TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekologi Mata pencaharian dapat dilihat dari corak kehidupan penduduk setempat berdasarkan
lingkungan
tempat
tinggalnya.
Kehidupan
penduduk
dapat
dibedakan menjadi dua corak yaitu corak kehidupan tradisional (sederhana) dan corak kehidupan modern (kompleks). Mata pencaharian penduduk Indonesia yang memiliki corak modern sederhana biasanya sangat berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam seperti pertanian, perkebunan dan peternakan juga perikanan. Sementara, mata pencaharian penduduk yang memiliki corak modern biasanya lebih mendekati sektor-sektor yang tidak terlalu berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam biasanya mencakup sektor di bidang jasa, perindustrian, transportasi dan pariwisata. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia mengarah ke sektor bercocok tanam seperti pertanian dan perkebunan. Selain bercocok tanam, sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di dataran rendah (daerah pantai) mata pencaharian mereka mengarah ke sektor kelautan. Para nelayan memanfaatkan kekayaan bawah laut Indonesia sebagai sumber mata pencahariannya. mengarah
Sedangkan, mata pencaharian
kepada
sektor
pembangunan,
penduduk
perindustrian
di perkotaan
transportasi
dan
pariwisata (Purnama 2010). Anak Sekolah Dasar Anak sekolah dasar pada umumnya berusia antara 6-12 tahun. Hurlock (1980) mengelompokkan anak usia sekolah berdasarkan perkembangan psikologis yang disebut sebagai Late Childhood. Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun. Pada masa ini anak dalam masa pertumbuhan yang cepat dan kegiatan fisik yang aktif. Tetapi semenjak umur 6 tahun laju pertumbuhan anak mulai melambat. Pada mulanya perbedaan laju pertumbuhan anak laki-laki dan perempuan sedikit sekali berbeda. Namun pada umur 9 tahun rata-rata berat badan wanita umumnya lebih tinggi dibandingkan berat badan pria pada usia yang sama. Tinggi badan pada usia ini relatif sama. Pada usia 10 tahun, rata-rata tinggi badan wanita lebih tinggi 1 cm dibanding dengan rata-rata tinggi badan pria (Hardinsyah & Martianto 1992). Pada umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga
5
membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai menstruasi, sehingga memerlukan protein dan zat besi yang lebih banyak. Golongan anak ini disebut juga golongan anak sekolah, yang biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Menurut Harper, Deaton, dan Driskel (1986), meskipun laju pertumbuhan anak usia sekolah sebagian besar lebih kecil dibandingkan dengan selama masa sebelumnya, tetapi anak sekolah masih membutuhkan makanan yang lebih banyak daripada orang dewasa. Hal ini diperlukan untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik anak sekolah, selain itu juga untuk melindungi anak dari penyakit infeksi dan penyakit menular. Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Selain itu besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Hal ini disebabkan oleh besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi di dalam satu keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin, adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989). Dengan kata lain anak yang tinggal dengan jumlah anggota keluarga yang besar, mempunyai risiko yang tinggi mengalami gizi buruk. Kondisi keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak akan sangat membantu anak untuk tumbuh dan berkembang secara normal
6
(Tjokrowinoto et al. 1984 dalam Muldiana 2003). Kondisi keluarga ini berupa karakteristik sosial ekonomi keluarga yang terdiri dari pendidikan, besar keluarga, pekerjaan dan pendapatan. Menurut Mokoginta (2001) besar keluarga dihipotesiskan mempengaruhi status gizi dari keluarga melalui: a) meningkatkan persaingan untuk sumberdaya keluarga yang terbatas, terutama yang berhubungan dengan pangan, b) meningkatnya penularan penyakit yang dapat ditularkan karena kondisi tidur dan hidup padat, dan c) keterbatasan waktu dan energi yang dimiliki ibu untuk merawat tiap anggota keluarga tersebut. Pendidikan Pendidikan orangtua merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap status gizi. Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi (Suhardjo 1996). Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan prilakunya dalam kehidupan seharihari. Orangtua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan (Rahmawati 2006). Berg (1986) menambahkan tingkat pendidikan merupakan faktor
yang
mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Hasil penelitian Padmiari dan Hadi (2001), di Denpasar menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi, berisiko 1,3 kali untuk menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan dengan pendapatan yang rendah. Semakin tinggi pendidikan ayah, maka semakin tinggi pendapatan dan konsumsi pangan. Setiap orang membutuhkan pendidikan untuk pengembangan dirinya. Semakin
tinggi
pendidikan,
semakin
mudah
dalam
menerima
serta
mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan semakin mudah meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan keluarga. Rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang
dengan
tingkat
pendidikan
rendah
cenderung
lebih
miskin
dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh kepala keluarga yang lebih berpendidikan (Firdausy dan Pernia 1994 dalam Raharto dan Romdiati 2000). Menurut Sumarwan (2004) semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pekerjaannya yang memungkinkan seseorang memiliki kesadaran
7
yang lebih tinggi terhadap suatu hal. Tingkat pendidikan orang tua merupakan korelasi positif dengan cara mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga. Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995). Pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anaknya, semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, maka cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pendidikan biasanya sejalan dengan pengetahuan, semakin tinggi pengetahuan gizi, maka semakin baik dalam pemilihan bahan makanan. Pendapatan Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan maka
terjadi
perubahan-perubahan
dalam
susunan
makanan.
Jumlah
pendapatan keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan di keluarga, karena dengan pendapatan akan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan daya belinya (Suhardjo 1989). Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. 1992). Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga lainnya. Pendapatan keluarga akan relatif lebih besar jika suami dan istri bekerja di luar rumah (Susanti 1999). Secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan. Makin tinggi tingkat pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan, sehingga akan membawa pangan semakin beragam dan banyaknya pangan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh faktor pendapatan keluarga (Soekirman 1994). Pendapatan
keluarga
merupakan
faktor
tidak
langsung
yang
mempengaruhi konsumsi pangan, akan tetapi merupakan faktor penentu utama baik atau buruknya keadaan gizi seseorang atau kelompok (Riyadi 2001). Terdapat hubungan positif antara pendapatan dan status gizi (Subardja 2004).
8
Status Gizi Khumaidi (1994) mengatakan bahwa status gizi masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor kemiskinan, faktor sosial budaya, faktor pengetahuan dan pengertian gizi, serta pengadaan dan distribusi pangan. Unicef (1998) membagi faktor yang berpengaruh terhadap status gizi meliputi faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung terdiri dari konsumsi pangan dan status kesehatan dan infeksi. Sementara faktor tidak langsung meliputi ketersediaan pangan, higiene dan sanitasi lingkungan dan pengetahuan gizi ibu. Selanjutnya, Sediaoetama (1996) menyatakan bahwa status gizi dipengaruhi oleh konsumsi pangan bukan hanya dilihat dari segi kuantitas semata melainkan juga dari segi kualitas hidangan yang dikonsumsi. Penilaian status gizi digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan, antropometri, biokimia dan klinis. Pengukuran status gizi secara antropometri adalah pengukuran keadaan sebagai hasil penggunaan bahan makanan di dalam tubuh. Menurut Supariasa (2001) menyatakan bahwa antropomeri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit. Parameter antropometri tersebut digunakan sebagai dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Menurut Riyadi (2003), secara umum penilaian status gizi dengan cara antropometri memiliki beberapa kelebihan, yaitu: 1. Cara penggunaan sederhana, aman dan dapat digunakan pada ukuran sampel yang besar, 2. Peralatan yang digunakan tidak mahal, mudah dibawa (portable), tahan lama dan dapat dibuat atau dibeli secara lokal, 3. Cara pengukuran dapat dilakukan oleh petugas yang relatif tidak ahli, 4. Dapat mengidentifikasi keadaan gizi ringan, sedang dan buruk, 5. Dapat digunakan untuk melakukan pemantauan status gizi dari waktu ke waktu. Beberapa kekurangan penilaian status gizi secara antropometri, yaitu: 1. Relatif kurang sensitif,
9
2. Tidak dapat mendeteksi defisiensi zat gizi khusus, 3. Faktor-faktor non gizi, seperti penyakit dan genetik dapat mengurangi spesifisitas dan sensitivitas pengukuran. Antropometri sudah digunakan pada penilaian status gizi anak sekolah dan remaja dalam konteks yang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan. Tetapi sampai saat ini belum ada kriteria atau titik batas yang pasti yang berhubungan dengan aspek-aspek kesehatan atau risiko tertentu pada seseorang. Hanya ada beberapa informasi yang tersedia tentang hubungan antara antropometri remaja dengan risiko-risiko kesehatan masa lampau, sekarang atau masa mendatang (Riyadi 2001). Untuk mengukur status gizi anak di bawah lima tahun dan anak umur lima sampai sembilan belas tahun menggunakan z-skor. Tiga indeks yang dihitung dengan z-skor adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U). Berat Badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi gambaran massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi sehingga berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Sifat berat badan yang sangat labil tersebut sehingga indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi pada saat ini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight. Penggunaan indeks BB/U sebagai indeks status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian. Menurut Riyadi (2003) kelebihan indeks ini adalah: 1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, 2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek 3. Dapat mendeteksi kelebihan berat badan (overweight), 4. Pengukuran objektif dan kalau diulang memberikan hasil yang sama, peralatan dapat dibawa kemana-mana dan relatif murah, 5. Pengukuran mudah dilaksanakan dan teliti, 6. Pengukuran tidak memakan banyak waktu. Kekurangan indeks BB/U adalah: 1. Dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi bila terdapat odema,
10
2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok umur dibawah lima tahun (balita), 3. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak saat penimbangan, 4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat (misal orang tuanya tidak mau menimbangkan anaknya). Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. BB/U dipengaruhi oleh TB/U dan IMT/U. Kecukupan zat gizi pada anak usia sekolah tidak dibedakan menurut jenis kelamin, sedangkan kecukupan anak remaja dibedakan menurut jenis kelamin dan golongan umur (Riyadi 2003). BB/U dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi TB/U. Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat dapat menjadi tidak berarti jika penentu umur tidak tepat (Riyadi 2003). Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat (Supariasa et al. 2001). Menurut Riyadi (2001) IMT direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk kekurusan (thinness) dan overweight pada masa usia sekolah maupun remaja. BB/U dianggap tidak informatif atau menyesatkan bila tidak ada informasi
tentang
TB/U.
Pendekatan
konvensional
terhadap
kombinasi
penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh dianggap aneh dan memberikan hasil yang bias. IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk anak usia sekolah dan remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. IMT/U sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas. IMT merupakan indeks masa tubuh tunggal yang dapat diterapkan untuk mengukur kondisi kekurangan dan kelebihan gizi (Riyadi 2001). Penilaian status gizi dengan kombinasi dari ketiga indeks, yaitu berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur, dan indeks masa tubuh menurut umur, akan memperoleh hasil dengan tingkat validitas lebih baik. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Pada gilirannya zat gizi tersebut
11
menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan (Harper et al. 1985). Konsumsi pangan yang kurang atau lebih dari yang diperlukan tubuh dan berlangsung dalam jangka waktu lama akan berdampak buruk bagi kesehatan (Muhilal et al. 1988). Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2004, rata-rata kecukupan energi dan protein anak usia 4-6 tahun sebesar 1550 Kal dan 39 g, kelompok umur 7-9 tahun sebesar 1800 Kal dan 45 g, kelompok umur 10-12 tahun sebesar 2050 Kal dan 50 g. Metode “Recall” Metode recall (metode mengingat-ingat) umumnya digunakan untuk survey konsumsi secara kuantitatif di tingkat individu. Dalam metode ini, responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan, biasanya makanan sehari atau 24 jam yang lalu. Responden diminta untuk mengingat jenis masakan yang dimakan beserta jenis pangan penyusunnya. Jumlah makanan yang dicatat biasanya dalam bentuk masak (kecuali untuk makanan-makanan tertentu yang bisa dikonsumsi dalam bentuk segar dan mentah) dalam Ukuran Rumah Tangga (URT), misalnya gelas, mangkuk, sendok makan dan sebagainya. Untuk membantu mengestimasi jumlah makanan yang dimakan, deskripsikan dan identifikasi secara tepat setiap jenis pangan dengan menggunakan ukuran porsi, food models, atau foto pangan (Kusharto & Sa’diyah 2007). Hasil pencatatan wawancara kemudian diolah, dikembalikan kepada bentuk bahan mentah dan dihitung zat-zat gizinya berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang berlaku. Jumlah masing-masing zat gizi dijumlahkan dan dihitung rata-rata konsumsi setiap hari (Sediaoetama 1989). Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makanan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut (Supariasa et al. 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam Supariasa et al. 2001). Sanitasi Lingkungan Selain konsumsi pangan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah higiene dan sanitasi lingkungan. Higiene dan sanitasi
12
lingkungan yang tidak sehat akan memungkinkan anak mudah terserang penyakit, hal ini akan mengganggu proses penyerapan makanan oleh tubuh. Selain itu dapat pula disebabkan oleh makanan yang kotor akibat bakteri, virus dan parasit yang diakibatkan oleh tidak tersedianya air bersih, tidak terdapat sarana pembuangan air maupun kebersihan lingkungan sekitar rumah (Sukarni 1989). Berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari kondisi lingkungan yang tidak sehat adalah dengan melakukan berbagai kegiatan diantaranya penyediaan air bersih, penyediaan jamban dan pemantauan pencemaran tanah oleh tinja (Lestari 1997). Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati & Yuliarsih 2006). Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi suatu indeks kesehatan seseorang. Kesehatan seseorang akan terlihat dari daya tahan tubuh terhadap suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Selain itu lingkungan yang bersih dan sehat akan mencegah penularan penyakit. Higienis dan sanitasi termasuk kedalam usaha preventif yaitu mencegah supaya tidak sakit. Usaha kesehatan perorangan (personal hygiene) dapat dilakukan dengan mandi minimal 2 kali sehari, menyikat gigi, pakaian bersih, orahraga dan lain-lain. Cara untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat yaitu dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak mampet, menjaga kerja bakti dengan masyarakat setempat untuk membersihkan lingkungan. Sanitasi lingkungan perumahan terdiri dari rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat, memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah, dan kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat penampungan kotoran (Latifah et al. 2002). Sanitasi air harus sangat diperhatikan karena air sangat penting untuk kehidupan.
Kebutuhan
air
untuk
masyarakat
di
Indonesia
dalam
menyelenggarakan kehidupan sehari-hari baru mencapai 100 l. Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak
13
menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002). Menurut Widyati dan Yuliarsih (2006) air bersih dan sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Syarat fisik: syarat air yang dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. b. Syarat kimia: tidak mengandung zat-zat berbahaya seperti zat-zat racun atau zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan misalnya CO2, H2S, NH4 dan lain-lain. c. Syarat bakteriologis: air tidak mengandung penyakit, tidak mengandung bakteri E.coli yang melampaui batas yang ditentukan. Air bersih belum tentu dikatakan sehat, karena menurut Entjang (1993) untuk memperoleh air minum yang sehat dapat diperoleh melalui: 1. Sumber air yang bersih, 2. Tangan dan tempat penampungan air bersih, 3. Wadah penampungan air disertai dengan tutup dan sering dibersihkan, 4. Memasak air sampai mendidih sebelum diminum, 5. Menggunakan alat-alat minum yang bersih (termasuk gayung sebagai alat pengambil air harus bersih). Menurut Subandriyo et al. (1994), menyatakan bahwa sumber air minum yang bersih dan sehat dapat diperoleh dari: 1) air pompa, 2) air ledeng, 3) sumur yang terlindungi dan 4) mata air yang terlindungi. Sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain jarak sumur dengan kamar mandi minimum 10 m dan dinding sumur 1 m di atas tanah dan 3 m dalam tanah serta harus dibuat dari tembok yang tidak tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi. Selain air, sanitasi lingkungan yang harus diperhatikan yaitu mengenai sampah. Sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Sampah yang tidak ditangani dengan baik mengakibatkan tumbuhnya kuman sebagai penyebab terjadinya diare, juga mengandung lalat yang mengakibatkan terjadinya penyakit (Latifah et al. 2002). Tempat sampah yang digunakan seharusnya tertutup dan sebaiknya dipisahkan antara sampah basah dan kering. Penyakit Infeksi Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing dan sebagainya. Penyakit infeksi
14
seringkali ditemukan banyak menyerang anak-anak. Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh, yaitu seorang anak yang mengalami kekuranga gizi dengan asupan energi dan protein rendah, maka kemampuan tubuh untuk membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan infeksi karena terganggunya kekebalan tubuh seluler. Jenis-jenis penyakit infeksi diantaranya adalah batuk, pilek, demam, diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), yang termasuk ISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronchitis dan pneumonia (Depkes RI 1996). Menurut Suhardjo (1989) terdapat interaksi bolak balik antara status gizi kurang dengan infeksi. Infeksi yang akut akan menyebabkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan sehingga menimbulkan gizi kurang. Sebaliknya orang yang memiliki status gizi kurang daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Penelitian di Guatemala, Amerika Tengah menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara infeksi dengan kegagalan untuk menambah berat badan. Infeksi yang sering terjadi adalah ISPA dan infeksi saluran pencernaan makanan. Infeksi pada saluran pencernaan umumnya timbul karena diare. Menurut Depkes RI (2005), bahwa pada anak yang mendapat makanan cukup, tetapi sering terkena diare atau demam akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya dapat melemah dan dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi.