5
TINJAUAN PUSTAKA Panti Werdha Menurut Departemen Sosial RI (1994) diacu dalam Nurlaela (2006) bahwa panti werda merupakan bentuk pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia yang pada awalnya merupakan inisiatif organisasi sosial yang pada waktu itu merasakan pentingnya penanganan permasalahan lanjut usia melalui panti. Lahirnya panti-panti tersebut berdasarkan atas adanya kebutuhan-kebutuhan akan perawatan kesehatan, kegiatan-kegiatan keagamaan dan komunikasi sosial yang bersifat efektif yang tidak didapat lansia diluar panti. Menurut Depsos (1997), tujuan pelayanan Panti Sosial Tresna Werda (PSTW) ini adalah tercapainya tingkat kualitas hidup dan kesejahteraan para lansia yang layak dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin. Di negara-negara berkembang memasukkan lansia di panti merupakan tindakan yang dianggap kurang pantas atau kurang etis. Tetapi, karena adanya kecenderungan pergeseran nilai-nilai masyarakat akibat globalisasi, maka hal ini sudah dianggap sesuatu yang wajar bahkan suatu keharusan. Saat ini banyak panti werda yang didirikan dengan tujuan untuk memberikan santunan dan pelayanan kepada golongan lansia. Panti werdha merupakan upaya terakhir setelah keluarga dan masyarakat yang tidak dapat memberikan pelayanan kepada lansia (Nurlaela 2006). Lansia yang masuk ke panti werdha umumnya adalah lansia yang terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang merawatnya. Selain itu, ada pula lansia karena keinginan sendiri atau dititipkan oleh keluarganya. Lansia yang dititipkan harus mempunyai sponsor. Pihak sponsor ini biasanya harus membayarkan biaya hidup di panti tiap bulan. Tujuan pembayaran ini selain untuk biaya pengelolaan dan perawatan juga agar para anggota keluarga tetap mempunyai perhatian pada lansia yang menjadi klien di panti (Wongkaren 1994 diacu dalam Nurlaela 2006). Lanjut Usia Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses perubahan yang rumit dan panjang, dimulai dari pembuahan sel telur dan berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besarnya, perkembangan
6
manusia terdiri dari beberapa tahap, yaitu meliputi kehidupan sebelum lahir, sewaktu bayi, masa kanak-kanak, remaja, masa dewasa dan masa usia lanjut (Fatmah 2010). Pengertian usia lanjut dapat dibedakan atas dua macam, yaitu usia lanjut kronoligis atau usia kalender dan usia lanjut biologis. Usia kronoligis mudah diketahui dan dihitung, yaitu saat seseorang merayakan ulang tahunnya. Sebaliknya usia biologis adalah usia yang sesungguhnya dimiliki seseorang. Usia biologis menunjukkan kondisi jaringan yang sebenarnya. Terlepas dari beberapa usia kronoligis seseorang, banyaknya kemunduran jaringan yang terjadi akan menyebabkan meningkatnya usia biologis orang yang bersangkutan. Usia biologis inilah yang sesungguhnya dapat diupayakan agar tidak terlalu cepat bertambah (Almatsier, Soetardjo dan Soekatri 2011). Usia lanjut dapat memberi persepsi yang berbeda, tergantung dari siapa yang menyebutnya dan untuk apa. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang di Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Muis, Nurkinasih dan Darmojo 1992). Namun, batasan lansia menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, adalah 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut WHO dalam Notoatmojo (2007), di antaranya: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly), antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75-90 tahundan usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun. Proses menua merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perubahan-perubahan fisik, psikologik, fungsi dan sosial-ekonomi sekelompok penduduk. Dari segi fisik penuaan sel-sel dapat berakibat pada penurunan cadangan faali berbagai fungsi, seperti ginjal, jantung dan sebagainya; kegagalan mempertahankan mekanisme homeostatik, misalnya gangguan pengontrolan tekanan darah; dan kegagalan sistem imunitas dengan akibat pada peningkatan
penyakit
keganasan
dan
autoimun. Perubahan
fisik yang
berkelanjutan dengan gangguan fungsi akan berhubungan dengan gangguan masukan zat gizi dan energi yang terjadi mulai dari alat penguyah, pengecap, pencernaan dan penyerapan. Intoleransi terhadap beberapa makanan dan obstipasi sering menjadi bagian dari keluhan para lanjut usia (Muis et al. 1992). Konsumsi Pangan Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis
7
kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di antaranya yakni gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction) zat tersebut di dalam tubuh (Supariasa, Bakri dan Hajar 2001). Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia. Adanya perubahan-perubahan pada tubuh lansia, menghendaki pola konsumsi pangan yang berbeda dibandingkan pada usia-usia yang lebih muda. Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik. Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat di atasi dengan mudah (Astawan dan Wahyuni 1988). Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan. Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang (Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan makanan ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan kebutuhan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan gizi. Kegiatan tersebut memerlukan informasi penunjang antara lain, status ekonomi, pekerjaan, dan aktivitas fisik (Depkes 2006). Kebutuhan Energi dan Zat Gizi pada Lansia Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan
energi
yang
dapat
dimetabolisme
dari
makanan
yang
akan
8
menyeimbangkan kebutuhan energi. Karyadi dan Muhilal (1996) menyatakan bahwa kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Adanya interaksi antara berbagai zat gizi memberikan gambaran perlunya suatu keseimbangan zat gizi yang dikonsumsi. Semakin beranekaragam bahan pangan yang dikonsumsi maka semakin tercapainya keseimbangan dalam interaksi zat gizi. Kebutuhan energi dan zat gizi sangat bervariasi meskipun faktor-faktor seperti ukuran badan, jenis kelamin, macam kegiatan dan faktor lainnya sudah diperhitungkan. Jumlah zat gizi yang dibutuhkan dapat tergantung pada kualitas makanan karena efisiensi penyerapan dan pendayagunaan zat gizi oleh tubuh dipengaruhi oleh kompisisi dan keadaan makanan secara keseluruhan (Soehardjo dan Koesharto 1992). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan di atas 65 tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (mg) Fe (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Angka Kecukupan Gizi Pria Wanita 50-64 tahun >65 tahun 50-64 tahun >65 tahun 2350 2050 1750 1600 60 60 50 45 800 800 800 800 13 13 12 12 600 600 500 500 90 90 75 75
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
Menurut Ruslianti dan Kusharto (2006), asupan energi lansia laki-laki khususnya yang berada di Kota Bogor hanya 70% dari angka kecukupan gizi (AKG) dan 30% dari mereka mempunyai indeks massa tubuh (IMT) <18,5. Berdasarkan ambang batas yang ditetapkan Ditjen Gizi Masyarakat, prevalensi gizi kurang ≥20% merupakan kriteria masalah gizi berat. Energi Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia pada periode lansia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Harris 2000). Manusia memperoleh energi dan zat gizi dengan mengonsumsi makanan yang dapat berasal dari hewan atau tumbuhan. Tubuh manusia menghasilkan energi yang berasal dari metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Energi dibutuhkan secara teratur untuk mempertahankan kondisi tubuh terutama untuk memelihara
9
fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total (Frary and Johnson 2000). Energi metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan aktivitas metabolisme sel dan jaringan, selain itu untuk mengatur proses sirkulasi darah, pernafasan, pencernaan dan sistem urinari. Kebutuhan energi setiap individu merupakan tingkat asupan energi yang didapat dari makanan yang akan menyeimbangkan pengeluaran energi yang sesuai dengan ukuran dan komposisi tubuh serta tingkat aktivitas fisik. Berat badan merupakan indikator kecukupan energi karena tubuh secara unik memiliki kemampuan mengubah karbohidrat, protein, dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi. Oleh karena itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit secara terus menerus akan berdampak pada perubahan berat badan (Frary and Johnson 2000). Energi yang dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah 2010). Protein Protein adalah substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim dan sel darah merah. Bagi lansia asupan protein total yang dibutuhkan manusia akan menurun sesuai dengan perubahan usia seseorang. Hal ini terkait dengan penurunan fungsi sel-sel tubuh manusia. Akan tetapi ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa kebutuhan asupan protein cenderung tetap karena proses regenarasi tubuh akan terus berlajan sesuai laju regenerasi sel yang terjadi (Fatmah 2010). Besaran protein dipatok pada angka 0,8 g/kg BB/hari. Angka ini diperoleh dari perhitungan asupan energi sebesar 1900 kkal untuk perempuan dan 2300 kkal untuk laki-laki (Arisman 2009). Bahan makanan yang berasal dari hewan merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya.
10
Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004). Pemilihan protein yang baik bagi lansia sangat penting menginggat sintesis protein di dalam tubuh tidak sebaik saat muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Pakar gizi menganjurkan kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan dan protein hewani lainnya karena kebutuhan asam amino essensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi harus diingat bahwa konsumsi protein berlebih akan memberatkan kerja ginjal dan hati (Fatmah 2010). Vitamin Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau ketersediaanya di dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010). Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup (Almatsier 2004). Vitamin A pada lansia memiliki fungsi untuk melawan radikal bebas yang menyebabkan penuaan. Selain itu juga, vitamin A berfungsi untuk memelihara kesehatan kulit mencegah timbulnya penyakit kanker dan jantung koroner. Manfaat lainnya menghambat pertumbuhan sel kanker, mencegah penyumbatan arteri yang menyebabkan serangan jantung dan menurunkan risiko stroke (Fatmah 2010). Sumber vitamin A yang sudah terbentuk (performed) hanya terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran terutama berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga mengandung karetenoid provitamin A (Gibson 2005). Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan menimbulkan efek samping atau penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan jarang terjadi pada usia lanjut; sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons
kekebalan
yang
menurun
(sering
terkena
penyakit
infeksi),
terhambatnya perkembangan mental dan yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia (Fatmah 2010)
11
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melindungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, memperbaiki kualitas sperma dan mencegah penyakit gusi (Fatmah 2010). Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2000). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti nenas, rambutan, jeruk, pepaya, gandaria dan tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2004). Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan fungsinya pada sintesis kolagen menjadi terganggu dan akan tampak sebagai perdarahan terutama pada jaringan lunak seperti gusi. Gejala ini disebut sariawan (scurvy). Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C akan berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka (Fatmah 2010). Mineral Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2000). Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99%, berada di tulang dan gigi bersama fosfor membentuk kalsium fosfat, zat keras yang memberikan kekakuan pada tubuh. Kalsium juga hadir dalam serum darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting. Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem imunitas tubuh (Fatmah 2010).
12
Sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahan susu, seperti keju. Ikan dimakan dengan tulang termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan produk olahan kacang-kacangan seperti tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat fitat dan oksalat (Almatsier 2004). Zat besi atau Fe merupakan mineral makro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g di dalam tubuh dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun banyak terdapat di dalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan sistem kekebalan (Almatsier 2004). Zat besi dapat diperoleh dari daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung kadar tinggi besi heme. Sumber besi non-heme berasal dari nabati seperti kedelai, kacang-kacangan, sayuran daun hijau, dan rumput laut. Kekurangan zat besi pada lansia bisa menyebabkan anemia, karena bentuk sel yang kecil serta inti sel menjadi pucat karena kekurangan kromatin. Sedangkan kelebihan zat besi dapat berakibat fatal pada lansia yang menderita parkinson, hemosiderosis dan talasemia yang dapat menyebabkan kulit menjadi keputihan, penyimpanan besi pada hati, jantung, pankreas dan paru-paru (Fatmah 2010). Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Untuk menilai tingkat kecukupan makanan (untuk energi dan zat gizi), diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recomended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang diteliti. Untuk Indonesia, Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang digunakan saat ini secara nasional adalah hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII tahun 1998. Dasar pengajian Angka Kecukupan Gizi (AKG) didasarkan pada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas, kondisi khusus (hamil dan menyusui) (Supariasa et al. 2001). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kebutuhan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen (%).
13
Menurut Hardinsyah et al (2002) rumus perhitungan tingkat kecukupan secara umum adalah sebagai berikut : TKG i =
Ki x100% AKGi
Depkes (1996) mengkategorikan tingkat kecukupan ke dalam kategori defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (≥120%). Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77%) dan cukup (≥77%) (Gibson 2005). Aktivitas Fisik Lansia akan mengalami penurunan aktivitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktivitas yang menuntut ketangkasan fisik. Penurunan aktivitas fisik pada lansia harus diimbangi dengan penurunan asupan energi, hal ini untuk mencegah terjadinya obesitas. Jika asupan energi tidak diimbangi dengan penurunan kalori maka akan mengakibatkan keseimbangan kalori positif (kelebihan kalori) sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya serangan beberapa penyakit degeneratif (Wirakusumah 2001). Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Aktivitas fisik sangat penting bagi lansia. Dengan melakukan aktivitas
fisik,
maka
lansia
tersebut
dapat
mempertahankan
bahkan
meningkatkan derajat kesehatannya. Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang sesuai bagi lansia di Indonesia, di antaranya ketahanan (endurance), kelenturan (flexibility) dan kekuatan (strength) (Fatmah 2010). Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan dapat membantu jantung, paru-paru, otot dan sistem sirkulasi darah agar tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga, contoh: berjalan kaki, lari ringan, senam dan berkebun. Aktivitas yang bersifat kelenturan dapat membantu pergerakan menjadi lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur), dan membuat sendi berfungsi dengan baik, contoh: peregangan, senam taichi/yoga, mencuci pakaian dan mengepel lantai. Aktivitas yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja
14
otot tubuh dalam menahan suatu beban yang diterima, menjaga tulang tetap kuat dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis, contoh:
push up, naik turun tangga,
membawa belanjaan dan senam terstruktur dan terukur (fitness) (Fatmah 2010). Aktivitas fisik utama yang penting dalam meningkatkan kesehatan lansia adalah olahraga (Almatsier et al. 2011). Sebaiknya olahraga dilakukan dengan seimbang, baik dari lamanya berolahraga, intensitas (seberapa keras dilakukan), maupun seringnya (frekuensi) berolahraga. Intensitas akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan tubuh, sedangkan lama dan seringnya berolahraga sebaiknya dijaga selalu konstan ketika tingkat yang baik sudah tercapai (Fatmah 2010). Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan risiko kegemukan, diabetes melitus tipe II, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, osteoporosis, beberapa jenis kanker dan depresi. Aktivitas juga dapat memperpaiki kualitas hidup seseorang melalui peningkatan kebugaran dan perbaikan rasa sehat. Elemen/ unsur program gerak badan yang baik seperti aerobik 3-5 kali dalam seminggu selama
30-60
menit,
latihan
angkat
beban ringan, kelenturan
latihan
keseimbangan dan pelemasan otot untuk mempertahankan kelenturan tubuh (Komnas Lansia 2010). Namun, menurut Polloc et al. dalam Harris (2000) 60% orang dewasa di Amerika tidak melakukan olahraga secara rutin, 25% melakukan aktivitas fisik rendah. Tingkat aktivitas fisik setelah usia 75 tahun menurun seiring dengan peningkatan usia. hasil penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa aktivitas fisik lansia di Kota Bogor tergolong pada tingkat aktivitas fisik sangat ringan dan ringan, hanya 6,2% yang tergolong tingkat aktivitas sedang. Status Gizi Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada seseorang (Depkes 2003). Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku
15
yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2009). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga, yaitu survei konsumsi pangan, statistika vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2001). Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA) dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah pola distribusi lemak (Muis 2006). Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan tinggi badan karena kompresi vertebrata, kifosis dan osteoporosis. Pengukuran tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan pengukuran tinggi lutut atau pengukuran rentang lengan (Muis 2006). Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson 2005). Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) dalam Fatmah (2010) untuk digunakan sebagai predikor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Tinggi lutut diukur dengan sebuah caliper berupa tongkat pengukur yang dilengkapi dengan papan kayu untuk membentuk sudut 900. Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri yang dibengkokkan pada lutut. Salah satu ujung caliper diposisikan di bawah, di bagian tumit, sedangkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas bagian lutut. Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat
badan,
maka
mempertahankan
berat
badan
normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Indek masa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites dan hepatomegalia
16
(Supariasa et al. 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific Klasifikasi Underweight Normal Pre-obese Obese-I Obese-II
IMT (kg/m2) <18,5 18,5-22,9 23-24,9 25-29,9 >30
Sumber: WHO (2000) dalam PDGKI (2008)
Menurut Riyadi (2003) status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh asupan zat gizi dari makanan dan penyakit infeksi yang mengganggu proses metabolisme, penyerapan, dan penggunaan zat gizi oleh tubuh. Dengan kata lain status gizi merupakan keadaan kesehatan akibat proses interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Hasil survei Indeks Massa Tubuh (IMT) tahun 1995-1997 di 27 ibukota provinsi menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih mencapai 6,8% pada laki-laki dewasa dan 13,5% pada perempuan dewasa. Walaupun angka di atas tidak menunjukkan secara langsung jumlah usia lanjut yang mengalami kegemukan atau obesitas. Beberapa data juga menunjukkan bahwa lebih daripada 28% usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal (Depkes 2003). Status Kesehatan Status Kesehatan dapat dicerminkan oleh variabel morbiditas dan status gizi. Morbiditas meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberikan indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Alat tersebut adalah indikator kesehatan yang dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan
17
kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan (Depkes 2007). Menurut Sediaoetama (2006) salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung yaitu morbiditas (angka sakit), mortalitas dan berat lahir bayi yang rendah. Seiring dengan peningkatan usia, timbul masalah-masalah yang tidak dijumpai pada usia muda seperti gangguan kesehatan, gangguan kejiwaan dan gangguan adaptasi sosial. Hal ini disebabkan oleh proses menua sebagai akibat berubahnya kualitas kebutuhan pokok sebagai manusia yang berjalan kurang seimbang. Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita. (Astawan dan Wahyuni 1989). Jenis-jenis penyakit yang umum diderita lansia Indonesia adalah penyakit kardiovaskuler, TBC paru, gangguan pernapasan dan penyakit yang timbul karena infeksi. Pada masa yang akan datang, penyakit lansia akan berubah dari infeksi menjadi penyakit degeneratif yang memerlukan pelayanan kesehatan yang sempurna dan biaya mahal (Patmonodewo, dkk 2001). Namun, menurut Muis et al (1992) penyakit yang umum diderita oleh lansia yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, sendi dan tulang serta endokrin dan metabolik. Depkes (2003) menambahkan bahwa penyakit atau gangguan kesehatan pada usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif,
seperti
penyakit
hipertensi,
diabates
melitus,
osteoporosis,
demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagiannya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, TBC), infeksi saluran kemih, infeksi kulit. Penelitian epidemiologik berhasil mengidentifikasi berbagai faktor risiko bagi kejadian penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar faktor risiko tersebut berasal dari pola konsumsi bahan-bahan makanan tertentu oleh segment penduduk, maupun bangsa tertentu pula (Muis et al 1992). Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. Kurang gizi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan dan masalah jantung, tekanan luka, kematian dini dan gangguan multi organ (Azad 2002). Hasil penelitian Puspitasari (2010)
18
pada lansia peserta home care dan bukan home care yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dan status kesehatan (r=-0,289; p<0,05). Penyakit salah gizi merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di sisi lain keberadaan penyakit akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami penyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi (Soehardjo 2008).