6
TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Jagung (Zea mays L., 2n = 20) merupakan tanaman berumah satu (monoceous) dan tergolong ke dalam tanaman menyerbuk silang. Penyerbukannya terjadi secara acak terutama dikarenakan perbedaan letak bunga dan adanya perbedaan waktu masak antara bunga jantan dan bunga betina, dimana jagung termasuk dalam kelompok tanaman protandri. Persentase penyerbukan silang pada jagung mencapai sekitar 95% (Acquaah 2007), sehingga konstitusi genetik tanaman jagung secara alami selalu heterozigot dan komposisinya sangat dinamis. George H. Shull pertama kali menemukan bahwa silangan sendiri tanaman jagung mengakibatkan terjadinya depresi inbreeding dan silangan dua tetua yang homozigot menghasilkan F1 yang sangat vigor. D.F. Jones melanjutkan penelitian tentang adanya gejala lebih vigor tanaman F1 jagung tersebut, yang selanjutnya memanfaatkannya pada bentuk varietas hibrida tanaman jagung (Makkulawu et al. 2007). Oleh karena itu, pemuliaan jagung kemudian difokuskan untuk menghasilkan varietas hibrida. Hibrida merupakan generasi pertama hasil persilangan dua tetua atau lebih yang merupakan galur murni. Hibrida yang dibentuk dapat berupa hibrida silang tunggal, hibrida silang ganda, hibrida silang tiga galur maupun modifikasinya (Hallaeur and Miranda 1995). Pada awal eksploitasi hibrida, bentuk hibrida yang banyak digunakan yaitu hibrida silang ganda. Namun, pada saat ini hibrida jenis silang tunggal banyak disukai karena penampilan daya hasilnya yang relatif lebih baik, tingkat keseragaman tanamannya tinggi dan kegiatan produksi benihnya relatif lebih mudah. Jenis hibrida modifikasi silang tunggal dan ganda sering digunakan untuk meningkatkan penampilan maupun menutupi kekurangan pada hibrida bentuk silangan asalnya. Secara umum, pemuliaan jagung hibrida meliputi dua tahap kegiatan, yaitu pembentukan dan seleksi galur murni serta evaluasi hibrida-hibrida hasil persilangan. Hallaeur and Miranda (1995), mengemukakan bahwa program pemuliaan jagung hibrida untuk jangka pendek, menengah maupun panjang didasari pada tiga hal penting yaitu, (1) Pemilihan plasmanutfah yang potensial, (2) Pengembangan perbaikan keragaan plasmanutfah yang dikerjakan melalui seleksi yang bersiklus, (3) Pengembangan galur-galur dalam rangka membentuk hibrida maupun varietas bersari bebas seperti varietas komposit dan sintetik. Pembentukan dan seleksi galur murni merupakan kegiatan yang paling penting dalam program pemuliaan jagung hibrida. Galur murni yang terseleksi diharapkan dapat menghasilkan hibrida yang unggul ketika disilangkan. Namun galur-galur yang diperoleh dari hasil seleksi seringkali sebagian besar tidak dapat menghasilkan keturunan yang baik. Oleh karena itu, analisis daya gabung melalui persilangan dialel dilakukan untuk memperoleh galur-galur potensial yang dapat dijadikan sebagai tetua untuk membentuk varietas hibrida unggul. Varietas hibrida yang unggul akan ditandai dengan nilai heterosis yang tinggi dan daya gabung khusus yang baik dari tetuanya. Nilai heterosis yang tinggi dan daya gabung yang baik dari tetuanya tidak akan bermanfaat jika penampilan hibrida yang diperoleh tidak lebih baik dibandingkan varietas yang telah ada.
7 Heterosis Heterosis merupakan bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kedua tetuanya (Hallauer and Miranda, 1995). Superioritas hibrida seringkali terlihat dalam vigor, biomassa, fertilitas tanaman, ketahanan terhadap hama maupun penyakit dan daya hasil. Heterosis merupakan aksi dan interaksi gen-gen dominan yang baik yang terkumpul dalam satu genotipe F1 sebagai hasil persilangan dua tetua. Persilangan antar individu homozigot yang berbeda akan menghilangkan penampilan sifat yang tidak baik, sekaligus memunculkan akumulasi gen-gen dominan dengan sifat baik yang selanjutnya menimbulkan fenomena heterosis (Baihaki 1989). Istilah heterosis pertama kali digunakan oleh George H. Shull pada tahun 1914 melalui evaluasi terhadap tanaman jagung yang menunjukkan bahwa silangan antar dua tetua yang homozigot menghasilkan F1 yang sangat vigor (Jones 1952). Heterosis mengacu pada penyimpangan penampilan turunan dibandingkan dengan tetua persilangan. Oleh karena itu, heterosis dapat bermakna lebih tinggi maupun lebih rendah. Dalam keadaan lebih tinggi, heterosis sering dinyatakan dengan istilah vigor hibrida (hybrid vigor) (Sprague 1983). Namun, pemuliaan tanaman tidak selalu fokus untuk memperoleh turunan persilangan yang melebihi tetuanya. Pada beberapa karakter tertentu seperti umur tanaman, tinggi tanaman, ketahanan penyakit dan ketahanan terhadap kerebahan justru dikehendaki turunan yang lebih rendah dari tetuanya. Sehingga, istilah heterosis lebih umum digunakan. Heterosis terjadi sebagai akibat berkumpulnya gen-gen baik pada suatu individu dalam keadaan heterozigot. Dalam keadaan heterozigot, alel-alel a1a2 pada satu lokus akan lebih unggul dibandingkan kombinasi homozigos a1a1 atau a2a2. Alel-alel a1 dan a2 mempunyai fungsi yang berbeda untuk satu tujuan yang sama. Dengan demikian bergabungnya a1a2 akan memberikan penampilan yang lebih baik daripada a1a1 atau a2a2 (McWhirter 1979). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa heterosis hanya muncul pada tanaman heterosigot sebagai hasil persilangan dua tetua. Heterosis secara nyata terlihat pada tanaman menyerbuk silang karena penampilan terbaiknya terjadi pada saat konstitusi genetiknya heterozigot. Hallaeur and Miranda (1995) melaporkan bahwa pada tanaman jagung nilai mid-parent heterosisnya antara -3.6 hingga 72.0% dengan high-parent heterosis antara -9.9 sampai dengan 43.0%. Terdapat dua hipotesis mengenai timbulnya fenomena heterosis yang umum diketahui, yaitu dominan dan over-dominan. Hipotesis dominan didasarkan pada teori bahwa gen yang menguntungkan untuk tanaman bersifat dominan dan gen yang merugikan bersifat resesif. Gen dominan yang berasal dari satu tetua akan dilengkapi oleh gen dominan dari tetua lain sehingga tanaman F1 memiliki kombinasi gen dominan yang menguntungkan dari kedua tetuanya (Phoelman and Sleeper 1995). Hipotesis over dominan pertama kali dikemukakan oleh Shull dan East pada tahun 1908 yang menyatakan bahwa pada suatu lokus tertentu, genotipe heterozigot (AB) lebih superior dibandingkan dengan bentuk homozigotnya (AA, BB). Berdasarkan hipotesis ini tingkat heterosis suatu individu bergantung pada seberapa banyak alel-alel heterozigot, semakin banyak alel yang heterozigot, maka semakin tinggi tingkat heterosis yang dimiliki suatu individu. Menurut Crow (1952) hipotesis overdominan dapat dibagi menjadi dua berdasarkan jumlah
8 alel yang terlibat, yaitu hipotesis true-overdominan yang melibatkan satu pasang alel dan hipotesis pseudo-overdominan yang terjadi akibat adanya dua pasang alel yang saling terpaut pada fase repulsion. Namun untuk membedakan kedua hipotesis overdominan tersebut sangat sulit dilakukan. Virmani et al. (1997) mengemukakan bahwa terdapat dua bentuk heterosis yang umum diketahui, yaitu heterosis terhadap rata-rata kedua tetua (mid-parent heterosis) dan dan heterosis terhadap tetua terbaik (best parent heterosis/heterobeltiosis). Kedua bentuk heterosis tersebut dapat berguna maupun tidak, bergantung pada potensi hasilnya. Oleh karena itu, seringkali dilakukan juga evaluasi heterosis terhadap varietas cek (standard heterosis) untuk mengetahui apakah hibrida yang diperoleh berpotensi untuk menjadi varietas baru yang unggul. Heterosis secara nyata terlihat pada tanaman menyerbuk silang terutama jagung. Wahyudi et al. (2006) memperoleh nilai heterosis dan heterobeltiosis yang nyata untuk karakter pertumbuhan, komponen hasil dan hasil pada F1 hasil persilangan galur-galur jagung yang dievaluasi pada kondisi cekaman kekeringan. Aliu et al. (2008) menyimpulkan bahwa semua F1 yang diuji menunjukkan nilai heterosis yang positif untuk karakter bobot tongkol. Uddin et al. (2006) menguji tujuh galur jagung koleksi CIMMYT melalui persilangan dialel metode Griffing I dan memperoleh nilai heterobeltiosis yang cukup baik (8.23 – 25.78%) pada F1 yang diuji. Premlatha et al. (2011) menyimpulkan bahwa selain pada karakter hasil, heterosis yang tinggi juga diperoleh pada karakter kualitas hasil yaitu kandungan protein dan minyak hasil pengujian sembilan galur jagung dengan metode lini x tester yang melibatkan 4 genotipe sebagai tester. Gama et al. (1995) menguji 11 galur jagung yang dibentuk dari populasi yellow Tuxpeno dan memperoleh nilai heterosis yang tinggi dan positif untuk karakter hasil pada generasi F1 yang diuji. Fan et al. (2001) menguji 10 galur jagung QPM melalui analisis dialel dan memperoleh nilai heterosis yang tinggi pada beberapa F1 hasil persilangannya. Informasi nilai daya gabug dan heterosis yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelompokkan pasanganpasangan persilangan terbaik (kelompok heterosis). Fenomena depresi inbreeding merupakan kebalikan dari efek heterosis. Depresi inbreeding terjadi karena adanya peningkatan homozigositas gen sebagai akibat dari adanya perkawinan sendiri atau antar individu yang berkerabat dekat (Welsh 1981). Depresi inbreeding sangat nyata terlihat pada tanaman menyerbuk silang yang ditandai dengan menurunnya vigor tanaman, tanaman menjadi lebih pendek dan munculnya sterilitas serbuk sari sebagai akibat dari terekspresinya gen-gen resesif yang jelek. Namun, fenomena ini tidak selalu mengakibatkan tanaman menjadi lebih jelek beberapa tanaman memiliki kemampuan mentoleransi depresi inbreeding. Hal tersebut terjadi karena meningkatnya frekuensi gen yang menjadikan penampilan tanaman tetap baik walaupun pada keadaan inbred (Ahmad et al. 2010). Selain itu, galur-galur yang berasal dari populasi eksotik lebih toleran terhadap depresi akibat persilangan sendiri (Sarcevic et al. 2004). Penampilan karakter agronomis galur-galur yang berasal dari populasi semi-eksotik lebih baik dengan penampilan daya hasil yang tinggi karena adanya penambahan alel-alel baru yang dapat meningkatkan penampilan karakter tanaman (Darsana et al. 2004).
9 Daya Gabung dan Persilangan Dialel Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur untuk menghasilkan hibrida yang superior jika disilangkan dengan galur lain. Daya gabung meliputi daya gabung umum atau DGU (General Combining Ability) dan daya gabung khusus atau DGK (Specific Combining Ability). DGU adalah nilai rata-rata dari suatu tetua yang disilangkan dengan tetua-tetua lain dibandingkan dengan ratarata umum. DGU merupakan simpangan dari rata-rata seluruh hasil persilangan sehingga dapat bernilai positif maupun negatif (Hallaeur and Miranda 1995). DGK adalah penampilan dari suatu kombinasi persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Phoelman and Sleeper 1995). Persilangan dialel adalah suatu set persilangan yang melibatkan sejumlah “n” galur dan seluruh kemungkinan kombinasi persilangan yang dibuat (Singh and Chaudhary 1979). Persilangan dialel merupakan suatu rancangan persilangan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi genetik suatu galur ketika disilangkan dengan galur-galur lainnya. Interpretasi hasil analisis dialel dapat berlaku terhadap tetua-tetua yang digunakan saja (model I) atau terhadap populasi asal tetua yang digunakan (model II). Terdapat empat jenis rancangan persilangan dialel yang umum digunakan (Griffing 1956), yaitu : 1. Metode I : persilangan dialel penuh dengan resiprok dan galur tetuanya (p2), 2. Metode II : persilangan dialel sebagian dengan galur tetua tanpa resiprok (½p(p+1)) 3. Metode III : persilangan dialel penuh dengan resiprok tanpa galur tetuanya (p(p-1)) 4. Metode IV : persilangan dialel sebagian tanpa galur tetua dan resiprok (½p(p-1)) Dalam menggunakan rancangan persilangan dialel beberapa asumsi harus terpenuhi, yaitu (i) segregasi diploid pada tetua; (ii) tidak ada perbedaan antara persilangan dengan resiproknya; (iii) tetua yang digunakan homozigot; (iv) dua alel per lokus; (v) tidak ada interaksi antara alel; dan (vi) gen-gen yang terdistribusi pada tetua tidak saling berkorelasi (Nassar 1965). Metode persilangan dialel secara luas digunakan untuk menganalisis daya gabung umum maupun khusus suatu keturunan persilangan pada berbagai kegiatan pemuliaan tanaman. Bajaj et al. (2007) memanfaatkan metode persilangan dialel untuk memperoleh informasi daya gabung umum dan mengestimasi besaran heterosis pada persilangan jagung galur QPM. Dhliwayo et al. (2009) menggunakan rancangan persilangan dialel untuk mengevaluasi daya gabung sekaligus pola heterosis pada galur elit jagung koleksi CIMMYT dengan galur jagung tropis koleksi IITA. da Silva et al. (2010) menggunakannya untuk mengevaluasi hasil persilangan galur murni jagung berondong tropis dengan jagung temperate. Akbar et al. (2009) mengevaluasi daya gabung 6 galur jagung melalui persilangan dialel penuh untuk toleransi terhadap cekaman suhu tinggi. Subekti and Salazar (2007) melakukan analisis dialel pada 6 galur jagung koleksi Institute of Plant Breeding Los Banos dan CIMMYT untuk ketahanan terhadap bakteri busuk batang. Haring et al. (2006) mengevaluasi daya gabung dan
10 heterosis lima genotipe jagung koleksi Balitsereal untuk karakter biomassa dan hasil menggunakan persilangan dialel. Penampilan fenotipe suatu karakter sebenarnya dipengaruhi oleh faktor genetik dan penyimpangannya akibat pengaruh lingkungan, sehingga dikenal formula P = G + E. Ragam genetik dapat dipartisi kembali menjadi ragam genetik aditif, dominan dan epistasis dengan rumus VG = Va + Vd + Vi (Falconer and Mackay 1996). Pengaruh ragam genetik aditif dan non-aditif terhadap penampilan suatu karakter sebenarnya masih merupakan pengaruh ragam umum yang masih menyertakan ragam lingkungan (Roy 2000). Dengan demikian, untuk meningkatkan untuk meningkatkan ketepatan nilai ragam genetik yang diperoleh, maka perlu dilakukan analisis dilebih dari satu lingkungan untuk menghilangkan bias akibat pengaruh lingkungan tersebut. Analisis daya gabung juga sering dimanfaatkan untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh genetik dan heritabilitas suatu karakter. Tingginya pengaruh lingkungan dan interaksi genetik dengan lingkungan dapat mempengaruhi kesimpulan yang diambil dalam melakukan seleksi. Analisis dialel gabungan digunakan untuk mengeliminasi pengaruh lingkungan terhadap nilaai duga daya gabung dan mengevaluasi stabilitas kemampuan bergabung galur-galur yang diuji. Beberapa penelitian yang dilakukan pada berbagai tanaman menggunakan analisis dialel gabungan untuk menganalisis daya gabung genotipe-genotipenya diberbagai lingkungan. Sabaghnia et al. (2010) mengevaluasi daya gabung tanaman Brassica napus L. di dua musim tanam untuk menguji daya gabung galur-galurnya untuk karakter-karakter penting seperti daya hasil dan kandungan minyak. Kunkaew et al. (2007) mengevaluasi daya gabung tanaman azukibean (Vigna angularis) untuk karakter komponen hasil dan hasil di tiga lokasi dataran tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaan daya gabung beberapa karakter penting seperti bobot per tanaman, jumlah biji per polong dan jumlah polong dipengaruhi oleh kondisi lokasi pengujian. Haddadi et al. (2012) melakukan analisis daya gabung untuk karakter-karakter komponen hasil dan hasil pada 8 galur jagung subtropis menggunakan persilangan dialel sebagian menurut metode 2 Griffing. Pengujian dilakukan di dua lokasi yang berbeda dan hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi genotipe x lokasi, daya gabung umum x lokasi dan daya gabung khusus x lokasi pengujian untuk semua karakter yang diamati.
Kelompok Heterosis Pemilihan plasmanutfah sebagai sumber genetik bahan pemuliaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam pemuliaan jagung pengelompokkan materi genetik kedalam kelompok-kelompok heterosis diperlukan dalam program pemuliaan berbasis hibrida jangka panjang. Melalui identifikasi pola dan kelompok heterosis, potensi hasil persilangan antar kelompok-kelompok yang ada dapat diestimasi dengan baik, kegiatan pemuliaan lebih terarah dan pengembangan hibrida-hibrida baru dapat dilakukan melalui kelompok-kelompok heterosisnya.
11 Melchinger and Gumbler (1998) mendefinisikan kelompok heterosis sebagai kelompok genotipe yang berkerabat maupun tidak dari populasi sama ataupun berbeda yang menunjukkan penampilan daya gabung dan heterosis yang sama jika disilangkan dengan genotipe dari kelompok genotipe lain. Suatu galur dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yang berbeda jika menunjukkan heterosis yang tinggi dan sebaliknya. Kelompok heterosis yang telah ada dapat dimanfaatkan dalam membentuk hibrida maupun kelompok heterosis lainnya. Pola dan kelompok heterosis yang paling banyak digunakan adalah Lancaster Sure Crop, Reid Yellow Dent, Iowa Stiff Stalk Synthetic (BSSS) dan Tuxpeno (Acquaah 2007). Dahlan et al. (1996) melaporkan bahwa Badan Litbang Pertanian pernah membentuk pola heterosis dua pasangan populasi yaitu pasangan Malang Sintetik (MS) J1 dengan J2 versi umur dalam, dan pasangan MS K1 dengan K2 versi umur genjah. Namun hingga saat ini, belum terdapat pola dan kelompok heterosis jagung tropis khususnya di Indonesia yang digunakan secara luas dalam kegiatan perakitan hibrida seperti yang telah dikembangkan di Amerika. Introduksi kelompok heterosis dari negara lain juga sulit untuk dikembangkan karena tanaman dari lokasi dengan iklim yang berbeda jika diintroduksikan pada daerah tropis akan lebih rentan terhadap hama dan penyakit, tercekam suhu tinggi, umur berbunga dan penuaannya berlangsung sangat cepat (Kim 1990). Sehingga, kelompok heterosis jagung tropis kemungkinan besar hanya dapat dibentuk dari populasi jagung tropis saja. Dalam rangka membentuk kelompok heterosis berbagai metode analisis dapat digunakan. Adopsi pola dan kelompok heterosis yang sudah ada merupakan metode yang paling banyak dilakukan di berbagai negara (Menkir et al. 2004; Melani and Carena 2005; Barata and Carena 2006). Selain itu, pemanfaatan kelompok heterosis yang telah ada dalam membuat kelompok heterosis yang baru juga dilaporkan telah dilakukan untuk membentuk pola heterosis baru antara plasmanutfah eksotik x lokal yang telah beradaptasi dengan baik (Fan et al. 2001; Fan et al. 2009). Zhang et al. (2002) menyatakan bahwa evaluasi kelompok heterosis pada jagung dapat dilakukan melalui pendekatan analisis silsilah materi genetik, analisis marka molekuler dan analisis kuantitatif genetik. Pendekatan melalui analisis silsilah materi genetik merupakan cara yang paling mudah dan sederhana. Melalui cara ini, informasi mengenai asal-usul tetua kekerabatan genetik antar galur-galur maupun populasi yang dikembangkan dapat diketahui, namun membutuhkan dokumentasi asal-usul genetik galur yang lengkap dalam setiap tahap kegiatan pemuliaan. Pemanfaatan marka molekuler memungkinkan untuk menentukan secara pasti seberapa besar jarak genetik masing-masing galur yang ditangani berdasarkan informasi DNA yang terkandung di dalamnya, namun tidak cukup efektif untuk memisahkan galur-galur yang ditangani kedalam kelompok heterosis yang tepat, karena galur-galur yang berasal dari tetua yang sama dapat berbeda kelompok heterosisnya, dan sebaliknya akibat adanya persilangan, seleksi maupun introgresi alel-alel baru. Pendekatan analisis kuantitatif genetik melalui pemanfaatan daya gabung umum dan khusus galur-galur yang dikembangkan memberikan keberhasilan pembentukan kelompok heterosis lebih tinggi berturutturut 16.7% hingga 23.6% dibandingkan melalui analisis marka molekuler dengan SSR dan analisis silsilah materi genetik (Fan et al. 2009).