Peluang Pemanfaatan Limbah Pertanian Jagung sebagai Bahan Baku Industri Bioetanol
Suwarti dan Roy Efendi
367
PELUANG PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI BIOETANOL Utilization Potential of Maize Farm Waste as Raw Material for Bioethanol Industry Suwarti dan Roy Efendi Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi 274, Kotak Pos 173, Maros 90514 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Maize waste is the biggest proportion of maize harvesting products. Lignocellulosic biomass in maize stover is a potential component for biofuel production under proper processing. Proper maize waste handling both physically, chemically, biologically as well as intensive slow enzimatic hydrolysis will make all lignocellulosic conversion process into ethanol more economical. Further development of this process is to produce biofuel. Keywords: waste, maize, ethanol ABSTRAK Limbah pertanian jagung adalah komponen terbesar dari hasil pemanenan jagung. Kandungan lignoselulosa dalam seresah jagung merupakan komponen potensial yang dapat diolah menjadi bioetanol dengan pengolahan yang tepat. Penanganan limbah pertanian jagung yang tepat secara fisik, kimiawi, dan biologis serta proses hidrolisis enzimatis lambat yang intensif akan menghasilkan seluruh proses konversi bahan berlignoselulosa menjadi etanol lebih ekonomis. Pengembangan lebih lanjut dari produksi etanol adalah menghasilkan bahan bakar bio. Kata kunci: limbah pertanian, jagung, etanol
PENDAHULUAN
Jagung merupakan tanaman serealia yang dikembangkan paling banyak setelah tanaman padi di Indonesia. Data BPS (2013) menyebutkan,18,5 juta ton jagung diproduksi di sepanjang tahun 2013, dengan peningkatan luas area penanaman sebesar 2% selama sepuluh tahun terakhir. Saat ini luas area panenan jagung mencapai 3,8 juta hektar. Produksi jagung menyisakan permasalahan berupa limbah pertanian. Hal ini terutama terjadi di wilayah berkembang seperti Indonesia yang belum memiliki teknologi pengelolaan limbah pertanian yang modern. Hasil samping berupa seresah (batang dan daun) dan janggel berkisar antara 50%-73% dari seluruh hasil pemanenan jagung (Tolera et al., 1999; Zaidi et al., 2013), sehingga setidaknya terdapat 2,7 ton seresah kering yang dihasilkan dalam setiap hektar panenan jagung. Dengan perhitungan ini, terdapat 203,6 juta ton seresah kering yang potensial untuk dikonversi menjadi 58.600 juta liter bioetanol dari seluruh panenan di dunia (Kim dan Dale, 2003). Seresah tanaman jagung pada umumnya dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak (Erenstein et al., 2011), selain dikembalikan ke lahan untuk menjaga kesuburan tanah. Pemanfaatan lain dari bagian tanaman yang mengandung lignoselulosa tinggi seperti batang dan janggel jagung, merupakan bahan potensial sebagai sumber biofuel (bahan bakar bio). Dengan penanganan fisik, kimiawi, dan biologis serta proses hidrolisis enzimatis lambat yang intensif, akan menghasilkan seluruh proses konversi bahan berlignoselulosa menjadi biofuel lebih ekonomis dibandingkan dengan biaya produksi bahan bakar fosil (Bhalla, 2013).
368
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji peluang pemanfaatan seresah tanaman jagung dalam industri bahan baku bioetanol.
KOMPOSISI SERESAH JAGUNG
Seresah jagung terdiri atas bagian batang, daun, dan tongkol/kelobot. Proses inkubasi untuk produksi gas secara in-vitro menunjukkan bagian kelobot menghasilkan volume terbesar, kemudian berturut-turut seluruh bagian seresah>batang>kelobot batang>helai daun>dan rambut jagung. Bagian batang dan seluruh bagian seresah lebih cepat menghasilkan gas pada tahapan awal proses fermentasi, meskipun tingkat produksinya menurun lebih cepat dibandingkan bagian tanaman lainnya (Tolera,1995). Lignoselulosa terdiri dari tiga komponen utama serat, yaitu lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Lignoselulosa (selain lignin) merupakan sumber karbohidrat yang berlimpah dan sangat potensial untuk dikonversi menjadi biofuel baik berbentuk cair maupun gas (Hamelinck, 2005). Seresah jagung mengandung 39-47% selulosa, 27%-32% hemiselulosa, 3%-5% lignin, 12%-16% abu, dan 1%-3% ekstraktif (Riyanti 2009). Menurut Irawadi (1990) tongkol jagung mengandung selulosa 40% (b.k), hemiselulosa 36% (b.k), lignin 16% (b.k), dan zat-zat lainnya 8% (b.k). Dengan komposisi kimia seperti ini, maka tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak, dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi seresah jagung pada saat panen dengan kadar air biji 9,8%-12,3% Komposisi Kimia
Pelepah daun
Helai daun
Batang
Kelobot
Tassel
Berangkasan Total
In sacco bahan kering (g/kg)
937
928
760
926
923
629
Abu (g/kg bahan kering)
168
100
74
46
112
85
Protein kasar (g/kg bahan kering)
48
38
31
28
52
37
NDF (g/kg bahan kering)
694
800
800
887
796
769
ADF (g/kg bahan kering)
362
387
475
383
396
408
44
48
64
29
59
52
ADF-ash (g/kg bahan kering)
103
54
14
20
47
36
Selulosa (g/kg bahan kering)
215
284
387
335
290
320
Hemiselulosa (g/kg bahan kering)
332
413
325
503
400
362
Lignin (g/kg bahan kering)
Keterangan: ADF = Acid Detergent Fibre; NDF = Neutral Detergent Fibre Sumber: Tolera and Sundstøl (1999)
Selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam (Gambar 1), melainkan selalu berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulosa. Serat selulosa alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Seluose murni mengandung 44,4% C; 6,2% H dan 49,3% O. Rumus empiris selulosa adalah (C6H10O5)n, dengan banyaknya satuan glukosa yang disebut dengan derajat polimerisasi (DP), di mana jumlahnya mencapai 1.200-10.000 dan panjang molekul sekurang-sekurangnya 5.000 nm. Berat molekul selulosa rata-rata sekitar 400.000 mikrofibril selulosa terdiri atas bagian amorf (15%) dan bagian berkristal (85%). Struktur berkristal dan adanya lignin serta hemiselulosa di sekeliling selulosa merupakan hambatan utama untuk menghidrolisis selulosa (Sjostrom, 1995). Pada proses hidrolisis yang sempurna akan menghasilkan glukosa, sedangkan proses hidrolisis sebagian akan menghasilkan disakarida selebiosa.
Peluang Pemanfaatan Limbah Pertanian Jagung sebagai Bahan Baku Industri Bioetanol
Suwarti dan Roy Efendi
369
Sumber: Cole dan Fort (2007)
Gambar 1. Struktur selulosa
Hemiselulosa terdiri atas 2-7 residu gula yang berbeda (Gambar 2). Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena komposisinya teridiri atas berbagai unit gula, disebabkan rantai molekul yang pendek dan percabangan rantai molekul. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi menjadi kompleks seperti pentosa, heksosa, asam keksuronat, dan deoksi-heksosa (Fengel dan Wegener, 1995; Nishizawa, 1989). Hemiselulosa ditemukan dalam tiga kelompok yaitu xylan, mannan, dan galaktan. Xylan dijumpai dalam bentuk arabinoxylan, atau arabino glukurunoxylan. Mannan dijumpai dalam bentuk glukomannan dan galaktomannan, sedangkan galaktan yang relatif jarang dijumpai dalam bentuk arabino galaktan.
Sumber: Cole dan Fort (2007)
Gambar 2. Struktur hemiselulosa
Lignin adalah polimer aromatik kompleks yang terbentuk melalui polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alkohol (turunan fenil propane) dengan bobot molekul mencapai 11.000 (Gambar 3). Dengan kata lain, lignin adalah makromolekul dari polifenil. Polimer lignin dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk dasarnya. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter.
Gambar 3. Struktur lignin
370
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Glukosa, monosakarida terpenting, kadang-kadang disebut gula darah (karena dijumpai dalam darah), gula anggur (karena dijumpai dalam buah anggur), atau dekstrosa (karena memutar bidang polarisasi ke arah kanan) (Gambar 4). Glukosa adalah suatu aldoheksosa yang terdapat dalam jumlah banyak, diikuti dengan galaktosa dan manosa.
Gambar 4. Struktur glukosa
PROSES DEGRADASI LIGNOSELULOSA
Selulosa merupakan struktur utama dari lignoselulosa yang berupa sebuah polimer linier yang tersusun atas D-glucose yang tergabung pada ikatan β-(1,4)-glucosidic. Terdapat dua tahapan utama untuk mengurai selulosa, yaitu enzimatik hidrolisis dari selulosa menjadi glukosa dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol (Han dan Chen 2010). Hidrolisis adalah proses peruraian suatu senyawa oleh air. Proses tersebut dapat terjadi dalam suasana asam, basa, atau netral tergantung pada senyawa yang bereaksi serta karena enzim. Hidrolisis selulosa merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan glukosa. Ada dua cara yang digunakan untuk hidrolisis selulosa, yaitu dalam suasana asam dan secara enzimatis. Dibandingkan dengan hidrolisis asam, hidrolisis menggunakan enzim mempunyai keuntungan berupa derajat konversi yang tinggi, pembentukan hasil samping yang minimal, kebutuhan energi yang rendah, dan kondisi operasi yang mudah dicapai. Enzim selulosa merupakan enzim yang kompleks yang terdiri atas tiga yaitu endoselulosa, selobiohidrolase, dan selobiase. Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis dalam menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur kristal selulosa dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endoselulase menghidrolisis bagian amorf selulosa menjadi senyawa-senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil (β-oligomer), sedangkan selobiase menghidrolisis β-oligomer menjadi glukosa. Pengaruh hidrolisis pada masing-masing enzim adalah rendah, sedangkan kombinasi eksoenzim (selobiohidrolase) dan endoenzim menaikkan produksi glukosa. Jadi, keseluruhan enzim bekerja sama dalam mendegradasi selulosa. Adsorpsi enzim selulosa pada permukaan selulosa pada umumnya diasumsikan lebih cepat dibandingkan dengan laju hidrolisis secara keseluruhan Jumlah enzim selulosa yang diadsorpsi terutama tergantung pada tersedianya luas permukaan selulosa dan konsentrasi enzim selulosa. Oleh karena itu, tipe selulosa dan konsentrasi enzim selulosa merupakan dua faktor penting adsorpsi dalam sistem selulase-selulosa.
ENZIM YANG DIBUTUHKAN DALAM PROSES DELIGNIFIKASI
Sumber enzim, berasal dari jaringan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang terseleksi (Tabel 2). Enzim yang secara tradisional diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan hewan mempunyai kelemahan yaitu variasi musim, konsentrasi rendah, biaya tinggi, persediaan enzim terbatas, dan adanya persaingan dengan pemanfaatan yang lain. Oleh karena itu, peningkatan sumber enzim sedang dilakukan dengan cara memaksimalkan dari mikroba penghasil enzim yang sudah dikenal atau penghasil enzim baru lainnya. Sebagian besar enzim mikroba untuk keperluan industri hanya berasal dari 11 jamur, 8 bakteri, dan 4 ragi serta dalam praktiknya para produsen biasanya mencari enzim baru dari kelompok ini.
Peluang Pemanfaatan Limbah Pertanian Jagung sebagai Bahan Baku Industri Bioetanol
Suwarti dan Roy Efendi
371
Kebanyakan mikroba yang digunakan dari jamur adalah Aspergilus niger, Mucor sp., Rhizopus arrhizus, Trichoderma viride, Penicillium vitale, Aerobacter aerogenes, dll, sedangkan dari bakteri adalah Bacillus subtilis, Bacillus coagulans, Escherichia coli, dll. Sumber enzim yang didapat dari ragi adalah Saccharomyces cereviceae, Streptomyces phaeochromogens, dll. Tabel 2. Beberapa enzim utama yang dibutuhkan dalam proses degradasi lignoselulosa menjadi monomer-monomer Lignoselulosa Lignin Pektin
Enzim yang dibutuhkan Laccase, Manganase peroxidase, Lignin peroxidase Pectin methyl esterase, pectate lyase, polygalacturonase, rhamnogalacturonan lyase Endo-xylanase, acetyl xylan esterase, β-xylosidase, endomannanase, β-mannosidase, α-ι-arabinofuranosidase, αglucuronidase, ferulic acid esterase, α-galactosidase, ρ-coumaric acid esterase Cellobiohydrolase, endoglucanase, β-glucosidase
Hemiselulosa
Selulosa Sumber: Dyk dan Pletschke (2012).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim selulosa yang terbaik diperoleh sebesar 2,257 IU/ml dengan masa inkubasi selama empat hari. Konversi selulosa menjadi glukosa diperoleh sebesar 51,01% dengan menggunakan ukuran partikel tongkol jagung 100 mesh dan dosis enzim 50 ml (Soeprijanto et al., 2008).
DELIGNIFIKASI LIMBAH LIGNOSELULOSA
Limbah lignoselulosik merupakan bahan yang mengandung lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel tanaman satu dengan lainnya dan sebagai pengisi dinding sel sehingga dinding sel tanaman menjadi keras, teguh , dan kaku (Dellweg, 1983). Ingram dan Doran (1995) menyatakan bahwa selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dikonversi secara langsung karena berasosiasi dengan lignin. Menurut Fridia (1989), proses delignifikasi merupakan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku sehingga mempermudah pelepasan hemiselulosa. Proses ini berfungsi untuk membersihkan lignin. Berbagai perlakuan pendahuluan atau delignifikasi da pat dilakukan seperti fisik (penggilingan, pemanasan dengan uap, radiasi atau pemanasan dengan udara kering) dan kimia (pelarut, larutan pengembang, gas SO 2 ). Foody et al. (1999) menyatakan bahwa perlakuan pendahuluan dapat dilakukan dengan mengombinasikan antara perlakuan fisik dan kimia. Perlakuan fisik seperti penggilingan, tekanan, pengepresan, dan sebagainya; sedangkan kimia seperti penggunaan panas, pelarut, dan asam. Hidrolisis bahan lignoselulosik dapat dilakukan dengan asam atau enzim. Perlakuan awal terhadap substrat lignoselulosik diperlukan agar substrat mudah bereaksi dengan asam atau enzim. Perlakuan awal yang efisien harus dapat membebaskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah amorf serta membebaskan dari lapisan lignin. Menurut Casey (1952), bahan yang telah dikenai proses delignifikasi selain mengalami penyusutan kandungan ligninnya, juga mengalami penyusutan kandungan selulosa dan hemiselulosa. Hemiselulosa memiliki sifat-sifat tidak tahan terhadap perlakuan panas, strukturnya amorf dan mudah dimasuki pelarut, dapat diekstraksi menggunakan alkali, dan ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis. Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida, hemiselulosa merupakan heteropolisakarida (Fengel dan Wegener, 1995) Ada tiga jenis selulosa, yaitu a-selulosa, 13-selulosa, dan y-selulosa. Alfa selulosa adalah bagian yang tidak larut dalam alkali, 13-selulosa adalah bagian yang larut dalam alkali dan kemudian dapat mengendap jika ditambahkan asam, sedangkan y-selulosa adalah bagian yang larut
372
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
dalam alkali dan tetap larut walaupun ditambahkan asam (Fengel dan Wegener, 1995). Selama ekstraksi hemiselulosa, sebagian selulosa ada yang larut terutama 13 dan y-selulosa. Perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku umumnya dapat menggunakan beberapa cara, yaitu dengan pengecilan ukuran bahan, pengeringan atau pelayuan, dan fermentasi oleh mikroorganisme. Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan. Sabel dan Warren (1994) mengatakan bahwa kehalusan serbuk yang sesuai dapat menyebabkan ekstraksi berlangsung dengan sempurna dan dalam waktu yang singkat. Namun, waktu ekstraksi yang terlalu singkat akan memberikan hasil yang rendah sebab tidak semua bahan yang diharapkan dapat terekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan semakin besar sehingga hasilnya juga bertambah sampai larutan mencapai titik jenuh. ≤50 <50°CoC
A Pra treatment
Pratreated lignoselulose
o Hidr (1) ( 2)
lisis
SHF
SSF
Pratreated lignoselulose
SSF Thermofilik
Pratreated lignoselulose
CBP
Bioethanol
o
37°CC 37
Bioethanol
Enzim thermostabil dan fermentasi thermofilik
Bioethanol
Saccharolitic Fermentative Extremophile
Bioethanol
o ≥50 °C >50 C
D Pra treatment
Fermentasi
≥50 o°C >50 C
C Pra treatment
Enzim komersial dan Fermentasi mesofil
Gula fermentasi
37 37°CoC o ≥50 °C >50 C
B Pra treatment
Enzim komersial
lignocellulose tanpa perlakuan
CBP
Saccharolitic Fermentative Extremophile
Anaerobik digestion Fraksi tidak terhidrolisis
Biogas
Limbah (Pupuk bi)
Sumber: Bhalla et al. (2013)
Gambar 5. Skema biokonversi lignoselulosa menjadi bioetanol
Pada hidrolisis asam, dihasilkan total gula 1,72%, sedangkan hidrolisis enzim 3,39%. Berdasarkan hasil pengukuran laju pembentukan CO 2, laju fermentasi pada semua substrat mengalami peningkatan yang lambat pada 6 jam pertama. Pada jam berikutnya laju fermentasi meningkat lebih cepat kemudian menurun sampai akhirnya berhenti. Rata-rata laju fermentasi berlangsung lebih tinggi pada rentang waktu fermentasi antara jam ke-18 sampai ke-30, kemudian mengalami penurunan pada jam berikutnya. Peningkatan biomassa terbesar terjadi pada fermentasi sirup hidrolisist enzim yaitu 1,2 g/L sedangkan yang terkecil terjadi pada sirup glukosa yaitu 0,3 g/L. Selama fermentasi terjadi penurunan pH. Penurunan pH sirup hidrolisis enzim lebih kecil daripada sirup hidrolisis asam meskipun total asam yang terbentuk jauh lebih besar yaitu 0,3% yang mengalami penurunan dari 4,8 menjadi 3,41 sedangkan sirup hidrolisis asam turun dari 4,8 menjadi 2,59 dengan total asam 0,14%. Berdasarkan hasil analisis total gula dan gula pereduksi, diketahui bahwa konsumsi substrat tertinggi terjadi pada fermentasi sirup hidrolisis enzim sedangkan konsumsi substrat terendah terjadi pada fermentasi sirup glukosa. Kadar etanol tertinggi diperoleh dari fermentasi sirup hidrolisist enzim,
Peluang Pemanfaatan Limbah Pertanian Jagung sebagai Bahan Baku Industri Bioetanol
Suwarti dan Roy Efendi
373
yaitu 14,22 g/L lebih tinggi dari fermentasi sirup glukosa, yaitu 8,52 g/L sedangkan kadar terendah diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup hidrolisis asam yaitu 2,42 g/L. Yield biomassa (Yx/s) terbesar diperoleh dari fermentasi sirup hidrolisist asam dengan nilai 0,017; sedangkan (Yx/s) terkecil sirup glukosa dengan nilai 0,008. Yield produk (Yp/s) terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup glukosa dengan nilai 0,224 sedangkan (Yp/s) terkecil diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup hidrolisist asam dengan nilai 0,042. Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) tertinggi diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup hidrolisist enzim sebesar 92,08%, sedangkan (ds/s) terkecil diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup glukosa yaitu 3 8,12%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengembangan sumber energi terbarukan dari limbah pertanian jagung merupakan pilihan yang bijaksana untuk mendukung kecukupan bahan bakar tanpa mengganggu ketersediaan bahan pangan. Dengan proses enzimatis yang tepat dan pemilihan enzim yang sesuai akan menghasilkan bioetanol dengan biaya prosesing yang rendah. Pemanfaatan limbah pertanian berlignoselulosa untuk produksi etanol dalam skala komersial memiliki beberapa tantangan. Teknologi konversi dari bahan berlignoselulosa menjadi etanol masih belum efisien. Dengan mendorong peningkatan teknologi biomolekuler untuk meningkatkan kemampuan enzim dan mikroba yang berperan dalam proses pembuatan ethanol, diharapkan dapat meningkatkan produksi. Dukungan pemerintah sangat diperlukan melalui pengadaan fasilitas dan sumber daya manusia yang kompeten.
DAFTAR PUSTAKA Bhalla A., N. Bansal, S. Kumar, K.M. Bischoff, R.K. Sani. 2013. Improved lignocelluloses conversion to biofuels with thermophilic bacteria and thermostable enzymes. Biosource Technology 128:751-759. BPS. 2013. Data produksi tanaman pangan (jagung) tahun 2013. http://bps.go.id/tnmn_pgn.php (1 Oktober 2014). Casey, J.P. 1952. Pulp and Paper. Chemistry and Chemical Technology. Interscience Publiser. London. Cole, B.J.W. and R.C.C. Fort. 2007. http://www.Chemistry_umeche_maine.edu/Fort/cole-Fort.html. Dellweg, H. 1983. Biomass, Microorganism for special Application Microbial Products I, Energy from Renewable Resources. Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie. Florida. Dyk, J.S.V. and Pletschke. 2012. A review of lignocelluloses bioconversion using enzymatic hydrolysis and synergistic cooperation between enzymes-Factors affecting anzymes, conversion and synergy. Biotechnology Advances (30):1458-1480. Erenstein, O., A. Samaddar, N. Teufel, M. Blummel. 2011. The paradox of limited maize stover use in India’s smallholder crop-livestock systems. Expl Agric 47(4):677-704. [FAO] Food and Agriculture Organisation of the United Nations. 2014, FAOStat Database (http:/faostat.fao.org). Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultra Struktur, Reaksi. Penerjemah Hardjono Sastrohamidjojo, Gadjah Mada University Press, 317-446. Foody, B., J.S. Tolan, and J.D. Bernstein. 1999. Pretreatment Process for Conversion of Cellulose to Fuel Ethanol. U.S. Pat. No. 6.090.595. Fridia, T. 1989. Pengaruh Cara Delignifikasi Terhadap Sakarifikasi Limbah Lignoselulosik. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Hamelinck, C.N., G. van Hooijdonk, and A.P.C. Faaij. 2005. Ethanol from lignocellulosic biomass: technoeconomic performance in short-, middle- and long-term. Biomass Bioenerg 28:384–410.
374
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Ingram, L.O. dan J.B. Doran. 1995. Conversion of cellulosic materials to ethanol. FEMS Microbiology Reviews 16:235-241. Irawadi, T. T. 1990. Selulase. PAU – Biotek. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Johnson, L.M., J.H. Harrison, D. Davidson, C. Hunt, W.C. Mahanna, and K. Shinners. 2003. Corn silage management: Effects of hybrid, maturity, chop length, and mechanical processing on rate and extent of digestion. J. Dairy Sci. 86:3271–3299. Kim, S. and B.E. Dale. 2003. Global potential bioethanol production from wasted crops and crops residues. Biomass and Bioenergy. Nishizawa, K. 1989. Degradation of cellulose and hemicelluloses. Biomass Handbook. Gordon & Breach Science Publisher. New York. Riyanti, E.I. 2009. Biomassa sebagai bahan baku bioethanol. Jurnal Litbang Pertanian.28(3):101-110. Sabel, W dan J.D.F. Warren. 1994. Theory and Practise of Hemicellulose Extraction. Tropical Product Institute. London. Sjostrom, E. 1995. Food Chemistry. Jilid II. Diterjemahkan oleh Hardjono S. UGM Pres Yogyakarta. Soeprijanto, T. Ratnaningsih, dan I. Prasetyaningrum. 2008. Biokonversi selulosa dari limbah tongkol jagung menjadi glukosa menggunakan jamur Aspergilus niger. Jurnal Purifikasi 9(2):105–114. Tolera, A. and F. Sundstøl. 1999. Morphological fractions of maize stover harvested at different stages of grain maturity and nutritive value of different fractions of stover. Animal Feed Science and Technology 81:1-16. Tolera, A., T. Berg and F. Sundstøl. 1999. The effect of variety on maize grain and crop residue yield and nutritive value of the stover. Animal Feed Science and Technology 79:165-177. Zaidi, P.H., M.T. Vinayan and M. Blummel. 2013. Genetic variability of tropical maize stover quality and the potential for genetic improvement of food-feed value in India. Field Crops Research 153:94–101.