5
TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Pada usia sekolah dasar diharapkan memperoleh dasar pengetahuan sebagai bekal penyesuaian pada kehidupan selanjutnya. Sebutan lain untuk anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasi untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion 1991). Golongan anak usia sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah, sehingga waktu makan pagi (sarapan) sering dilupakan. Sarapan sangat perlu diperhatikan untuk mencegah hipoglikemia dan agar anak lebih mudah untuk menerima pelajaran (Almatsier 1994). Pada permulaan usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah, dengan demikian anak ini mulai masuk kedalam dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya, dan dia mulai mengenal suasana dan lingkungan baru dalam hidupnya. Hal ini tentu saja banyak mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman-pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut kalau terlambat tiba disekolah, menyebabkan anak ini sering meyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan kepada mereka (Moehji 1980) . Anak-anak usia SD 6-12 tahun adalah kelompok yang memiliki interaksi yang intensif dengan lingkungan sekolah, teman, media massa dan program pemasaran perusahaan. Mereka pada dasarnya memiliki karakter yag sangat mudah terpengaruh oleh lingkungannya termasuk dalam memilih makanan. Anak-anak belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilih makanan yang baik bagi mereka, sehingga belum menjadi konsumen yang kritis dan bijaksana, mereka akan mudah menerima dan menyukai makanan yang juga disukai teman-temannya (Sumarwan 2007). Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita. Karena kelompok umur sekolah ini sudah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun oleh kelompok swasta berupa program suplementasi makanan tambahan di sekolah atau program makan siang sekolah (School Lunch Program). Kelompok sekolah ini merupakan kelompok
6
yang mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya (Sediaoetama 2008). Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari berperan besar untuk kehidupan anak tersebut. Untuk dapat memenuhi dengan baik dan cukup, ternyata ada beberapa masalah yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi untuk anak. Contoh masalah gizi masyarakat mencakup berbagai defisiensi zat gizi atau zat makanan. Seorang anak juga dapat mengalami defisiensi zat gizi tersebut yang berakibat pada berbagai aspek fisik maupun mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat, jangka pendek dan jangka panjang serta dapat dicegah oleh masyarakat sendiri sesuai dengan klasifikasi dampak defisiensi zat gizi antara lain melalui pengaturan makan yang benar (Santoso 2004). Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 2007). Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan atau gizi (Suharjo 1989). Menurut Pranadji (1994), pengetahuan mengenai jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsi pada diri anak-anak, sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan terhadap makanan yang diperolehnya melalui pendidikan baik di sekolah maupun di rumah. Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: (1) Status gizi yang cukup adalah penting untuk kesehatan dan kesejahteraan. (2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan
yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan energi. (3) Ilmu gizi memberikan fakta-
7
fakta yang diperlukan sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan. Pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan mengenai pangan, sikap terhadap pangan, dan kebiasaan makan sehari-harinya. Tercukupinya kebutuhan gizi individu merupakan hasil akhir yang diharapakan akan meningkatnya pengetahuan, sikap dan keterampilan gizi (Pranadji 1988). Anak sekolah perlu diajar memilih dan menikmati bermacam-macam bahan pangan secara baik dan memberi pengertian adanya hubungan antara pangan dengan pertumbuhan badan serta kesehatan. Dengan demikian setelah menguasai pengetahuan tersebut siswa akan senantiasa menjaga kesehatan dan juga status gizinya, memiliki kebiasaan pangan yang baik, bersikap positif terhadap pangan-pangan bergizi, mempunyai keterampilan gizi serta mampu berperan sebagai “Agent of change” terhadap kebiasaan makan keluarganya (Pranadji 1991). Pengukuran
pengetahuan
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Instrumen ini merupakan bentuk test objektif yang paling sering digunakan. Kelebihan multiple choice test ini adalah bahwa bentuk soal ini mempunyai reliabilitas yang tinggi. Adanya opsi jawaban sebanyak empat butir pilihan mengurangi kesempatan menebak. Kelemahannya adalah tes ini hanya mengukur apa yang diketahui /dipahami oleh responden (Khomsan 2000). Sikap Sikap dapat diartikan sikap terhadap objek tertentu yang merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan kecendrungan untuk bertindak sesuai dengan objek atau sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal (Gerungan 1996). Sikap belum merupakan suatu tindakan akan tetapi masih merupakan suatu pre-disposisi tingkah laku. Sikap dalam hal ini adalah suatu kecendrungan untuk bereaksi terhadap stimulus yang menghendaki adanya respon yang didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu. Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoadmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu subjek.
8
3. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo 2007). Tingkatan sikap antara lain :
Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
Merespon (responding) Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Ciri-ciri sikap adalah :
Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.
Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaankeadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap orang itu.
Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek.
Objek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuanpengetahuan yang dimiliki oleh orang. Sikap dapat dibentuk atau berubah melalui 4 macam cara :
Adopsi : kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi berulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.
9
Diferensiasi
:
dengan
berkembangnya
intelegensi,
bertambahnya
pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadi nya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya.
Integrasi : Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan sautu hal tertentu.
Trauma : Adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang bersangkutan (Purwanto 1998). Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan secara langsung, maupun
tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung adalah dengan menanyakan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung, dapat dialakukan dengan pernyatan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan kepada responden (Notoatmodjo 2007). Praktik Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (cover behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi sutu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain (Notoatmodjo 2007). Praktik terdiri atas berbagai tingkatan yaitu sebagai berikut: Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama. Respon terpimpin (Guided Respons) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. Mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah melakukan Sesutu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
10
Adaptasi (Adaptation) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah di modifikasinya sendiri tanpa mengurangi tindakannya tersebut. Kebiasaan Makan Kebiasaan adalah pola perilaku yang diperoleh dari praktek yang terjadi berulang-ulang. Sedangkan kebiasaan makan adalah suatu pola perilaku konsumsi pagan yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan juga
dikaitkan
dengan
cara
individu
dan
kelompok
individu
memilih,
mengkonsumsi menggunakan makanan yag tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor psikologik dan sosial, budaya dimana ia hidup (Harper, Deaton dan Driskel 1986). Selain itu, menurut Khumaidi (1989) kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Kebiasaan makan terbentuk dari empat komponen yaitu (1) Konsumsi makanan
(pola konsumsi), meliputi jumlah, jenis frekuensi, dan proporsi
makanan yang dikonsumsi atau komposisis makanan; (2) Preferensi terhadap makanan. Mencakup sikap terhadap makanan (suka atau tidak suka terhadap makanan); (3) ideologi atau pengetahuan terhadap makanan, terdiri atas kepercayaan dan tabu terhadap makanan; dan (4) sosial budaya makanan, meliputi umur, asal pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian atau pekerjaan, luas pemilikan lahan dan ketersediaan makanan (Sanjur 1982). Menurut Suhardjo (2003), dalam hubungannya dengan perubahan kebiasaan makan, pendidikan gizi sangat diperlukan, karena dapat membentuk sikap mental dan perilaku positif terhadap gizi. Bentuk penerapan dari kebiasaan makan adalah perilaku konsumsi makan. Perilaku konsumsi makan seperti halnya perilaku lainnya pada diri seseorang, satu keluarga atau masyarakat dipengaruhi oleh wawasan dan cara pandang dan faktor lain yang berhubungan dengan tindakan yang tepat. Oleh karena itu apabila ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu, berkaitan dengan informasi tentang makanan dan gizi yang diterimanya dari berbagai sumber (Notoatmodjo 2007).
11
Kebiasaan Sarapan Pengertian Sarapan Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari. Alasan remaja tidak sarapan pagi yaitu tidak sempat atau terburu-buru, merasa waktu sangat terbatas karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat bangun pagi, tidak ada selera makan, maupun ingin diet supaya berat badan bisa cepat turun (Khomsan 2005). Menurut berbagai kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali dalam sehari. Tidak mungkin seseorang apalagi anak-anak, memenuhi kebutuhan gizinya hanya dari satu atau dua kali makan setiap hari. Secara kuantitas dan kualitas kalau hanya satu atau dua kali makan setiap hari, maka konsumsi pangan anak-anak mungkin sekali kurang, karena keterbatasan kapasitas lambungnya. Namun demikian pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang frekuensi makannya kurang dari tiga kali sehari. Waktu makan yang sering ditinggalkan oleh anak pada umumnya adalah makan pagi (Madanijah 1994). Berdasarkan hasil penelitian gizi pada anak SD di Bogor dan Jakarta tahun 1998, 90% anak SD menyatakan dirinya melakukan sarapan pagi sebelum berangkat kesekolah. Tetapi setelah ditanya ulang dengan pertanyaan yang lebih rinci, ternyata hanya 55% dari anak yang menyatakan dirinya melakukan sarapan pagi. Mereka mengartikan makan pagi apabila makan nasi dengan lauk pauk yang diperkirakan memberikan 20-30% kebutuhan energi untuk sehari (Soekirman 2000). Manfaat Sarapan Khomsan (2005) menegaskan bahwa dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00 namun waktu ini bukan acuan keharusan. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi. Sedangkan menurut Martianto (2006), sarapan dilakukan teratur setiap hari pukul 06.00-09.00. Idealnya sarapan memenuhi seperempat hingga setengah kebutuhan energi dan zat gizi sehari. Ada dua manfaat yang bisa diambil dari sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Dengan kadar gula darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk
12
meningkatkan produktivitas. Kedua, pada dasarnya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh, seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat juga untuk berfungsinya proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2005). Melewatkan sarapan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa, sehingga akan menimbulkan rasa pusing, gemetar, dan rasa lelah. Dengan demikian, dapat menurunkan gairah belajar, kecepatan reaksi, serta kesulitan dalam menerima pelajaran dengan baik. Padahal, fungsi glukosa adalah sebagai sumber energi utama bagi otak. Jika hal ini terjadi, maka tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada di jaringan lemak tubuh (Khomsan 2005). Tidak mengkonsumsi makanan di waktu pagi hari dapat menyebabkan kekosongan lambung selama 10 -11 jam, karena makanan terakhir yang masuk ke tubuh jam 19.00 (Khomsan 2005). Hal ini berarti kurang lebih jam 22.00, semua makanan sudah meninggalkan lambung. Sekiranya dalam waktu tidur, sama sekali kita tidak mengeluarkan energi (tidak ada pembakaran) sehingga kadar glukosa masih bisa dipertahankan. Tetapi, keadaan yang sebenarnya tidaklah demikian, walaupun dalam keadaan tidur masih terjadi pembakaran untuk menghasilkan energi. Hal ini berfungsi untuk menggerakkan jantung, paruparu, dan alat-alat fungsional lainnya. Pembakaran ini tentu akan mempengaruhi kadar glukosa darah, sehingga pada waktu bangun pagi kadar glukosa sudah berada pada batas minimal yang ditandai dengan timbulnya rasa lapar (Moehji 1992). Martianto (2006) menjelaskan bahwa kadar glukosa darah anak yang tidak terbiasa sarapan lebih rendah dibandingkan dengan anak yang sarapan. Glukosa darah adalah satu-satunya penyalur energi bagi otak untuk bekerja optimal. Bila glukosa darah anak rendah, terutama bila sampai dibawah 70 mg/dl (hipoglikemia), maka akan terjadi penurunan konsentrasi belajar atau daya ingat, tubuh melemah, pusing dan gemetar. Manfaat lain dari sarapan adalah mengurangi kemungkinan jajan di sekolah dan mengurangi risiko intik bahan tambahan makanan berbahaya, seperti zat pewarna, pengawet, pemanis, penyedap, dan sebagainya. Sarapan bergizi seimbang dan cukup mengandung karbohidrat kompleks dari serealia juga akan mengurangi kemungkinan makan siang dan malam lebih banyak (Martianto 2006).
13
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kebiasaan sarapan Menurut Madanijah (1994), faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan kebiasaan makan pagi anak sekolah dasar adalah pendidikan formal orang tua (ayah atau ibu), pengetahuan gizi ibu, dan pola kebiasaan makan keluarga. Dengan pendidikan formal orang tua yang tinggi disertai pengetahuan gizi ibu yang baik maka anak akan memperoleh pembinaan kebiasaan yang baik pula. Selanjutnya kebiasaan makan pagi yang dilakukan dalam keluarga dan merupakan pola kebiasaan makan keluarga, berhubungan dan berpengaruh terhadap kebiasaan makan pagi anak sekolah. Hal ini karena biasanya anak mencontoh perilaku makan yang biasa dilakukan dalam keluarganya. Menurut Khumaidi (1994) dalam Rohayati (2001), faktor
yang
mempengaruhi sarapan pagi yaitu faktor ekstrinsik (lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi) dan faktor intrinsik yang terdiri dari asosiasi emosional, keadaan jasmani, kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan. Kebiasaan tidak sarapan dapat disebabkan antara lain karena tidak ada nafsu makan, terbiasa tidak sarapan pagi, dan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukannya. Selain itu dapat juga disebabkan oleh hidangan yang tampak kurang menarik sehingga tidak dapat menimbulkan selera makan (Efendi 1993 dalam Andri 2007). Jenis makanan sarapan Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan dan akan lebih baik bila terdiri dari makanan sumber tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang. Khomsan (2005) menjelaskan bahwa bila sarapan dengan aneka ragam pangan, yang terdiri dari nasi, sayur/buah, lauk pauk dan susu, dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral. Dari hasil penelitian Hermina et all di desa Ciheuleut pada tahun 2000, menyebutkan ada sebagian murid (35.0%) membeli sendiri makanan jajanan disekolah dan dikonsumsi sebelum masuk kelas (pukul 06.00-07.00), jenis makanan yang dikonsumsi untuk sarapan biasanya berupa bubur nasi, nasi uduk, bihun goreng, buras/lontong, dan gorengan. Namun bagi murid yang tidak tahu memilih makanan jajanan untuk sarapannya, makanan yang mereka pilih pada pagi hari adalah cilok, es atau chiki dan sejenisnya yang kandungan energinya sangat rendah dan kurang baik bagi kesehatan anak.
14
Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Status gizi seseorang tersebut dapat diukur dan dinilai. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik ataukah tidak baik (Riyadi 2006). Status gizi merupakan gambaran mengenai keseimbangan antara asupan dengan kebutuhan zat-zat gizi untuk proses tumbuh kembang anak. Anak yang keadaan gizi baik cenderung lebih mempunyai daya tahan terhadap infeksi, lebih bersemangat, lebih cerdas, lebih tekun dan lebih mampu untuk bekerja keras daripada anak yang kurang gizi, sebaliknya anak yang kurang gizi cenderung mudah terkena infeksi, efisiensi kerja menurun dan pertumbuhan terhambat serta perubahan perilaku karena kerusakan struktur jaringan (Nursyantu et al 1992). Status gizi adalah merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut. Status gizi seseorang juga merupakan keadaan kesehatan sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaan oleh tubuh. Untuk menentukan status gizi seseorang atau sekelompok penduduk atau masyarakat perlu dilakukan pengukuran untuk menilai berbagai tingkat kurang gizi yang ada. Pengukuran yang dipakai biasanya menunjukan kepada indikator atau parameter yang beragam sebagai indeks untuk menunjukan tingkat status gizi dan kesehatan yang berbeda (Suhardjo 2003). Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Ditinjau dari sudut pandang epidemiologi masalah gizi sangat dipengaruhi oleh faktor penjamu, agens dan lingkungan. Faktor penjamu meliputi fisiologi, metabolisme dan kebutuhan zat gizi. Faktor agen meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral sedangkan faktor lingkungan meliputi bahan makanan, pengolahan, penyimpanan, higiene dan sanitasi makanan (Supriasa 2002).
15
Menurut Almatsier (2001) faktor yang menyebabkan gangguan gizi ada dua yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer adalah susunan makanan seseorang salah dalam kualitas dan kuantitasnya disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak
sampai
ke
sel-sel
tubuh,
setelah
makanan
dikonsumsi
karena
tergantungnya pencernaan adanya infeksi juga memperburuk taraf gizi yang buruk akibat infeksi tersebut akan kemampuan anak untuk melawan infeksi tersebut sehingga menyebabkan akibat fatal yaitu kematian (Moehji 1992).