5
TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Dasar Hurlock (1980) menyebutkan bahwa para pendidik memberi label terhadap akhir masa anak-anak (late childhood) sebagai usia sekolah dasar. Usia ini berlansung dari usia enam hingga tiba saat anak menjadi matang secara seksual, yaitu usia 13 tahun untuk perempuan dan 14 tahun untuk laki-laki. Demikian halnya dengan Sumarwan (2002) yang juga menggolongkan anak usia 6-12 tahun ke dalam golongan atau kelompok anak usia sekolah. Suryabrata (1982) membagi anak Sekolah Dasar menjadi dua kelas, yaitu kelas rendah yang berusia 6-9 tahun dan kelas tinggi yang berusia 10-12 tahun. Hidayat (2004) menambahkan bahwa anak usia enam tahun ke atas (usia sekolah) terbagi dalam masa pra remaja (6 – 10 tahun) dan masa remaja (10 – 18 atau 20 tahun). Pada masa sekolah pertumbuhan dan perkembangan anak akan mengalami proses percepatan pada usia 10 – 12 tahun. Secara umum, pada usia ini aktifitas fisik pada anak semakin tinggi dan memperkuat kemampuan
motoriknya.
Kemampuan
kemandirian
anak
akan
semakin
dirasakan dimana lingkungan luar rumah dalam hal ini adalah sekolah cukup besar, sehingga beberapa masalah sudah mampu diatasi dengan sendirinya dan anak sudah mampu menunjukkan penyesuaian diri dengan lingkungan yang ada, rasa tanggung jawab dan percaya diri dalam tugas sudah mulai terwujud sehingga dalam menghadapi kegagalan maka anak seringkali dijumpai reaksi kemarahan atau kegelisahan. Perkembangan kognitif, psikososial, interpersonal, psikoseksual, moral, dan spiritual sudah mulai menunjukkan kematangan secara khusus, pada masa ini anak banyak mengembangkan kemampuan interaksi sosial, belajar tentang nilai moral dan budaya dari lingkungan keluarga serta mulai mencoba mengambil bagian dari keluarga atau berperan. Selain itu juga terjadi perkembangan konsep diri, ketrampilan membaca, menulis serta berhitung, dan belajar menghargai di sekolah. Tahapan perkembangan anak menurut teori perkembangan Piaget dalam Hidayat (2004) dibagi menjadi 4 tahapan sebagai berikut: 1. Tahap sensori motor (usia 0 – 2 tahun) 2. Tahap pra operasional (usia 2 – 7 tahun) 3. Tahap kongkrit (usia 7 – 11 tahun) 4. Tahap formal operasional (lebih dari usia 11 tahun)
6
Berdasarkan tahapan tersebut, maka anak usia 7 – 11 tahun berada pada tahapan perkembangan kongkrit dimana pada tahap ini anak sudah mulai memandang realistis dari dunianya serta mempunyai anggapan yang sama dengan orang lain, sifat egosentrik anak sudah mulai hilang sebab anak mempunyai pengertian tentang keterbatasan diri sendiri. Sifat pikiran anak sudah mempunyai dua pandangan (reversibilitas). Reversibilitas merupakan cara memandang dari arah yang berlawanan atau berkebalikan. Sifat realistik anak belum sampai ke dalam pikiran dalam membuat konsep atau hipotesa. Anak-anak lebih mudah dididik pada usia Sekolah Dasar dibandingkan dengan anak usia sebelum atau sesudahnya. Oleh sebab itu, sangat tepat jika pada siswa SD ditanamkan dasar-dasar pengetahuan gizi dan kebutuhan makanan yang baik. Anak-anak usia Sekolah Dasar perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena berada pada masa pertumbuhan yang cepat dan sangat aktif. Karena itu, mereka membutuhkan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi baik dari segi kuantitas maupun kualitas (Wirakusumah & Pranadji 1989). Selain itu, anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian lebih dalam hal pembinaan dan pengembangan mengenai cara-cara berpengetahuan, bersikap, dan bertindak dalam pemilihan makanan, baik selama mereka berada di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Preferensi Pangan Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, dan memakan makanan. Adat istiadat menentukan preferensi seseorang terhadap makanan (Suhardjo 1989). Latar belakang sosial budaya mempengaruhi pemilihan jenis pangan melalui dua cara yaitu informasi mengenai gizi dan preferensi. Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Pengukuran terhadap preferensi pangan dilakukan dengan menggunakan skala, dimana responden ditanya untuk dapat mengindikasikan seberapa besar dia menyukai pangan berdasarkan kriteria. Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi sangat tidak suka, tidak suka, netral, suka, dan sangat suka. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka maupun tidak suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya terhadap
7
makanan, yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka preferensinya (Sanjur 1982). Preferensi memainkan suatu peran penting di dalam menjelaskan pola makanan anak-anak, sebagaimana kaitannya dengan penerimaan makanan (Birch & Fischer 1998). Riset menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan pilihan makanan mereka seiring dengan pertumbuhan mereka dan paparan terhadap berbagai karakteristik makanan, antara lain tekstur, rasa dan bumbu (Birch
1999).
Skinner,
et
al.
(1998)
menambahkan
anak-anak
juga
mempelajarinya dari model atau contoh dalam keluarga, orang tua dan saudara kandung, serta dari apa yang mereka alami di rumah, di sekolah bersama temanteman mereka. Preferensi pangan adalah pemilihan satu makanan terhadap makanan lain. Pada anak-anak preferensi pangan kebanyakan dipengaruhi oleh kegemaran pribadi, uang dan pengetahuan mereka tidak diterapkan dalam pemilihan pangan. Maka apa yang dipilih oleh seorang anak untuk dimakan pada umumnya apa yang ia sukai dan apa yang ia inginkan. Preferensi pangan berkembang sangat awal, bahkan sejak dalam kandungan tergantung pada diet ibu (Anonim 2008). Berbagai macam pilihan (preferensi) makanan merupakan hasil interaksi dari kondisi-kondisi saling mempengaruhi yang berbeda, apa yang dipilih seorang anak untuk dimakan atau apa yang membuat makanan menjadi bagian dari konsumsi anak sehari-hari adalah kumpulan atau hasil interaksi dari beberapa faktor, antara lain: keturunan (genetik), budaya, serta status sosial dan ekonomi. Hal Ini merupakan suatu titik kritis sebab pilihan makanan dapat mempunyai konsekuensi kekal, artinya pilihan makanan dibentuk sejak dini dan akan tetap berlaku untuk mempengaruhi preferensi makanannya saat dewasa; sehingga apa yang dipelajari seorang anak pada tahun awal kehidupannya dapat membangun berbagai macam pilihan makanan pada saat dewasa. Inilah alasan kenapa
membentuk
pilihan
makanan
sejak
dini
dalam
hidup
dapat
mempengaruhi kesehatan suatu generasi untuk seumur hidup mereka (Anonim 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi Preferensi Pangan Anak Bass, Wakelfield dan Kolasa (1980) dalam Pradnyawati (1997) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan yaitu; 1) ketersediaan makanan di suatu tempat, 2) pembelian makanan untuk anggota
8
keluarga yang lain, khususnya orang tua, 3) pembelian makanan dan penyediaannya yang mencerminkan hubungan kekeluargaan dan budaya, 4) rasa makanan, tekstur, dan tempat. Selain itu, menurut Soesanto (1988) diacu dalam Pradnyawati (1997), pengalaman seseorang yang menjadi landasan dalam membeli makanan tertentu yang disukainya bersumber pada beberapa faktor antara lain enak, menyenangkan, memberikan status, tidak membosankan, berharga murah, mudah didapat dan diolah. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan, sehingga akan membatasi pilihan pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto & Ariani 2004). Selain itu, Hartog, Staveren, dan Brouwer (1995) juga menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Penelitian Rita (2002) mengenai Preferensi Konsumen terhadap Pangan Sumber Karbohidrat non-beras menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara besar keluarga dengan preferensi konsumen terhadap beberapa pangan sumber karbohidrat non-beras Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya berpengaruh kepada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati, Damanhuri, dan Fachrurozi 1992). Pranadji (1995) menambahkan bahwa pengetahuan mengenai jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsi pada diri anak-anak sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan terhadap makanan yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah maupun dirumah. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan anak-anak, diantaranya tiga faktor yang paling penting adalah ketersediaan pangan, pola sosial, dan faktor-faktor pribadi. Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan penting
yang
menentukan
konsumsi
pangan
keluarga.
Individu
yang
berpengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan
9
pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengetahuan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi lebih terjamin. Pengetahuan gizi diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan dan terdapat kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari aspek kehidupan (Pranadji 1988). Lebih lanjut Pranadji menjelaskan bahwa materi yang dipelajari dalam pendidikan informal meliputi keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai dan cara hidup pada umumnya dan dikategorikan baik secara sosial maupun ekonomis misalnya pergaulan di lingkungan keluarga, teman maupun di masyarakat. Pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice). Instrumen ini merupakan bentuk pertanyaan ataupun melanjutkan pertanyaan yang belum selesai. Tingkat pengetahuan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu baik, sedang dan kurang (Khomsan 2000). Preferensi konsumsi pangan dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi (Variyam & Blayblock 1998). Menurut Sajogjo yang diacu dalam Marud (2008) faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan makan keluarga. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Menurut Suhardjo (1986), pada umumnya jika pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis pangan akan membaik. Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan oleh tubuh. Dengan demikian, kondisi ini menyebabkan keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin, karena dengan keterbatasan uang itu menyebabkan tidak banyaknya pemilihan dalam hal makanan (Madihah 2002 dalam Ulfah 2008).
10
Penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya antara lain yang dilakukan oleh Cooke dan Wardle (2005) terhadap 1291 orang anak yang berusia 4 sampai 16 tahun di Inggris. Penelitian ini menggunakan desain crosssectional study dan pengumpulan data dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar (di dalam kelas) menggunakan kuesioner yang meliputi 115 jenis pilihan makanan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perempuan menunjukkan tingkat kesukaan yang lebih besar terhadap buah (p<0.05) dan sayur (p<0.001) dibandingkan laki-laki, sedangkan kelompok laki-laki sendiri menunjukkan tingkat kesukaan yang lebih besar terhadap kategori makanan berlemak dan bergula (p<0.005), daging (p<0.001), olahan daging (p<0.001), dan telur (p<0.05) dibandingkan perempuan. Berdasarkan perbandingan usia dan jenis kelamin, tingkat kesukaan anak-anak yang paling tinggi adalah terhadap kategori makanan berlemak dan bergula, meskipun demikian tingkat kesukaan terhadap buah juga tinggi. Pérez-Rodrigo,
Ribas,
Serra-Majem,
dan
Aranceta
(2003)
juga
melakukan penelitian serupa dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara keseluruhan menurut usia dan jenis kelamin, pisang dan apel adalah buah yang paling disukai oleh anak-anak dan dewasa muda di Spanyol. Pada kelompok sayuran, saus tomat dan aneka salad terutama salad selada dan tomat memiliki skor tertinggi, diikuti oleh wortel untuk semua umur dan jenis kelamin. Sebanyak 47% (95% CI 46-48%) sampel dilaporkan tidak menyukai sayuran dan 5.7% (95% CI 4.9-6.5%) sampel tidak menyukai buah. Proporsi individu yang mengkonsumsi buah dan sayur rendah secara signifikan masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan tidak menyukai sayur (x2=127.69; p<0.001); buah (x2=24.62; p<0.001); atau keduanya (x2=81.53; p<0.001). Terdapat hubungan yang signifikan antara kesukaan/ketidaksukaan terhadap buah dan sayur dengan kebiasaan mengkonsumsi kelompok ini pada anak-anak dan dewasa muda di Spanyol. Penelitian Caine-Bish dan Scheule (2007) dilakukan terhadap 1818 pelajar kelas 3 hingga kelas 12 di salah satu sekolah di daerah Ohio. Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan rendahnya preferensi terhadap sayuran. Sebaliknya, anak-anak menunjukkan tingkat kesukaan yang tinggi terhadap beberapa produk susu dan turunannya. Hasil uji statistik pada penelitian Rita (2002) menunjukkan preferensi konsumen terhadap poduk pangan sumber karbohidrat non-beras dipengaruhi
11
oleh persepsi rasa (pada semua komoditi), pengetahuan gizi (pada komoditi singkong dan jagung), pendidikan (pada komoditi kentang dan sukun), besar keluarga (pada komoditi sukun), dan status pekerjaan (pada komoditi singkong), sedangkan
frekuensi
konsumsi
pangan
sumber
karbohidrat
non-beras
dipengaruhi oleh preferensi konsumsi (pada komoditas kentang, sukun, ubi, dan pisang), persepsi terhadap harga (pada komoditas singkong, talas, dan jagung), pengetahuan gizi (pada komoditas talas dan pisang), pendidikan (pada komodias talas dan pisang, status pekerjaan (pada komoditas sukun), dan persepsi terhadap harga (pada komoditas sukun). Pengambilan contoh pada penelitian Krisnandika (2003) dilakukan secara purposif dengan metode kuota sampling. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan dengan merk minyak goreng yang sering dibeli. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi jenis minyak goreng yang sering dibeli contoh. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi dengan jenis minyak goreng yang dipilih. Tingkat pendapatan tidak memiliki hubungan nyata dengan merk minyak goreng yang dipilih. Dari beberapa analisis hubungan pada penelitian Anjarwati (1998) menunjukkan bahwa pada mahasiswa asrama terlihat ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan alasan preferensi yaitu harga mie instan (p<0.05). berdasarkan jenis kelamin, maka khususnya pada mahasiswa laki-laki menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan gizi dengan alasan preferensi yaitu mencakup kepraktisan dan kemudahan mendapatkan mie instan (berturut-turut p<0.01; p<0.05).