4
TINJAUAN PUSTAKA Kajian global kondisi air di dunia yang disampaikan pada World Water Forum II di Denhaag tahun 2000, memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 akan terjadi krisis air di beberapa negara. Indonesia diperkirakan akan terancam krisis air sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan air yang tercermin dari tingkat pencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien, fluktuasi debit air sungai yang sangat besar, dan pengelolaan sumber daya air yang lemah. Dalam masa seratus tahun berlalu, jumlah penduduk dunia naik tiga kali lipat, sedangkan kebutuhan air naik tujuh kali lipat (Rajasa 2002). Perbandingan antara jumlah penduduk dan kebutuhan air ini mengakibatkan terjadinya kelangkaan air akibat kurangnya ketersediaan pasokan air (water supply) dibandingkan dengan permintaannya (water demand). Menurut pandangan konvensional, air merupakan barang sosial yang dapat diperoleh secara gratis namun sejak kelangkaan air bersih menjadi masalah dunia pandangan air sebagai barang sosial mulai bergeser menjadi barang ekonomi karena keterbatasan air untuk masyarakat (Fauzi 2004). Air adalah komoditas yang dibutuhkan manusia untuk bermacam kebutuhan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 menjelaskan bahwa penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan. Penyediaan air minum merupakan penyediaan kebutuhan pokok masyarakat sehingga menjadi prioritas utama dalam pengalokasian sumber daya air. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air. Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada 5 pilar yaitu; (1) upaya konservasi, (2) pendayagunaan sumber daya air, (3) pengendalian daya rusak air, (4) manajemen pengelolaan sumber daya air yang terbuka, dan (5) keterlibatan peran masyarakat. Sistem Penyediaan Air Minum Penyediaan air minum adalah kegiatan memenuhi kebutuhan air minum masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Sistem penyediaan air minum (SPAM) merupakan satu kesatuan sistem fisik dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum, meliputi sistem pelayanan untuk suatu komunitas yang menyeluruh, termasuk untuk keperluan domestik, non domestik (sarana umum dan sarana komersial) dan industri (Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005). Penyediaan air minum dapat dibedakan dalam dua sistem, yaitu; (1) penyediaan air minum individual merupakan sistem untuk penggunaan individu dan untuk pelayanan terbatas, sistem ini sangat sederhana seperti halnya sumursumur yang digunakan dalam satu rumah tangga, (2) penyediaan air minum
5 komunal atau perkotaan disebut juga public water supply system, adalah suatu sistem untuk pelayanan komunitas dan pelayanan untuk keperluan menyeluruh seperti keperluan domestik, sarana perkotaan maupun industri. Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah kegiatan merencanakan, melaksanakan konstruksi, mengelola, memelihara, merehabilitasi, memantau, dan/atau mengevaluasi sistem fisik (teknik) dan non fisik penyediaan air minum. Penyelenggara pengembangan SPAM dilakukan oleh badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan SPAM. (Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005). Sistem penyediaan air minum perkotaan terbagi dalam tiga komponen, yaitu berturut-turut komponen sumber air, komponen pengolahan air dan komponen distribusi pelayanan air. Pada komponen distribusi pelayanan air, kepuasaan konsumen harus memenuhi standar kualitas air, kuantitas air, kontinuitas air, dan harga jual air yang kompetitif. Keberhasilan distribusi pelayanan air bersih sangat tergantung pada keandalan sumber air baku baik kualitas air maupun kontinuitas sumber air (Arwin dan Mukmin 2006). Pengambilan air dari sumbernya harus memperhatikan daya dukung sumber daya air tersebut dan dilarang menimbulkan kerusakan pada sumber air dan lingkungannya serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat dan kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air. Prediksi keberhasilan pembangunan sistem penyediaan air minum dapat dianalisis dengan melakukan beberapa tahapan, yaitu; (1) menghitung persentase jumlah penduduk yang terlayani sistem perpipaan, (2) menghitung persentase jumlah sistem menurut kondisi jaringan perpipaan, (3) menghitung pencapaian pelayanan hingga tahun yang ditargetkan dengan memproyeksikan kondisi eksisting, serta dibandingkan dengan target daerah dan nasional, (4) menentukan faktor yang mempengaruhi kondisi jaringan perpipaan, (5) menganalisis kemungkinan pencapaian target pelayanan dengan memperhatikan kendala yang mungkin terjadi (Masduqi et al. 2007). Kebutuhan Air Minum Sistem penyediaan air minum memerlukan besarnya kebutuhan dan pemakaian air. Kebutuhan air dipengaruhi oleh besarnya populasi penduduk, tingkat ekonomi dan faktor-faktor lainnya. Data mengenai keadaan penduduk daerah yang akan dilayani dibutuhkan untuk memudahkan permodelan evaluasi sistem distribusi air minum. Kebutuhan air secara garis besar mencakup kebutuhan domestik dan non domestik. Kebutuhan domestik merupakan kebutuhan untuk pemukiman penduduk, sedangkan non domestik memenuhi kebutuhan di sektor kehidupan lainnya. Studi kebutuhan air bersih selain kebutuhan domestik dan non domestik harus memperhitungkan kemungkinan terjadinya kehilangan air (misal kebocoran), kebutuhan untuk hydrant, dan untuk perawatan kota (Mayangsari 2008). Kebutuhan air domestik meliputi kebutuhan untuk minum, memasak, mandi, mencuci dan lain sebagainya. Kebutuhan rumah tangga adalah hasil perkalian antara jumlah penduduk dengan standar kebutuhan air rumah tangga yang dapat dilihat pada Tabel 1.
6 Tabel 1 Standar kebutuhan air domestik Jumlah penduduk (jiwa)
Jenis kota
Jumlah kebutuhan (liter/orang/hari)
>2 000 000 >1 000 000 – 2 000 000 >500 000 – 1 000 000 >100 000 – 500 000 >20 000 – 100 000 3 000 – 20 000
Metropolitan Metropolitan Besar Besar Sedang Kecil
>210 >150-210 >120-150 >100-150 >90-100 >60-100
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2005) dalam Bappenas (2006) Kebutuhan non domestik meliputi kebutuhan di sarana perkotaan (public use) seperti sarana sosial, niaga, industri, pendidikan, kesehatan, lembaga, hiburan, olah raga, tempat ibadah, pasar, dan lainnya. Kebutuhan non domestik dihitung dari jumlah pemakai air dikalikan standar pemakaian kebutuhan domestik, seperti yang terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar kebutuhan air non domestik Kategori kota berdasarkan jumlah jiwa Metropolitan Metropolitan Besar Besar Sedang Kecil
>2 000 000 >1 000 000 – 2 000 000 >500 000 – 1 000 000 >100 000 – 500 000 >20 000 – 100 000 3 000 – 20 000
Standar konsumsi non domestik % l/o/h 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30
x x x x x x
>210 150-210 120-150 100-150 90-100 60-100
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2005) dalam Bappenas (2006)
Konsumsi air berubah sesuai dengan aktivitas masyarakat. Pemakaian ratarata harian adalah pemakaian rata-rata dalam sehari atau pemakaian setahun dibagi 365 hari. Pada hari tertentu di setiap minggu, bulan atau tahun akan terdapat pemakaian air yang lebih besar daripada kebutuhan rata-rata perhari, pemakaian air tersebut disebut pemakaian hari maksimum. Kebutuhan hari maksimum (Qhm) adalah perkalian kebutuhan rata-rata dengan nilai faktor hari maksimum. Demikian pula pada jam-jam tertentu di dalam satu hari, pemakaian air akan meningkat lebih besar daripada kebutuhan air rata-rata perhari yang dikenal dengan pemakaian jam puncak. Untuk mengetahui kebutuhan jam puncak adalah dengan mengalikan nilai faktor jam puncak dengan kebutuhan air rata-rata perhari. Berdasarkan pedoman standar konsumsi air minum Departemen Pekerjaan Umum (2005) nilai faktor hari maksimum adalah 1.15 dan nilai faktor jam puncak adalah 1.05.
7 Ketersediaan Air Baku Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan air ke daerah hilir, sehingga keterkaitan antara hulu dan hilir sangat kuat, artinya wilayah hilir tidak mungkin mendapatkan pasokan air minum berkelanjutan secara kuantitas dan kualitas yang memadai bila kondisi ekosistem wilayah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman 2004). Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2009 memiliki data bahwa debit aliran air tanah yang relatif besar di Cekungan Air Tanah (CAT) Bogor. CAT tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh besarnya ketersediaan air tanah yang berkorelasi dengan besarnya pengisian kembali (jumlah imbuhan air tanah), berasal dari curah hujan yang masuk ke CAT Bogor, sehingga kapasitas air tanah yang berada di wilayah cekungan Bogor berpotensi dijadikan sumber air baku untuk pengembangan penyediaan air bersih atau air minum. CAT Bogor meliputi wilayah administrasi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor seperti yang ditampilkan pada Gambar 1. Meskipun air tanah mempunyai potensi untuk dijadikan sumber air baku, pemanfaatannya harus memperhatikan daya dukung lingkungan karena air tanah juga berfungsi untuk menjaga kestabilan permukaan tanah, sehingga khususnya untuk air tanah dalam sangat penting untuk dijaga keberadaannya secara berkelanjutan guna terjaganya kontinuitas sumber air baku tersebut.
Gambar 1 Peta Cekungan Air Tanah (CAT) Bogor Penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung tahun 2007, terdapat mata air pada akuifer DAS Cisadane hulu pada bagian kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango tepatnya di bagian selatan Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. Daerah yang banyak ditemukan mata air untuk menghasilkan sumber air baku sebagai sumber air bersih atau air minum. Disamping itu dilakukan juga penelitian jejaring DAS Cisadane bahwa air tanah di DAS Cisadane secara umum mengalir dari arah selatan menuju utara, dengan elevasi tertinggi 1 100 meter dari permukaan laut (mdpl) ke elevasi daerah yang terendah yaitu 0 mdpl.
8
Gambar 2 Peta Hidrogeologi CAT Bogor Sumber: Bappeda (2008) Peta Hidrogeologi CAT Bogor seperti Gambar 2 menunjukkan secara umum Kota Bogor bagian utara merupakan akuifer dengan aliran antar butir produktif sedang dengan sebaran luas dan kedudukan muka air tanah dalam dengan debit umumnya kurang dari 5 liter/detik. Kota Bogor bagian tengah, selatan dan barat merupakan akuifer produktif tinggi dengan penyebaran luas tersebar, banyak ditemui mata air dengan debit umumnya lebih dari 5 liter/detik. Bagian barat daya Kota Bogor hingga bagian utara Gunung Salak merupakan akuifer dengan aliran antar celah produktif sedang dengan penyebaran luas, air tanah terdapat pada poripori dan rekahan endapan vulkanik muda, bagian ini ditemukan mata air dengan debit kurang dari 5 liter/detik. Sungai utama yang mengalir di Cekungan Bogor adalah Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. Kedua sungai tersebut dapat diandalkan sebagai sumber air baku untuk pengembangan penyediaan air minum di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. Fluktuasi debit sungai Cisadane mulai Oktober-Februari debit sungainya meningkat, kemudian menurun dan berfluktuasi dari Maret-Juni. Selanjutnya menurun pada Bulan Juli dan mengalami debit paling minimal pada Bulan Agustus dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. (Sutopo 2011). Prediksi ketersediaan air baku pada suatu DAS dapat menggunakan model hidrologi yang menggambarkan proses-proses fisik yang sesungguhnya dari siklus hidrologi. Model hidrologi menirukan (simulasi) peristiwa-peristiwa hidrologi yang terjadi secara deterministik, probabilistik ataupun stokastik. Dalam hidrologi deterministik, variabilitas waktu dianggap terjelaskan seluruhnya oleh variabelvariabel lain dalam penerapan model yang tepat. Dalam hidrologi probabilistik, tidak diperhatikan urutan-urutan waktu, yang diperhatikan hanyalah probabilitas atau peluang sama atau terlampauinya suatu kejadian. Sedangkan dalam hidrologi
9 stokastik urutan unit waktu adalah mutlak penting, penyajian stokastik mempertahankan sifat-sifat peluang yang berhubungan dengan urutan-urutan kejadiannya (Nuraeni 2011). Model stokastik berusaha mengungkapkan kembali perilaku statistik dari serangkaian waktu hidrologi tanpa memperhatikan kejadian yang sebenarnya. Hidrologi stokastik mampu mengisi kekosongan yang ada di antara metodemetode deterministik, dan hidrologi probabilistik (Weilbull, 2005). Pada model stokastik, karakteristik dan urutan aliran di masa lampau memberikan pertanda untuk aliran dimasa datang. Jika aliran tahun ini kecil, meskipun belum pasti, mungkin aliran tahun berikutnya akan lebih kecil daripada nilai tengahmya. Demikian pula aliran besar cenderung mengikuti aliran-aliran besar. Data historis memberikan informasi yang berharga tentang aliran yang mungkin terjadi dimasa mendatang. Model untuk meregenerasi haruslah menggunakan informasi tersebut untuk menggambarkan aliran di masa datang secara eksak (Nuraeni 2011). Model stokastik yang dikenal dan sering dipergunakan antara lain; (1) Model Autoregresive (Model AR) (2) Model Moving Average (Model MA), (3) Model Autoregresive Moving Average (Model ARMA), (4) Model Autoregresive Integrated Moving Average (Model ARIMA), dan (5) Model Disagregasi. Model Autoregresif adalah model yang paling menarik karena model ini paling sederhana penggunaannya dan mempunyai pola gerakan yang tergantung dari waktu, dimana harga dari variabel pada waktu saat ini tergantung harga pada waktu yang lalu (Salas et al. 1980). Model Autoregresif secara umum dikemukakan oleh Thomas dan Fiering pada tahun 1962, Yevjevich pada tahun 1963, serta Box-Jenkins pada tahun 1970. Model Thomas dan Fiering banyak digunakan untuk membangkitkan debit aliran sungai bulanan. Data dari setiap bagian diregresikan terhadap bulan sebelumnya, sehingga didapatkan 12 persamaan regresi linir. Aplikasi EPANET 2.0 dalam Sistem Penyediaan Air Minum EPANET 2.0 adalah program komputer yang berbasis windows yang merupakan program simulasi dalam perekayasaan suatu jaringan pipa sistem penyediaan air bersih, yang di dalamnya terdiri dari titik/node/junction pipa, pompa, katup dan reservoir. Output yang dihasilkan dari program EPANET 2.0 ini antara lain debit yang mengalir dalam pipa, tekanan air dari masing-masing titik/node/junction yang dapat dipakai sebagai analisa dalam menentukan operasi instalasi, pompa dan reservoir serta besarnya konsentrasi unsur kimia yang terkandung dalam air bersih yang didistribusikan serta penentuan umur air dan dapat digunakan sebagai simulasi penentuan lokasi sumber sebagai arah pengembangan. EPANET 2.0 dapat memberikan informasi kepada pengguna mengenai simulasi hidrolika dan perilaku air didalam sistem jaringan perpipaan bertekanan dalam rentang waktu tertentu. Yang dimaksud dengan sistem jaringan perpipaan itu sendiri merupakan sebuah sistem yang terdiri dari kombinasi antara pipa, node, pompa, valve dan tanki atau reservoir, yang saling terhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. EPANET 2.0 mampu menelusuri aliran air didalam pipa,
10 tekanan ditiap node, tinggi muka air didalam tanki/reservoir dan konsentrasi bahan kimia seperti desinfektan klor (Rossman 2000). Data keluaran dari program EPANET 2.0 dapat memberikan gambaran nilai debit aliran air dalam pipa, tinggi tekanan air pada node tertentu, tinggi/elevasi air pada masing-masing bak tampungan (reservoar), dan perkiraan konsentrasi sisa bahan kimia pada node tertentu. Teknik pemodelan EPANET 2.0 urutannya adalah membuat gambar jaringan yang akan dimodelkan kemudian memberikan penomoran node-node dan pipanya. Tahapan selanjutnya adalah menentukan arah aliran secara visual di dalam jaringan dan mengisi properti data masukan model jaringannya sesuai tabel input (Suhardi 2007). EPANET dikembangkan oleh Water Supply and Water Resources Division of the US Environmental Protection Agency's National Risk Management Research Laboratory. EPANET 2.0 adalah perangkat lunak publik domain dan terbuka yang dapat melakukan pengeditan terhadap input data, running hydraulic dan simulasi air serta menampilkan jaringan perpipaan dan node dalam berbagai format dengan kode warna, tabel, grafik terhadap waktu dan plot kontur sesuai kebutuhan analisis pengguna. Hasil analisis simulasi tersebut bermanfaat bagi pengambil keputusan, baik ditingkat manajemen maupun dilingkup tim perencana, sebagai input dalam pengelolaan sistem distribusi air maupun sebagai input data dalam perencanaan desain sistem distribusi air. Untuk meningkatkan pelayanan distribusi air bersih kepada masyarakat maka dibutuhkan pengelolaan suatu sistem distribusi air secara baik. Pengelolaan sistem distribusi air yang baik membutuhkan suatu sistem pengelolaan dan penyajian data yang cepat dan tepat sehingga aktivitas pelayanan akan selalu mengikuti perkembangan secara dinamis. Untuk pengoptimalan pengelolaan distribusi air bersih diperlukan suatu sistem informasi dari distribusi air bersih yang mampu menyelesaikan permasalahan pengelolaan dan penyajian data (Suhardi 2007). Penentuan Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat adalah tanggapan atau pengetahuan lingkungan dari kumpulan individu-individu yang saling berinteraksi karena mempunyai nilainilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh melalui interpretasi data indera (Adrianto 2006). Masyarakat merupakan salah satu komponen utama dalam pelaksanaan pembangunan. Keterlibatan masyarakat akan sangat mendorong terciptanya suatu hasil pembangunan yang baik, karena biar bagaimanapun masyarakatlah yang mengetahui sekaligus memahami kondisi apa yang ada di wilayahnya. Disamping itu, dengan melibatkan mereka dalam proses pembangunan, pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga mereka dapat merasa ikut bertanggung jawab dan merasa memiliki program-program pembangunan. Persepsi masyarakat merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut (Walgito 2000). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama tetapi karena
11 pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu dengan individu yang lain tidak sama (Nurcahyo 2005). Untuk mengkaji persepsi masyarakat terhadap sesuatu dapat dilakukan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepada responden yang disusun dengan alternatif jawaban yang sekiranya sesuai dengan pendapat, pengetahuan dan pandangan dari responden. Selanjutnya metode analisis deskriptif kuantitatif yang didukung dengan analisa kualitatif dapat dilakukan untuk mempermudah menganalisa persepsi masyarakat tersebut (Adrianto 2006). Analisis Hirarki Proses (AHP) AHP adalah teknik yang digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menentukan pilihan terbaik dari beberapa alternatif yang diambil. Menurut Saaty (1993) hirarki suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok–kelompok, lalu diatur menjadi suatu bentuk hirarki. AHP didesain untuk dapat digunakan pada penilaian yang bersifat subyektif untuk menyusun urutan dari prioritas elemen–elemen berdasarkan bobot elemen yang ditinjau dengan menggunakan perbandingan berpasangan antar elemen. AHP digunakan untuk mendapatkan bobot elemen, atau dalam metode ini bisa disebut sebagai skala rasio, dari perbandingan pasangan pada struktur hirarki yang multi level. Model AHP dalam proses pengambilan keputusan menggunakan pendekatan kolektif dari beberapa opini atau pendapat individu. Prinsip dasar kerja metode AHP dalam pengambilan keputusan didasarkan pada, yaitu: 1. Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah yang dilakukan untuk mendefinisikan suatu masalah yang rumit dan kompleks hingga menjadi lebih jelas dan detail. Hirarki keputusan disusun berdasarkan pandangan dan opini dari pihak-pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan pada bidang yang bersangkutan. Keputusan yang akan diambil dijadikan sebagai tujuan dan dibuat menjadi elemen-elemen yang lebih rinci hingga tercapai suatu tahapan yang terukur. Hirarki permasalahan akan mempermudah pengambil keputusan untuk menarik kesimpulan dari permasalahan tersebut. 2. Penentuan prioritas elemen-elemen kriteria dapat dilihat sebagai kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan. AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua elemen sehingga seluruh elemen yang ada tercakup. Prioritas dibuat berdasarkan pandangan para pihak yang dianggap ahli dan yang memiliki kepentingan terhadap pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Penilaian kriteria melalui perbandingan berpasangan. Dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen keputusan, penilaian pendapat dilakukan dengan menggunakan fungsi berpikir dan dikombinasi dengan intuisi, perasaan, penginderaan dan pengetahuan. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan perbandingan berpasangan yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkatan hirarki secara berpasangan sehingga akhirnya dapat diketahui tingkat kepentingan elemen
12 dalam pendapat yang bersifat kualitatif. Untuk mengkuantifikasi pendapat tersebut, digunakan skala penilaian sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Menurut Saaty (1993), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. 4. Konsistensi logis dari jawaban yang diberikan oleh responden merupakan prinsip pokok yang akan menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan. Secara umum, responden harus memiliki konsistensi dalam melakukan perbandingan elemen. Jika A>B dan B>C maka secara logis responden harus menyatakan bahwa A>C, berdasakan nilai numerik yang telah disediakan. AHP banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Proses keputusan yang komplek dapat diuraikan menjadi keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah oleh AHP, selain itu AHP juga menguji konsistensi penilai, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hirarki harus distruktur ulang. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Penelitian Sebelumnya Kajian Pemanfaatan Air di Daerah Irigasi Katulampa Rizali (2007) melakukan analisis keseimbangan neraca air di Sungai Ciliwung Bendung Katulampa. Ketersediaan air di saluran irigasi Katulampa menunjukkan inflow yang terbesar sekitar 6.36 m3/detik terjadi di hampir seluruh bulan dan yang terkecil terjadi pada bulan Agustus dan September. Ketersediaan air di Bendung Katulampa ditentukan dengan debit andalan dengan membuat hubungan antara debit dengan probabilitas. Kurva durasi debit aliran diperoleh melalui perhitungan debit andalan ditentukan dengan tingkat peluang 80% dan 90%. Kebutuhan air dianalisis kebutuhan domestik dan non domestik, kebutuhan irigasi, kebutuhan perikanan, kebutuhan industri dan kebutuhan untuk pemeliharaan saluran. Pemanfaatan air di saluran Irigasi Katulampa dipergunakan untuk keperluan domestik Kota Bogor hanya dialokasikan sebesar 120 liter/detik karena sebagian dipasok dari mata air dan Sungai Cisadane dan keperluan non domestik yaitu Istana Bogor sebesar 200 liter/detik, industri sebesar 25 liter/detik, perikanan sebesar 100 liter/detik, situ sebesar 50 liter/detik dan untuk
13 pemeliharaan sungai sebesar 636 liter/detik. Setelah diketahui ketersediaan dan kebutuhan air selanjutnya dianalisis keseimbangannya dengan neraca air. Ketersediaan air dan kebutuhan air pada tahun 2006 dapat dikatakan bahwa air masih mencukupi untuk sektor yang ada. Proyeksi masa yang akan datang (tahun 2020) dengan skenario yang digunakan, ketersediaan air tahun 2020 masih dapat dipenuhi sesuai dengan asumsi yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air domestik, pertanian, industri dan lainnya. Kajian Keandalan Air Sungai Cisadane Memenuhi Laju Permintaan Air Baku PDAM Kota Bogor Arwin dan Mukmin (2006) menganalisis keandalan debit Sungai Cisadane dalam memenuhi kebutuhan debit PDAM Kota Bogor. Debit sumber air baku yang harus dipenuhi untuk memenuhi target pemerintah Kota Bogor (2010) adalah 2 375 liter/detik, dimana eksisting sumber air baku tahun 2004 adalah 1.225 liter/detik, sehingga pada tahun 2010 diperlukan penambahan debit air baku sebesar 1 150 liter/detik. Prospek air Sungai Cisadane sebagai air baku PDAM Kota Bogor dalam rangka peningkatan pelayanan hingga tahun 2010 dianalisis secara statistik dengan meneliti perilaku debit air kering yang tercatat di masa lampau untuk dapat menentukan keandalan debit air masa depan sesuai dengan ketentuan teknis penyediaan air minum perkotaan. Dari analisis statistik data aliran minimum Sungai Cisadane pada periode musim-musim kemarau (debit air ekstrim kering) dari penelurusan debit air kering di Pos Batubelaah (1971-2003) bahwa besaran debit air tidak ditemukan suatu distribusi teoritis yang mutlak seragam untuk semua uji kesesuian distribusi teoritis tetapi ada kecenderungan didominasi oleh distribusi Log-Pearson III. Kisaran sumber air baku domestik dari Intake Ciherang Pondok diperoleh dari analisis keandalan debit rencana kering disarankan yaitu 2 998 liter/detik, dan debit rencana kering maksimum diperkenankan adalah 5 660 liter/detik. Laju permintaan tambahan air baku Kota Bogor pada tahun 2004 adalah 1.225 liter/detik dan pada tahun 2010 menjadi 2 375 liter/detik sedangkan potensi sumber air baku dengan mengembangkan kapasitas sadap Sungai Cisadane adalah 860 liter/detik (Intake Ciherang Pondok, Intake Cipaku). Bila pengembangan Penyediaan Air Minum PDAM Kota Bogor, berpedoman kriteria air baku menggunakan keandalan debit air musim kering disarankan adalah 2.998 liter/detik.