patogenesisnya berbeda secara keseluruhan dan tidak perlu menghindari penggunaan suksinilkolin pada pasien-pasien dengan NMS.3,4,5,30 I.P aralisis yang memanjang Sebagaimana
didiskusikan
sebelumnya,
pasien
dengan
kadar
pseudokolinesterase rendah menimbulkan durasi kerja yang lebih lama, dimana pasien dengan pseudokolinesterase atipikal akan mengalami paralisis memanjang yang bermakna.3,4,5,30
25 Universitas Sumatera Utara
J.Tekanan Intrakranial Suksinilkolin bisa menimbulkan aktivasi pada elektroensefalograf dan sedikit meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial pada beberapa pasien. Fasikulasi otot meningkatkan reseptor meningkatkan
aktivitas
serebral.
Peningkatan
otot yang selanjutnya tekanan
intrakranial
bisa
dilemahkan dengan menjaga kontrol jalan nafas yang baik dan memberikan hiperventilasi. Hal ini bisa dicegah dengan terapi awal menggunakan relaksan relaksan otot non depolarisasi dan memberikan lidokain intravena (1,5-2.0 mg/kg) 2-3 menit sebelum intubasi. Efek intubasi pada tekanan intrakranial jauh lebih penting daripada peningkatan akibat suksinilkolin.3,4,5,30 K.Pelepasan Histamin Sedikit pelepasan histamin bisa terlihat setelah pemberian suksinilkolin pada beberapa pasien.3,4,5,30 2.4.Atrakurium Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot, atrakurium dan vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis pelumpuh otot yang tidak tergantung kepada eliminasi melalui ginjal, onsetnya lebih cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat antagonisnya lebih komplit dan lebih cepat. Perkembangan atrakurium dan vecuronium menyebabkan : 1. Menambah keberanian dalam melakukan intubasi trakea dengan penggunaan relaksan nondepolarisasi, 2. Membuat paralisis lebih mudah melalui infus relaksan yang berkelanjutan, dan 3. Yang paling penting, secara signifikan mengembalikan fungsi neuromuskular post operatif, yang menyebabkan periode resiko kelemahan yang lebih pendek pada unit perawatan post anestetik.
26 Universitas Sumatera Utara
A.Rumus kimia Atrakurium
termasuk
pelumpuh
otot
nondepolarisasi
golongan
bisquaternary benzylisoquinolineum, dengan berat molekul 1243,5 DA (dengan gabungan dari 10 isomer geometrik), dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5 menit, dan lama kerja 20-35 menit. Ditemukan oleh Stenlake dan sejawatnya pada pertengahan 1970, yang dirancang untuk menghasilkan relaksasi nondepolarisasi dan mengalami eliminasi Hofmann. Dalam reaksi kimia ini, suatu siklus pengelompokan nitrogen quartenary di bawah pH dan temperature yang tinggi terlepas menjadi amine tersier. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan klinis di Inggris oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di Amerika Serikat oleh Basta pada tahun 1982.3,4,5
B. Mekanisme kerja Tempat kerja atrakurium sama seperti obat pelumpuh otot nondepolarisasi lainnya, adalah pada tempat presinaps dan postsinaps reseptor kolinergik. Atrakurium dapat juga menghasilkan blokade neuromuskular
dengan secara
langsung mempengaruhi jalan masuk ion melalui chanel reseptor kolinergik nikotinik, dan diperkirakan 82% atrakurium berikatan pada protein, yang diduga albumin. Atrakurium dirancang secara khusus agar dapat didegradasi (eliminasi 27 Universitas Sumatera Utara
Hofmann) dalam tubuh pada temperature dan pH yang normal. Garam iodida besylate menghasilkan kelarutan dalam air, dan meningkatkan pH pada larutan yang dipasarkan dari 3,25 hingga 3,65 untuk menghindari proses degradasi yang spontan. Tampilan pH yang asam pada in vitro, atrakurium sebaiknya tidak dicampur dengan larutan alkali seperti barbiturate atau bercampur dengan larutan yang lebih alkalis pada saat digunakan di dalam infus set atau cairan infus. Terpaparnya atrakurium dengan zat yang lebih alkalis sebelum masuk ke sirkulasi secara teoritisnya akan menyebabkan pemecahan obat secara premature. Potensi atrakurium yang disimpan pada temperatur ruangan akan terus berkurang kira-kira 5% setiap 30 hari, dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5 menit, dan lama kerja 20-35 menit.3,4,5 Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia, dimana hidrolisis ester merupakan mekanisme biologik. Kedua rute metabolisme ini tidak tergantung pada fungsi hepar dan renal, seperti juga aktifitas dari kolinesterase plasma. Sama seperti pasien normal, maka durasi blockade neuromuscular atrakurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar adalah sama. Tidak terdapatnya blokade neuromuskular yang lama setelah penggunaan atrakurium terhadap pasien dengan kolinesterase atipikal meningkatkan ketergantungan terhadap hidrolisis ester dari atrakurium pada esterase plasma nonspesifik yang tidak berhubungan dengan kolinesterase plasma. Eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester juga menunjukkan efek kumulatif obat yang sedikit dengan dosis berulang atau infuse atrakurium yang berkelanjutan. Di atas semuanya itu, hidrolisis ester bernilai untuk sekitar 2/3 Atrakurium yang didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan “jaring yang aman”, khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan/atau ginjal yang terganggu.3,4,5 Walaupun eliminasi Hofmann tergantung pada pH (dipercepat oleh alkalosis dan diperlambat oleh asidosis), ini tidak seperti bahwa kisaran perubahan pH yang bermakna secara klinis adalah cukup besar untuk merubah kecepatan eliminasi Hofmann dan durasi dari blokade neuromuscular yang 28 Universitas Sumatera Utara
diinduksi oleh atrakurium. Lebih jauh lagi, perubahan pH mempengaruhi kecepatan hidrolisis ester dalam arah yang berlawanan terhadap perubahan kecepatan eliminasi Hofmann, yang memperlambat eliminasi Hofmann akan dijelaskan secara teoritis melalui peningkatan kecepatan hidrolisis ester.3,4,5 Konsistensi dari mula kerja hingga masa penyembuhan setelah dosis penunjang atrakurium yang berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan menunjukkan tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan karena klirens atrakurium yang cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi renal atau hepatic. Sedikitnya efek kumulatif obat yang signifikan memperkecil kecenderungan blokade neuromuskular yang persisten ketika prosedur pembedahan yang lama membutuhkan dosis berulang atau infuse kontinu atrakurium.3,4,5 C. Efek Kardiovaskular Perubahan tekanan darah sistemik dan denyut jantung tidak menyertai pemberian cepat atrakurium secara IV dalam dosis > 2 x ED95 dengan latar belakang anestesi mencakup nitrogen oksida, fentanyl dan isoflurane. Selama anestesi nitrogen oksida-fentanyl, pemberian atrakurium yang cepat secara IV sebanyak 3 x ED95 meningkatkan denyut jantung sekitar 8,3 % dan menurunkan MAP sekitar 21,5 %. Perubahan sirkulasi ini sementara, berlangsung selama 6090 detik setelah pemberian atrakurium dan menghilang dalam 5 menit. Kemerahan pada fasial dan trunkal pada beberapa pasien menandakan pelepasan histamine bersamaan dengan mekanisme perubahan sirkulasi menyertai pemberian cepat Atrakurium dengan dosis yang tinggi. Pada kenyataannya, konsentrasi histamin dalam plasma meningkat sementara dan perubahan parallel denyut jantung dan tekanan darah sistemik ketika 0,6 mg/kg/IV Pelepasan histamin yang dicetuskan oleh Atrakurium dan mivacurium tidak terjadi dengan penyuntikan berulang obat ini dalam waktu yang singkat karena cadangan histamin jaringan tidak dipecah dalam beberapa hari. Oleh karena itu, penurunan tekanan darah sistemik yang disebabkan oleh pelepasan 29 Universitas Sumatera Utara
histamin yang diinduksi oleh obat lebih jarang terjadi terhadap hal yang sama pada dosis yang berulang. Efek kardiovaskular yang sebelumnya menyertai pelepasan histamin yang diinduksi oleh obat dapat menunjukkan pelepasan prostasiklin dan efek vasodilasinya pada vascular perifer yang diperantarai oleh reseptor H1 dan H2. 3,4,5 D. Dosis KLINIS (menit)
DOSIS (mg/kg)
DURASI
ED95
0,25
-
Intubasi (3-4menit)
0,5-0,6
30-45
Relaksasi (N2O/O2)
0,3-0,4
30-45
Relaksasi (Vapor)
0,2-0,3
30-45
Maintenance
0,1-0,15
15-20
Infus
4-12µg/kg/menit
-
Prekurarisasi
10-15%
-
30 Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Suksinilkolin
Atrakurium
Atrakurium
0,1 ED95
0,2 ED95
Fasikulasi
Mialgia
31 Universitas Sumatera Utara