7
TINJAUAN PUSTAKA
Air Air merupakan bagian penting dalam kehidupan, karena semua makhluk hidup membutuhkan air untuk tumbuh dan berkembang. Setiap organisme yang hidup tersusun dari sel-sel berisi air sedikitnya 60% dan menggunakan larutan air sebagai tempat untuk menjalankan aktivitas metaboliknya (Enger dan Smith 2000 dalam Kodoatie et al. 2010). Air juga merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan bersifat dinamis yang berarti sumber utama air yang berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun (Kodoatie et al. 2010). Dengan demikian air sebagai sumber daya bersifat sangat penting bagi kehidupan dan harus dipertahankan keberadaannya agar dapat dimanfaatkan sepanjang masa. Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mendefinisikan sumber daya air ke dalam tiga bagian yaitu air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Dalam undang-undang ini juga dinyatakan pada Pasal 4 bahwa “Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras”, dimana dalam penjelasannya masing-masing fungsi tersebut diterjemahkan sebagai berikut : 1. Fungsi sosial berarti peruntukan sumber daya air lebih diutamakan untuk kepentingan umum dibandingkan kepentingan individu. 2. Fungsi lingkungan memposisikan sumber daya sebagai bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan fauna. 3. Fungsi ekonomi lebih memprioritaskan pendayagunaan air untuk menunjang kegiatan usaha. Hal ini sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Gleick (1998), bahwa air dinilai tidak hanya penting untuk mendukung keberlangsungan hidup, tetapi sangat penting dalam mendukung suatu ekosistem, pengembangan ekonomi, taraf kesejahteraan masyarakat, dan memiliki nilai budaya. Berdasarkan ketiga fungsi tersebut, maka sudah selayaknya kegiatan pemanfaatan air dapat dilakukan dengan bijak agar tidak saling mengganggu fungsi-fungsi lainnya.
Peranan Hutan dalam Ketersediaan Air Dengan adanya kegiatan pemanfaatan sumber daya air, maka ketersediaan air menjadi syarat utama agar pemanfaatan dapat terlaksana dan terpenuhinya fungsi-fungsi yang dimilikinya. Air dihasilkan dari suatu proses yang disebut siklus hidrologi, dimana siklus hidrologi atau daur hidrologi merupakan suatu pola pendauran yang umum yang terdiri dari susunan gerakan-gerakan air yang rumit dan transformasi-transformasinya yang secara sederhana diartikan sebagai perjalanan air mengalir dari atmosfer ke daratan ke laut sampai atmosfer (Lee 1990).
8
Perjalanan air dalam siklus hidrologi dimulai dari hujan yang turun (presipitasi) lalu mendekati muka tanah, jumlahnya terdistribusi menjadi intersepsi (lewat vegetasi), hujan di saluran, tampungan depresi, aliran permukaan dan infiltrasi ke dalam tanah (Kodoatie et al. 2010). Lebih lanjut Harto (1993) menjelaskan bahwa hutan mempunyai peranan sangat penting dalam pengendalian besar dengan limpasan permukaan, terutama sekali fungsi hutan dalam intersepsi dan infiltrasi. Semakin baik kondisi hutan, pada umumnya jumlah kehilangan air semakin besar dan intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik juga relatif besar, mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya. Suatu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) (UndangUndang R.I. Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Dalam menjalankan fungsinya, KPA dikelola secara sistematis melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian. Pemanfaatan pada KPA, khususnya pada Taman Nasional, dapat berupa kegiatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam (Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam). Dengan demikian, air sebagai bagian dari sumber daya alam dan berperan penting untuk mendukung perikehidupan yang berada di dalam suatu kawasan hutan wajib untuk dilindungi. Hal ini selaras dengan amanat pemerintah yang disampaikan dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 60 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai penjabaran dari Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa pengelolaan KPA yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya dalam rangka menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan,dan unsur hara tanah, merupakan tanggung jawab dari Kementerian Kehutanan atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Analisis Keberlanjutan Konsep berkelanjutan pertama kali dirumuskan dalam Brundtland Report sebagaimana dilaporkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka (Kajikawa 2008). Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang. World Bank menjabarkan kerangka pembangunan berkelanjutan ke dalam konsep segitiga pembangunan berkelanjutan dengan tiga tujuan pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi.
9
Definisi pembangunan berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar ekonomi, sosial, dan ekologi. Bila tidak maka akan terjadi “tradeoff” antar tujuan (Munasinghe dalam Suwarno 2011). Pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi ditekankan pada efisiensi pembangunan, aspek sosial berupa keadilan pemerataan, dan aspek ekologi berupa kelestarian sumberaya alam. Tujuan pembangunan diarahkan pada keberimbangan pencapaian tujuan pada ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Menurut Spangenberg dalam Rustiadi et al. (2009) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan (prism of sustainability). Ochsenbein et al. (2004) menyebutkan bahwa konsep kerangka penilaian keberlanjutan pada tingkat normatif mengikuti prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh Federal Council dalam Strategi Pembangunan Berkelanjutan pada tanggal 27 Maret 2002. Penilaian ini dirumuskan berdasarkan model modal saham serta kelemahan dan kelebihan suatu keberlanjutan (“weak sustainability plus”). Model modal saham ini memunculkan prinsip umum keberlanjutan dalam definisi modal yang lebih luas, yaitu sesuatu yang tidak boleh habis tetapi harus dapat diperbaharui dan ditingkatkan. hal ini berarti jual beli diperbolehkan antara tiga dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial), dengan memperhatikan persyaratan dasar minimum masing-masing dimensi (misalnya hak asasi manusia, tingkat polusi). Suatu kegiatan dapat menjadi subjek dalam penilaian keberlanjutan dan optimisasi apabila terdapat konflik serius minimal antara dua dimensi keberlanjutan, khususnya yang memenuhi karakteristik sebagai berikut : 1. Permasalahan yang ada sudah cukup kritis dalam suatu area atau dampak, atau telah ada kecenderungan yang memburuk. 2. Beban (dampak negatif) yang muncul akan dirasakan oleh generasi berikutnya dan tidak dapat diubah (‘irreversible”) atau sulit diubah. 3. Kegiatan tersebut terikat kuat dengan resiko yang sulit untuk dinilai dan evaluasi yang ada penuh dengan ketidak pastian. 4. Adanya persyaratan minimum, misalnya adanya batas tidak dapat dinegosiasikan atau telah melewati ambang batas. 5. Dampak spasial dari suatu kegiatan tersebut menjadi pertimbangan. 6. Ruang lingkup untuk mengoptimalkan kegiatan tersebut cukup luas. Penilaian keberlanjutan mengevaluasi dampak-dampak dari suatu kegiatan berdasarkan satu set standar kriteria yang sudah ditetapkan. Satu set kriteria ini mengacu pada 15 kriteria yang dirumuskan oleh Federal Council dalam Strategi Pembangunan Berkelanjutan (“Sustainable Development Strategy”), yang dikelompokkan kedalam tiga dimensi tujuan keberlanjutan yaitu : 1. Keberlanjutan pada dimensi pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, dimana lingkungan hidup untuk manusia, hewan, dan tumbuhan tetap lestari dan pemanfaatan sumber daya yang ada diatur sedemikian rupa untuk mendukung kebutuhan generasi yang akan datang. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Pelestarian terhadap kawasan yang memiliki nilai penting berupa potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.
10
b. Pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi sumber daya yang dapat diperbaharui (misalnya bahan mentah yang dapat diproduksi ulang, air) agar tetap di bawah tingkat regenerasi/produksi sumber daya. c. Tingkat konsumsi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (misalnya bahan bakar fosil, bahan mentah lainnya) dijaga agar tetap di bawah tingkat produksi sumber daya alam yang dapat diperbaharui. d. Segala macam dampak berupa emisi maupun bahan beracun terhadap lingkungan (air, udara, tanah, dan iklim) dan kesehatan manusia diturunkan ke tingkat yang aman. e. Pengurangan terhadap dampak dari potensi bencana alam dan resiko terhadap lingkungan hanya dapat diterima apabila tidak menimbulkan kerusakan yang permanen dalam suatu generasi, meskipun dalam skenario yang terburuk. 2. Keberlanjutan pada dimensi efisiensi ekonomi, dimana kemakmuran dan kapasitas perkembangan ekonomi dapat terus berlangsung. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Tingkat pendapatan dan ketersediaan tenaga kerja dijaga agar sesuai dengan yang dibutuhkan, dengan pertimbangan secara sosial dapat diterima dan tersebar secara geografis. b. Modal produksi berdasarkan sumber daya sosial dipelihara agar dapat memberikan peningkatan secara kualitatif. c. Persaingan ekonomi dan kapasitas inovasi ditingkatkan. d. Mekanisme pasar harus menjadi tujuan utama ekonomi, dengan mempertimbangkan faktor eksternal dan kelangkaan. e. Sektor publik tidak dikelola dengan mengorbankan generasi yang akan datang (misalnya hutang, kerusakan asset-aset yang dilindungi). 3. Keberlanjutan pada dimensi kepedulian sosial, dimana pembangunan tersebut dapat mendukung kepedulian dan kehidupan yang layak dalam kehidupan manusia dan perkembangannya. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Kesehatan dan keamanan umat manusia dilindungi dan diupayakan secara komprehensif. b. Pendidikan yang akan diberikan, mendukung jati diri dan pengembangan individu. c. Kebudayaan diupayakan bersama-sama dengan upaya pelestarian dan pengembangan dari nilai sosial dan sumberdaya yang menjunjung modal sosial. d. Persamaan hak dan perlindungan hukum dijamin bagi semua orang, terutama dalam hal persamaan hak antara pria dan wanita, persamaan hak dan perlindungan untuk kaum minoritas, dan menghormati hak asasi manusia. e. Kepedulian sosial dijalin dalam dan antar generasi, serta pada tingkat global. Pada akhir tahun 2003, Interdepartmental Rio Committee (IDARio) melakukan penjabaran lebih lanjut terhadap kriteria-kriteria yang dirumuskan sebelumnya oleh Federal Council menjadi 27 kriteria sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
11
Tabel 1 Matriks kriteria keberlanjutan berdasarkan IDARio No.
Lingkungan/Ekologi
Ekonomi
1
Kenekaragaman hayati
PDB per kapita
2
Iklim
3
Emisi
4
Tata ruang/budaya dan warisan alam Air Bahan-bahan, organisme, limbah Energi Tanah, wilayah, kesuburan
Fasilitas dan infrastruktur yang efisien Laju investasi dan nilai tambah Utang negara jangka panjang yang berkelanjutan Efisiensi sumber daya Persaingan/kompetisi
5 6 7 8 9
Resiko terhadap lingkungan
Potensi usaha kerja Inovasi, penelitian tingkat tinggi Kerangka kebijakan
Sosial Pendidikan, kemampuan belajar Kesehatan, kesejahteraan, keamanan Kemerdekaan, kebebasan, kepribadian Identitas, budaya Nilai-nilai Solidaritas, masyarakat Keterbukaan, toleransi Perlindungan sosial, tingkat kemiskinan Pemerataan kesempatan dan partisipasi
Sumber : IDARio (2004) dalam Ochsenbein et al. (2004)
Ochsenbein et al. (2004) menyampaikan bahwa suatu penilaian keberlanjutan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu : 1. Suatu analisis yang saling terkait menetapkan apakah penilaian keberlanjutan secara penuh (analisis secara luas atau detail) adalah layak untuk kegiatan tertentu. 2. Suatu analisis secara luas atau detail yang menelaah dampak dari suatu kegiatan terhadap ketiga dimensi keberlanjutan. 3. Sebagai tahap akhir, dampak-dampak dinilai dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan kegiatan tersebut dapat dioptimalkan. Dengan demikian, keseluruhan prosedur penilaian keberlanjutan terdiri dari tiga fase yaitu analisis yang terkait (relevance analysis), analisis dampak (impact analysis), dan penilaian/optimalisasi (assessment/optimization). Masing-masing fase tersebut dijabarkan kembali kedalam 7 (tujuh) tahapan yang saling terkait sebagai berikut : 1. Analisis yang terkait a. Tahap 1 (Subjek saat ini) : Latar belakang, pemicu, sumber, tujuan kegiatan. Ukuran kegiatan, varian. Dampak dan model kasar secara kasar. Para stakeholders yang terpengaruh b. Tahap 2 (Membangun kaitan dengan keberlanjutan) Hal-hal yang menjadi dasar (matriks kriteria) Menetapkan keterkaitan dengan keberlanjutan dengan menggunakan matriks kriteria. 2. Analisis dampak c. Tahap 3 (Mendefinisikan prosedur) Tujuan-tujuan dari analisis Kedalaman dari analisis (luas/detail) Rancangan metodologi, penentuan analisis dan metode penilaian
12
d. Tahap 4 (Membangun analisis) Menjelaskan ruang lingkup, keragaman, dan skenario-skenario dan (jika diperlukan) tujuan keberlanjutan secara spesifik pada sector tertentu. Menyeleksi model dampak Membangun analisis 3. Penilaian/optimalisasi e. Tahap 5 (Penilaian) Menilai dampak-dampak, memastikan konflik-konflik dan jual-beli (kualitatif/kuantitatif) Melakukan evaluasi berdasarkan metode evaluasi f. Tahap 6 (Optimalisasi) Menunjukkan peluang-peluang optimalisasi Kesimpulan dan rekomendasi g. Tahap 7 (Hasil saat ini) Hasil saat ini secara transparan/jelas Melakukan verifikasi dari penilaian keberlanjutan Salah satu contoh penerapan konsep pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran yaitu penerapan yang dilakukan oleh propinsi Manitoba di Kanada (Manitoba 1992 dalam Mitchell 2000) yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Prinsip dan arahan untuk pembangunan berkelanjutan yang diterapkan oleh Manitoba yaitu terdiri dari : 1. Keterpaduan keputusan lingkungan dan ekonomi : mempunyai syarat bahwa keputusan ekonomi selalu merefleksikan dampak lingkungan termasuk kesehatan manusia. 2. Pemanduan : dalam mengelola lingkungan manusia menjadi pemegang kendali dari lingkungan dan ekonomi untuk keuntungan generasi sekarang dan yang akan datang. 3. Pembagian tanggungjawab : semua masyarakat mempunyai tanggungjawab untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dengan spirit kemitraan dan kerjasama terbuka. 4. Pencegahan : adanya antisipasi, pencegahan atau mengurangi dampakdampak lingkungan dan ekonomi dari politik, program, dan keputusan. 5. Pelestarian : memelihara proses ekologi, keanekaragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan dari lingkungan, serta pemakaian yang efisien dari sumber daya yang dapat dan tidak dapat diperbaharui. 6. Pendaur ulangan : mengurangi pemakaian, memakai kembali, dan mengganti produk-produk masyarakat kita. 7. Peningkatan : memacu kemampuan, kualitas, dan kapasitas produksi ekosistem alamiah untuk jangka panjang. 8. Rehabilitasi dan reklamasi : melakukan perbaikan pada kerusakan lingkungan untuk pemakaian yang bermanfaat dengan dukungan kebijakan, program dan pembangunan di masa mendatang.
13
9. Inovasi ilmu dan teknologi : melakukan penelitian, pengembangan, uji coba dan penerapan teknologi yang menyangkut kepentingan kualitas lingkungan, termasuk kesehatan manusia dan pertumbuhan ekonomi. 10. Tanggungjawab global : memahami bahwa tidak ada batas lingkungan, ada ketergantungan antar wilayah, dan ada kebutuhan untuk bekerjasama untuk mempercepat keterpaduan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan dan mengembangkan penyelesaian masalah secara menyeluruh dan merata. Pemanfaatan Air Berkelanjutan Air sebagai barang publik memiliki arti milik umum dan bukan milik pribadi, dan oleh karenanya menjadikan air berfungsi sosial, dimana pemanfaatan air harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, tidak terkecuali untuk sumber daya air yang berada di dalam KPA. Agar sumber daya air dapat dimanfaatkan sepanjang masa, maka ketersediaan air harus dijaga dan pemanfaatannya harus dapat dilaksanakan dengan dengan adil. Dalam rangka mendukung upaya kelestarian sumber daya air, pemerintah menerbitkan Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang secara eksplisit menyampaikan bahwa dalam pengelolaan sumber daya air harus didasari prinsip kelestarian sebagai hal yang utama dengan tujuan pemanfaatan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tertulis pada Pasal 2 yang menyatakan “Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas”, serta Pasal 4 yang menyatakan “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selain itu, negara juga menjamin setiap warganya untuk dapat memenuhi kebutuhan air secara merata, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 5 yaitu “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Hal ini juga dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada Pasal 65 yang menyatakan bahwa “Pendayagunaan sumber daya air mencakup kegiatan: a) penatagunaan sumber daya air yang ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air; b) penyediaan sumber daya air; c) penggunaan sumber daya air; d) pengembangan sumber daya air; dan e) pengusahaan sumber daya air”. Pendefinisian lebih lanjut atas penggunaan air disebutkan pada Pasal 73 bahwa “Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media dan/atau materi”. Dalam rangka mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air di dalam kawasan hutan, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan pada Pasal 29 yang menyatakan bahwa kegiatan pemanfaatan jasa aliran air pada hutan lindung diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, sedangkan pemanfaatan air selama 10 tahun dengan volume paling banyak 20% dari debit.
14
Sebagai upaya pelestarian sumber daya air di dalam kawasan hutan sekaligus menjaga keutuhan kondisi ekologi kawasan agar tetap berfungsi dengan baik, maka Kementerian Kehutanan menerbitkan kebijakan yang mengijinkan kegiatan pemanfaatan air di dalam Taman Nasional melalui Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 35 ayat (1), yaitu “taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam”. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sebagai salah satu kawasan hutan yang memiliki ketersediaan air berlimpah merupakan lokasi yang sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Saat ini ketersediaan air di TNGGP belum menjadi masalah, tetapi apabila tidak diatur penggunaan serta sistem pemeliharaannya, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat akan menjadi masalah. Oleh karena itu perlu dihitung berapa potensi kawasan dalam menyediakan air. Dari perhitungan pendugaan potensi air kawasan, maka akan diketahui penggunaan air maksimum yang masih diperbolehkan. Pengambilan air juga harus diimbangi dengan upaya-upaya konservasi sehingga air dapat tersedia sepanjang tahun (Rushayati 2006). Dua hal utama yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pemanfaatan air adalah bagaimana air tersebut dapat digunakan dengan bijaksana dan perlunya upaya-upaya untuk melestarikan sumber daya air agar dapat menghasilkan ketersediaan air yang cukup atau bahkan berlimpah sehingga dapat bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan mendukung kehidupan sepanjang masa atau dengan kata lain perlunya mewujudkan suatu pengelolaan pemanfaatan air yang berkelanjutan. Dengan tetap mengacu pada definisi sebelumnya yang dinyatakan oleh WCED, terdapat beberapa definisi lebih lanjut dari suatu keberlanjutan dalam bidang pemanfaatan air atau bidang sumber daya air. Salah satu peneliti yaitu Gleick (1998) mengungkapkan bahwa penjelasan sederhana atas keberlanjutan sumber daya air sebagai pemeliharaan manfaat sumber daya air bagi pengguna tertentu tanpa mengurangi manfaat bagi pengguna lainnya, termasuk ekosistem alam. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa ketidakberlanjutan sumber daya air digambarkan sebagai kondisi saat jasa-jasa yang disediakan oleh sumber daya air dan ekosistem telah hilang secara perlahan dalam jangka waktu tertentu oleh karena keinginan masyarakat yang semakin tinggi dalam menggunakannya. Adapun dalam mendukung keberlanjutan suatu perencanaan sumber daya air, telah ditetapkan beberapa kriteria, antara lain yaitu : 1. Air sebagai kebutuhan dasar akan dijamin bagi seluruh manusia untuk memelihara kesehatan manusia. 2. Air sebagai kebutuhan dasar untuk memelihara dan memulihkan kesehatan dari ekosistem. 3. Kualitas air akan dijaga sampai pada suatu standar minimum tertentu. Standar tersebut akan bervariasi yang tergantung pada lokasi air dan bagaimana air tersebut digunakan. 4. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak akan mengganggu kemampuan memperbaharui dalam jangka waktu yang lama dari suatu ketersediaan air tawar dan alirannya.
15
5. Ketersediaan, penggunaan, dan kualitas dari data sumber daya air akan dikumpulkan serta dapat diakses semua pihak yang berkepentingan. 6. Mekanisme institusi akan dibangun untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik terkait air. 7. Perencanaan sumber daya air dan pengambilan keputusan akan dilakukan secara demokratis, memastikan perwakilan dari pihak-pihak terkait dan membina partisipasi langsung dari pihak-pihak yang berkepentingan. Definisi lain muncul dari suatu komunitas yang terdiri dari perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya air (Water Corporation) di Australia bagian barat yang dituangkan dalam bentuk panduan penilaian keberlanjutan yang berjudul Water Forever. Panduan ini diterbitkan pada bulan Oktober tahun 2007 dalam rangka penyusunan rencana jangka panjang 50 tahun untuk menyediakan air, pengolahan air limbah, dan jasa drainase untuk kota Perth dan sekitarnya. Panduan ini akan menghasilkan kerangka kerja bagi perusahaan di bidang sumber daya air yang bertumpu pada prinsip konservasi dan pembangunan infrastruktur dalam rangka mendukung pengelolaan air di masa depan, khususnya pada saat terjadi penurunan curah hujan yang kontinu dan perkiraan peningkatan populasi yang semakin tinggi. Dalam panduan ini, disampaikan definisi keberlanjutan sebagai pertemuan antara kebutuhan saat ini dengan kebutuhan generasi di masa mendatang melalui keterpaduan perlindungan ekosistem (lingkungan), pengembangan sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Beberapa kriteria keberlanjutan untuk masing-masing dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 (Western Australian State Sustainability Strategy 2003 dalam Water Corporation 2008). Tabel 2 Kriteria keberlanjutan berdasarkan panduan Water Forever No.
Dimensi Sosial
Dimensi Ekonomi
Preferensi masyarakat
Biaya ekonomi netto (net economic cost) Kompleksitas Kepercayaan
4
Jejak secara fisik (physical footprint) Intensitas energi Kapasitas untuk meningkatkan lingkungan Alokasi air
5
Efisiensi air
Resiko dari sumber daya (kesehatan)
1 2 3
Dimensi Lingkungan
Warisan lokal (situs) Kebutuhan sosial Pemberdayaan pelanggan
Ketergantungan terhadap curah hujan Fleksibilitas dan kemampuan penyesuaian
Sumber : Water Corporation (2008)
Prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan air juga telah diterapkan di Kanada (Mitchell dan Shrubsole 1994 dalam Mitchell 2000) yang menyampaikan bahwa pengelolaan sumber daya air yang bijaksana harus dicapai melalui komitmen terhadap 3 (tiga) hal, yaitu : 1) keterpaduan ekologi dan keanekaragaman hayati untuk lingkungan sehat; 2) ekonomi yang dinamis; dan 3) pemerataan sosial untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Selain itu, dalam kajian lain terkait keberlanjutan jasa penyediaan air baku, Okeola dan Sule (2011) menyebutkan beberapa kriteria yang terbagi kedalam lima dimensi yaitu sebagaimana Tabel 3.
16
Tabel 3 Kriteria keberlanjutan jasa penyediaan air baku No.
Dimensi Lingkungan (sumber daya air)
Dimensi Ekonomi
Dimensi Teknologi (infrastruktur)
Dimensi Kelembagaan
Dimensi Sosial Budaya
1
Pengambilan kembali
Kemampuan finansial
Akses untuk mengembangkan teknologi
Kerangka payung hukum
Keahlian pegawai Efisiensi operasional
Kebijakan Pengaturan pengendalian
Kesehatan dan keamanan publik Aksesibilitas Ruang lingkup
2 3
Kualitas Kepercayaan
4
Kerentanan
Skala ekonomi Perlindungan investasi sumber daya Minimisasi biaya produksi
Partisipasi
Pemerataan intergenerasi
Sumber : Okeola dan Sule (2011)
Berdasarkan beberapa penjelasan dan kriteria keberlanjutan terkait pemanfaatan air, maka diketahui bahwa selain ketiga dimensi utama keberlanjutan (lingkungan/ekologi, sosial, ekonomi), terdapat dua dimensi lain yang dianggap turut mempengaruhi keberlanjutan pemanfaatan air, yaitu dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya mewujudkan keberlanjutan masing-masing dimensi tersebut di atas agar kegiatan pemanfaatan air juga dapat berkelanjutan.
Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam rangka mendukung kegiatan pemanfaatan air yang berkelanjutan, diperlukan suatu penguatan sistem pengelolaan melalui penyusunan pedoman kebijakan. Salah satu alat analisis yang umum digunakan dalam menyusun alternatif sebagai arahan dalam pengambilan keputusan yaitu Analisis Proses Hirarki atau umum dikenal sebagai Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan banyak kriteria atau Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) yang membantu menjelaskan variabel prioritas yang harus dipertimbangkan dalam suatu hasil keputusan. Dalam studi ini, metode AHP digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan dalam pemanfaatan air di dalam kawasan TNGGP, dimana kriteria-kriteria yang menjadi bahan analisis adalah kriteria yang telah ditentukan sebelumnya pada analisis keberlanjutan, yaitu kriteria ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Teknik AHP dalam studi ini mengadopsi hasil kajian sebelumnya yang dilakukan oleh Okeola dan Sule (2011) terhadap evaluasi alternatif pengelolaan untuk persediaan air baku (urban water supply) di kota Offa, Kwara State, Nigeria. Berdasarkan hasil kajian tersebut, teknik AHP terbukti cukup efektif dalam memfasilitasi para penyusun kebijakan dalam mengeksplorasi suatu permasalahan lebih dalam. Menurut Marimin (2008), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagianbagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimuali dengan sasran (goal), lalu kriteria, subkriteria, dan alternatif.
17
Kriteria dan alternatif kemudian dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dengan skala 1 sampai 9 (Saaty 1983 dalam Marimin, 2008) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP) Nilai 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Keterangan Kriteria/alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B A sedikit lebih penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B A mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu diantara dua nilai berdekatan
Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari suatu kriteria/alternatif, kemudian bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau persamaan matematis. Setelah pembobotan, kemudian dilakukan uji konsistensi untuk mengetahui apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan secara konsekuen atau tidak.
Tinjauan Studi Terdahulu Kajian tentang kegiatan pemanfaatan sumber daya air di kawasan TNGGP telah banyak dilakukan sebelumnya, beberapa diantaranya akan disampaikan dalam sub bab ini. Topik penelitian, nama peneliti serta hasil penelitian akan diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran dan mencari keterkaitan dengan penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini. Kawasan TNGGP untuk pertama kalinya diketahui memiliki nilai ekonomi air yang tinggi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darusman (1993). Dengan menggunakan teori “willingness to pay “ sebagai dasar analisis untuk merumuskan kurva permintaan air baik untuk sektor rumah tangga maupun untuk pertanian di sekitar TNGGP pada tahun 1991, maka diketahui bahwa nilai manfaat air yang diberikan oleh TNGGP diperkirakan sebesar Rp. 4.341 milyar per tahun atau Rp. 280 juta per hektar Taman Nasional per tahun kepada masyarakat di sekitarnya. Salah satu saran yang dikemukakan oleh peneliti adalah perlunya keberadaan kelembagaan (lembaga, aturan, mekanisme) yang mengatur pembayaran dari sektor rumah tangga dan sektor pertanian ke sektor kehutanan, agar sumber daya hutan dan sumber daya lahan dapat dimanfaatkan secara optimal. Kajian valuasi ekonomi terhadap air di kawasan TNGGP juga pernah dilakukan oleh Wiratno et a.l (2004) dengan asumsi kegiatan pelestarian kawasan TNGGP dapat menjadikan kawasan TNGGP sebagai suatu aset yang bernilai sekitar Rp. 920 milliar (100 juta dollar AS) per tahun untuk menghidupi sekitar 20 juta pendudk di sekitarnya. Dalam perhitungan ini, dilakukan kalkulasi nilai air yang ada di kawasan TNGGP yang terbagi menjadi dua kategori yaitu nilai air yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian dan nilai konsumsi rumah tangga. Berdasarkan hasil kajian ini, diketahui bahwa harga air untuk kebutuhan pertanian dinilai sebesar Rp. 0.27/m3 dan keperluan air per tahun dinilai sebesar 3.89 milliar
18
m3, sehingga per tahun kebutuhan pertanian memiliki harga air sebesar Rp. 1.05 milliar dan dengan asumsi Net Present Value (NPV) 10% dalam 25 tahun harga konstan, maka harga air per tahun akan meningkat menjadi Rp. 9.53 milliar. Pada konsumsi rumah tangga, harga air dinilai sebesar Rp. 268/m3 dan keperluan air per tahun dinilai sebesar 7,097.369 m3, sehingga per tahun kebutuhan rumah tangga memiliki harga air sebesar Rp. 1.90 milliar dan dengan asumsi NPV 10% dalam 25 tahun harga konstan, maka harga air per tahun akan meningkat menjadi Rp. 17.28 milliar. Dengan demikian, kedua nilai air tersebut yang bernilai Rp. 2.95 milliar per tahun akan meningkat harganya menjadi 27,80 milliar pada 25 tahun yang akan datang. Selain memiliki nilai ekonomi, air di kawasan TNGGP juga dinilai sangat penting keberadaannya dengan adanya kajian pendugaan potensi ketersediaan air oleh Rushayati (2006) dengan menggunakan metode analisis Neraca Air Lahan. Berdasarkan hasil kajian ini, kawasan TNGGP diketahui memiliki surplus air sebesar 548,960,480 m3/tahun apabila luas kawasan TNGGP 21,975 ha. Peneliti juga menyampaikan bahwa agar kelangsungan ketersediaan air tersebut terpelihara, maka pemanfaatan yang dilakukan tidak boleh melebihi kapasitas kemampuan kawasan dalam menyimpan air, sehingga perlu adanya aturan dalam pemanfaatan air termasuk insentif dan upaya-upaya konservasi tersebut dengan melibatkan semua pihak. Terkait dengan upaya konservasi tanah dan air di dalam kawasan TNGGP, Ihsan (2009) telah melakukan penelitian tentang intensitas komunikasi petani di daerah penyangga kawasan TNGGP dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa intensitas komunikasi antara petani dengan pengelola taman nasional melalui kegiatan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku petani dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan di daerah penyangga kawasan TNGGP. Secara tidak langsung hal tersebut membuktikan bahwa upaya-upaya konservasi sumber daya air dapat didukung melalui keterlibatan masyarakat daerah penyangga atau desa penyangga. Berkenaan dengan salah satu hulu DAS yang terdapat di kawasan TNGGP yaitu hulu DAS Ciliwung, Suwarno (2011) telah melakukan penelitian terkait pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan metode analisis multidimensional scaling (MDS) untuk menghitung nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dan analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor kunci dalam pengelolaan berkelanjutan, serta analisis morfologis untuk menentukan skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Penelitian ini menghasilkan nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 berarti kurang berkelanjutan, dimana dua dimensi yang cukup berkelanjutan diperoleh dari dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi, serta tiga dimensi lainnya kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan. Penelitian terkait salah satu hulu DAS lainnya yang terdapat di kawasan TNGGP yaitu hulu DAS Cisadane juga dilakukan oleh Sutopo (2011). Penelitian ini mengkaji pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum (studi kasus DAS Cisadane Hulu). Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan model: 1) kesediaan masyarakat untuk melakukan konservasi
19
(willingness to concervation)/(YWTC); 2) kesediaan pemanfaat air minum untuk membayar jasa lingkungan (willingness to pay)/(YWTP); 3) kesediaan masyarakat menerima pembayaran atas jasa lingkungan (willingness to accept)/(YWTA); dan 4) menetapkan pilihan kebijakan dengan pendekatan AHP. Hasil penelitian menyatakan perlunya dikembangkan pengembangan kebijakan insentif yang lebih adil dan merata dan menetapkan nilai rataan (WTP-WTA) sebesar Rp. 1563.97 3 per m sebagai basis perhitungan dasar tentang nilai pembayaran jasa lingkungan yang dapat diterapkan secara bertahap di DAS Cisadane Hulu oleh Pemerintah terhadap para pengelola air (users pay principle) untuk masyarakat di hulu. Penelitian terbaru terkait pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP juga dilakukan oleh Walidaini (2012) tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan di TNGGP (studi kasus desa Tangkil dan desa Cinagara) melalui metode analisis deskriptif kualitatif dan analisis para pihak berdasarkan Groenendjik (2003). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP didasari oleh surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008 dan termasuk mekanisme “PES-like”, namun berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan, mekanisme pada desa Tangkil dan Cinagara cenderung terlihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP.