TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman asli Benua Amerika. Jagung telah ditanam oleh suku Indian jauh sebelum Benua Amerika ditemukan (Purwono dan Purnamawati, 2007) dan (Rukmana, 2005). Lebih lanjut Rukmana (2005) mengatakan bahwa literatur lain juga menyebutkan jagung berasal dari Meksiko kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika utara. Setelah itu jagung menyebar ke seluruh dunia.
Di Indonesia
daerah-daerah penghasil
utama tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, NTT, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Maluku (Anonim, 2005b). Tanaman
jagung
diklasifikasikan
dalam
kingdom
Plantae,
divisio
Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, klas Monocotyledonae. Ordo Graminae, famili graminaceae, genus Zea, dan species Zea mays L. (Rukmana 2005 ) dan (Purwono dan Hartono, 2007). Rukmana (2005), membagi jagung menjadi 3 kelompok varietas berdasarkan umur yaitu: berumur pendek (Genjah) 70-80 hari, berumur sedang (Medium)
80 -110 hari, berumur panjang (Dalam)
lebih dari 110 hari.
Sedangkan Purwono dan Hartono (2007), menyatakan bahwa kelompok jagung berumur pendek bisa dipanen pada umur 75-90 hari , umur sedang bisa dipanen pada umur 90-120 hari dan umur panjang dipanen pada umur lebih dari 120 hari. Rukmana (2005) dan Purwono dan Hartono (2007),
mengemukakan
bahwa berdasarkan bentuk dan kandungan pati dalam biji (endosperma), jagung dapat digolongkan menjadi 7 tipe sebagai berikut: jagung gigi kuda atau dent corn (Zea mays indentata); jagung mutiara atau flint corn (Zea mays indurata); jagung manis atau sweet corn (Zea mays saccharata); jagung berondong atau pop corn (Zea mays
everta); jagung tepung atau flour corn (Zea mays
amylacea); jagung polong atau pod corn (Zea mays tunicata) dan jagung pulut atau waxy corn (Zea mays ceratina). Jagung gigi kuda memiliki ciri-ciri : terdapat lekukan di puncak biji yang terjadi karena pati keras terdapat di pinggir dan pati lembek di puncak biji, mempunyai bagian yang lunak dan bertepung, biji berwarna kuning atau putih namun umumnya berwarna kuning. Jagung mutiara memiliki ciri-ciri : memiliki
4 endosperma yang tebal dan keras yang mengelilingi inti granula yang kecil dan lunak, bagian atas biji berbentuk bulat dan tidak berlekuk, umumnya berwarna putih. Jagung manis mengandung lebih banyak gula bebas dari pati yang merupakan polimer dari gula-gula tersebut, sehingga biji jagung manis
bila
kering menjadi keriput. Jagung berondong memiliki ciri-ciri : bentuk butir yang agak meruncing dengan ukuran yang kecil, biji-bijinya kecil dan bila dipanaskan dapat mengembang 10-30 kali dari volume asal. Jagung tepung memiliki ciriciri : endosperma lunak dan mudah dihancurkan namun mudah ditumbuhi kapang. Jagung polong (pod) merupakan jenis jagung yang langka dan aneh. Ciri khas jagung ini adalah biji dan tongkolnya diselubungi oleh kelobot sehingga umumnya digunakan sebagai tanaman hias dengan kulit yang menutupi bijibijinya yang tidak terdapat pada jagung jenis lain.
Jagung pulut atau ketan
memiliki ciri-ciri : biji jagung mirip lilin dan zat patinya menyerupai tepung tapioka, kandungan amilopektin di dalam endospermnya lebih besar dari amilosa. Kandungan amilopektin yang tinggi menyebabkan rasa pulen pada jagung ketan. Purwono dan Purnamawati (2007),
mengemukakan bahwa jagung jenis
lokal Indonesia umumnya adalah jagung tipe mutiara. Di samping itu terdapat juga tipe gigi kuda, tipe setengah mutiara dan tipe setengah gigi kuda. (Rukmana, 2005). Contoh beberapa tipe jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Contoh beberapa varietas jagung yang ditanam di Indonesia Tipe Biji
Varietas
Mutiara (flint) Gigi kuda (dent) Setengah mutiara (semi flint) Setengah gigi kuda (semi dent)
Metro, Bogor IMR4, Genjah Kertas, Arjuna, Sadewa, Bromo, Abimanyu dan Nakula. Kania putih dan Semar-1 Harapan, Hibrida C1, Pioneer-1, IPB-4, C-2 dan Semar-2. Pandu
Sumber : Rukmana, 2005 Buah jagung terdiri dari tongkol, biji dan daun pembungkus (kelobot). Biji jagung
mempunyai
bentuk,
warna
dan
kandungan
bervariasi tergantung pada jenisnya (Gambar 1).
endosperm
yang
Pada umumnya biji jagung
tersusun dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok. Jumlah baris biji adalah 8-20 baris (Rukmana, 2005).
Purwono dan Hartono (2007)
5 menambahkan bahwa jumlah biji per tongkol adalah 200-400 biji. Biji terdiri dari tiga bagian. Bagian paling luar disebut perikarp. Bagian atau lapisan kedua merupakan cadangan makanan biji disebut endosperm.
Sedangkan bagian
paling dalam yaitu embrio atau lembaga.
Sumber : Petugas lapangan Dinas Pertanian Gorontalo (2004)
Gambar 1 Jagung kelobot dan beberapa bentuk biji jagung Bentuk sel epidermis pada bagian luar biji merupakan jembatan membran semipermiabel antara perikarp dan aleuron (Gambar 2).
Dinding biji adalah
suatu lapisan penutup biji yang terdiri dari mesokarp dan lapisan aleuron. Dinding biji ini lebih banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin sehingga menyebabkan biji menjadi keras (Jugenheimer, 1971). Beberapa varietas jagung yang dikenal antara lain: Abimanyu, Arjuna, Bromo, Bastar Kuning, Bima, Hibrida C1 (Hibrida Cargil 1), hibrida IPB-4, Kalingga, Kania Putih, Malin, Metro, Bogor composite-2, Pulut (lokal) dan lainlain. Saat ini telah banyak dibudidayakan beberapa varietas baru antara lain varietas Lamuru-Fm, Bisma, Sukmaraga, Andalas, Srikandi, NKRI , Bisi-2 dan Motor.
Gambar 2 Potongan membujur biji jagung (Brooker, 1981)
6 Berdasarkan tujuan penggunaannya, kemasakan jagung dapat dibedakan menjadi empat tingkat, yaitu masak susu, masak lunak, masak tua, dan masak kering (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Ciri-ciri jagung masak susu adalah biji jagung mulai terisi zat pati yang terbentuk seperti cairan susu atau santan; biji belum keras dan bila dipijit akan keluar cairan putih
seperti cairan susu atau santan; panjang rambut jagung
antara 3-5 cm; kelobot pada tongkol berwarna hijau; dan kondisi tanaman masih segar dan berwarna hijau. Jagung masak lunak biasanya digunakan untuk keperluan jagung rebus, jagung bakar, atau jagung sayur. Ciri-ciri jagung masak lunak adalah biji jagung mulai agak keras dan bila dipijit akan keluar isi seperti tepung basah; keadaan tongkol agak besar dan agak berat; dan ujung daun bagian bawah mulai kering. Jagung masak tua digunakan untuk berbagai keperluan konsumsi, misalnya untuk makanan pokok, pembuatan tepung, pakan ternak atau keperluan lain. Ciri-ciri jagung masak tua yaitu batang, daun dan kelobot buah berubah menjadi kuning tetapi pangkal buah dan pangkal pelepahnya masih hijau;
biji jagung sudah tampak keras, bernas dan mengkilap; bila ditekan
dengan kuku, tidak tampak bekas tekanan (pada kondisi ini diperkirakan kadar air 35-40%; dan pada butiran jagung sudah terbentuk jaringan tertutup berwarna hitam. Jagung masak kering atau masak mati, sangat baik untuk dijadikan benih atau persediaan makanan. Adapun ciri-ciri jagung masak kering ini adalah biji sangat keras dan kering, bahkan tampak mulai berkerut; kelobot sudah mengering dan berwarna coklat; dan semua bagian tanaman telah kering dan mati. Jagung varietas Motor dan Pulut putih termasuk berumur genjah dengan umur panen 60- 65 hari pada kondisi stadia masak tua, sedangkan jagung muda dari dua varietas ini dapat dipanen pada stadia masak susu atau telah berumur 40-45 hari (Anonim, 2005b).
Untuk varietas jagung manis dipanen pada stadia
masak susu pada umur 65 - 75 hari setelah tanam tergantung ketinggian tempat dan kesuburan tanaman (Anonim, 2007).
Jagung Muda Di Amerika Serikat, jagung muda umumnya diperoleh dari jagung manis, sedangkan di Indonesia jagung muda dapat diperoleh dari berbagai varietas
7 antara lain varietas Arjuna, Pioneer-2, Bisi-2, Pulut dan varietas Motor. Salunkhe dan Desai (1984), mengemukakan bahwa jagung muda dengan mutu terbaik diperoleh jika jagung muda dipanen pada tingkat masak susu dengan ujung atas biji jagung terisi penuh.
Keuntungan petani memanen jagungnya
sebagai jagung muda stadia masak susu dibandingkan dengan jagung stadia masak tua adalah umur panennya 2-3 minggu lebih pendek dari waktu panen masak tua. Pemanenan merupakan tahapan yang penting dalam penanganan jagung muda karena umur panen sangat berpengaruh terhadap persentase bagian yang dapat dimakan (edible portion), mutu dan umur sumpan jagung muda tersebut. Jagung muda yang dipanen terlalu awal biji jagungnya masih kecil-kecil sehingga edibel portionnya rendah, sedangkan jagung muda yang terlambat dipanen akan berkurang kemanisannya dan biji jagung tersebut mempunyai tekstur yang keras. Secara umum kerusakan jagung muda dapat dikelompokkan menjadi kerusakan fisiologis, fisik mekanis, mikrobiologis serta kerusakan karena serangan hama dan penyakit. Proses respirasi merupakan penyebab kerusakan jagung muda yang penting. Respirasi dilakukan oleh sel-sel yang masih hidup untuk memperoleh energi yang diperlukan oleh bahan itu sendiri. Laju respirasi selama penyimpanan dipengaruhi oleh kadar air bahan, suhu, komposisi udara dan kondisi bahan (Pomeranz dalam Ardana, 1985). Respirasi berjalan lambat pada suhu kurang atau sama dengan 20 oC dan kadar air bahan mencapai 14 %. Akan tetapi laju reaksi meningkat pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi yang mengakibatkan CO2, H2O dan kalor sebagai hasil dari proses respirasi juga meningkat (Buckle et al, 1985). Lebih lanjut Hall dalam Ardana (1985), mengatakan bahwa air dan panas yang dihasilkan dari proses respirasi dapat meningkatkan laju respirasi jagung muda.
Air yang dihasilkan dari proses tersebut mengakibatkan permukaan
jagung muda yang disimpan menjadi lembab. Hal ini dapat mempermudah dan mempercepat terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme. Umur simpan yang lama tanpa penanganan yang tepat dapat juga menyebabkan kerusakan jagung muda.
Hasil penelitian Dalem (1990),
menunjukkan bahwa semakin lama umur simpan jagung muda, maka menyebabkan
jagung
makin
berkeriput,
kemanisannya makin berkurang.
teksturnya
makin
keras
dan
Seperti pada varietas Pioneer yang diteliti
ternyata terjadi penurunan kandungan gula dan perubahan tekstur jagung.
8 Penurunan kandungan gula ini disebabkan oleh adanya mekanisme perubahan gula menjadi pati, sedangkan perubahan tekstur menjadi keras karena penguapan komponen air dan suhu tempat penyimpanan jagung muda cukup tinggi. Disamping itu terjadi pula perubahan kadar air, kadar gula, total padatan terlarut dan nilai pH biji jagung selama penyimpanan.
Komposisi Kimia Jagung Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung dari jenis varietas, cara tanam, iklim dan tingkat kematangan (Rukmana, 2005).
Komposisi kimia
beberapa macam produk jagung diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2
Kandungan gizi beberapa macam produk jagung dalam 100 g bahan Banyaknya kandungan gizi dalam: Kandungan gizi Jagung Jagung Jagung Tepung Segar Kuning Giling Jagung Maizena Pipilan Kuning Kuning Kuning Baru
Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber
140.00 4.70 1.30 33.10 6.00 118.00 0.70 435.00 0.24 8.00 60.00 90.00
307.00 7.90 3.40 63.60 9.00 148.00 2.10 440.00 0.33 0.00 24.00 90.00
361.00 8.70 4.50 72.40 9.00 380.00 4.60 350.00 0.27 0.00 13.10 100.00
343.00 0.30 0.00 85.00 20.00 30.00 1.50 0.00 0.00 0.00 14.00 100.00
335.00 9.20 3.90 73.70 10.00 256.00 2.40 510.00 0.38 0.00 12.00 100.00
: Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (2005)
Berdasarkan data Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1972), Jagung muda dari jenis lokal mengandung air 63,50 %, protein 11,23 % (bk), Lemak 3,56 % (bk) dan karbohidrat 83,01 % (bk). Sedangkan hasil penelitian Dalem (1990), menunjukkan bahwa jagung muda (varietas pioneer) yang dipanen pada umur 70 hari mengandung air 80 %, protein 12,74 % (bk) dan lemak 3,62 % (bk). Pada jagung muda, pengisian pati pada bagian endospermnya belum optimal.
Biji jagung berkeriput setelah komponen airnya menguap dalam
9 penyimpanan. Penguapan komponen air ini terjadi selama penyimpanan dalam suhu kamar.
Komponen air pada endosperm biji jagung muda lebih tinggi
daripada biji jagung masak tua. Sebaliknya, endosperm biji jagung masak tua mengandung pati lebih tinggi daripada endosperm biji jagung muda (Purnomo, 1988).
Pengeringan Pengeringan adalah proses penurunan kadar air suatu bahan sampai tingkat kadar air tertentu. Secara spesifik, pengeringan hasil pertanian adalah pengeluaran air dari bahan sampai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan atau kadar air tertentu dimana jamur, enzim, mikroorganisme dan serangga yang bersifat merusak tidak dapat aktif. Hall (1979), mengatakan bahwa pengeringan merupakan metode tertua untuk mengawetkan bahan pangan. Pengeringan
adalah
salah
satu
cara
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menyerapnya menggunakan energi panas.
Biasanya kandungan energi bahan dikurangi
sampai batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut.
Hal ini diperkuat oleh
Ratti dan Mujumdar (1995) yang
mengemukakan bahwa pengeringan merupakan operasi industri yang paling umum dan yang paling banyak mengkonsumsi energi. Sejalan dengan pendapat para ahli sebelumnya, maka Fellows (2000) mendefinisikan pengeringan sebagai suatu proses pemberian panas dibawah kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan.
Beberapa faktor yang mengontrol kecepatan pengeringan
diantaranya adalah kondisi proses (suhu dan kelembaban udara), jenis bahan pangan yang dikeringkan, dan desain alat pengering.
Ketika udara panas
diberikan pada produk pangan yang basah, maka uap air akan berdifusi melalui permukaan udara yang berada di sekitar makanan dan akan dihilangkan oleh udara yang bergerak. Proses pengeringan dalam beberapa hal dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Singh dan Heldman (2001),
bahwa pengeringan menguntungkan karena akan mengurangi massa dan volume produk dalam jumlah yanng signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk transportasi produk dan penyimpanan.
Sebaliknya pengeringan dapat juga
10 menimbulkan kerugian karena sifat asal bahan menjadi berubah baik bentuk penampakan, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain-lain. Pengeringan jagung stadia masak tua biasanya langsung dilakukan setelah panen dengan cara alami yaitu dengan menggunakan rak ataupun langsung dihamparkan pada lantai jemur. dengan
menggunakan mesin, yaitu
Pengeringan dapat juga dilakukan
dengan menggunakan “grain dryer”
(Suprapto, 2001). Selain itu jagung stadia masak tua dapat pula dikeringkan setelah jagung mengalami gelatinisasi dengan tujuan untuk mendapatkan produk instan. Berbeda dengan jagung stadia masak tua, jagung muda (jagung stadia masak susu), tidak dikeringkan dan umumnya dikonsumsi dalam keadaan segar. Hal ini berhubungan dengan kondisi fisik dan kimia jagung muda, sehingga di pasaran belum ditemukan penjualan jagung muda kering. Untuk pembuatan jagung muda instan, pengeringannya dapat dilakukan setelah pre-gelatinisasi antara lain dengan menggunakan berbagai pengering misalnya pengering kabinet, pengering fluidized bed dan pengering oven yang dilengkapi blower. Hasil penelitian Husain (2006) terhadap nasi jagung instan menunjukkan bahwa dari ketiga alat pengering tersebut, ternyata pengering oven yang dilengkapi blower memberikan hasil terbaik karena dapat menghasilkan nasi jagung yang penampakannya bagus, berwarna putih dan lebih porous.
Pembekuan Pembekuan adalah proses mengeluarkan panas dari dalam produk dan selanjutnya produk akan mengalami penurunan suhu. Disamping itu pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan untuk mencegah kerusakan
bahan
pangan, sehingga memperpanjang masa simpan serta mempertahankan mutu. Bahan pangan yang dibekukan akan memiliki masa simpan yang lebih panjang dibandingkan yang disimpan dalam keadaan dingin.
Pengawetan dengan
pembekuan didasarkan pada pertumbuhan mikroba hingga suatu titik dimana dekomposisi oleh mikroba tidak terjadi. Pemberian
perlakuan
pada
buah-buahan
dan
sayuran
sebelum
pembekuan, dapat mengurangi perubahan-perubahan yang merusak selama pembekuan dan penyimpanan beku. Jenie (1995), menyatakan bahwa blanching sebelum pembekuan pada beberapa buah dan kebanyakan sayuran dapat menginaktifkan enzim peroksidase, katalase dan enzim browning lainnya, mengurangi tingkat oksigen seluler, mengurangi jumlah mikroorganisme dan
11 memperbaiki warna.
Selama pembekuan, perubahan-perubahan fisik dan
biologis dapat terjadi (Desroiser, 1988). Ditambahkan pula bahwa pembekuan berpengaruh terhadap mikroba, perubahan citarasa, warna, kehilangan zat gizi (protein, dan vitamin) dan perubahan enzim. Oleh karena kebanyakan bahan pangan mempunyai kandungan air yang tinggi, maka kebanyakan bahan pangan akan membeku pada suhu diantara 32 oF dan 25 oF.
Selama berlangsungnya pembekuan, suhu bahan pangan
tersebut relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut membeku, dan setelah beberapa waktu, suhu akan mendekati medium pembeku. Desroiser (1988) menambahkan, bahwa pada pembekuan akan terjadi pengembangan volume. Namun pengembangan volume ini tidak terjadi pada semua bahan pangan. Pembekuan dapat terjadi secara cepat dan lambat. (1981),
pembekuan
pembekuan
terjadi
secara
bertahap,
dimana
Menurut Brenan pada
permukaan
berlangsung cepat, sebaliknya pada bagian yang lebih dalam
proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Sebagaimana dikemukakan oleh deMan (1997), bahwa pembekuan secara perlahan-lahan akan mengakibatkan terbentuknya kristal es besar di daerah ekstrasel secara ekslusif. Pembentukan kristal es yang besar ini dapat meningkatkan sifat porous bahan menjadi lebih tinggi (Karathanos et al., 1996). Sebaliknya pembekuan cepat mengakibatkan terbentuknya kristal es kecil-kecil baik di daerah ekstrasel maupun daerah intrasel. Pertumbuhan kristal es merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas bahan pangan yang dibekukan. Hal ini dikemukakan oleh Desroiser (1988), bahwa jika pembekuan terjadi secara lambat maka memberi kesempatan kristal es tersebut tumbuh sehingga sel-sel menjadi rusak dan jaringan yang dicairkan tidak dapat kembali menyerupai aslinya. Seperti halnya strawberi. Strawberi yang ditempatkan dalam nampan dan dibekukan lambat, jika dicairkan akan memberikan karakteristik tekstur yang telah berubah. Kristalkristal es yang terbentuk akan menembus dan melukai jaringan-jaringan, jika dicairkan akan mengeluarkan semua isinya dan buah menjadi lembek serta kehilangan bentuk. Rusaknya struktur sel akibat pembekuan lambat juga terjadi pada buah pinang. Zhang et al., (2004) telah melaporkan bahwa tekstur buah pinang menurun setelah dilakukan pembekuan lambat, pembekuan cepat kekerasan buah meningkat.
Akan tetapi dengan
12 Kerusakan sel akibat pembekuan lambat justru menguntungkan dalam hal pengolahan pangan instan. Hasil penelitian Husain (2006) terhadap nasi jagung instan menunjukkan bahwa nasi jagung yang mengalami pembekuan lambat (-10 sampai -20 oC, selama 44 jam) menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal rehidrasinya dibandingkan nasi jagung yang dibekukan cepat (-40 sampai -50 oC, selama 30 menit).
Hal ini disebabkan oleh karena pembekuan lambat
menghasilkan kristal-kristal es yang besar dan membentuk rongga yang lebih porous sehingga memudahkan rehidrasi.
Pangan Instan Pangan instan merupakan produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah
penggunaan
produk
pangan
yang
sering
dihadapi,
misalnya
penyimpanan, transportasi, tempat dan waktu konsumsi. Instanisasi merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai pelakuan baik kimia ataupun fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk pangan. Hartomo dan Widiatmoko (1993), mengemukakan bahwa produk pangan instan merupakan produk pangan yang mudah disajikan dalam waktu yang relatif singkat. Tiga kriteria yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, yaitu : a) sifat hidrofilik yaitu sifat yang mudah mengikat air, b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permiabel sebelum digunakan dapat menghambat laju pembasahan, dan c) rehidrasi produk tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap. Standar Nasional Indonesia (SNI) telah memberikan definisi terhadap beberapa produk instan. SNI-01-4321-1996 mendefinisikan sup instan sebagai merupakan
produk olahan kering yang dibuat dari daging, ikan, sayuran,
serealia atau campurannya dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. SNI-01-3551-2000 mendefinisikan mie instan sebagai mie yang terbuat dari tepung terigu atau tepung beras atau tepung lain sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lain, dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali dan mengalami gelatinisasi sebelum pengeringan dimana sifat instan dicirikan pada proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi serta penambahan bumbu.
Definisi tersebut meliputi mie (dari terigu), bihun (dari
beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan sagu) dan kwetiau (dari beras atau terigu).
13 Sebagaimana produk pangan lain, produk jagung dapat diolah menjadi produk instan. Contoh makanan instan hasil olahan dari produk jagung antara lain berupa mie jagung, beras jagung, bubur jagung dan bassang. Juniawati (2003), dalam penelitiannya tentang optimasi proses mie jagung instan yang dalam proses pembuatan melalui dua kali pengukusan sebelum dikeringkan menghasilkan mie yang dapat masak dalam waktu 4 menit.
Dimana waktu
pengukusan pertama dan kedua berturut-turut adalah 10-20 menit dan 30 menit. Penelitian Supriyadi (2004), terhadap beras jagung instan menghasilkan nasi jagung dengan lama masak 4,4 menit untuk beras jagung Pulut dan 6 menit untuk beras jagung Motor. Proses pembuatan beras jagung ini sebelum pengeringan membutuhkan waktu pre-gelatinisasi berturut-turut selama 37 dan 30 menit.
Hernawati (2006), dalam penelitiannya tentang pembuatan grits
jagung sebagai bahan baku bassang instan memperoleh grits dengan lama masak 7,3 menit. Lama masak ini diperoleh setelah jagung diberi perlakuan perendaman dengan Na-sitrat 1%, aron kukus dan dibekukan lambat. Pengolahan
beras
jagung
menjadi
beras
jagung
instan
dapat
meningkatkan kandungan beberapa komponen kimia beras jagung.
Hasil
penelitian Supriyadi (2004) terhadap beras jagung menunjukkan bahwa proses instanisasi beras jagung kedua varietas tersebut menghasilkan
kandungan
protein, karbohidrat dan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan sebelum mengalami instanisasi (Tabel 3). Tabel 3 Komposisi kimia beras jagung dan beras jagung instan (% bb). Beras jagung mentah Beras jagung instan Komponen Varietas Varietas Varietas Varietas Motor Pulut Motor Pulut Kadar air Protein Lemak Abu Karbohidrat Serat Amilosa
13.6 9.6 0.6 0.5 75.7 7 9
13 10 0.6 0.45 75.9 7 1
9 11 0.36 0.2 79.4 6 11.6
9 10.5 0.4 0.27 79.8 6 1.6
Sumber : Supriyadi (2004)
Jagung muda kering dapat dihasilkan dengan perlakuan instanisasi sehingga memiliki beberapa nilai tambah yaitu umur simpannya dapat diperpanjang dan penyiapan makanan olahan dari jagung muda tersebut dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Proses instanisasi jagung muda
14 dilakukan dengan cara memberi perlakuan pre-gelatinisasi dan pembekuan pada jagung muda, kemudian mengeringkannya pada suhu dan waktu tertentu.
Pati Pati adalah karbohidrat utama penyusun 72-73% biji jagung (Watson & Ramstad, 1991). Pati adalah polisakarida yang merupakan cadangan metabolik pada tanaman (Pomeranz, 1985).
Swinkels (1985) menyatakan bahwa pati
adalah homoglikan yang terdiri dari satu jenis unit D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glukosida. Pati terdapat sebagai butiran kecil dengan berbagai ukuran dengan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Butir pati dapat ditunjukkan dengan mikroskop cahaya biasa dan cahaya terpolarisasi dan dengan difraksi sinar-X. Pati berperan penting dalam pengolahan pangan karena merupakan pengsuplai kebutuhan energi bagi manusia dengan porsi yang tinggi. Pati komersial dibuat dari biji-bijian seperti jagung, gandum dan padi serta umbiumbian seperti ubi kayu, ubi jalar dan kentang (BeMiller dan Whistler, 1996). Granula Pati Pati yang terdapat dalam tanaman tergabung dalam suatu paket-paket kecil yang disebut granula (Fenema, 1985). Paket-paket kecil tersebut biasanya terdeposit pada bagian biji, batang atau akar dari suatu bagian tanaman yang berperan sebagai persediaan makanan selama fase dorman, germinasi atau pertumbuhan. Pandanwangi (1984) mengemukakan bahwa pati merupakan kumpulan dari butiran-butiran granula pati, berwarna putih, mengkilap, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa.
Jagung, gandum dan beberapa serealia lain hanya
mengandung satu granula pati sedang pada beras dan oat mengandung granula pati yang kompleks Hoseney (1998).
Pada tanaman serealia, granula pati
dibentuk dalam suatu plastid. Plastid yang membentuk pati ini disebut amiloplas. Struktur, bentuk dan ukuran granula pati Struktur granula pati secara molekuler terdiri dari amilosa yang berantai lurus dan amilopektin yang rantainya bercabang (Gambar 3) (Biliaderis, 1992). Unit glukosa pati membentuk dua jenis polimer yaitu amilosa dan amilopektin (Swinkels, 1985). Amilosa adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang
15 membentuk rantai linear melalui ikatan α 1-4 D-glukosa dan merupakan polimer monosakarida yang bergabung dengan mengeliminasi satu molekul air pada setiap ikatan (Ghaman dan Sherrington, 1990). Kadang-kadang terdapat juga percabangan molekul dengan jumlah yang sangat terbatas.
Percabangan ini
akan timbul setelah kurang lebih 500 glukosa membentuk rantai lurus (Greenwood, 1979).
Sumber: Horton et al (1994)
Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b)
Amilosa
mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi
molekuler yang kuat.
Kristalisasi muncul dengan adanya pembentukan
spherulite yang terjadi bila larutan pekat amilosa didinginkan perlahan-lahan. Hal ini sering dilihat sebagai retrogradasi, yaitu proses dimana tidak larutnya molekul pati di dalam air secara irreversibel karena kuatnya ikatan intermolekuler yang terbentuk (Banks, et al., 1973). Disamping itu Eliasson dan Gudmunson (1996) melaporkan bahwa retrogradasi adalah perubahan gel amorf menjadi kristalin yang terjadi pada pati
tergelatinisasi selama penyimpanan. Proses
retrogradasi pati dipengaruhi oleh jenis pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan dan bahan aditif (Ward et. al. 1994). Amilopektin adalah molekul hasil polimerisasi unit-unit glukosa anhidrous melalui ikatan α 1-4 dan ikatan cabang α 1-6 pada setiap 20-26 unit monomer.
16 Pomeranz (1991) menerangkan struktur cabang amilopektin merupakan salah satu hasil mekanisme enzim yang memecah rantai linier yang panjang. Hasil pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan unit glukosa yang kemudian bergabung membentuk struktur yang berantai banyak.
Amilopektin memiliki
bentuk globular yang memperlihatkan peningkatan pembengkakan dan viskositas yang lebih tinggi dalam larutan ( Glicksman, 1975). Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi menurut jenis jagungnya. Singh et all. (2003),
menyatakan bahwa pati jagung normal terdiri dari 75%
amilopektin dan 25% amilosa. Disamping itu Chaplin (2006) menyatakan bahwa pati mengandung amilosa 20-30%. Pendapat ini diperkuat oleh Sandhu et al. (2004), yang mengemukakan bahwa secara umum, jagung dari jenis endosperm dent atau flint memiliki amilosa 25-30 %, sedang amilopektin mencapai 70-75 persen. Jagung jenis waxy mengandung hampir 100 persen amilopektin. Berat molekul pati jagung bervariasi dari 100.000 sampai 200.000. Jobling (2004), yang mengatakan bahwa pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara seperti lipid dan protein. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibanding pati batang dan pati umbi. Sifat-sifat botani dari sumber pati tersebut akan menentukan struktur dan jenis bahan antara. Pati merupakan bahan yang bernilai tinggi untuk industri pangan, yang secara luas digunakan sebagai bahan pengental, gelling agent, bulking agent dan water retention agent (Singh et al., 2003). Sandhu et al. (2004), menyatakan bahwa granula pati jagung mempunyai dua ukuran yaitu granula kecil dan besar. Granula yang kecil berukuran 1- 7 μm sedangkan granula yang besar berukuran 15 sampai 20 μm, tergantung jenis jagung. Swinkels (2003), mengemukakan bahwa granula pati jagung berbentuk bulat persegi dengan diameter rata-rata granula pati jagung adalah 15 µm. Ukuran granula pati jagung ini lebih besar dibandingkan granula pati beras yang diameternya hanya 5 µm (Swinkels, 1985). Sedangkan Hoover et al., (2001) menyatakan bahwa granula pati jagung berukuran 2-30 µm dengan diameter 10 µm. Adapun bentuk dan ukuran diameter granula beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 4.
17 Tabel 4 Bentuk dan diameter granula beberapa jenis pati Jenis pati
Kisaran Diameter (μm)
Jagung Jagung tinggi amilopektin Jajgung tinggi amilosa Kentang Gandum Tapioka Sorghum Beras Sagu Garut Ubi jalar Ganyong
3 - 26 3 - 24 3 - 26 5 - 100 2 - 35 4 - 35 3 - 26 3 - 8 5 - 65 5 - 70 5 - 25 22 - 85
Diameter rata-rata (μm) 15 02 15 33 15 20 15 5 30 30 15 53
Bentuk granula
Bulat, bersegi –segi Bulat Bulat, bersegi –segi Oval, membulat Bulat Oval, bersudut Bulat,bersegi – segi Bersegi - segi Oval, bersudut Oval, bersudut Bersegi – segi Oval
Sumber : Swinkels (1985). Dalam industri pangan, besar kecilnya ukuran granula pati mempunyai peranan yang penting, antara lain sebagai bahan untuk pensubtitusi dan untuk daya tahan selama proses pemanasan. Sebagai contoh, pati yang berdiameter 2.0 μm dapat digunakan untuk subtitusi lemak karena mempunyai ukuran yang sama dengan micell dari lipid (Champbell et.al., 1996).
Pati dengan ukuran
granula besar akan mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibadingkan dengan granula pati yang berukuran kecil (Wirakartakusumah, 1981). Disamping itu granula pati yang berukuran kecil mempunyai suhu awal gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan granula pati yang berukuran besar. Sifat Birefringence dan Gelatinisasi Pati Sifat birefringence merupakan sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kontras gelap-terang yang tampak sebagai warna biru kuning. Sifat ini akan terlihat jika diamati di bawah mikroskop polarisasi. Derajat dan orientasi kristal akan sangat menentukan intensitas birefringence pati. dengan
kadar
amilosa
tinggi,
intensitas
birefringencenya
lebih
Pati lemah
dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998). Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh perbedaan indeks refraksi dalam granula pati yang dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam pati. Sebagian cahaya yang melewati granula pati dapat diserap oleh bentuk heliks dari amilosa.
Penyerapan cahaya oleh heliks amilosa ini akan terjadi
18 secara intensif jika arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks (French, 1984).
Lebih lanjut dikatakan bahwa intensitas birefrigence
sangat tergantung pada derajat dan orientasi kristal. Sifat kristal ditentukan oleh sepasang rantai dengan derajat polimerisasi 15 dari amilopektin yang membentuk double helix sedangkan sifat amorphous granula pati ditentukan oleh daerah dengan ikatan α–(1-6) dari amilopektin, sehingga
disimpulkan
bahwa
amilopektin
merupakan
komponen
yang
menyebabkan adanya sifat kristal dan birefringence granula pati. Hoseney (1998) mengatakan bahwa sifat kristal pati dapat dirusak dengan perlakuan secara mekanis. Pada prinsipnya gelatinisasi pati merupakan peristiwa hilangnya sifat birefrigence granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan dalam waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali seperti keadaan normal atau bersifat irreversibel (Beliz dan Grosch, 1999., dan Winarno, 1995). Titik suhu dimana granula pati bersifat irreversibel ini disebut Birefrigence End Point Temperature (BEPT). Mekanisme gelatinisasi terjadi melalui tiga tahapan yaitu: (1) Penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antar molekul-molekul granula, (2) Terjadi pengembangan granula secara cepat karena penyerapan air berlangsung cepat sampai kehilangan sifat birefriegencenya dan (3) Granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985).
Selama proses gelatinisasi, ukuran granula pati
semakin besar dengan semakin meningkatnya suhu. Saat terjadi pembengkakan maksimum maka ukuran granula pati berada pada ukuran maksimum. Pada pati jagung dengan kandungan amilopektin yang tinggi, diameter awal granula adalah 15,6 μm dan naik menjadi 39,6 μm pada saat terjadi pembengkakan.
Sifat pati
yang tergelatinisasi inilah yang dimanfaatkan untuk pembuatan makanan instan (Winarno, 1997). Pati yang telah diberi perlakuan pemanasan bersama air akan kehilangan sifat birefrigencenya secara bertahap tergantung suhu dan waktu gelatinisasi yang digunakan, sebaliknya pati mentah akan memperlihatkan birefrigence yang jelas gelap-terangnya (Hoseney, 1998). Hilangnya sifat birefrigence ini disebabkan oleh ikatan molekul pati pecah yang mengakibatkan hidrogen
19 mengikat molekul air lebih banyak (Fennema, 1985).
Setelah mengalami
gelatinisasi dan dikeringkan, pati masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Hasil penelitian Supriadi (2004) menunjukkan bahwa setelah gelatinisasi dan pengeringan, maka kemampuan rehidrasi dari beras jagung instan varietas Motor adalah sebesar 113% dan mengembang sebesar 30%. Demikian pula dengan beras jagung instan varitas Pulut mampu be-rehidrasi sebesar 213% dan mengembang sebesar 6%.
Aktivitas Air (aw) dan Sorpsi Isotermik Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan dan bahan biologis lainnya yang berkontribusi terhadap bentuk, struktur, sifat fisikokimia dan pola reaksi kimia dalam suatu bahan. Sifat fisik air berpengaruh besar pada proses pembekuan, pengeringan dan evaporasi.
Syarief dan Halid (1993)
mengemukakan bahwa air sangat berperan dalam bahan pangan karena, kandungan air dapat mencerminkan kesegaran buah-buahan dan sayuran, sebaliknya jika bahan pangan tersebut mengalami penurunan kandungan air akan tampak layu. Peranan air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai kadar air dan water activity (aw).
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan.
Henderson dan Perry (1976) membedakan kadar air menjadi kadar air basis basah dan kadar air basis kering.
Kadar air basis basah (Mb) adalah
perbandingan berat air (Ba) dalam bahan terhadap berat bahan (Bb). Kadar air basis kering (Mk) adalah perbandingan berat air terhadap berat kering atau padatannya. Hubungan antara kadar air basis basah dengan kadar air basis kering dapat ditulis sebagai berikut:
Mk =
100 × Mb 100 − Mb
(Pers. 1)
Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen,
sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100
persen (Syarief dan Halid, 1993). Di sisi lain, peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatis sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan citarasa serta nilai gizinya.
20 Sorpsi
isotermis
suatu
bahan
pangan
menentukan jenis pengemas yang dibutuhkan
sangat
membantu
dalam
dan untuk memprediksi
karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta umur simpannya ( Mir dan Nath, 1995). Dengan demikian kerusakan bahan pangan akibat pertumbuhan mikroba dapat dihindari (Boente et al., 1996) Labuza (1984) mengklasifikasikan kurva isotherm sorpsi ke dalam 3 tipe (Gambar 5), antara lain tipe I adalah tipe Langmuir, tipe II adalah bentuk sigmoid atau huruf S dan tipe III (tipe Flory-Huggins). Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui pada umumnya kurva moisture sorpsi isothermis tidak linier. Moisture sorption isotherms mempunyai bentuk sigmoidal untuk banyak makanan,
meskipun untuk makanan yang mempunyai kadar gula tinggi atau molekul terlarut rendah mempunyai kurva isotherm yang berbentuk J. Kurva isothermis sorpsi tipe I merupakan bentuk khas dari senyawa antikempal. Senyawa antikempal mampu menyerap banyak air dengan ikatan hydrogen yang kuat sehingga dapat menurunkan aw secara dramatis.
Itulah
sebabnya dalam Gambar 5, kurva tipe I menunjukkan kenaikan vertical yang tajam pada aw rendah. Ketika seluruh gugus polar sudah mengikat air maka setiap tambahan kadar air menyebabkan kenaikan aw yang besar. Hal ini terjadi karena bahan tersebut tidak larut sehingga tambahan air hanya akan berinteraksi dengan air yang sudah ada dan bersifat seperti air bebas.
Gambar 4 Tiga bentuk tipe kurva isotermi adsorpsi (Labuza, 1984)
Bahan makanan kering umumnya termasuk isothermis sorpsi tipe II. Bentuk kurva isothermis sorpsi II yang berbentuk huruf S disebabkan pengaruh akumulatif dari ikatan hydrogen, Hukum Raoult, kapiler dan interaksi antara permukaan bahan dengan molekul air.
Pada kurva tersebut terdapat dua
21 lengkungan, lengkungan pertama pada aw sekitar 0,2 sampai 0,4 dan yang lain pada aw 0,7 sampai 0,8. Kedua lengkungan ini merupakan akibat perubahan sifat fisikokimia pengikatan air oleh bahan (Labuza, 1984). Tipe III mewakili sifat isotherm sorpsi bahan berbentuk kristal, contohnya gula murni Bahan tersebut hanya menyerap sedikit kondisi lingkungan yang lebih tinggi dari kondisi penyimpanan normal air sampai aw sekitar 0,7 sampai 0,8. Hal ini terjadi karena ikatan air melalui jembatan hidrogen hanya terjadi pada gugus hidroksil bebas yang terdapat di permukaan kristal saja.
Rizvi (1995)
menyatakan bahwa bahan pangan yang tinggi akan komponen terlarut seperti gula biasanya mempunyai bentuk kurva
moisture sorpsi isothermis seperti
tipe III. Aktivitas air berbeda dengan kadar air,
dimana aw menentukan batas
terkecil air tersedia yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikrobia. Aktivitas air pada sistem uap padatan adalah rasio tekanan uap parsial (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi suhu yang sama (Rao dan Rizvi, 1995). Rumus aktivitas air secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : aw =
P ERH = Po 100
(Pers. 2)
Dimana : aw
: aktivitas air
P
: tekanan uap air dalam bahan pangan (mmHg)
Po
: tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama (mmHg)
ERH
: kelembaban relative kesetimbangan (%)
Dalam kurun waktu tertentu air dapat berada pada suatu kondisi lingkungan tertentu. Menurut Brooker et al., (1982), suatu tingkat dimana kadar air pada suatu bahan pangan berada pada suatu kondisi tersebut dalam periode waktu yang lama dinyatakan sebagai kadar air kesetimbangan (equilibrium moisture content). Menurut Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan
suatu bahan adalah saat tekanan uap bahan seimbang dengan lingkungannya. Pada keadaan setimbang maka aw bahan akan sama dengan kelembaban relatif udara disekelilingnya (ERH = equilibrium relative humidity).
Kadar air
kesetimbangan sangat penting dalam pengeringan, karena akan menentukan kadar air terendah yang dapat dicapai dalam proses pengeringan. Sebagaimana
22 dikemukakan oleh Henderson dan Perry (1976) bahwa proses pengeringan dan penyimpanan
bahan
pangan
sangat
terkait
dengan
kondisi
kadar
air
kesetimbangan dan RH udara di sekitar bahan. Hubungan antara kadar air dan aw digambarkan dalam bentuk kurva sorpsi isotermik.
Sorpsi isotermik merupakan karakteristik penting yang dapat
mempengaruhi aspek pengeringan dan penyimpanan. Bentuk sorpsi isotermik pada umumnya akan menentukan stabilitas penyimpanan.
Penentuan Umur Simpan Umur simpan merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam bahan pangan sebagai indikator mutu suatu produk dalam waktu tertentu. Menurut Institute of Food Technology (IFT, 1974 dalam Arpah, 2001) bahwa umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan, pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Hal ini didukung oleh National Food Processor Association (1978, dalam Arpah (2001),
yang
mendefinisikan bahwa kisaran umur simpan suatu produk yaitu bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan. Definisi lainnya dikemukakan oleh Floros dan Gnanasekharan (1993), yang menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu.
Umur simpan juga merupakan
lamanya periode antara pengemasan produk dan penggunaannya dengan catatan mutu produk masih diterima oleh konsumen (Robeston, 1993). Umur simpan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Syarief, et al. (1989) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat, keadaan alamiah atau sifat makanan
23 dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia, internal dan fisik. Dalam perhitungan umur simpan, menurut Gnanasekharan dan John (1993) ada beberapa asumsi yang sering digunakan. Asumsi tersebut antara lain mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan suhu) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air dan sebagainya); laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil pengukuran objektif dengan hasil penilaian organoleptik dan toksikologi dan kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteritik penyerapan hanya bergantung pada bahan kemasan saja. Dikemukakan oleh Labuza (1982) bahwa pendugaan umur simpan produk pangan
dapat
dilakukan
melalui
pengukuran
sorpsi
menggunakan metode ASS (Accelerated Storage Studi).
isotermik
dengan
Metode ASS ini
diterapkan pada produk pangan kering dengan pendekatan kadar air kritis (PKK). ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi produk pangan. Pada metode ini, kondisi lingkungan penyimpanan memiliki RH yang ekstrim, sehingga kadar air kritis lebih cepat dicapai daripada kondisi normal.
Meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi
penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat
waktu
perkiraan
umur
simpan
suatu
produk
pangan.
Keuntungan metode ini adalah hanya membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah, 2001). Produk pangan kering yang disimpan dengan demikian akan mengalami penurunan mutu
akibat penyerapan uap air.
Penambahan atau kehilangan
kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan RH yang konstan dapat dihitung dengan Persamaan 9 sebagai berikut:
dw k = (Pout − Pin ) A dt x
(Pers. 3)
dimana : Dw/dt
= jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram)
k/x
= permeabilitas kemasan (g H2O/hari.m2.mmHg)
A
= luas permukaan kemasan (m2)
24 Pout
= tekanan uap air diluar kemasan (mmHg).
Pin
= tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)
Berdasarkan laju perubahan kadar air, Labuza (1982) menentukan umur simpan bahan pangan dengan Persamaan 10 sebagai berikut :
ts =
Ln
( kx )
[((
]
Me −Mi ) Me −Mc ) ( WAs ) ( Po ) b
(Pers. 4)
Dimana : ts
=
waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari)
Me
=
kadar air kesetimbangan (% bk)
Mi
=
kadar air awal produk (% bk)
Mc
=
kadar air ktitis (% bk)
k
=
laju transmisi uap air dari kemasan (g H2O µm/hari.m2.mmHg)
x
=
ketebalan kemasan (µm)
A
=
Luas permukaan kemasan (m2)
Ws
=
berat sampel dalam kemasan
Po
=
tekanan uap jenuh ruang penyimpanan (mmHg)
b
=
slope kurva sorpsi isothermis
Menurut Reilly et al., (1994), dipengaruhi oleh faktor intrinsik.
umur simpan dari suatu produk pangan
Faktor-faktor tersebut meliputi bahan baku,
formulasi dan komposisi produk, aktivitas air, pH, reduksi oksidasi dan faktor ekstensik seperti proses, sanitasi, kemasan dan penyimpanan. Hasil penentuan umur simpan produk beras jagung instan, menunjukkan bahwa beras jagung instan dari dua varietas yang disimpan pada aw 0.6-0.7 adalah 20 bulan yaitu untuk beras jagung instan varietas Motor dan 28 bulan untuk varietas Pulut (Supriyadi, 2004).
Lamanya umur simpan beras jagung
instan disebabkan oleh besarnya selisih kadar air kritis dengan kadar air awal produk.