BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 2.1.1. Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian Kecemasan menghadapi kematian (Thanatophobia) mengacu pada rasa takut dan kekhawatiran kematian sendiri. Kecemasan menghadapi tutup usia merupakan bagian dari kecemasan secara umum yaitu suatu kondisi yang
tidak
manakala
menyenangkan memikirkan
yang
kematian
dialami
seseorang
(Kartono,
2003).
Kecemasan menghadapi kematian adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan dimana individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, tidak tenang, was-was, dan bingung yang disebabkan objek yang tidak jelas atau belum terjadi berupa peristiwa saat terlepasnya roh atau jiwa dari raga (Purboningsih, 2004). Menurut teori Freud ketakutan kematian/ kecemasan berhubungan dengan konflik masa kanak-kanak yang belum terselesaikan dari pada ketakutan akan kematian itu sendiri (Slamet dan Markam 2003). Kecemasan kematian juga di didifinisikan sebagai rasa takut, ketakutan atau kecemasan ketika orang berpikir tentang apa yang terjadi setelah 9
kematian, proses mati atau berhenti (Affandi, 2008). Dengan cepat meningkatnya jumlah orang lanjut usia, pertanyaan tentang tantangan dan ketakutan menjadi lebih relevan. Kecemasan akan kematian difinisikan sebagai suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang manakala lanjut usia memikirkan kematian, karena keadaan tidak jelas yang menyertai kematian (Templer, 1970). Meski kematian mempunyai arti bahwa setiap orang harus menghadapi kenyataan di beberapa titik dalam hidup mereka, signifikasi yang kemungkinan akan lebih besar untuk orang tua (Savitri, 2003). Hal ini karena secara umum mereka tidak bisa berharap untuk hidup selamanya sebagai orang yang lebih muda. Pengalaman orang tua mereka yang meninggal dan reaksi terhadap kematian tidak hanya akan mempengaruhi penyesuaian mereka terhadap proses penuaan mereka sendiri tetapi juga mempengaruhi kualitas hidup mereka secara umum (Bart dan Smet, 2004)). Kecemasan menghadapi kematian pada lansia adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan di mana individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, was-was dan bingung yang disebabkan oleh objek yang tidak jelas atau belum terjadi berupa peristiwa saat terlepasnya roh 10
atau jiwa dari raga (Kartono, 2003). Kecemasan akan kematian yang dialami oleh orang lanjut usia dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian.
2.1.2. Aspek- aspek Kecemasan Kecemasan berasal dua aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek kepanikan sering terjadi pada seseorang (Bart dan Smet, 2004), yaitu: 1.
Aspek kognitif a.
Kecemasan
disertai
dengan
persepsi
bahwa
seseorang sedang berada dalam bahaya atau terancam
bahkan
renta
dalam
hal
tertentu,
sehingga gejala fisik kecemasan membuat individu siap untuk merespon bahaya atau ancaman yang menurutnya akan terjadi. b.
Ancaman dapat bersifat fisik, mental dan sosial, diantaranya adalah ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan terluka secara fisik,
ancaman
mental
terjadi
saat
sesuatu
membuat individu menjadi khawatir bahwa dia mungkin akan menjadi gila dan juga amnesia atau 11
hilang ingatan, ancaman sosial terjadi ketika seseorang
percaya
bahwa
dia
akan
ditolak,
dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan. c.
Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang.
d.
Sebagian orang, biasanya karena pengalaman individu bisa terancam dengan mudahnya dan akan lebih sering untuk cemas. Orang lain mungkin akan memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar.
e.
Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa
depan
dan
sering
kali
memprediksi
malapetaka. 2.
Aspek kepanikan Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai dengan adanya perubahan sensai fisik atu mental dalm diri seseorang yang menderita gangguan panik, dan pemikiran saling berinterkasi sehingga meningkat dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik 12
serta emosional yang lebih intens bisa menimbulkan terhindarnya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya (Kartono, 2003). 2.1.3. Faktor-Faktor Kecemasan Menghadapi Kematian Menurut Stuart dan Sudden (1998), ada dua faktor besar yang sangat memengaruhi kecemasan menghadapi kematian. Faktor-faktor tersebut yaitu: a.
Faktor eksternal 1.
Ancaman
integritas
diri.
Hal
ini
meliputi
ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan
dasar
(trauma
fisik,
penyakit,
pembedahan). 2.
Ancaman sistem diri. faktor ini antara lain: ancaman terhadap
identitas
diri,
harga
diri,
hubungan
interpersonal, kehilnagn dan perubahan status juga peran. b.
Faktor internal 1.
Potensial
stresor.
merupakan
Faktor
keadaan
stresor
yang
psikososial
menyebabkan
perubahan dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk beradaptasi. 2.
Maturitas. Kematangan kepribadian individu akan mempengaruhi
kecemasan 13
yang
dihadapinya.
Kehidupan individu yang lebih matur maka lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan. 3.
Pendidikan.
Tingkat
pendidikan
sangat
berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk berpikir. Semakin tinggi tingkat individu seseirang semakin mudah berpkiri secara rasional dalam menangkap informasi yang baru. 4.
Respon koping. Mekanisme koping digunakan seseorang
saat
mengalami
kecemasan
ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan terjadinya perilaku patologis. 5.
Status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi yang rendah
pada
seseorang
akan
menyebabkan
individu mudah mengalami kecemasan. 6.
Keadaan fisik. Individu yang mengalami ganguuan fisik akan mudah mengalami kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah individu mengalami kecemasan.
7.
Tipe kepribadian. Individu dengan tipe kepribadian A
lebih
mudah
kecemasan
dari 14
mengalami pada
gangguan
orang
dengan
akibat tipe
kepribadian B. Misalnya orang dengan tipe A adalah orang yang memiliki selera humor. Dengan dengan tipe B orang yang mudah emosi. 8.
Lingkungan dan situasi. Seseorang yang berada di lingkungan
asing
lebih
mudah
mengalami
kecemasan dibandingan di lingkungan yang sudah dikenalnya. 9.
Dukungan sosial. Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber koping individu. Dukungan sosial dari kehadiran orang lain akan membantu seseorang untuk mengurangi kecemasan.
10. Usia. Individu dengan usia muda lebih muda cemas dibandingkan dengan usia yang lebih tua. 11. Humor. Humor dapat menimbulkan reflek tertawa dan tertawa mampu mengurangi ketegangan syaraf serta mengurangi cemas. 2.2. Dukungan Sosial Keluarga 2.2.1. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga Gottlieb (1983), menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal atau non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial
atau
didapat
karena
kehadiran
mereka
yang
mempunyai manfaat atau efek perilaku bagi pihak penerima. 15
Dukungan sosial juga didifinisikan sebagai bantuan atau pertolongan yang diterima oleh seseorang dari interaksi dengan orang lain dan sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi individu dari konsekuensi
stres.
Dukungan
sosial
yang
diterimadapatmembuatindividumerasatenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri, dan kompeten (Suprajito, 2004) Menurut Rodin & Salovey (dalam Smet, 1994), dukungan social terpenting berasal dari keluarga. Adanya dukungan social keluarga dapat menimbulkan rasa aman dalam
melakukan
partisipasi
aktif,
eksplorasi,
dan
ekperimentasi dalam kehidupan yang pada akhirnya akan meningkatkan rasa percaya diri, keterampilan dan strategi coping (Maryam, 2008). Dukungan social dari keluarga akan mengembangkan “buffer” yang dapat berguna untuk menghadapi stres. Pernyataan di atas diperkuat dengan hasil penelitian dari Shaw (2003), yang menemukan bahwa dukungan yang diberikan
keluarga
berkaitan
erat
dengan
kesehatan
individu. Individu yang menerima dukungan sosial keluarga lebih mampu menyelesaikan tugas yang sulit,
tidak
mengalami gangguan kognitif, lebih berkonsentrasi dan tidak 16
menunjukkan
kecemasan
dalam
melaksanakan
tugas
(Cutrona, 1987). Berdasarkan dari uraian di atas penulis mengambil pernyataan dari Cutrona (1987) bahwa dukungan sosial orangtua yaitu penilaian/persepsi anak terhadap bantuan yang diberikan oleh orangtua, terdiri dari perhatian, kasih sayang, informasi atau nasehat berbentuk verbal atau nonverbal, baik secara emosional, penghargaan, dan materi. 2.2.2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Keluarga CutronadanRussel (1987), mengembangkan “Social Provisions Scale” yang sebelumnya disusunoleh Weiss (1974) untuk mengukur ketersediaan dukungan sosial yang diperoleh dari hubungan individu dengan orang lain. Terdapat enam aspek di dalamnya, yaitu : a.
Attachment
(kasih
sayang/kelekatan)
merupakan
perasaanakan kedekatan emosional dan rasa aman. b.
Social integration (integrasi sosial) merupakan perasaan menjadi bagian dari keluarga, tempat keluarga berada dan tempat saling berbagi minat dan aktivitas.
c.
Reassurance
of
worth
(penghargaan/pengakuan),
meliputi pengakuanakan kompetensi dan kemampuan anak.
17
d.
Reliable
alliance
(ikatan/hubungan
yang
dapat
diandalkan), meliputi kepastian atau jaminan bahwa keluarga dapat diharapkan untuk membantu dalam semua keadaan. e.
Guidance
(bimbingan)
merupakan
nasehat
dan
pemberian informasi oleh keluarga. f.
Opportunity for nurturance (kemungkinan dibantu) merupakan perasaan akan tanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga. Berdasarkan penjelasan di atas, penelit menggunakan
aspek-aspek dukungan sosial yang diadaptasi dari “Social Provisions Scale” 2.3. Lansia 2.3.1. Pengertian Lansia Dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas dinyatakan bahwa yang disebut lansia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Usia
lanjut
dikatakan
sebagai
tahap
akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Lanjut usia adalah orang yang kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan
18
psikologis yang cenderung mengarah ke penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya tidak bahagia (Elizabeth, 2007). Berdasarkan
pengertian
tersebut
maka
dapat
disimpulkan bahwa lansia adalah seorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Nugroho, 2000). 2.3.2. Karakteristik Orang Lanjut Usia Elisabeth (2007) mengutarakan bahwa proses menjadi tua itu pada umumnya ditandai oleh gejala-gejala fisik,yaitu: 1.
Waktu orang usia lanjut berhenti haid
2.
Waktu orang usia lanjut cepat lelah
3.
Waktu orang usia lanjut rambutnya mulai menipis dan berubah
4.
Waktu orang usia lanjut mulai kehilangan kerampingan badannya
5.
Waktu penghasilan orang usia lanjut mulai menurun.
2.3.3. Batas-batas Lanjut Usia Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Begitu juga dengan yang disampaikan oleh 19
Santrock (2002), bahwa ketika seseorang yang sudah berusia 60 tahun ke atas, maka individu tersebut sudah tergolong dalam kategori usia Lansia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, saat seseorang yang sudah berusia mulai dari 60 tahun ke atas, maka individu tersebut dapat digolongkan sebagai kategori lansia. 2.4. Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kecemasan menghadapi kematian pada lansia. Dukungan
sosial
keluarga
mampu
mereduksi
kecemasan lanjut usia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang memasuki masa lanjut usia maka dukungan sosial dari orang lain maupun keluarga menjadi sangat berharga danakan menambah ketentraman hidupnya. Terlebih ketika pada
lanjut
usia
ada
peristiwa
besar
dan
dianggap
menakutkan bagi sebagian besar orang lanjut usia yaitu tutup usia atau kematian. Lanjut usia menganggap bahwa kematian merupakan pintu bagi dirinya untuk merasa kehilangan sesuatu yang selama ini telah dimiliki.
20
2.5. Kerangka Konseptual
Variabel Dependen
Variabel Independen
Kecemasan Menghadapi Dukungan Sosial Kematian Keluarga Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
Keterangan: = Variabel yang diteliti = Hubungan mempengaruhi 2.6. Hipotesis H0: Tidak ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan kecemasan menghadapi kematian pada Lansia di Panti Inakaka Ambon. H1: Ada
hubungan
dukungan
sosial
keluarga
dengan
kecemasan menghadapi kematian pada Lansia di Panti Inakaka Ambon.
21