II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Jagung Klasifikasi ilmiah tanaman jagung sebagaimana diketahui adalah : Kerajaan : Plantae Divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Poales Familia : Poaceae Genus : Zea Spesies : Zea mays L.
Gambar 2. Jagung (Zea mays Ssp. mays L.)
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Jagung merupakan sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, selain itu jagung juga menjadi alternatif sumber pangan. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun
9
10
tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya). Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1 m sampai 3 m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6 m. Bunga betina jagung berupa "tongkol" yang terbungkus oleh semacam pelepah dengan "rambut". Rambut jagung sebenarnya adalah tangkai putik. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m, meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman.
Batang jagung tegak dan mudah terlihat.
Terdapat mutan yang batangnya tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin. Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut.
Gambar 3. Bunga jantan dan bunga betina jagung
11
Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri) (James, 1995).
2.2. Benih Jagung Hibrida Benih jagung dapat diperoleh dengan 3 (tiga) cara, yaitu (1) komposit (varietas bersari bebas); (2) hibrida (persilangan); dan (3) transgenik. Di negara berkembang seperti Indonesia penggunaan benih jagung unggul masih didominasi oleh varietas bersari bebas atau jagung komposit. Jagung komposit lebih mudah ditanam di beberapa lingkungan dan pengembangannya sederhana, benih jagung komposit juga dapat secara cepat diperbanyak oleh petani atau kelompok tani, sehingga memungkinkan menyebar dan dapat mengurangi ketergantungan petani kepada pihak lain, karena dapat menyimpan benih sendiri, sehingga biaya produksi lebih murah. Selain itu, petani masih menggunakan varietas unggul jagung komposit, antara lain oleh karena daya adaptasinya yang luas, dapat dikembangkan pada lahan marjinal maupun lahan subur, harga benihnya relatif murah, benihnya juga dapat digunakan beberapa generasi tanpa mengalami degenerasi (kemunduran hasil), umur genjah dan daya hasil cukup tinggi (Pangaribuan, 2010). Suwarno (2008) menjelaskan bahwa jagung jenis hibrida diperoleh dari generasi F1 hasil persilangan dua atau lebih galur murni dan memiliki perbedaan keragaman antar varietas, tergantung dari tipe hibridisasi dan stabilitas galur murni. Komersialisasi jagung hibrida sudah dimulai sejak tahun 1930, namun penanaman jagung hibrida secara luas (ekstensif) di Asia baru dimulai pada tahun 1950-1960. Di sebagian besar negara berkembang, 61% dari lahan pertanaman jagung masih ditanami varietas bersari bebas. Hal ini dimungkinkan karena
12
varietas bersari bebas lebih mampu beradaptasi pada kondisi lahan marjinal. Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam dan mampu berproduksi lebih tinggi 15% - 20% dari varietas bersari bebas. Selain itu, varietas hibrida menghasilkan biji yang lebih besar dibandingkan varietas bersari bebas (Suwarno, 2008). Tiga tipe hibrida sudah digunakan secara komersial, yaitu hibrida silang tunggal (single cross hybrid), hibrida silang ganda (double cross hybrid), dan hibrida silang tiga (three-way cross hybrid) (Sprague dan Dudley dalam Suwarno, 2008). Benih jagung hibrida varietas Bima 2 Bantimurung, varietas Bima 3, varietas Bima 4, varietas Bima 5 dan varietas Bima 6 (keseluruhannya 5 varietas) yang telah dilisensi adalah jenis benih hibrida silang tunggal. Hibrida silang tunggal adalah hibrida dari persilangan antara 2 (dua) galur murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Galur-galur murni yang digunakan dalam silang tunggal diasumsikan telah homozigot. Oleh karena itu, tanaman hibrida silang tunggal bersifat heterozigot. Tidak semua kombinasi galur murni akan menghasilkan silang tunggal yang superior. Pada kenyataannya, agak jarang kombinasi galur murni yang menghasilkan silang tunggal dengan hasil yang superior. Kombinasi galur murni harus diuji daya gabungnya untuk menemukan kombinasi mana yang akan berguna untuk produksi benih hibrida (Poehlman dalam Suwarno, 2008). Sejumlah varietas jagung hibrida yang telah dirilis oleh Badan Litbangtan di tahun 2011, 2 (dua) varietas tergolong berumur genjah (umur ≤ 90 hari) yaitu varietas Bima 7 dan Bima 8. Jagung umur genjah merupakan salah satu program strategis Badan Litbangtan untuk menghadapi perubahan iklim global. Hal ini penting karena pertanaman jagung di Indonesia sekitar 79% terdapat di lahan tegal dan 10% di lahan sawah tadah hujan yang memerlukan varietas umur genjah (<90 hari) toleran kekeringan (Sinartani, 2011).
13
2.3. Produksi dan Kebutuhan Benih Jagung Nasional Produksi jagung nasional untuk tahun 2011 hingga tahun 2014 diharapkan dapat meningkat sebanyak 10,02% (Tabel 4). Peningkatan tersebut perlu ditunjang oleh luas lahan yang mencukupi dan benih jagung unggul. Produksi benih yang diusahakan petani diharapkan dapat mencapai 80.000 ton (77,14%) dari kebutuhan nasional sebanyak 350.000 ton. Produktivitas jagung nasional untuk varietas lokal masih sangat rendah, yaitu 2-3 ton/ha, jagung hibrida 7-10 ton/ha, dan jagung komposit kurang dari 5 ton/ha. Oleh karena itu, penelitian terhadap jagung hibrida dapat lebih diarahkan pada upaya memenuhi kebutuhan benih jagung nasional, sehingga dapat mengurangi importasi benih jagung yang saat ini sudah mencapai 22,9%. Pemasukan benih jagung tertinggi untuk penelitian sampai dengan saat ini diperoleh dari negara Thailand (Badan Litbangtan, 2011). Keunggulan menggunakan benih jagung hibrida adalah tahan terhadap penyakit tertentu, masa panennya lebih cepat dengan kualitas dan mutu produksi lebih tinggi (Pioneer dalam Oktavianto, 2011). Tabel 4. Sasaran Produksi Tanaman Pangan Komoditas No. 1. Padi 2. Jagung 3. Kedelai 4. Kacang tanah 5. Kacang hijau 6. Ubi kayu 7. Ubi jalar
2010
2011
2013
2014
68.800 22.000 1.560 970
2012 (000 ton) 71.000 24.000 1.900 1.100
73.300 26.000 2.250 1200
75.700 29.000 2.700 1.300
Pertumbuhan (% /tahun) 3,22 10,02 20,05 10,20
66.680 19.800 1.300 882 360
370
390
410
430
4,55
22.248 2.000
22.400 2.150
25.000 2.300
26.300 2.450
27.600 2.600
5,54 6,78
Sumber : Kementerian Pertanian, 2011.
2.4. Pendekatan Teoritis Hasil Invensi Invensi adalah upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat untuk memecahkan persoalan secara teknis yang dihadapi oleh masyarakat, setelah melalui proses penelitian yang panjang (Badan Litbangtan, 2010). Inovasi adalah kegiatan untuk membawa hasil invensi, baik dalam bentuk teknologi (dalam bentuk proses, model, atau prototipe maupun jasa) ke pengguna akhir dan pasar untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ide, gagasan, maupun konsep. Pengertian inovasi harus dibedakan dari pengertian penemuan (invention). Penemuan adalah proses kreatif yang mencakup penggunaan pengetahuan dan
14
informasi untuk menciptakan sesuatu yang baru. Inovasi mempunyai proses yang lebih panjang; dimulai dengan penemuan, kemudian dilanjutkan dengan pengenalan penemuan tersebut dan akhirnya konsep tersebut dapat diwujudkan dan diterapkan menjadi sesuatu yang bernilai guna dan menguntungkan (Widyaningrum, 1999). Di lapangan, pelaksanaan pengenalan hasil invensi Badan Litbangtan perlu dilakukan melalui kerjasama dengan mitra/investor guna komersialisasi. Goenadi (2004) menjelaskan bahwa tahapan umum komersialisasi produk bioteknologi pertanian melalui 5 (lima) tahapan hingga pemasaran produk (Gambar 4). Sebuah invensi bioteknologi pada dasarnya merupakan ide atau solusi bagi sebuah masalah teknis. Oleh karena itu, menjadi penting untuk memperoleh perlindungan hukum sebelum mengkomersialkannya dengan melakukan pendaftaran paten. Dalam beberapa kasus, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan sebelum sebuah invensi dapat diwujudkan dalam bentuk produk yang dapat dipasarkan kemudian dibutuhkan upaya untuk memasarkannya dengan dukungan sumberdaya manusia, investasi, waktu, dan kerja kreatif. Riset pengembangan merupakan tahapan yang sangat penting sebelum sebuah hasil penelitian bioteknologi dapat menjadi sebuah produk atau proses. Walaupun banyak tahapan yang dapat ditempuh, pengalaman menunjukkan bahwa riset pengembangan menentukan keyakinan pihak investor dalam mengkomersialisasikan teknologi yang dihasilkan (Goenadi, 2004).
Gambar 4. Tahapan umum komersialisasi produk bioteknologi (Goenadi, 2004)
15
2.5. Komersialisasi, Kerjasama/Kemitraan Iptek dan Aliansi Strategik Kegiatan komersialisasi dalam kerangka kerja alih teknologi (Gambar 5) merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh industri guna memperoleh manfaat finansial. Komersialisasi yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mentranformasikan pengetahuan dan teknologi menjadi produk baru, proses atau pelayanan, dalam kaitannya dengan peluang pemasaran. Dan proses komersialisasi ini membutuhkan peneliti dan manajer, dan lain-lain yang kritis terhadap proses komersialisasi sehingga menjadi nilai budaya dalam berinovasi dan berwirausaha (Rosa dan Antoine, 2007). Waluyo (2006) mendefinisikan komersialisasi sebagai suatu usaha meningkatkan nilai tawar teknologi yang dilakukan secara bertahap, yaitu dengan membentuk hubungan atau kemitraan dengan perseorangan atau lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pengembangan teknologi. Hubungan kemitraan ini kemudian menjadi suatu model yang menjadi acuan dalam percepatan komersialisasi hasil-hasil riset. Kemitraan merupakan suatu kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan bersama tertentu.
Istilah "kemitraan iptek"
umumnya digunakan untuk menunjukkan suatu kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak, untuk mencapai tujuan bersama tertentu dalam bidang iptek. Kesepakatan yang terjadi bisa mengikat secara hukum atau juga bersifat lebih longgar. Para pihak yang terlibat dalam kemitraan iptek bisa merupakan pengembang/penyedia iptek atau penyedia dan pengguna iptek. Sementara lingkup kemitraan iptek bisa dalam pengembangan/inovasi, alih/transfer, pemanfaatan, difusi, dan/atau penguasaan iptek. Beberapa literatur menggunakan kata ”kemitraan” (partnership) untuk hubungan/konteks bisnis. Walaupun begitu, istilah ”kemitraan” pada dasarnya memiliki pengertian yang luas. Hubungan kemitraan antara dua pihak atau lebih dapat berupa hubungan dalam tingkatan yang dinilai lebih ”longgar” seperti ”koordinasi” (coordination) hingga tingkatan yang ”lebih mengikat” seperti ”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration) (Taufik, 2008). Aliansi strategik pada dasarnya merupakan kemitraan, atau sering juga disebut kolaborasi antara dua atau lebih pihak dalam bidang-bidang spesifik yang dinilai strategik. Bidang tersebut dapat bersifat murni bisnis atau terkait dengan
Penelitian
Kebaruan (Novelty) Manfaat (Usefulness) Diterima di Industri (Applicable to Industry)
RPTP Insentif Angka Kredit (Paper, Seminar, Jurnal)
BUSS (Baru, Unik, Seragam, Stabil) Tangible Assets
Investasi tinggi
Kepemilikan tinggi
Muatan Teknologi tinggi
Royalti = 0
Presisi/Mutu tinggi
Perlindungan Hukum tinggi
Ketidakseragaman rendah
Pengakuan tinggi
Nilai Komersial tinggi
Percepatan Altek tinggi
Pelepasan
Lisensi
Tanda Daftar
Komersial Riset
Invensi
HKI/PVT
Aset negara Anggaran Intangible Assets
Non Komersial Temu Bisnis Ekspose Media Masa
Investasi Rendah Pengembangan
Industri Inovasi
Alih Teknologi Sertifikat
Manfaat Finansial
Muatan Teknologi rendah Presisi/Mutu rendah Keseragaman rendah Nilai Komersial rendah
*) Innovation is not innovation until someone utilized it and makes money on its idea and creativity
UKM
Kerjasama
Manfaat Sosial/CSR
Cost of Recovery Royalty = 0 Kepastian Hukum tinggi Produksi Massal tinggi Daya Saing Industri tinggi
Gambar 5. Kerangka kerja alih teknologi (Badan Litbangtan, 2010)
16
17
litbangyasa iptek. Ada beberapa pengertian tentang aliansi strategis yang ditemukan dalam berbagai literatur. Teece (1992) diantaranya mendefinisikan aliansi strategik sebagai suatu rantai perjanjian antara dua atau lebih mitra dalam berbagi komitmen untuk mencapai tujuan dengan menggabungkan sumber daya dan mengkoordinasikan kegiatan secara bersama. Dalam konsep aliansi strategis, terdapat 2 (dua) tipe aliansi strategik, yaitu (1) Alih teknologi yang dilakukan dengan perjanjian pengalihan lisensi dari satu institusi ke institusi lainnya; dan (2) Pengembangan teknologi dalam rangka pengembangan fasilitas litbang bersama dan pengembangan aktifitas lanjutan untuk pengembangan pada produk, produksi, distribusi dan penjualan. Dari perspektif
legal,
dalam
pengembangan
kemitraan
iptek
yang
saling
menguntungkan perlu diketahui pola aliansi strategis, terutama menyangkut (1) sifat hubungan yang terjadi dan dikehendaki bersama; (2) batasan hubungan antarpihak; dan (3) hak berpartisipasi setiap pihak (DRN, 2010).
2.6. Kerjasama Lisensi dan Alih Teknologi Kerjasama lisensi adalah kerjasama yang dilakukan dengan perjanjian lisensi. Perjanjian lisensi adalah perjanjian pengalihan pengelolaan dan pendayagunaan invensi dari pemilik invensi (inventor) kepada pengguna invensi (industri/investor). Invensi adalah hasil gagasan, ide, dan konsep yang sudah berupa proses, model, prototipe ataupun menurut karakteristik invensi Badan Litbangtan yaitu berupa varietas, prototipe, formula, proses dan produk. Invensi teknologi hasil litbang yang dibiayai pemerintah wajib diinovasikan dalam rangka pengembangan, baik secara komersial maupun non komersial kepada pihak lain. Komersialisasi invensi hasil litbang pertanian dalam rangka inovasi teknologi dilaksanakan dengan memberikan hak (“lisensi”) kepada pihak lain untuk melaksanakan produksi massal yang dilandasi dengan kerjasama lisensi (Gambar 5). Kerjasama lisensi baru dapat dilakukan setelah hasil invensi teknologi hasil litbang tersebut mendapatkan perlindungan HKI (hak kekayaan intelektual) maupun PVT (perlindungan varietas tanaman) (Badan Litbangtan, 2010). Kerjasama lisensi komersial umumnya diarahkan untuk industri dengan modal kuat, sehingga nilai komersial invensi teknologi tersebut juga harus tinggi
18
dengan nilai 0% < royalti < 10% atau bila dimungkinkan >10%, dari keuntungan bersih
hasil pengembangan,
tergantung
pada
kesepakatan
yang
saling
menguntungkan kedua belah pihak. Kerjasama lisensi non komersial dilaksanakan memiliki nilai royalti 0%, artinya bahwa telah ada pengakuan HKI atas invensi yang dilisensikan kepada pihak lain. Royalti adalah kompensasi bernilai ekonomis dalam rangka alih teknologi yang diberikan oleh penerima alih teknologi kepada pemilik invensi (Badan Litbangtan, 2010). Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pasal 16 menyebutkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektualnya dan berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya untuk mengembangan diri. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih teknologi, Kekayaan Intelektual serta hasil penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang, disebutkan pada pasal 20 bahwa mekanisme alih teknologi dilaksanakan melalui lisensi, kerjasama, pelayanan iptek dan publikasi. Selanjutnya pada pasal 38 disebutkan bahwa pendapatan dari hasil alih teknologi dapat digunakan langsung untuk meningkatkan anggaran UK/UPT, memberi insentif kepada inventor, memperkuat unit pengelola alih teknologi, memperkuat sumber daya iptek, dan memperluas jaringan kerjasama iptek. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya. Strategi kerjasama (cooperative strategy) sebagaimana digambarkan oleh Wheelen dan Hunger (2004) dapat dilihat bahwa tujuan untuk melaksanakan aliansi strategik diantaranya yaitu (1) mendapatkan teknologi; (2) dapat mengakses pasar; (3) dapat mengurangi risiko keuangan; (4) mengurangi risiko politis; dan (5) mencapai daya saing tertentu (Gambar 6).
19
Obtain technology
Access to markets
Strategic Alliance
Reduce financial risk
Reduce political risk
Achieve competitive advantage
Gambar 6. Strategi Kerjasama (Wheelen dan Hunger, 2004)
Jenis aliansi strategik pada tingkat bisnis dibagi kedalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) aliansi komplementer: dimana kemitraan dibangun untuk saling melengkapi antar perusahaan yang membuat masing-masing lebih kompetitif mencakup distribusi, pemasok atau aliansi outsourcing; (2) aliansi untuk mengurangi persaingan: dimana kemitraan dibangun untuk menghindari persaingan dengan menggunakan kolusi diam-diam seperti penetapan harga; (3) aliansi untuk merespon persaingan: dimana perusahaan menggabungkan kekuatan untuk merespon tindakan strategik pesaing lainnya; dan 4) aliansi untuk mengurangi ketidakpastian dimana aliansi digunakan untuk melindungi risiko dari ketidakpastian. Mendorong kepercayaan investor untuk mau bekerjasama dalam melakukan pemasaran produk hasil invensi pada dasarnya menjadi masalah utama bagi lembaga penelitian lainnya. Sebagian investor di Indonesia beranggapan bahwa litbang membutuhkan investasi relatif besar dan risiko tinggi, berbeda dengan negara-negara maju, di mana alokasi dana litbang mendapat perhatian besar. Hubungan kerjasama dalam penelitian banyak dilakukan dalam proses inovasi. Hubungan kerjasama ini dilakukan untuk dapat mengakses sumbersumber teknologi (atau aset lain) dan mengintegrasikannya kedalam produk atau jasa suatu perusahaan (Hummel, et al, 2010). Hummel, et al (2010) menyebutkan 3 (tiga) temuan yang menarik yang melatarbelakangi timbulnya kerjasama dalam penelitian, yaitu (1) nilai sebuah kerjasama diidentifikasi dari mitra yang potensial
20
pada model bisnis. Dan nilai ini menjadi masukan yang penting dalam proses penciptaan kerjasama; (2) risiko sebuah kerjasama adalah risiko ketidakpastian hasil. Oleh karenanya melalui kerjasama, risiko dapat dikonversi pada kedua belah pihak sehingga akan mengurangi risiko dari hubungan bisnis tersebut; dan (3) akan ditemukan nilai yang signifikan atas mitra yang mengerti aspek kunci dari model bisnis yang diinginkan perusahaan. Menurut PricewaterhouseCoopers’s Transaction Service Group dalam DRN (2010) ada 6 (enam) langkah penting yang dapat diikuti oleh perusahaan untuk meningkatkan peluang keberhasilan aliansi (Gambar 7).
Gambar 7. Langkah Pengembangan Kemitraan Iptek
2.7. Penerapan Komersialisasi Hasil Invensi Saat Ini Pemasaran merupakan kegiatan akhir dalam komersialisasi produk. Tanpa komersialisasi dan tim pemasar yang tangguh produk sebaik apapun dipastikan tidak dapat mencapai sasaran konsumen yang tepat. Oleh karenanya, rencana komersialisasi dan strategi pemasaran yang baik juga perlu disusun, mulai dari target konsumen yang dituju dilengkapi dengan perencanaan sumberdaya manusia, perencanaan fasilitas komersialisasi dan perencanaan fasilitas investasi dan pembiayaan. Upaya penerapan hasil litbang, pemasaran hasil litbang yang didukung kebijakan ataupun peraturan yang mendorong litbang akan mendukung berkembangnya komersialisasi hasil riset (Hartiningsih, 2010). Permasalahan pemasaran invensi Badan Litbangtan, antara lain (1) kualitas jumlah pegawai untuk bidang manajemen alih teknologi; legal aspek HKI, lisensi
21
dan kerjasama Public Private Partnership; marketing teknologi serta teknologi informasi belum memadai sehingga perlu dilakukan prioritas penempatan ataupun outsourcing; (2) sarana, bahan, dana dan sistem promosi yang belum memadai; (3) invensi yang dihasilkan belum sepenuhnya berorientasi pasar dan belum matang, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara hasil penelitian dan permasalahannya sehingga perlu dilakukan pra-lisensi, round table meeting per klaster dengan metode 4 (empat) Tepat (Tepat Waktu/Moment, Tepat Harga, Tepat Kualitas dan Tepat Target/Calon lisensor); (4) kesadaran akan manfaat HKI, lisensi dan Public Private Partnership yang masih perlu ditingkatkan melalui sosialisasi; (5) Belum adanya kebijakan alih teknologi yang terpusat dan terkoordinasi, agar tidak terjadi duplikasi tugas dan fungsi; (6) penyelesaian tata cara penerimaan dan penggunaan royalti hasil alih teknologi masih belum dapat dilakukan. Oleh karena tata cara penggunaan royalti masih belum diatur; dan (7) belum adanya panduan umum penetapan harga jual teknologi (valuasi invensi atau pricing technology) dalam rangka alih teknologi (Balai PATP, 2010). Perangkat kebijakan yang mengatur komersialisasi telah disediakan melalui berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Seperti UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU Nomor 14/2001 tentang Paten, UU No. 15/2001 tentang Merek, UU Nomor 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, PP No. 20/2005 (Pasal 16, UU No. 18/2002) tentang Kewajiban alih teknologi kekayaan intelektual hasil litbang oleh Lembaga Litbang. PP 23/2005 tentang Badan Layanan Umum (BLU) dan PP 35/2007 tentang Pengalokasian sebagian pendapatan badan usaha untuk kegiatan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Sedangkan kurang berkembangnya transfer teknologi di Indonesia juga dapat disebabkan oleh kurang berminatnya investor terhadap hasil litbang dari negeri
sendiri
dan
masih
minimnya
pengaturan
tentang
royalti
bagi
peneliti/inventor sehingga dapat memperoleh penghasilan yang layak. Berbeda keadaannya dengan di negara-negara seperti China, Korea, Jepang dan Taiwan di mana inventor telah diwajibkan memiliki saham pada perusahaan yang telah menggunakan hasil inovasinya, sebaliknya di Indonesia inventor yang terikat pada sebuah lembaga pemerintah adalah pegawai negeri yang wajib
22
mendedikasikan seluruh waktu dan hasil karyanya pada negara dan belum diatur mengenai penghasilan yang dapat diperoleh dari paten invensi/inovasi yang telah komersial bahkan bernilai ekonomi tinggi. Sedangkan pemerintah Australia telah merancang suatu lembaga yang bekerja di bawah koordinasi Department of Innovation, Industry, Science and Research (DIISR) dengan berbagai lembaga milik pemerintah negara bagian bahkan tingkat kota. Australia membangun kelembagaan tersebut demi menunjang kerjasama yang harmonis antara pihak swasta dengan pihak intelektual. Termasuk didalamnya berkontribusi dalam insentif inovasi, penanaman modal dan mitra pembina akademisi hingga aktivitas bisnis (Hartiningsih, 2010).
2.8. Kerjasama Lisensi dalam Komersialisasi Hasil Invensi Sebuah kerjasama dibentuk oleh individu atau sebuah organisasi ketika individu atau organisasi tersebut mulai bekerja bersama untuk mencapai tujuan dengan memanfaatkan sumberdaya secara efektif (Rammer, 2006). Gray dalam Rammer (2006) menuliskan bahwa kerjasama memerlukan seperangkat aturan untuk mencapai konsensus dalam menjamin ‘win-win solution’ untuk semua pihak. Dalam hal ini, kedua pihak harus terlibat pada tahap pemecahan masalah, pengarahan dan implementasi. Kuswarno (2006) memberikan kesimpulan dari hasil penelitiannya agar hasil riset iptek secara komersial menguntungkan, maka peranan jaringan institusi pengguna hasil riset iptek (inventor) dengan institusi pengguna hasil riset tersebut (misalnya masyarakat industri dan investor) sangat diperlukan terutama untuk pemasyarakatan hasil riset dalam jumlah besar atau produksi massal. Hubungan antara investor dan inventor perlu tercipta secara berkesinambungan. Di dalam konteks komersialisasi produk riset, mekanisme yang sudah umum dilakukan yaitu melalui perjanjian lisensi, penyediaan jasa konsultasi dan penjualan teknologi melalui divestasi. Skema model kerjasama dari berbagai penelitian sebelumnya (Gambar 8) memperjelas kebutuhan kerjasama antar pihak inventor, investor dan pengguna.
23
Gambar 8. Skema Mekanisme Kerjasama dari Inventor, Investor dan Pengguna
Gans dan Stern (2002) menyatakan, apabila ketersediaan kekayaan intelektual dikombinasikan dengan keahlian dalam peraturan dan distribusi dilaksanakan oleh masing-masing pihak dengan baik, maka transaksi di "pasar ide" untuk strategi komersialisasi inovasi bioteknologi akan menjadi efektif. Strategi komersialisasi menjadi salah satu keputusan yang paling penting bagi mitra/investor dalam memperoleh keuntungan dari teknologi yang dikembangkan. Strategi komersialisasi yang efektif merupakan hasil analisis yang cermat terhadap lingkungan komersialisasi, dengan mempertimbangkan manfaat dan biaya strategi alternatif untuk memperoleh keuntungan dan keunggulan kompetitif melalui inovasi. Bagi sebagian besar inovator pemula, lingkungan komersialisasi mencakup 2 (dua) elemen penting bagi pilihan strategi komersialisasi : (1) biaya relatif dan profitabilitas rantai nilai kemudian dibandingkan dengan suatu rantai nilai yang sudah mapan; dan (2) kemungkinan bahwa pengetahuan atas inovasi yang dibangun tersebut dapat dikendalikan, bahkan setelah perusahaan yang didirikan tersebut menjadi lebih sadar pada teknologi baru. Menurut Osman (2004) variabel kerjasama yang efektif dapat dibagi menjadi 2 (dua) komponen. Komponen pertama yaitu proses kerjasama. Proses ini merupakan aktifitas yang dilakukan individu dalam bekerjasama mempertukarkan informasi untuk mencapai hasil yang inovatif. Komponen kedua, proses
24
manajemen yang merupakan asimilasi hasil kerjasama pada operasional investor dalam memproduksi hasil yang inovatif. Bentuk-bentuk kerjasama dalam pemanfaatan hasil riset sebagaimana dituliskan dalam Narayanan (2001) yang merupakan hasil perumusan dari EB. Roberts dan C.A. Berry (1985) (Gambar 9). Model kerjasama lisensi sesuai untuk karakteristik produk hasil riset pada pasar dan teknologi yang baru akan tetapi sudah dikenal (new market but familiar; new technology but familiar).
MARKET
New & Unfamiliar
Usaha bersama (Joint venture)
New but Familiar
Pemasaran Internal (Internal Market) Pengembangan Akuisisi (Development Acquisition) Pemasaran Internal (Internal Market) Pengembangan Akuisisi (Development Acquisition)
Existing
Modal Bersama (Venture Capital) Pendirian usaha (Venture nurturing) Akuisisi pendidikan (Educational Acquisition) Usaha internal (Internal venture) Akuisisi (Acquisition) Lisensi (Licensing) Usaha internal (Internal venture) Akuisisi (Acquisition) Lisensi (Licensing)
Modal Bersama (Venture Capital) Pendirian usaha (Venture nurturing) Akuisisi pendidikan (Educational Acquisition) Modal Bersama (Venture Capital) Pendirian usaha (Venture nurturing) Akuisisi pendidikan (Educational Acquisition) Usaha baru dengan gaya yang baru (New Style Joint Venture)
Gambar 9. Bentuk Pengaturan Kerjasama (Roberts dan Berry, 1985)
2.9. Pra Lisensi dan Valuasi Invensi Obyek riset penelitian pertanian untuk dikomersialisasikan tentunya berbeda dengan obyek riset produk manufaktur yang berwujud sama, baik pada skala pilot maupun pada skala komersial. Tidak demikian halnya dengan produk hasil riset pertanian, dimana produk riilnya masih setengah jadi. Oleh karenanya, jagung hibrida hasil invensi masih memerlukan uji lanjutan agar dapat diimplementasikan pada lahan yang lebih luas, sampai akhirnya dapat mencapai konsumen dalam bentuk produk benih yang siap dan stabil dipasarkan secara luas. Salah satu mekanisme yang bisa ditawarkan sebelum menjadi lisensor yaitu melalui pra lisensi. Pra lisensi memberikan kesempatan bagi calon mitra/investor
25
untuk mengikuti perkembangan varietas yang akan dilisensi sejak tahap uji multilokasi. Pra lisensi adalah masa pada saat status HKI belum definitif dimana mitra melakukan kerjasama penelitian partisipatif sejak penelitian hulu (proses perakitan
teknologi)
atau
pada
penelitian
hilir
(uji
multilokasi,
uji
efektifitas/efikasi, uji pasar, dll) dan kemudian berhak memperoleh prioritas sebagai pemegang pra lisensi atau lisensi. Pra lisensi mempermudah mitra/investor dalam memilih hasil invensi yang akan memberikan keuntungan usaha. Valuasi invensi adalah penetapan nilai/penentuan harga/penentuan nilai atas hasil invensi yang menunjukkan nilai atau harga suatu invensi/teknologi sebagai dasar untuk penetapan besarnya royalti baik yang dibayar di muka sekaligus atau secara regular perwaktu. Komersialisasi invensi merupakan serangkaian upaya dari pengembangan dan pemasaran kepada pengguna. Kegiatan ini cukup kompleks karena melibatkan berbagai aspek yang mencakup kebijakan ekonomi, sumberdaya manusia, investasi, waktu, lingkungan pasar, dan sebagainya. Alih Teknologi inovasi tidak selalu mudah karena melibatkan berbagai pelaku dan mekanisme yang cukup rumit. Tahapan utama yang sulit dilakukan adalah melakukan valuasi (penetapan nilai) terhadap inovasi yang akan dialihkan (BPATP, 2011). Mekanisme valuasi teknologi bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan komersialisasi teknologi antara inventor yang menghasilkan teknologi dan investor sebagai calon pengguna memanfaatkan
teknologi
potensial
atau
industri
teknologi (Dietrich dalam Dharmawan, 2007).
yang
Andriyanto
(2011) mengutip Direktorat Riset Komersial Strategis (Dit. RKS, IPB) (2010) menyatakan ada beberapa pilihan strategi komersialisasi diantaranya adalah menciptakan usaha baru (create new venture), pemberian lisensi atau royalti, penjualan (sale) atau jual putus, dan joint venture. Pilihan-pilihan ini berdasarkan pada beberapa faktor strategis seperti karakteristik produk/teknologi, kemampuan produksi, pasar dan kebutuhan finansial. Menentukan nilai dan memprediksikan harga suatu teknologi merupakan proses yang cukup sulit dalam proses komersialisasi karena sifat invensi dalam bentuk teknologi yang tidak terukur (intangible). Oleh karenanya, mekanisme pra lisensi dan valuasi invensi
26
merupakan tahapan-tahapan pilihan yang dilakukan dalam rangka mencapai aliansi kerjasama.
2.10. Perencanaan Strategik Perencanaan strategik (Renstra) diperlukan dalam menentukan strategi untuk mencapai tujuan jangka panjang organisasi. Perencanaan strategi yang telah banyak dikenal adalah (1) model manajemen strategik dari Wheelen-Hunger; dan (2) model manajemen strategik dari Fred R. David. Manajemen strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang
menentukan
kinerja
perusahaan/organisasi dalam
jangka
panjang.
Manajemen strategik menekankan pada pengamatan dan evaluasi peluang dan ancaman lingkungan dengan melihat kekuatan dan kelemahan perusahaan (Wheelen-Hunger,
2004).
Manajemen
strategik
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi kegiatan yang menjanjikan dan berfokus pada sumber daya (alam, manusia dan buatan) untuk pengembangan jangka panjang serta menguntungkan. Manajemen strategik menyempurnakan proses perencanaan strategik yang ada menjadi lebih lengkap. Proses manajemen strategik terdiri atas 3 (tiga) tahapan utama, yaitu perumusan strategik, implementasi strategi, serta evaluasi dan pengendalian strategi, yang diawali dengan pengamatan lingkungan (Hubeis dan Najib, 2008).
2.11. Analisis Penentuan Strategi Menurut Fred R. David dalam Umar (2008) cara menentukan strategi utama adalah dengan melakukan 3 (tiga) tahapan (three-stage) kerangka kerja dengan matriks sebagai model analisisnya. Perangkat atau alat yang berbentuk matriksmatriks itu telah sesuai dengan skala ukuran dan tipe organisasi perusahaan, sehingga alat tersebut dapat dipakai untuk membantu para ahli strategi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memilih strategi-strategi yang paling tepat.
27
External Factor Evaluation Matrix (EFE)
SWOT Matrix (Strength-Weakness Opportunites-Threat)
Tahap 1. The Input Stage Internal Factor Evaluation Competitive Matrix (IFE) Profile (CP) Matrix
Tahap 2. The Matching Stage SPACE Matrix BCG Matrix IE Matrix (Strategic Position Boston Consulting (Internal & Action Evaluation) Group (BCG) External)
Grand Strategic Matrix
Tahap 3 : The Decision Stage Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)
Gambar 10. Tiga Tahapan Kerangka Kerja Analisis Strategi (David, 2009)
Tahap 1 dari kerangka kerja perumusan strategi ini terdiri dari 3 (tiga) macam matriks, yaitu EFE Matrix, IFE Matrix, dan CP Matrix. Ketiga matriks ini disebut juga sebagai Input Stage, karena ketiganya menyimpulkan informasi dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi. Tahap 2, disebut Matching Stage, berfokus pada pembangkitan strategistrategi alternatif yang dilaksanakan melalui penggabungan faktor eksternal dan internal yang utama. Tahap 2 ini mencakup TOWS/SWOT Matrix, SPACE Matrix, BCG Matrix, IE Matrix dan Grand Strategy Matrix. Tahap 3, disebut sebagai Decision Stage, hanya terdiri dari satu teknik, yaitu Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM ini menggunakan input informasi dari Tahap 1 untuk mengevaluasikan secara obyektif strategistrategi alternatif hasil dari Tahap 2 yang dapat diimplementasikan, sehingga ia memberikan suatu basis obyektif bagi pemilihan strategi-strategi yang paling tepat.
2.12. Analisis SWOT SWOT Analysis adalah singkatan dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesess), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) di dalam suatu lingkungan yang dihadapi oleh suatu organisasi atau perusahaan. Analisis SWOT merupakan cara yang sistematis untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dan strategi yang menggambarkan kecocokan paling baik diantara
28
keduanya (Rangkuti, 2004). Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Bila diterapkan secara akurat, asumsi sederhana ini mempunyai kekuatan yang sangat besar atas rancangan suatu strategi yang berhasil. Penjabaran dari komponen analisis SWOT adalah sebagai berikut : a. Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan-keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin dilayani. Kekuatan
adalah
kompetensi
khusus
(distinctive
competence)
yang
memberikan keunggulan komparatif (comparative advantage). Kekuatan dapat terkandung pada sumberdaya keuangan, citra, dan faktor-faktor lainnya. b. Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan, dan kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja efektif. Fasilitas, sumber daya keuangan dan kapabilitas manajemen kesemuanya dapat menjadi sumber kelemahan. c. Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan organisasi
atau
perusahaan.
Kecenderungan-kecenderungan
penting
merupakan salah satu peluang. Identifikasi segmen yang terbaik, perubahan pada situasi regulasi, perubahan teknologi dapat memberikan peluang bagi organisasi. d. Ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan organisasi atau perusahaan. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi keadaan sekarang dan keadaan yang diinginkan di masa datang.
Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk membantu analisis strategi. Cara yang paling baik adalah memanfaatkannya sebagai kerangka acuan logis yang menjadi pedoman dalam pembahasan sistematik tentang situasi organisasi dan alternatif-alternatif pokok yang mungkin dipertimbangkan. Sebagai hasilnya, analisis ini memberikan kerangka yang dinamik dan bermanfaat untuk analisis strategik. Secara keseluruhan, analisis SWOT menunjukkan peran penting dari identifikasi kekuatan dan kelemahan internal dalam pencarian strategi yang efektif oleh para manajer (pemegang
29
keputusan). Pencocokan yang cermat antara kekuatan dan kelemahan merupakan inti dari formulasi strategi yang tepat. Pencocokan dilakukan dengan membentuk matriks SWOT yang akan membantu dalam pengembangan 4 (empat) tipe strategi (Tabel 5), yaitu SO (kekuatan-peluang atau strengths-opportunities), WO (kelemahan-peluang atau weaknesess-opportunities), ST (strengths-threats atau kekuatan-ancaman) dan WT (weaknesess-threats atau kelemahan-ancaman) (David, 2009).
Tabel 5. Contoh Matriks SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal Peluang (O) 1. Faktor 1 2. Faktor 2 Ancaman (T) 1. Faktor 1 2. Faktor 2
Kekuatan (S) 1. Faktor 1 2. Faktor 2 Strategi S-O Strategi Intensif/ Agresif Strategi S-T Strategi Diversifikasi
Kelemahan (W) 1. Faktor 1 2. Faktor 2 Strategi W-O Strategi Turn Arround Strategi W-T Strategi Defensif/ Konsolidasi
Sumber: David 2009.
2.13. Proses Hirarki Analisis Pengambilan keputusan dalam metodologi AHP didasarkan pada 3 (tiga) prinsip pokok, yaitu penyusunan hirarki, penentuan prioritas dan konsistensi logis. 2.13.1. Penyusunan Hirarki Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah untuk mendefinisikan masalah yang kompleks ke dalam sub sistem, elemen, sub elemen dan seterusnya sehingga menjadi lebih jelas dan rinci. Hirarki keputusan disusun berdasarkan pandangan pihak-pihak yang memiliki keahlian (expertise) dan pengetahuan di bidang bersangkutan. 2.13.2. Penentuan Prioritas Prioritas dari elemen-elemen kriteria dapat dipandang sebagai bobot atau kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. Prioritas ini ditentukan
berdasarkan
pandangan
para
pakar
dan
pihak-pihak
yang
berkepentingan terhadap keputusan tersebut, baik secara langsung (diskusi, wawancara) maupun tidak langsung (kuesioner).
30
2.13.3. Konsistensi Logis Konsistensi jawaban responden dalam menentukan prioritas elemen merupakan prinsip pokok yang menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan. Hasil penilaian yang dapat diterima adalah yang mempunyai rasio konsistensi lebih kecil atau sama dengan 10%. Jika lebih besar dari itu berarti penilaian yang telah dilakukan ada yang random dengan demikian perlu diperbaiki. Saaty (1993) mengemukakan bahwa keuntungan menggunakan metode AHP, yaitu: a.
Memberi suatu model yang luwes terhadap segala permasalahan.
b.
Mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.
c.
Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan pemilihan alternatif terbaik.
d.
Menuntun ke arah suatu taksiran menyeluruh terhadap kebaikan setiap alternatif.
e.
Melacak konsistensi logis dari berbagai pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
f.
Dapat menangani saling ketergantungan antar faktor dalam suatu sistem.
g.
Memadukan rancangan deduktif dan rancangan sistem berdasarkan sistem dalam masalah yang kompleks.
Kelemahan penggunaan metode ini adalah: a.
Jika RI (random index) lebih besar dari 0,1, maka mutu informasi harus diperbaiki dengan revisi penggunaan pertanyaan maupun melakukan pengisian ulang kuesioner;
b.
Responden
adalah
orang-orang
yang
mengetahui,
menguasai
dan
mempengaruhi pengambilan kebijakan atau mengetahui informasi yang dibutuhkan.
Menurut Saaty (1993) AHP dapat digunakan untuk persoalan keputusan seperti (a) Menetapkan prioritas; (b) Menghasilkan seperangkat alternatif; (c)
31
Memilih alternatif kebijakan yang terbaik; (d) Menetapkan berbagai persyaratan; (e) Mengalokasikan sumber daya; dan (g) Memecahkan konflik.
2.14. Tinjauan Hasil-Hasil Penelitian Waluyo (2006), menyebutkan bahwa beberapa pengalaman dunia industri memperlihatkan adanya kesanksian atas hasil dan kualitas penelitian di Indonesia, karena hasil-hasil penelitian selama ini banyak yang tidak dilengkapi oleh sejarah penelitian atau dokumentasi yang lengkap dari hasil penelitian tersebut. Dokumentasi yang dimaksud mulai dari fase riset dasar sampai fase terakhir yaitu commercial business plan. Oleh karenanya, menelusuri sebuah prototipe inovasi teknologi dari penelitian hulu yang mendasar hingga menjadi produk inovasi itu sendiri merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai upaya pembuktian historikal terciptanya sebuah produk inovasi. Sebagaimana juga disarankan dari penelitian Dharmawan (2007), bahwa inventor perlu menuliskan setiap kegiatan selama penelitian beserta pengeluaran yang sudah dilakukan ke dalam suatu log book secara terperinci yang nantinya dokumentasi ini dapat digunakan sebagai landasan penghitungan biaya investasi dalam menghasilkan invensi dan keuntungan yang diharapkan dari invensi tersebut. Jagung hibrida merupakan salah satu invensi yang cukup tercatat dengan baik, hanya saja belum ditemukan dokumentasi terkait dengan commercial business plan. Penelitian
Waluyo
(2006),
berhasil
melakukan
perbaikan
proses
komersialisasi melalui business reengineering process yaitu suatu usaha dalam meningkatkan nilai tawar teknologi yang dilakukan secara bertahap untuk mencapai komersialisasi. Hubungan-hubungan kemitraan dilakukan untuk dapat dijadikan model dalam percepatan komersialisasi hasil-hasil penelitian. Oleh karena adanya kebutuhan waktu yang panjang antara invensi dan inovasi, penelitian Waluyo (2006) mengkaji pada kemungkinan percepatan komersialisasi. Di dalam analisisnya tersebut, bentuk proses komersialisasi yang sederhana dan lebih efisien dalam bentuk blok diagram yang menghasilkan pengurangan waktu yang cukup penting disertai kendala yang menyebabkan prosesnya menjadi lama. Sinkronisasi dan percepatan komersialisasi dilakukan melalui peningkatan nilai tawar teknologi bersama-sama dengan melakukan partnership. Perbaikan proses
32
dilakukan terhadap kurva s (daur hidup teknologi), dengan menyisipkan satu proses paten turunan. Dalam hal ini, model partnership yang dihasilkan dikendalikan sepenuhnya oleh leadership dengan efektifitas partnership sedangkan untuk pendanaan dalam kondisi kurang. Hasilnya adalah terjadi sinkronisasi dalam percepatan komersialisasi melalui peningkatan nilai tawar teknologi bersama-sama dengan melakukan partnership. Efisiensi proses komersialisasi terjadi dengan menggabungkan 2 (dua) proses menjadi 1 proses dan menggerakkan proses secara paralel, sehingga proses di belakangnya dapat langsung bekerja tanpa menunggu proses di depannya selesai. Penggabungan proses dilakukan untuk memperkecil jumlah waktu proses, disamping itu juga secara teknis bahwa antara blok 1 dan blok 2 merupakan proses yang berkaitan, karena sesungguhnya semua riset dasar idealnya bermuara pada prototipe. Pada blok 3 memperlihatkan bahwa pengurusan paten dapat dilakukan secara terpisah tanpa mengganggu proses yang lain. Pada blok 4 dan 5 merupakan 2 blok yang juga dapat disatukan, karena dalam kenyataannya hal tersebut dapat dilakukan di lokasi dan tempat yang sama (Gambar 11). Di dalam penelitian Widyaningrum (1999) disebutkan bahwa untuk studi kasus di Institut Teknologi Bandung (ITB) ditemukan bahwa faktor-faktor yang menjadi kelemahan dan kekuatan dalam melaksanakan konsep manajemen komersialisasi teknologi di ITB yaitu kompetensi, motivasi, komitmen dan linguistik tinggi, dimana aspek ini merupakan kekuatan, sedangkan aspek kelemahannya yaitu sarana dan prasarana, visi, dan kepemimpinan. PATEN 3
RISET DASAR
1
UJI COBA PASAR
UJI COBA PRODUKSI 2
4
5
PROTOTIPE
PILOT SCALE
DISATUKAN
DISATUKAN
6
7
SERTIFIKASI
Gambar 11. Alternatif Proses Komersialisasi (Waluyo, 2006)
8 FS
33
Seperti dituliskan oleh Yuswanto (2008) bahwa urusan HKI memang berhubungan dengan nilai ekonomi yang melekat pada karya intelektual. Karenanya akan menjadi naif apabila mempunyai HKI tetapi tidak menghasilkan nilai materiil (baca : uang). Walau tidak dipungkiri ada sisi lain berupa nilai sosial dari suatu kekayaan intelektual, terutama pada produk hasil inovasi yang tidak bernilai komersial seperti rendahnya nilai kebaruan, rendahnya nilai kegunaan atau manfaat yang diperoleh, presisi mutunya rendah, nilai investasi yang rendah dan hanya mengandung muatan teknologi yang rendah pula. Indraningsih (2010), dalam penelitiannya yang mengadaptasi Rogers (2003) menuliskan kerangka berpikirnya mengenai adopsi inovasi usaha tani terpadu pada lahan marjinal dengan persepsi petani terhadap ciri inovasi (teknologi lokal dan anjuran) adalah: a) Keuntungan relatif (relative advantage) : tingkatan suatu inovasi dianggap lebih baik daripada ide sebelumnya, seringkali dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, prestise sosial, atau dengan cara lainnya. b) Kesesuaian (compatibility) : tingkatan suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan potensial adopter. c) Kerumitan (complexity) : tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi dapat dengan mudah dipahami oleh adopter yang potensial, sedangkan yang lain tidak. d) Dapat diuji coba (triability) : tingkatan suatu inovasi dapat dicoba dengan skala yang terbatas. e) Dapat diamati (observability) : tingkatan hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Demikian pula halnya dalam penelitian Kuswarno (2006) yang juga mengadaptasi Rogers (2003) bahwa di dalam pendekatan komunikasi inovasi atau difusi inovasi kelima peubah tersebut diperhatikan guna penerimaan inovasi. Sedangkan Narayanan (2001) menuliskan bahwa strategi kerjasama amat berguna bagi investor terutama di dalam mencapai tujuan jangka panjangnya, yaitu : (1) mengendalikan evolusi daya saing yang begitu cepat; (2) memperoleh
34
pengetahuan; dan (3) mengembangkan hubungan dengan lembaga lainnya (Tabel 6) . Tabel 6. Ringkasan Penelitian Sebelumnya Peneliti 1. Narayanan (2001)
Obyek penelitian Investor
Indikator Kerjasama 1) Mengendalikan evolusi daya saing yang begitu cepat; 2) Memperoleh pengetahuan; 3) Mengembangkan hubungan dengan lembaga terkait.
Nilai kebaruan Analisa alasan bekerjasama investor
2. Wheelen dan
Industri
1) Akses pada teknologi 2) Akses pada pasar 3) Mengurangi risiko keuangan 4) Mengurangi risiko politis 5) Mencapai daya saing
Formulasi strategi kerjasama
3. Osman (2004)
Industri farmasi
1) Proses kerjasama 2) Proses manajemen
Industri di dalam upaya komersialisasi melaksanakan kedua komponen kerjasama dan manajemennya secara paralel.
4. Waluyo (2006)
Kajian percepatan komersialisasi pada hasil riset
Peningkatan nilai tawar produk hasil riset dilakukan dengan membentuk hubungan kemitraan.
5. Indraningsih
Petani di lahan marjinal dalam mengadopsi inovasi usaha tani terpadu.
1) Proses prototipe 2) Proses uji coba produksi 3) Proses uji coba sertifikasi 4) Feasibility Study 1) Keuntungan relatif; 2) Kesesuaian; 3) Kerumitan; 4) Dapat diuji coba; 5) Dapat diamati.
Hunger (2004) dan Hummel, et al (2010)
(2010) dan Kuswarno (2006) mengadaptasi Rogers (2003)
Bahwa tidak seluruhnya hasil inovasi diadopsi oleh petani.
Kerjasama yang optimal dalam rangka komersialisasi produk hasil inovasi dapat
dilaksanakan
melalui
kontrak
ekslusif
lisensi
(Narayanan
2001
mengadaptasi Roberts dan Berry, 1985) dengan kriteria inovasi yang mampu memberikan keuntungan relatif, kesesuaian (bidang minat investor), kerumitan (dapat diatasi melalui pendampingan inventor), dapat diujicobakan dan dapat
35
diamati (Rogers 2003 yang diadaptasi oleh Indraningsih, 2010 dan Kuswarno, 2006) dan keseluruhannya dilaksanakan melalui proses manajemen dan proses kerjasama (Osman, 2004). Yaakub,
et
al
(2011)
dalam
penelitiannya
mengenai
tantangan
mengkomersialisasikan hasil-hasil penelitian pertanian dari lembaga penelitian universitas menyebutkan bahwa upaya mempromosikan hasil-hasil penelitian dari lembaga penelitian di perguruan tinggi akan lebih lama dibandingkan dengan lembaga penelitian seperti MARDI atau FAMA. Tantangan dalam komersialisasi tersebut, yaitu : (1) Ketepatan waktu; Aktivitas komersialisasi adalah proses yang panjang. Kegiatan ini memerlukan investasi awal sebelum menghasilkan keuntungan. Investasi awal tersebut berupa ketersediaan invensi dari KI, proses pendaftaran perusahaan dan mempekerjakan pengusaha bermutu dalam pemasaran produk; (2) Insentif dan Sistem penghargaan: masalah lain dalam kegiatan komersialisasi adalah kurangnya insentif yang tepat dan sistem penghargaan. Meskipun ada perdebatan tentang penghargaan dan insentif, sangat penting bahwa perguruan tinggi memiliki sistem imbalan yang tepat; dan (3) Interaksi Universitas-industri: Ada beberapa sumber telah memperingatkan tentang pengaruh yang tidak semestinya apabila perusahaan menyediakan dana penelitian dan kemungkinan adanya potensi penyalahgunaan oleh fakultas dan staf universitas karena dipicu oleh iming-iming dana yang akhirnya mulcul konflik berkomitmen. Berdasarkan dari literatur ada dua bentuk transfer teknologi universitas: paten/lisensi teknologi, spin-off. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu pada sisi obyek risetnya. Obyek riset penelitian pertanian untuk dikomersialisasikan tentunya berbeda dengan obyek riset produk manufaktur yang berwujud sama, baik pada skala pilot maupun pada skala komersial. Tidak demikian halnya dengan produk hasil riset pertanian, dimana produk riilnya masih setengah jadi karena baru berupa benih jagung hibrida dan belum berupa produk yang langsung dinikmati konsumen luas. Akan tetapi produk hasil inovasi jagung hibrida ini masih memerlukan implementasi awal sampai akhirnya dapat mencapai konsumen setelah diketahui karakteristik produknya berupa kemampuan produksi, ketahanan terhadap hama/penyakit, dll.