TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Keluarga Keluarga menurut Murdock (Berns 1997) merupakan kelompok sosial yang ditandai oleh adanya tempat tinggal, kerjasama dalam aspek ekonomi dan reproduksi, termasuk di dalamnya orang-orang dewasa dari kedua jenis kelamin, sedikitnya dua orang yang memelihara hubungan seksual dan satu orang atau lebih anak baik kandung maupun adopsi. Sebuah keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak disebut sebagai keluarga inti yang merupakan sumber utama bagi anak-anak dan menjadi dasar bagi terbentuknya sebuah masyarakat. Masyarakat memiliki tanggungjawab untuk memelihara dan melakukan sosialisasi terhadap anak pada kehidupan berpasangan yang menghasilkan mereka dan sanksi hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan oleh hukum atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat melalui pernikahan yang resmi. Tujuan dari lembaga pernikahan tidak hanya sekedar legalisasi hubungan seksual saja akan tetapi juga untuk menetapkan kewajiban melalui anak yang dihasilkan dari hubungan seksual tersebut. Dalam keluarga inti, suami dan isteri saling bekerjasama dan anak-anak tergantung pada orang tua mereka untuk mendapatkan kasih sayang dan sosialisasi. Menurut Coleman dan Ressy (Zastrow 2006), keluarga merupakan institusi sosial yang ada di setiap budaya dan didefinisikan sebagai sekelompok orang yang dihubungkan oleh perkawinan, keturunan atau adopsi yang hidup bersama di dalam suatu rumah tangga. Keluarga sebagai suatu sistem di mana perubahan relasi yang terjadi di dalamnya merupakan respon terhadap kebutuhan untuk berubah dari anggotanya dan di dalam merespon terhadap perubahan relasi keluarga dengan masyarakat yang lebih luas. Sebagai suatu sistem, keluarga mencoba memelihara keseimbangan di dalam relasinya. Pemahaman terhadap perkembangan di dalam keluarga berhubungan dengan apakah anggota keluarga memiliki kekuatan untuk membuat keputusan, seberapa besar perbedaan individu yang dimiliki, seberapa besar kebebasan dan pengawasan dimiliki setiap anggota kelompok serta pemahaman terhadap peraturan yang tidak tertulis yang berlaku dalam keluarga. Mungkin saja anggota keluarga tidak menyadari akan aturan yang
8 berlaku dalam keluarganya, akan tetapi mereka biasanya memiliki kemampuan untuk melihat prinsip dan norma yang diikuti oleh sistem keluarga. Kecenderungan sistem keluarga untuk mencoba memelihara keberadaan pola-pola perilaku merupakan tantangan dari waktu ke waktu melalui perubahan yang harus mereka sesuaikan. Manakala ada seseorang yang baru masuk dalam rumah tangga, anggota sistem harus menemukan cara untuk mengorganisasikan dan menjalankan kembali tipe relasi dan pola-pola aktivitas yang telah dijalankan sebelumnya. Ketika anggota keluarga mengalami perubahan baik secara psikologis maupun emosional, maka perubahan tersebut biasanya akan mempengaruhi sistem keluarga (Steinberg 1993). Mengikuti perubahan yang terjadi dalam sistem keluarga, maka keluarga akan mengalami periode ketidakseimbangan sebelum menyesuaikan pada perubahan tersebut. Periode ketidakseimbangan ini akan menyulitkan bagi keluarga. Mereka akan merasa bahwa relasi yang terjalin antar satu anggota dengan anggota keluarga lainnya selama ini sudah tidak berjalan dengan baik lagi akan tetapi mereka tidak mengetahui mengapa sampai terjadi seperti itu. Membuat cara baru untuk mencapai kesepakatan antar satu anggota keluarga dengan yang lainnya akan memakan waktu. Relasi dalam keluarga selalu berubah ketika anggota keluarga berubah atau ketika keadaan keluarga berubah. Selama keadaan seperti ini terjadi, sangat baik bagi relasi dalam keluarga untuk berubah melalui perbaikan ke arah keseimbangan sistem. Sunarti (2007) menyatakan bahwa ekologi keluarga memiliki asumsiasumsi: (1) keluarga merupakan bagian dari sistem kehidupan keseluruhan dan berinteraksi dengan beragam lingkungan; (2) keluarga merupakan sistem yang adaptif, semi-terbuka, dinamis, dan perilaku serta keputusannya diarahkan oleh tujuan; (3) seluruh bagian lingkungan saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain, lingkungan alam (fisik dan biologis) menyediakan sumberdaya esensial bagi seluruh kehidupan, dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sosial budaya dan lingkungan yang dibangun manusia (human-built environtment); (4) keluarga merupakan sistem transformasi energi dan membutuhkan energi tertentu untuk pemeliharaan dan keberlangsungan adaptasi dan berinteraksi dengan sistem lain, juga untuk melakukan beragam fungsi kreatif; (5) interaksi antara keluarga
9 dengan lingkungan dipandu oleh dua macam aturan, yaitu hukum alam fisik dan geologi seperti hukum termodinamik serta aturan yang diturunkan manusia seperti norma sosial; (6) lingkungan tidak menentukan perilaku manusia, tapi memberi batasan dan kendala sebagaimana juga menyediakan peluang dan kesempatan bagi keluarga untuk mengoptimalkan pemanfaatannya; (7) keluarga memiliki beragam tingkat kontrol dan kebebasan dalam interaksinya dengan alam; dan (8) pengambilan keputusan merupakan proses kontrol utama dalam keluarga yang mengarahkan pencapaian tujuan individu dan keluarga. Secara kolektif keputusan dan aksi keluarga memiliki dampak kepada masyarakat, budaya dan lingkungan alam. Menurut Thorman (Zastrow 2006), walaupun setiap keluarga memiliki ciri unik, akan tetapi masalah yang terjadi dapat digolongkan dalam empat kategori. Pertama, masalah perkawinan antara suami dan isteri. Hambatan komunikasi merupakan penyebab utama konflik dalam relasi perkawinan. Sumber konflik yang lain adalah ketidaksepahaman tentang anak-anak, masalah seksual, konflik mengenai waktu rekreasi dan keuangan serta pengingkaran terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Kedua, kesulitan yang muncul antara orang tua dan anak-anak, termasuk masalah-masalah relasi antara orang tua dan anak, kesulitan orang tua dalam mengawasi anak-anaknya terutama pada saat anak menjelang remaja serta masalah-masalah dalam komunikasi. Ketiga, masalah-masalah personal anggota keluarga. Kadangkala di dalam keluarga terdapat seorang anggota keluarga yang menjadi kambing-hitam bagi ketidakberfungsian sistem keluarga secara keseluruhan. Keempat adalah stres yang dialami keluarga yang disebabkan oleh lingkungan luar keluarga. Masalah-masalah yang termasuk dalam kategori ini adalah pendapatan yang tidak memadai, pengangguran, kemiskinan, akses yang tidak memadai pada transportasi dan tempat untuk rekreasi serta kesenjangan terhadap kesempatan kerja. Masalah lain dapat disebabkan masalah kesehatan, sekolah yang tidak
memadai dan memiliki tetangga
yang
membahayakan. Masalah-masalah yang dialami oleh keluarga merupakan cerminan dari ketidakmampuan keluarga di dalam menjalankan fungsinya. Menurut Zastrow (2006), keluarga dalam masyarakat industri memiliki fungsi-fungsi penting yang
10 akan membantu memelihara keberlangsungan dan stabilitas masyarakat. Fungsifungsi tersebut adalah: 1. Pergantian populasi (Replacement of the population) : Setiap masyarakat memiliki beberapa sistem untuk pergantian anggotanya. Di dalam prakteknya, semua masyarakat menganggap bahwa keluarga sebagai suatu unit untuk memproduksi anak-anak. Masyarakat memberikan hak dan kewajiban kepada pasangan-pasangan untuk melakukan reproduksi di dalam unit keluarga. Hak dan kewajiban ini membantu memelihara stabilitas masyarakat walaupun mereka mendefinisikannya dalam bentuk yang berbeda. 2. Perawatan anak-anak (Care of the young) : Anak-anak memerlukan perawatan dan perlindungan setidaknya sampai usia pubertas. Keluarga merupakan institusi utama untuk pengasuhan anak-anaknya. Masyarakat modern telah mengembangkan institusi pendukung untuk membantu dalam merawat anakanak, seperti pelayanan medis, daycare centers, program pelatihan bagi orang tua dan residential treatment centers. 3. Sosialisasi bagi angota masyarakat baru (Socialization of new members) : Untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif, anak-anak harus disosialisasikan pada budaya. Anak-anak harus diperkenalkan pada bahasa, mempelajari nilai-nilai sosial dan adat istiadat, cara berpakaian dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga memainkan peranan utama di dalam proses sosialisasi ini. Dalam masyarakat modern, beberapa kelompok lain dan sumber-sumber dilibatkan dalam proses sosialisasi ini, seperti sekolah, mas media, peer groups, polisi, bioskop dan buku serta materi tertulis lainnya yang berpengaruh sangat penting. 4. Tatanan Perilaku Seksual (Regulation of sexual behavior) : Kegagalan dalam mengatur perilaku seksual akan menghasilkan pertentangan di antara individuindividu yang disebabkan oleh kecemburuan dan eksploitasi. Setiap masyarakat memiliki peraturan yang mengatur perilaku seksual di dalam unit keluarga, misalnya tabu untuk melakukan incest dan hubungan seksual di luar pernikahan. 5. Sumber afeksi (Source of affection) : Kebutuhan akan rasa sayang, dukungan emosional dan penghargaan yang positif dari orang lain, seperti senyuman,
11 penguatan dan dorongan untuk mencapai prestasi. Keluarga merupakan sumber penting untuk mendapatkan rasa sayang dan pengakuan karena anggota keluarga akan saling menghargai satu sama lainnya dan memperoleh kepuasan emosional dan sosial dari hubungan yang terjalin di antara keluarga.
Kita melihat bahwa remaja tidak selalu merupakan masa terjadinya konflik yang mengerikan di dalam banyak rumah tangga, akan tetapi kita juga melihat bahwa banyak keluarga mampu untuk beradaptasi pada perubahan sosial dan psikologis yang muncul pada masa ini di dalam siklus hidup keluarga. Pusat perhatian bukan pada bagaimana relasi yang terjadi dibedakan dari satu keluarga dengan keluarga lain dan apakah perbedaan itu memiliki konsekuensi penting untuk perkembangan remaja. Beberapa orang tua memiliki kecenderungan lebih keras dibanding yang lainnya dan beberapa remaja diberi kasih sayang yang berlimpah sementara remaja yang lain memiliki jarak dengan orang tuanya. Di dalam banyak rumah tangga, keputusan dibuat melalui diskusi terbuka dan saling memberi dan menerima secara verbal, sementara orang tua yang lainnya menerapkan peraturan yang harus diikuti oleh anak-anaknya. Menurut Bell (Steinberg 1993), sangat penting untuk dicamkan bahwa walaupun terlihat kecenderungan perilaku anak sebagai hasil dari perilaku orang tua, namun sosialisasi harus dilakukan secara dua arah, tidak dengan satu arah. Fakta menunjukkan bahwa orang tua yang menerapkan hukuman fisik seperti tamparan dan pukulan akan menghasilkan perilaku remaja yang agresif (Bandura 1959). Akan tetapi, kita tidak yakin apakah: (1) hukuman fisik akan mengarah pada perilaku agresi remaja, (2) perilaku agresi remaja mengarahkan orang tua menggunakan hukuman fisik, (3) beberapa faktor lain berkorelasi dengan penggunaan hukuman fisik oleh orang tua dan dengan perilaku agresi remaja, misalkan faktor genetik yang diturunkan orang tua pada anaknya, atau (4) kombinasi dari berbagai penyebab dan korelasi diantara faktor-faktor tersebut. Selanjutnya apabila kita lihat penemuan yang berhubungan dengan praktek pengasuhan dan perkembangan remaja, kita harus ingat bahwa hanya orang tua yang menerima perilaku remaja maka selanjutnya remaja akan menerima perilaku orang tuanya (Steinberg 1993).
12 Ekologi Pengasuhan Pengasuhan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu setiap keluarga perlu mendidik anak agar menjadi manusia yang sehat, cerdas, dan sejahtera lahir batin. Menurut Sunarti (2004), pengasuhan dapat diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggungjawab, menjadi anggota masyarakat yang baik dan memiliki karakter baik. Pengasuhan juga menyangkut aspek manajerial, berkaitan dengan kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengorganisasikan, serta mengontrol atau mengevaluasi semua hal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Bronfenbrenner (1979) mengemukakan teori ekologi yang menyatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya. Lingkungan anak digambarkan sebagai rangkaian struktur yang meliputi interaksi yang saling berhubungan antara di dalam dan di luar rumah, sekolah dan tetangga dari kehidupan anak setiap hari. Interaksi ini menjadi motor atau penggerak dari perkembangan anak. Dalam teori ekologi perkembangan anak, anak merupakan pusat dari lingkaran, dikelilingi oleh berbagai lingkaran sistem interaksi yang terdiri dari sistem mikro, sistem meso, sistem ekso, dan sistem makro yang satu sama lain saling memengaruhi. Ketika masih bayi lingkungan mikro, anak hanya meliputi orang tua dan saudara-saudara kandungnya, juga pengasuhnya bila bayi tersebut mendapat pelayanan di tempat penitipan anak (day care centers). Dengan bertambahnya usia anak menjadi usia sekolah, sistem mikronya berkembang meliputi tempat penitipan anak dan sekolah. Hal paling penting dari sistem mikro adalah kontak dan interaksi langsung orang dewasa dengan anak dalam jangka waktu yang cukup panjang dan intensif. Sistem meso adalah lingkaran yang ditunjukkan dengan interaksi antar komponen dalam sistem mikro anak. Perkembangan anak amat dipengaruhi oleh keserasian hubungan antarkomponen dalam sistem mikronya. Sebagai contoh, hubungan antara rumah dan sekolah, guru dan orang tua. Prinsip utama dari sistem meso adalah semakin kuat dan saling mengisi interaksi antar komponen dalam sistem meso, semakin besar
13 pengaruh dan hasilnya pada perkembangan anak. Sistem ekso merupakan lingkaran yang menunjukkan sistem sosial yang lebih besar dan anak tidak langsung berperan di dalamnya tetapi interaksi komponen sistem ini seperti dalam bentuk keputusan pada tataran lembaga yang mempunyai hubungan dengan anak, berpengaruh terhadap perkembangan anak. Keputusan-keputusan dari tempat kerja orang tua, komite sekolah, atau lembaga perencanaan adalah contoh dari sistem ekso yang dapat memengaruhi anak, baik positif maupun negatif meskipun anak tidak langsung terlibat dalam lembaga-lembaga tersebut. Contoh lain adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang terjadi di lingkungan tempat tinggal anak yang dapat berpengaruh pada kesulitan anak untuk tidur. Sistem makro adalah lingkaran terluar dari lingkungan anak. Lingkaran ini terdiri dari
SISTEM MAKRO EKOSISTEM Keluarga Luas SISTEM MESO SISTEM MIKRO
Teman
Tetangga
Keluarga
Sekolah
Anak
Mass Media
Klp Agama
Tetangga
Pelayanan Hukum
Pelayanan Sosial
Gambar 1 Hubungan Anak dengan Lingkungannya (Model Ekologi dari Bronfenbrenner 1979)
14 nila-nilai budaya, hukum dan peraturan perundangan, adat kebiasaan, kebijakan sosial dan lain sebagainya. Seluruh komponen dari sistem ini juga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Media massa seperti tayangan TV yang termasuk sistem makro mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap perkembangan anak. Sejalan dengan hal ini, Jack (2000) menyatakan bahwa perkembangan anak dan remaja serta perubahan kehidupan dalam masa dewasa merupakan hasil dari sekumpulan hal yang kompleks dari factor interaksi yang terjadi pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh (Sears, et al. 1957; Gunarsa dan Gunarsa 1995b). Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan datang. Gaya pengasuhan positif misalnya penyusuan langsung dari ibu kepada bayi (skin to skin contact) amat penting bagi tumbuh-kembang anak. Hingga bayi berusia enam bulan, ASI merupakan makanan yang paling baik dengan berbagai keunggulan yang tidak dimiliki susu formula membuat anak lebih kebal terhadap penyakit dan tidak menderita kelebihan gizi. Sebaliknya, pengaruh negatif ibu dalam mengasuh anak seperti terlalu melindungi dapat menyebabkan anak menjadi lambat perkembangan kepribadiannya. Kenyataan bahwa pola asuh dalam keluarga utuh dan dalam satu rumah, serta hanya satu yang berperan sebagai ibu adalah tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh semua orang tua baik di Indonesia maupun di negara lain. Lebih jauh dinyatakan oleh Sunarti (2008), bahwa terdapat hubungan yang erat dan positif antara ketahanan keluarga dengan pengasuhan anak (berbagai dimensi); antara pengasuhan dengan status
15 gizi dan antara pengasuhan dengan perkembangan anak. Ketahanan sosial dan psikologis sangat mendukung proses kematangan kepribadian suami isteri yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pengasuhan anak. Pengasuhan yang baik biasanya disertai dengan banyaknya stimulasi yang diberikan kepada anak. Semakin banyak stimulasi yang diberikan maka anak akan dengan lebih mudah mencapai prestasi perkembangannya. Masalah di negara timur termasuk Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu sering dipegang oleh beberapa orang seperti nenek, keluarga dekat lainnya atau pembantu. Kecenderungan wanita untuk bekerja di luar rumah menyebabkan meningkatnya peran pengganti ibu, sehingga peran "ibu pengganti" menjadi sangat penting. Pada keluarga yang disharmonis atau adanya perpisahan sementara dengan ibu karena tugas, maupun perpisahan permanen karena orang tua bercerai atau meninggal, atau dititipkan di panti asuhan dapat menyebabkan masalah psikis pada anak karena tidak ada atau kurang adanya kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh anak untuk mendukung tercapainya pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal (Hurlock 1998). Anak yang telantar kasih sayang dapat mengalami hambatan dalam belajar bergaul dengan orang lain. Mereka bereaksi secara negatif terhadap pendekatan orang lain, sukar diajak kerja sama, dan bersikap memusuhi. Anak-anak tersebut merasa tidak pandai dan memperlihatkan kekesalan dengan perilaku agresif, tidak patuh, dan bentuk perilaku anti sosial lainnya. Menurut Kagan (Berns 1997), pengasuhan merupakan implementasi keputusan tentang sosialisasi pada anak, hal-hal yang dilakukan agar anak mampu bertanggungjawab, menjadi anggota masyarakat yang memiliki kontribusi, apa yang dilakukan ketika anak menangis, ketika anak menjadi agresif, berbohong atau tidak melakukan hal yang baik di sekolah. Dalam perkembangannya, anak membutuhkan orang lain dan orang yang pertama dan utama memiliki tanggungjawab pengasuhan adalah orang tuanya sendiri. Seperti yang dikatakan Lugo dan Hershey (Prananto 1993), bahwa hubungan yang pertama dan terutama dalam kehidupan seorang anak adalah dengan ibunya, dan dari hubungan ini anak akan membentuk pola hubungan antara dirinya dengan orang lain sepanjang hidupnya. Pada masa ini keluarga
16 yang merupakan tempat terjadinya hubungan bertanggungjawab langsung mengembangkan keseluruhan eksistensi anak, memenuhi kebutuhan anak baik fisik maupun psikologis. Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan anak yang paling dapat memberi kasih sayang, manusiawi, efektif dan ekonomis. Dalam keluargalah untuk pertama kali anak-anak mendapat pengalaman langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya di kemudian hari melalui latihan-latihan fisik, mental, sosial, emosional dan spiritual. Pola asuh anak adalah segala interaksi antara orang tua dengan anaknya dalam praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi ini meliputi segala perilaku, minat, nilai-nilai, sikap dan kepercayaan yang diajarkan pada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan sepanjang hidup anak (Karyadi 1988). Menurut Lamb (Prananto 1993), bahwa kualitas interaksi lebih penting daripada kuantitas. Waktu interaksi yang tidak lama akan tetapi menyenangkan lebih memberikan hasil yang baik daripada interaksi terus menerus tetapi tanpa kepuasan. Praktek-praktek pengasuhan anak muncul dalam interaksi yang terjadi antara orang tua dengan anak-anaknya. Menurut Lawton (Berns, 1997), sumbangan keluarga pada perkembangan anak ditentukan oleh sifat hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga, sedangkan hubungan yang terjalin antara anak dan orang tua bukan merupakan proses yang searah akan tetapi timbal balik, karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orang tua. Julie (2007) menyatakan bahwa terdapat bukti yang nyata dari peranan faktor konteks sosial di dalam pengasuhan. Pengasuhan individual berkontribusi pada perilaku bermasalah anak dan depresi yang dialami orang tua berpengaruh langsung tehadap pengasuhan, khususnya pada ayah. Secara bersamaan, konflik rumah tangga secara langsung berhubungan dengan pengasuhan ayah, dan secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan pengasuhan ibu melalui depresi yang terjadi pada masa perkawinan. Aspek-aspek Pengasuhan Baumrind (1991) menyatakan bahwa terdapat empat dimensi perilaku orang tua yang diyakini memiliki dampak penting bagi perkembangan anak, yaitu: 1. Pengendalian Orangtua (Parental Control)
17 Meliputi segala upaya orang tua untuk menggunakan pengaruhnya terhadap anak. Orang tua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya orang tua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orang tua terhadap anak. 2. Tuntutan Kematangan (Maturity Demands) Orang tua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional. Orang tua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian kesempatan kepada anakanaknya untuk membuat keputusannya sendiri. 3. Komunikasi Orangrua-anak (Parents-Child Communication) Orang tua meminta pendapat anak dan berusaha mengetahui bagaimana perasaan anak akan sesuatu melalui diskusi. Orang tua pun mendengarkan penjelasan-penjelasan anak dan membiarkan mereka dipengaruhi oleh dugaan yang beralasan. 4. Dampak yang mengikuti (Nurturance) Orang tua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan yang dicapai anak-anaknya.
Tujuan Pengasuhan Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya memiliki tujuan yang diarahkan pada pertumbuhan dan perkembangan psikososial anak sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Euis Sunarti (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga tujuan dalam pengasuhan, yaitu: pengembangan konsep diri, mengajarkan disiplin diri dan mengajarkan keterampilan pengembangan. 1. Pengembangan Konsep Diri Konsep diri dibangun melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Interaksi tersebut membuat anak mulai mengidentifikasi dirinya, menemukan dan mencari persamaan dan perbedaan antara dirinya dengan orang lain. 2. Mengajarkan Disiplin Diri
18 Disiplin adalah kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku. Perilaku disiplin termasuk menunda atau memodifikasi keinginan atau kepuasan sementara untuk mencapai tujuan jangka panjang. 3. Mengajarkan Keterampilan Pengembangan Pengasuhan mengajarkan anak berbagai keterampilan hidup (kognitif, sosial dan emosional) melalui upaya-upaya yang memungkinkan anak berkembang secara optimal. Keterampilan hidup tersebut memungkinkan anak mampu menjalankan berbagai fungsi dalam kehidupannya.
Gaya Pengasuhan Penelitian mengenai gaya pengasuhan dan pengaruhnya telah banyak dilakukan. Seorang peneliti yaitu Baumrind (1991) membuat kreasi model pengasuhan yang didefinisikan gaya pengasuhan kedalam tiga bagian tipologi, yaitu authoritarian, authoritative, dan permissive (Darling dan Steinberg 1993). Ia memberikan dasar pemikiran setiap tipe dalam tingkatan demandingness dan responsiveness dimana orang tua memberikan reaksi kepada anak. Model ini diperbaharui oleh Maccoby dan Martin, yang membagi gaya pengasuhan permissive kedalam dua tipe yang terpisah yaitu indulgent dan neglectful yang kadangkala disebut juga sebagai indifferent (Darling dan Steinberg, 1993). Selanjutnya mereka memberikan label demandingness dan responsiveness pada Baumrind menjadi control dan responsiveness. Pada saat ini pengasuhan lebih umum dipecah ke dalam empat gaya, yaitu authoritative, authoritarian, indulgent dan indifferent. Para peneliti merujuk pengasuhan pada tingkatan responsiveness atau warmth dan demandingness serta control. Setiap gaya pengasuhan ini mempengaruhi perkembangan karakteristik pada anak dan remaja. Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh norma-norma kultural dan lebih khusus oleh perbedaan etnis serta status sosial ekonomi dimana pengasuhan diadopsi. Setiap gaya pengasuhan memiliki karakteristik yang disesuaikan menurut tingkatan demandingness atau control dan responsiveness atau warmth. Di dalam mengenal keempat gaya pengasuhan, sangat penting untuk dicatat bahwa banyak
19 dari para orang tua memiliki ciri-ciri lebih dari satu kategori, dan di dalam keluarga utuh, salah satu orang tua kemungkinan memiliki gaya yang berbeda dibanding dengan pasangannya. Gaya pengasuhan merupakan assessment global terhadap keseluruhan kualitas pengasuhan yang dialami remaja. Pengaruh orang tua pada remaja sangat besar dan gaya pengasuhan kemungkinan akan membuat atau malah dapat menghambat keberhasilan anak: 1. Gaya Pengasuhan Authoritative Dalam budaya barat pengasuhan authoritative dilihat sebagai suatu hal yang sangat bermanfaat bagi perkembangan anak (Darling dan Steinberg 1993). Orang tua yang authoritative memiliki tingkatan yang tinggi pada responsiveness dan demandingness. Mereka (orang tua yang authoritative) seringkali melibatkan anaknya di dalam pembuatan keputusan dan mengajak diskusi walaupun masih dalam lingkup yang terbatas. Orang tua seperti ini memiliki harapan yang tinggi untuk anak mereka, akan tetapi pendekatannya dilakukan dengan cara yang hangat. Pada saat anak masuk kedalam masa remaja, orang tua yang authoritative meresponnya melalui membiarkan anak lebih autonomy yang dihubungkan dengan peralihan yang sehat dari remaja kepada masa dewasa. Orang tua yang authoritative memahami bahwa komunikasi di antara orang tua dan anak-anaknya harus jelas untuk memelihara hubungan orang tua dan anak yang menyenangkan. Orang tua bersifat assertive tetapi tidak ikut campur (intrusive) dan membatasi (restrictive). Cara pendisiplinan mereka adalah dengan memberikan dukungan dibanding hukuman. Remaja merasa lebih nyaman berbicara terbuka dengan orang tua yang authoritative. Orang tua tidak dapat memberikan hukuman terhadap perilaku negatif yang dilakukan, dan mereka lebih senang untuk memberikan reward pada perilaku yang positif. Gaya pengasuhan ini menyediakan pengukuran kompetensi yang tinggi, perkembangan sosial, persepsi-diri dan kesehatan mental. Terdapat bukti bahwa orang tua yang authoritative menghasilkan perkembangan psikososial yang tinggi dan sedikit masalah-masalah yang berhubungan dengan perilaku (Baumrind 1991).
20 2. Gaya Pengasuhan Authoritarian Gaya pengasuhan ini seringkali dievaluasi dalam batas-batas konflik dengan aspek-aspek positif dan yang lainnya dengan aspek-aspek yang negatif. Orang tua yang diklasifikasikan sebagai authoritarian memiliki demandingness yang tinggi tetapi rendah di dalamkehangatan (warmth) dan responsiveness. Orang tua tidak melibatkan di dalaminteraksi yang menuntut kematangan dan melibatkan sedikit debat dengan anak-anaknya (Darling dan Steinberg 1993). Mendapatkan apa yang diharapkan oleh orang tua yang authoritarian seringkali memerlukan perjuangan bagi anak dan remaja seperti yang mereka sering respon untuk mencapai harapan sebagai hal yang bertentangan dengan do’a dan dukungan. Kebanyakan remaja cenderung untuk menolak gaya komentar dan perintah, serta memberontak orang tua yang menggunakan gaya ini. Menurut Steinberg (1993), bahwa orang tua yang authoritarian cenderung untuk memberikan lebih hukuman dan disiplin yang mutlak tanpa memberi dan menerima komunikasi. Hal ini berarti bahwa orang tua lebih banyak memberikan perintah pada anak-anaknya dan dengan cepat menghukum pada saat mereka tidak melaksanakan tugasnya. Remaja yang memiliki orang tua dengan kategori ini akan memiliki perilaku yang baik akan tetapi kemungkinan mengalami depresi. Remaja cenderung untuk berpenampilan baik di sekolah dan tidak akan terlibat dalam masalah yang berhubungan dengan perilaku, akan tetapi mereka memiliki keterampilan sosial yang sedikit dan rendah dalam self-esteem nya (Darling dan Steinberg 1993). 3. Gaya Pengasuhan Indulgent Kadangkala dihubungkan dengan istilah permissive. Orang tua yang indulgent adalah yang hangat dan memiliki responsiveness yang tinggi akan tetapi tidak menuntut dan rendah dalam pengawasan (Radziszewska 1996). Mereka memberikan kebebasan dan sedikit menerapkan kedisiplinan kepada anakanaknya. Orang tua yang indulgent seringkali tidak konsisten dengan aturan dan disiplin yang telah diterapkan pada anak-anaknya (Darling dan Steinberg 1993). Orang tua dengan gaya ini bertentangan dengan orang tua yang indifferent karena memiliki respon yang sangat tinggi pada anak-anaknya.
21 Mereka tidak banyak menuntut dari anak-anaknya (Steinberg 1993). Orang tua dengan gaya ini adalah mereka yang membiarkan anak-anaknya ”walk out over them.” Remaja yang memiliki orang tua dengan gaya indulgent lebih banyak terlibat dengan masalah perilaku, akan tetapi mereka memiliki self-esteem yang tinggi, keterampilan sosial yang lebih baik dan depresi tingkat rendah (Darling dan Steinberg 1999). 4. Gaya Pengasuhan Indifferent Gaya pengasuhan ini sering disebut juga dengan istilah neglecting. Orang tua yang diklasifikasikan sebagai indifferent memiliki tingkatan yang rendah baik pada responsiveness maupun pada demandingness (Radziszweska 1996). Seperti orang tua indulgent, mereka mengijinkan anak-anaknya memiliki kebebasan yang belum pernah didapatnya serta mengharapkan sedikit tanggung jawab. Akan tetapi tidak seperti orang tua indulgent, dimana orang tua dengan gaya ini memiliki jarak dan tidak terlibat dalam kehidupan anakanaknya. Mereka tidak tertarik pada apa yang terjadi pada anak-anaknya. Orang tua dengan gaya ini tidak responsive dan memiliki sedikit harapan pada anak-anaknya (Steinberg 1993). Orang tua tidak memonitor atau mengawasi perilaku anak-anaknya. Anak dengan orang tua indifferent sangat miskin di dalamsemua aspek kehidupan (Darling dan Steinberg 1993). Rohner (1986) mengemukakan bahwa gaya pengasuhan dengan dimensi kehangatan (warmth dimension). Menurutnya bahwa gaya pengasuhan kehangatan bersifat kontinum, namun dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu gaya pengasuhan penerimaan (acceptance) dan gaya pengasuhan penolakan (rejection). 1. Gaya Pengasuhan Penerimaan (Parental Acceptance) Gaya pengasuhan ini ditandai dengan curahan kasih sayang dari orang tua kepada
anaknya
baik
secara
fisik
maupun
secara
verbal
dengan
mengekspresikan kasih sayang dan perhatiannya melalui pujian, penghargaan dan dukungan untuk berkembang. 2. Gaya Pengasuhan Penolakan (Parental Rejection) Gaya pengasuhan ini dibagi lagi kedalam gaya pengasuhan pengabaian, gaya pengasuhan penolakan dan gaya pengasuhan permusuhan. Gaya pengasuhan
22 pengabaian ditandai dengan tidak adanya perhatian orang tua terhadap pemenuhan kebutuhan anak yang mengakibatkan anak tidak lagi merasakan kehadiran orang tua yang seharusnya berperilaku sebagaimana layaknya orang tua. Gaya pengasuhan penolakan ditandai dengan munculnya perkataan dan perilaku orang tua yang menyebabkan anak merasa tidak dicintai, tidak dikasihi, tidak dihargai bahkan lebih parah lagi anak tidak dikehendaki kehadirannya di dunia ini. Gaya pengasuhan permusuhan ditandai dengan munculnya perkataan dan perbuatan yang kasar serta agresif dari orang tua. Gottman dan DeClaire (Sunarti 2004) membagi gaya pengasuhan emosi anak kedalam empat kelompok, yaitu: (1) gaya pengasuhan orang tua yang mengabaikan emosi anak, (2) gaya pengasuhan orang tua yang tidak menyetujui dan senantiasa mengkritik emosi negatif anak, (3) gaya pengasuhan orang tua yang menerima emosi anak namun gagal mengarahkannya, serta (4) gaya pengasuhan orang tua yang menerima emosi anak dan sekaligus membimbing dan mengarahkan emosi anak. 1. Gaya Pengasuhan yang Mengabaikan (Dismissing Style) Gaya pengasuhan ini ditandai dengan perilaku orang tua yang cenderung mengabaikan dan melecehkan atau merendahkan emosi negatif anak. 2. Gaya Pengasuhan Tidak Menyetujui (Disaproving Style) Gaya pengasuhan ini ditandai dengan perilaku orang tua yang cenderung mengkritik anak dengan perasaan negatif dan tidak menyetujui bahkan menghukum mereka karena ekspresi emosinya. 3. Gaya Pengasuhan Laissez Faire Gaya pengasuhan ini ditandai dengan situasi dan kondisi dimana orang tua menerima emosi anak dan bersimpati kepada mereka (menerima semua emosi anak tanpa prasyarat), akan tetapi gagal untuk menawarkan pengarahan atau menetapkan standar atau batasan-batasan perilaku anak. 4. Gaya Pengasuhan Emosi (Emotional Coach) Gaya pengasuhan ini ditandai dengan situasi dimana orang tua menerima perasaan anak tanpa syarat, bersimpati kepada mereka (sama seperti pada gaya pengasuhan Laissez Faire), sekaligus orang tua memberikan panduan atau
23 pengarahan
serta
menetapkan
batasan-batasan
kepada
anak
dalam
mengekspresikan emosinya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengasuhan Faktor Status Sosial Ekonomi Penelitian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi berpengaruh terhadap gaya pengasuhan dan gaya pengasuhan tersebut dapat memberikan reaksi terhadap status sosial ekonomi. Terdapat sejumlah studi yang diarahkan untuk mengungkap hubungan ini. Mereka menemukan bahwa gaya pengasuhan bervariasi sesuai status sosial ekonomi dan pengaruh setiap gaya muncul secara konsisten serta perbedaannya kecil (Radziszewska 1996). Seringkali pengasuhan authoritarian dicatat sebagai gaya pengasuhan dominan di dalam strata sosial ekonomi rendah. Walaupun gaya pengasuhan ini telah menunjukkan gangguannya pada pertumbuhan anak di dalamkelas menengah, akan tetapi dapat mengarahkan pada kelas yang lebih rendah (Radziszweska 1996). Sebagai contoh keuntungan yang potensial pada gaya ini dalam status sosial ekonomi rendah adalah posisi pekerja yang tidak memiliki keterampilan. Dengan tumbuhnya anak menjadi tergantung, kemampuan intelektual rendah dan kepatuhan, maka orang tua yakin akan keberhasilan anak di dalamposisi yang sama. Banyak anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang authoritarian memasuki pencarian identitas dan mengadopsi identitas tanpa menggali lebih jauh pilihan-pilihan yang ada. Hal ini terlihat seperti sesuatu yang bersifat maladaptive dan kadangkala tidak dapat diterima di dalammasyarakat kelas menengah, akan tetapi pada masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah hal ini seringkali bersifat adaptif. Terdapat sedikit kesempatan dan sedikit nilai yang ditempatkan dalam menambah pendidikan dalamkomunitas dengan penghasilan rendah, dan bagi mereka yang ingin lebih maju seringkali tersisih atau memiliki sumber yang telah dihabiskan oleh orang-orang di sekitarnya. Di dalamsituasi seperti ini, akan lebih sehat apabila menerima identitas yang telah ditentukan tanpa bertanya akan pilihan-pilihan lainnya.
24 Orang tua dalam kelas menengah cenderung menggunakan pengasuhan authoritative. Hal ini merefleksikan penempatan nilai yang kuat pada kebebasan dan autonomy. Melalui dorongan dan penjelasan terhadap anak-anaknya, orang tua mencoba untuk menanamkan mentalitas “Saya dapat melakukan apa saja” yang akan mengarahkan pada penggalian dan seringkali berhasil di antara anakanak yang tumbuh dibawah gaya ini. Anak-anak yang tumbuh dalam rumah yang authoritarian melakukan eksplorasi sebelum membuat komitmen identitas. Hal ini akan mengarahkan pada kepuasan hidup yang tinggi dan kemampuan untuk mengendalikan krisis yang terjadi pada kehidupan selanjutnya. Orang tua yang memiliki penghasilan lebih tinggi memiliki kecenderungan yang besar untuk mengadopsi pengasuhan indifferent dan indulgent (Radziszewska 1996). Faktor Ras dan Etnis Ras dan etnis memberikan pengaruh terhadap gaya pengasuhan dan di dalambeberapa kasus mempengaruhi reaksi anak-anak pada gaya pengasuhan. Secara umum, semua anak menunjukkan keberhasilan yang tinggi di dalamrumah dengan orang tua yang authoritative (Steinberg 1993). Keluarga Asia cenderung menggunakan gaya pengasuhan permissive pada saat anak-anak masih kecil dan selanjutnya menjadi lebih authoritative pada saat anak-anak bertambah usianya. Hal ini mengarahkan terbentuknya attachment yang kuat diantara orang tua dan anak dan meningkatkan penghindaran anak dari perilaku menyimpang. Menariknya dari penelitian ini adalah bahwa perempuan Asia cenderung menunjukkan tingkat depresi paling tinggi seperti yang dihasilkan pada pengasuhan authoritarian (Radzizzewski 1996).
Faktor Gaya Pengasuhan terhadap Perkembangan Psikososial Remaja Semua gaya pengasuhan cenderung mempengaruhi perkembangan anak. Di dalambatasan Social Learning Theory yang dibahas oleh Bandura, menyatakan bahwa para orang tua mentransmisikan keterampilan, sikap, nilai-nilai dan kecenderungan emosionalnya melalui modeling (Evans 1989). Transmisi ini dapat mengarah pada pembentukan baik karakteristik positif maupun negatif pada anakanak.
25 Pengasuhan dengan gaya authoritarian dan indifferent dapat mengarahkan pada terbentuknya keterampilan psikososial yang rendah (Radziszewski 1996). Anak belajar hubungan pada model setelah terlebih dahulu hubungan dengan hidupnya, dan paling sering hubungan antara orang tua-anak. Apabila terdapat jarak hubungan antara orang tua-anak, maka hal ini tidak saja mengarah pada terbentuknya hubungan dimasa depan yang tidak memadai dan ketidakmampuan untuk membentuk hubungan yang dekat, akan tetapi juga mungkin akan mengarah pada anak mencari orang lain untuk membimbingnya. Teman-teman sebaya atau karakter di dalammedia seringkali mendorong perilaku menyimpang yang dapat mengarahkan anak pada keterlibatannya dalam beberapa aktivitas (Evans 1989). Menurut Darling dan Steinberg (1993), model pengasuhan positif terdapat pada tiga dari empat gaya pengasuhan yaitu authoritative, authoritarian dan indulgent. Di dalampengasuhan authoritative dan authoritarian, anak mempelajari model perilaku yang bertanggungjawab. Mereka memperhitungkan tindakannya dimana
keberaniannya
tidak
hanya
pada
perhitungannya,
akan
tetapi
pertanggungjawaban model untuk teman-teman sebayanya. Anak belajar keterampilan sosial yang bernilai melalui keseringan berdiskusi tentang peraturan dan disiplin di dalam rumah dengan gaya authoritative. Keterbukaan untuk berdiskusi didemonstrasikan melalui orang tua yang memberikan keberanian untuk berdebat dan menunjukkan kepada anak bagaimana berperilaku fair dan berhadapan dengan kontrovesi. Pelibatan aspek kehangatan dan responsif di dalam pengasuhan authoritative dan indulgent memberi kepada anak rasa percaya diri dan memperlihatkan bentuk hubungan yang sehat. Hasil lain dari gaya pengasuhan adalah transmisi antargenerasi pada gaya pengasuhan (Barber
1998).
Sebagai contoh,
apabila anak
tumbuh di
dalamrumahtangga yang authoritarian dengan kekerasan yang dapat dinegosiasi, maka anak ini akan menggunakan gaya pengasuhan authoritarian yang sama pada anak-anaknya. Transmisi antargenerasi pada gaya pengasuhan dapat menjadi optimal atau dikompromikan tergantung pada pengulangan gaya pengasuhan. Perilaku anak yang dihasilkan bervariasi seperti sebuah fungsi gaya pengasuhan dan akan mengikuti pola-pola secara umum: 1. Perilaku yang Dihasilkan pada Pengasuhan Authoritative
26 Pengasuhan authoritative memiliki kecenderungan menghasilkan penyesuaian sosial dan psikososial anak yang terbaik (Steinberg, 1993). Dikarenakan hubungan yang terbuka antara orang tua-anak dan diskusi yang luas serta penjelasan akan keterbatasan anak di dalamsituasi ini maka secara umum akan meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial. Mereka juga terbuka untuk menjadi autonomy melalui jaminan orang tuanya selama masa remaja. Anakanak yang tumbuh di dalamrumah tangga yang authoritative memiliki kecenderungan untuk berpenampilan baik di sekolah, sama seperti yang telah dicapai oleh orang tuanya. 2. Perilaku yang Dihasilkan pada Pengasuhan Authoritarian Gaya pengasuhan inipun bervariasi sesuai dengan status ekonomi dan etnis. Secara umum, anak-anak dari orang tua dengan pengasuhan authoritarian memiliki keterampilan-keterampilan sosial rendah yang berpengaruh kepada kesenjangan pada saat dilakukan diskusi. Kesenjangan dialog di dalamdiskusi ini memberikan kontribusi terhadap munculnya sikap pasif pada anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang authoritarian (Darling dan Steinberg, 1993). Anak-anak dalam gaya pengasuhan ini terbiasa melakukan apa yang diucapkan tanpa memiliki otoritas untuk bertanya. Perilaku patuh yang dituntut oleh orang tua dengan gaya pengasuhan ini dapat juga menghasilkan self-esteem yang rendah dan kebutuhan yang rendah pada anak untuk terlibat di dalam aktivitas intelektual. Pada akhirnya, masalah-masalah perilaku dapat dihasilkan dan tekanan yang dialami oleh anak. 3. Perilaku yang Dihasilkan pada Pengasuhan Indulgent Pengasuhan indulgent menghasilkan baik hal yang positif maupun negatif (Steinberg, et al., 1992). Satu hal yang diinginkan cenderung untuk memiliki self-esteem yang tinggi yang didemostrasikan oleh anak-anak yang tumbuh pada rumah tangga yang indulgent. Hasil yang negatif pada pengasuhan indulgent adalah tanggung jawab yang kurang dan tingkat kematangan yang lebih rendah. Anak-anak ini lebih rendah prestasi akademiknya dan terlibat dalam masalah penyimpangan perilaku. Kesenjangan keterlibatan dan disiplin orang tua memberikan kontribusi kepada penyimpangan perilaku ini.
27 4. Perilaku yang Dihasilkan pada Pengasuhan Indifferent Anak-anak yang tumbuh di dalamsebuah rumah tangga yang indifferent kelihatannya
mengalami
kesulitan
yang
berat
dalam
perkembangan
psikososialnya. Anak-anak ini cenderung menampilkan hasil yang buruk di sekolah
dan
mengalami
masalah
penyimpangan
perilaku,
termasuk
penyalahgunaan obat-obatan (Radziszewska, 1996). Tingkat kematangan mereka secara umum rendah dan tidak memiliki tanggungjawab. Hal ini dapat disebabkan oleh jarak yang lebar antara orang tua-anak dan kurangnya pengasuhan.
Remaja Tahapan perkembangan merupakan periode dalam hidup manusia yang ditandai oleh aturan yang spesifik. Pada setiap tahapan, beberapa cirinya dibedakan dari tahapan sebelumnya dan keberhasilan melalui tahapan tersebut. Pada masing-masing tahapan, pencapaian dari tahapan berikutnya menjadi sumber bagi dimilikinya tantangan baru. Setiap tahapan adalah unik dan menjadi prasyarat bagi tercapainya keterampilan baru yang berhubungan dengan kapabilitas baru. Salkind (1985) berpendapat bahwa perkembangan merupakan serangkaian kemajuan tentang perubahan yang terjadi dalam pola yang dapat diprediksi sebagai
hasil
interaksi
diantara
faktor
biologis
dan
lingkungan.
Di
dalamperkembangan manusia terdapat beberapa kecenderungan yang umum terjadi pada individu. Kecenderungan tersebut berkenaan dengan: (1) transisi yang terjadi dari sistem respon umum kepada sistem respon yang khusus. Respon umum seperti menangis pada saat bayi baru lahir yang dapat memiliki berbagai makna yang berbeda, misalnya menangis, lapar dan kesakitan, dan respon khusus seperti perilaku spesifik yang dengan mudah dapat dibedakan dari perilaku orang lain dalam batas-batas intensitas dan kegunaannya; (2) individu mengalami peningkatan ke arah yang lebih kompleks dalam aspek biologis (dari satu sel menjadi ribuan sel yang terpisah menjadi unit-unit yang berdiri sendiri) dan aspek psikologis (peningkatan kompleksitas sejumlah emosi atau strategi berbeda yang lebih canggih untuk memecahkan masalah), yang terjadi baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (3) untuk mempertahankan hidupnya, individu tidak dapat
28 memfungsikan perilakunya secara terpisah akan tetapi merupakan bagian dari rangkaian sistem yang terorganisir. Pada saat perilaku dianggap berbeda, perilaku tersebut lebih terartikulasi atau berbeda dari yang lainnya dan ketika perilaku tersebut terintegrasi maka akan bertautan atau tergabung kedalam perilaku yang lainnya dan seringkali membentuk sesuatu yang secara kualitatif berbeda dari perilaku sebelumnya; (4) selama tahun awal perkembangan, anak memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa pandangannya terhadap dunia merupakan satu-satunya hal yang dianggap mungkin akan terjadi. Keasyikan dengan pandangannya sendiri terhadap dunia disebut sebagai egocentrism, yang diasumsikan sebagai bentuk yang berbeda dengan kemajuan perkembangan, akan tetapi semua gambaran tentang perkembangan memperlihatkan kecenderungan menjadi berkurang pada perkembangan individu. Hal ini mungkin saja terjadi karena perubahan kondisi sosial (misalnya, orang cenderung berkurang selfcentered nya manakala mereka mulai melakukan sosialisasi dengan orang lain) atau karena perubahan biologis; dan (5) anak memperlihatkan peningkatan kemandirian dan kemampuan untuk menyediakan sendiri kebutuhan dirinya. Seorang bayi tergantung pada orang lain terutama untuk perawatan dasar. Kebanyakan anak memperlihatkan tingkatan kemandirian yang berbeda dan ketika anak menjadi lebih mandiri, hal-hal yang lain akan berjalan dengan baik. Manusia, dari mulai lahir sampai akhir kehidupannya memiliki tugas-tugas perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangannya masing-masing. Havighurst (1972) membagi tahap perkembangan ini ke dalam enam kelompok, yaitu masa bayi dan awal masa kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak, masa remaja, awal masa dewasa, masa usia pertengahan, dan masa tua. Masing-masing individu
memiliki
perbedaan
di
dalam
melaksanakan
perkembangannya tergantung pada berbagai faktor yang
tugas-tugas
mempengaruhi
penguasaannya terhadap tugas-tugas perkembangannya tersebut. Kegagalan individu di dalam penguasaan tugas perkembangannya akan mempengaruhi tugas perkembangan pada tahap berikutnya. Individu yang mengalami kegagalan ini akan tertinggal dari kelompok sebayanya dan menyebabkan tidak memadainya pencapaian kematangan di dalam tahap perkembangan yang sedang dilaluinya.
29 Masa remaja, sebagai salah satu tahap yang dilalui oleh individu dalam rentang kehidupannya, memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap sebelum maupun sesudahnya. Secara psikologis masa remaja adalah usia individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Menurut Piaget (Hurlock 1998), transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Dari uraian tersebut terlihat bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak kepada masa dewasa, yakni individu yang bersangkutan harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan dalam waktu yang sama harus mulai mempelajari perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkannya dari masa sebelumnya Masyarakat memiliki harapan sosial terhadap setiap tahap perkembangan manusia, termasuk terhadap mereka yang berada pada tahap remaja. Para remaja diharapkan dapat menguasai berbagai keterampilan tertentu yang dibutuhkan untuk mengisi kehidupannya dan memperoleh pola perilaku yang sesuai dengan norma-norma
yang
berlaku
di
dalam
masyarakat.
Havighurst
(1972)
menamakannya sebagai tugas-tugas perkembangan, yaitu tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu. Tugas perkembangan yang harus ditampilkan oleh remaja adalah: (1) mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, (2) mencapai peran sosial pria dan wanita, (3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, (4) mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, (5) mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, (6) mempersiapkan karir ekonomi, (7) mempersiapkan perkawinan dan keluarga, dan (8) memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pasangan untuk berperilaku ke arah perkembangkan ideologi.
30 Tugas perkembangan remaja difokuskan pada cara pola perilaku masa kanak-kanaknya mulai ditinggalkan dan persiapan tindakan yang akan diambilnya untuk menghadapi masa berikutnya. Erikson (Newman & Newman 2006) mengemukakan bahwa tugas perkembangan remaja awal (12 - 18 tahun) adalah kematangan secara fisik, perkembangan emosional, keanggotaan dalam peergroup dan menjalin hubungan antar jenis kelamin. Berbagai faktor dapat menyebabkan keberhasilan atau kegagalan tugas perkembangan remaja. Faktor yang dapat membantu tugas perkembangan remaja adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan tingkat perkembangan yang normal, adanya kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan melalui bimbingan untuk menguasainya, motivasi, kesehatan yang baik dan tidak menyandang kecacatan, dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi yang kreatif. Faktor yang dapat dikategorikan sebagai penghambat tugas perkembangan remaja adalah mundurnya tingkat perkembangan, tidak ada kesempatan bagi remaja untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan, tidak adanya motivasi, memiliki kondisi fisik yang buruk, menyandang cacat tubuh dan memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Tugas perkembangan remaja yang berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi sebaliknya jika kegagalan yang dihadapi, maka individu akan dihadapkan pada suatu situasi yang menimbulkan rasa tidak bahagia dan menimbulkan hambatan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Berbagai permasalahan yang dialami oleh para remaja dalam upaya pelaksanaan tugasnya di antaranya adalah: kenakalan, penyalahgunaan narkoba, keterlantaran, hidup di jalanan dan sebagainya. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin Adolescere, yang memiliki arti “tumbuh menjadi dewasa.” Di dalam semua masyarakat, remaja merupakan suatu masa untuk tumbuh dari ketidakmatangan pada masa kanakkanak menuju pada kematangan masa dewasa. Remaja berada pada masa transisi dalam aspek biologis, psikologis, sosial dan ekonomi, dan hal ini merupakan periode yang sangat mengesankan dalam kehidupannya. Mereka akan menjadi individu yang lebih bijaksana, lebih berpengalaman dan lebih mampu dalam membuat keputusannya sendiri. Remaja sudah diperbolehkan untuk bekerja,
31 menikah dan mengambil keputusan serta pada akhirnya mereka dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mendukung dirinya sendiri secara finansial (Steinberg 1993). Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak ada satupun angka yang pasti untuk memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja. Sebagai contoh, beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbedabeda, seperti : Hurlock (1998) menyatakan bahwa usia remaja berkisar antara 13 sampai 18 tahun. Jersild (1967) menyatakan bahwa usia remaja berkisar antara 12 sampai 21 tahun dan Cole (1963) menyatakan antara 13 dan 21 tahun. Di dalam kenyataannya masih terdapat perbedaan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan, dan biasanya remaja perempuan mengalami perkembangan lebih cepat daripada remaja laki-laki. Cole (1963) lebih jauh membagi masa remja kedalam tiga tahapan, yaitu masa remaja awal (perempuan 13 sampai 15 tahun; laki-laki 15 sampai 18 tahun); masa remaja pertengahan (perempuan 15 sampai 18 tahun; laki-laki 17 sampai 19 tahun); dan masa remaja akhir (perempuan 18 sampai 21 tahun; laki-laki 19 sampai 21 tahun). Apabila dilihat dari usia remaja di atas, pada umumnya mereka masih duduk di bangku SLTP dan SLTA serta sebagian sudah di Perguruan Tinggi. Proses perkembangan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, maka perkembangan yang terjadi pada remaja yang masih duduk di tingkat SLTP tidak akan sama dengan mereka yang berada pada tingkat SLTA dan juga Perguruan Tinggi, walaupun kehidupan manusia pasti tidak akan lepas dari masa sebelumnya dan masa yang akan datang. Usia remaja yang duduk di tingkat SLTP dan SLTA berkisar antara usia 13 sampai 19 tahun, termasuk dalam masa remaja awal, pertengahan dan telah mendekati masa remaja akhir. Perkembangan yang terjadi pada mereka meliputi aspek fisik, psikis dan sosial di mana ketiga aspek ini akan mencapai kematangan pada masa remaja akhir. Diharapkan pada akhir masa remaja, mereka telah menunjukkan sikap dewasa, bukan sebagai kanak-kanak lagi. Pada masa transisi ini tidak jarang para remaja mengalami kesulitan di dalam mencapai keberhasilan untuk memasuki masa dewasa. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Keniston (Hurlock 1998), bahwa transisi yang diikuti dengan
32 adanya perubahan-perubahan selalu menimbulkan kesulitan atau masalah. Kesulitan yang timbul seringkali dipengaruhi oleh kondisi masing-masing individu, tuntutan masyarakat dan lingkungan tempat remaja berada. Para remaja berada dalam kondisi yang tidak stabil di mana mereka merasa tidak aman karena harus mengganti atau mengubah pola perilaku kanak-kanak dengan pola perilaku orang dewasa. Keadaan emosi yang tidak stabil ini dapat mendatangkan perasaan tidak berbahagia (unhappiness) pada diri remaja (Hurlock 1998).
Model dalam Memahami Remaja Dunham & Jones (Jones dan Pritchard 1980) mengemukakan bahwa lima model untuk memahami remaja yaitu: (1) Model Konstitusi, (2) Model Krisis Identitas, (3) Model Belajar Sosial, (4) Model Kebutuhan, dan (5) Model Stres. 1. Model Konstitusi (Constitutional Model) Model ini didasarkan atas perspektif biologis dan konstitusional yang mempelajari perubahan yang telah terjadi dalam aspek fisik dan kapabilitas fisik remaja. Studi ini menjelaskan tentang perbedaan usia pada saat remaja mengalami pubertas, dampak dari perkembangan yang terjadi lebih awal atau lambat, dampak selanjutnya pada perbedaan jenis kelamin dan hubungan antara temperamen dan kepribadian. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan di dalam perkembangan biologik individu. Sebagian perempuan yang berusia 11 sampai 12 tahun telah menginjak remaja dan mengalami menstruasi, sedangkan yang lainnya belum menampakkan tanda-tanda kematangan seksual, seperti belum terlihat tumbuhnya payudara. Kematangan yang terjadi lebih awal pada remaja perempuan akan memperlihatkan kecenderungan memiliki tubuh yang lebih besar dan lebih kuat dibanding dengan remaja laki-laki yang berusia 11 sampai 12 tahun karena remaja laki-laki pertumbuhannya lebih lambat. Menurut Reynolds (Jones dan Pritchard 1980), perubahan fisiologis yang terjadi lebih awal pada remaja perempuan cenderung berbeda pada setiap generasi. Rata-rata usia remaja perempuan mengalami menstruasi adalah setelah 13 tahun dan sebanyak 95 persen dari seluruh perempuan mengalaminya pada usia antara 10 sampai 15 tahun. Oleh karena itu banyak
33 remaja
perempuan
mulai
mengalami
menstruasi
sebelum
mereka
menyelesaikan sekolah menengah dan banyak juga di antara mereka yang baru mengalaminya selepas dari sekolah lanjutan. Remaja laki-laki memperlihatkan kecenderungan lebih awal dalam kematangan seksual yang ditandai dengan tumbuhnya jakun lebih awal. Menurut Reynold (Jones dan Pritchard, 1980), perbedaan individu dalam perkembangan biologik pada remaja laki-laki memiliki rentang usia lebih luas dibanding pada remaja perempuan, misalnya akselerasi pertumbuhan penis terjadi pada usia 13,5 tahun sedangkan lainnya dimulai pada saat usia 14,5 tahun. Terdapat implikasi psikologik yang penting dari kenyataan fisiologis ini karena banyak anak laki-laki usia antara 13 dan 14 tahun telah mencapai kematangan seksual dan memiliki tinggi badan serta kekuatan yang hampir sama dengan orang dewasa, dan banyak anak laki-laki yang berada pada usia yang sama tetapi masih memiliki sifat kekanak-kanakan. Perbedaan ini dapat menyebabkan kesulitan dalam hal penyesuaian di sekolah karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini cenderung memberikan perlakuan pada usia yang melekat pada anak yang memiliki perkembangan fisiologis yang sama dibanding responnya pada aspek fisik masing-masing individu. Hal nyata lain yang dapat digambarkan sama seperti identitas adalah temperamen yang juga merupakan dasar dari konstitusional. Menurut Rutter (Jones dan Pritchard 1980), temperamen didefinisikan sebagai gaya atau tempo perilaku individu yang berhubungan dengan karakteristik seperti hal yang biasa terjadi pada siklus biologis (tidur/bangun, lapar/kenyang), dan kemampuan untuk merespon perubahan keadaan serta intensitas dalam merespon emosionalnya.
2. Model Krisis Identitas (Identity Crises Model) Model ini menjelaskan bahwa perilaku remaja seringkali terganggu oleh krisis identitas di mana beberapa dari mereka mencoba untuk menyelesaikan masalahnya dengan menarik diri dari lingkungan orang tua, guru-guru dan tidak jarang dari teman-teman sebayanya. Erickson (1968) berpendapat bahwa remaja
membutuhkan
periode
yang
disebut
sebagai
”psychosocial
34 moratorium” selama mereka mencoba pencarian identitasnya. Pada akhir fase remaja, mereka akan membentuk self-concept yang memberikan kemampuan kepada mereka untuk melanjutkan memainkan sejumlah peranan yang berbeda tanpa kehilangan kesadaran diri yang jelas akan identitas kepribadiannya. Menurut pandangannya, suatu pribadi yang utuh dapat mengatasi masalahmasalah yang terjadi pada masa dewasa dalam kehidupan perkawinannya dan apabila individu memiliki pengalaman pada saat remaja, maka mereka akan melakukan peranan yang berbeda-beda dalam upaya mencari jati dirinya. Mencoba-coba peranan dan identitas yang berbeda-beda membantu remaja untuk menyiapkan dirinya dalam menjalankan pilihan yang telah dibuatnya. Mereka membuat pilihan tentang sesuatu yang disesuaikan dengan identitasnya baik sebagai pekerja maupun bukan pekerja dan selanjutnya memutuskan sesuatu yang akan dilakukannya sesuai dengan pilihan yang telah dibuat. Untuk melakukan semua ini menuntut banyak perhatian dan energi. Termasuk ke dalam hal ini adalah keragu-raguan dalam mempertimbangkan identitas etnik untuk menjadi anggota kelompok minoritas tertentu dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai ras, serta gangguan akan ketidakpastian identitas seksualnya.
3. Model Belajar Sosial (Social Learning Model) Sampai sekarang perspektif social learning masih digunakan untuk menggambarkan bagaimana perilaku remaja terbentuk. Rutter (Jones dan Pritchard, 1980) menemukan bukti bahwa walaupun perasaan kesepian dan depresi secara umum terjadi pada individu saat berusia 14 tahun, namun perasaan ini seringkali tidak dikenal pada masa dewasa dan ia juga menemukan bahwa gangguan kejiwaan lebih sering dialami selama masa remaja dibanding pada masa kanak-kanak. Kritik keras terhadap perspektif krisis yang dialami oleh remaja dilontarkan oleh Bandura berdasarkan hasil studinya yang diterapkan pada pengalaman mereka yang berusia belasan tahun di Amerika. Hasil studi menunjukkan bahwa banyak para pemuda yang tersosialisasi tanpa gangguan yang tiba-tiba dari masa kanak-kanak ke dalam peranan yang akan dimainkan pada masa
35 dewasa. Mereka mengetahui apa yang diharapkannya dan identitas mereka ditandai dengan harapannya tersebut seperti perkembangan yang berangsurangsur pada pekerjaan, identitas etnis dan seksualnya. Bandura (1970) menegaskan bahwa remaja berperilaku seperti yang diharapkan masyarakat untuk berperilaku. Apabila masyarakat memberikan label pada remaja sebagai “usia belasan” dan mengharapkan mereka untuk memberontak, menjadi individu yang tidak rapi, dan berperilaku sembrono, dan apabila gambaran ini diulang-ulang diperkuat melalui media massa, maka harapan kultural tersebut akan memberikan dorongan yang kuat kepada remaja untuk melakukan pemberontakan. Banyak penelitian Bandura yang berhubungan dengan perilaku agresif dan interpretasinya
bertentangan
dengan
penjelasan
psiko
analisis
yang
menekankan pada pentingnya pelepasan energi secara langsung atau dialami sendiri, misalnya melihat langsung adegan kekerasan yang ditayangkan di televisi maka akan memberikan simulasi bagi penontonnya untuk melakukan imitasi terhadap model agresi yang dilihatnya tersebut dan pengaruh dari tayangan televisi tidak dapat diperkirakan.
4. Model Kebutuhan (Need Model) Perspektif yang keempat untuk memahami perilaku remaja adalah dengan berupaya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Teori ini untuk pertama kali ditemukan oleh Maslow (1970), yang menyatakan terdapat lima tingkatan kebutuhan yang apabila kebutuhan pertama telah terpenuhi maka kita akan memberikan perhatian pada pemenuhan kebutuhan tingkat kedua dan selanjutnya meneruskannya sampai pada tingkat kebutuhan yang paling akhir. Kebutuhan-kebutuhan ini adalah: (a) Fisiologis (physiological), (b) Keamanan (security), (c) Penerimaan (acceptance), (d) Identitas (identity), dan (e) Pencapaian diri (self-fulfillment). Pemenuhan akan kebutuhan fisiologis sebagai tingkat yang paling dasar telah dibuktikan dalam beberapa eksperimen. Menurut Wilkinson (Jones dan Pritchard 1980), studi tentang orang-orang yang memiliki pengalaman kurang tidur menunjukkan peningkatan yang nyata dalam perilaku agresif dan tidak
36 rasional. Studi tentang orang-orang yang memiliki stimulasi yang rendah memperlihatkan
indikasi
akan
mempengaruhi
kemampuannya
dalam
berkonsentrasi dan membuat keputusan. Kesimpulan yang penting dari eksperimen ini adalah bahwa otak tidak akan bekerja secara efektif dalam keadaan jenuh dan monoton. Hierarki Maslow berikutnya adalah kebutuhan akan rasa aman yakni apabila tidak terpenuhi akan mendominasi pikiran dan perilaku remaja. Remaja memperhatikan keamanan kerja karena ketakutan tidak mendapatkan pekerjaan akan membuatnya tidak memperhatikan dirinya dengan bagian lain dari situasi pekerjaan, misalnya pelatihan dan situasi rumah kemungkinan tidak memberikan kemampuan baginya untuk memenuhi tuntutan keluarga. Maslow berpendapat bahwa apabila kebutuhan fisiologis dan rasa aman dapat terpenuhi, maka kebutuhan selanjutnya kemungkinan dapat terpenuhi pula. Terpenuhinya kedua kebutuhan ini membuat remaja sadar akan dan memberikan perhatian pada kebutuhan untuk diterima, mendapatkan kasih sayang, dan perhatiannya akan diekspresikan sebagai suatu kebutuhan untuk memiliki kelompok. Kebutuhan untuk mendapatkan identitas termasuk di dalamnya adalah pengakuan akan diri dan pengakuan dari orang lain. Kepuasan akan pemenuhan kebutuhan ini akan menghantarkan pada perasaan percaya diri dan harga diri. Manakala keempat tingkat pemenuhan kebutuhan ini tercapai, maka menurut Maslow individu tersebut dapat memberikan perhatiannya
pada
pemenuhan
kebutuhan
akan
pencapaian
dirinya.
Perilakunya akan dimotivasi oleh tujuan dominan pertumbuhan pribadi untuk mencapai potensi dirinya. Mereka akan mencapai tantangan untuk mencapai tingkatan kompetensi yang lebih tinggi. Perilakunya akan sangat berbeda dari remaja yang masih mencoba untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, rasa aman, penerimaan dan pencapaian identitas.
5. Model Stres (Stress Model) Pringle (Jones dan Pritchard 1980) menyatakan bahwa frustrasi merupakan respon terhadap kehidupan yang dialami hanya terjadi pada sejumlah kecil pemuda. Jumlah yang lebih besar adalah respon dalam bentuk emosional yang
37 lainnya serta perilaku dan gejala psikosomatis. Perspektif dari model stres ini mencoba untuk memahami perilaku remaja dan mencari masalah-masalah yang berhubungan dengan respon terhadap situasi stres yakni remaja dapat mengatasinya dengan keluarganya, di lingkungan sekolah, di tempat kerja dan di dalam masyarakat. Tingkat pengangguran yang tinggi merupakan satu contoh yang menimbulkan respon berupa kenakalan, kekerasan, sinisme, depresi dan apatis. Respon-respon terhadap situasi stres yang muncul dibatasi oleh tersedianya sumber daya pada diri remaja. Termasuk ke dalam sumber daya ini adalah kekuatan dan kelemahan diri, penerimaan, pengakuan dan dukungan yang diterimanya dari keluarga dan lingkungan kelompok sebayanya (peer groups), di sekolah, di tempat kerja serta fasilitas untuk mengisi waktu luang dan
rekreasi
yang
tersedia
dalam
masyarakat.
Sebagian
remaja
mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah yang baru untuk memenuhi tuntutan yang berasal dari lingkungan rumah, sekolah, dan tempat kerja. Apabila upaya yang dilakukan ini tidak berhasil, maka mereka akan mengalami frustrasi. Frustrasi diekspresikan di dalam perasaan jengkel sampai kemarahan besar dan juga secara tidak langsung menghasilkan bentuk agresi. Frustrasi dan stres juga diasosiasikan dengan perkembangan symptom psikosomatis seperti sakit kepala, sakit perut, gangguan tidur dan panas tubuh. Respon emosional yang lain pada situasi stres adalah kecemasan (anxiety). Tingkat kecemasan yang tinggi berhubungan dengan perasaan tidak nyaman, kehilangan kepercayaan diri, kebingungan berfikir dan panik. Kecemasan yang tinggi juga dimunculkan dalam gejala psikosomatis. Apabila situasi stres tidak berkurang dan tidak ada peningkatan sumber daya, maka saluran dalam sumber emosional remaja akan diikuti oleh kelelahan dan nervous. Manakala situasi stres tidak dapat dimodifikasi maka remaja mencoba untuk melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang-orang sekitarnya. Ketidakhadiran di tempat kerja dan sekolah merupakan salah satu bentuk yang lebih nyata dari penarikan diri, akan tetapi dalam keadaan yang lebih ekstrim akan terjadi penarikan diri secara psikotis. Laing dan Esterson (1964) lebih jauh
38 berpendapat bahwa stres di dalam keluarga akan berkembang ke arah gangguan schizophrenic, khususnya selama masa remaja akhir.
Remaja dan Lingkungannya: Kelompok Teman Sebaya (Peer Groups) Dalam masyarakat modern, peer groups menjadi lingkungan yang penting dimana remaja menghabiskan waktu nya. Modernisasi mengarahkan pada lebih banyak dilakukan segregasi usia di berbagai lingkungan, seperti sekolah, tempat kerja dan di dalam masyarakat. Semua remaja menghabiskan waktu setiap hari dengan sebayanya selain di sekolah dan mayoritas bertemu atau mengobrol dengan teman-temannya di sore hari, malam hari dan di akhir minggu (Medrich, et al. 1982). Bahkan pada saat remaja bekerja paruh waktu, mereka lebih menyukai bekerja dengan orang-orang yang seusia dibanding dengan orang dewasa (Greenberger 1986). Saat ini sudah terlihat remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dalam perkumpulan eksklusif diantara teman sebayanya dan peran teman sebaya akan mempertajam perkembangan psikososial remaja. Studi menunjukkan bahwa mood remaja lebih positif ketika mereka sedang bersama teman - temannya. Memahami bagaimana bentuk teman sebaya remaja dan bagaimana batasan-batasannya merupakan hal yang penting untuk memahami perkembangan remaja di dalam masyarakat modern. Tidak ada pembicaraan tentang perkembangan identitas remaja yang utuh tanpa menguji bagaimana dan mengapa remaja mendapatkan identitasnya dari kelompok di mana ia menghabiskan waktunya bersama.Tidak ada pembicaraan tentang pertemanan remaja yang utuh tanpa mengamati klik remaja dan bagaimana mereka terbentuk. Tidak ada pembicaraan tentang aspek seksual remaja yang utuh tanpa menguji bagaimana dan kapan peer groups berubah dari kelompok yang berjenis kelamin sama kepada kelompok yang beranggotakan jenis kelamin yang berbeda. Tanpa memperhatikan struktur atau norma peer group, teman sebaya memainkan peranan yang penting di dalamperkembangan psikologis remaja. Relasi sebaya yang bermasalah berhubungan dengan masalah-masalah psikologis dan perilaku selama masa remaja. Individu yang tidak populer dan memiliki relasi
39 yang rendah selama remaja memiliki prestasi yang rendah di sekolah, drop out dari
sekolah
menengah,
mengalami
ketidakmampuan
dalam
belajar,
memperlihatkan perilaku nakal yang tinggi, dan akan mengalami penderitaan akibat masalah emosional dan kesehatan mental pada masa dewasanya (Savin dan Berndt 1990). Teman sebaya juga memainkan peranan penting dalam mempromosikan perkembangan psikososial ke arah yang normal. Dalam aspek identitas, teman sebaya menyediakan model dan umpan balik yang remaja tidak dapatkan dari orang dewasa. Dalam konteks peer groups, remaja dapat mencoba-coba peranan yang berbeda, kepribadian dan eksperimen dengan identitas yang berbeda dengan lebih mudah dibanding ketika ia berada dalam rumah. Peer groups akan memberikan jalan ke arah perkembangan identitas dan pengalaman remaja berada dalam peer groups juga dapat menjadi pengaruh yang penting pada pembentukan self-image nya (Brown, et al. 1986). Pengalaman dalam peer group pun merupakan hal penting dalam perkembangan dan mengekspresikan autonomy. Proses perkembangan lebih matang dan relasi yang lebih bebas dengan orang tua disertai oleh lebih matangnya relasi remaja dengan teman sebayanya. Lebih lanjut, peer group menyediakan konteks bagi remaja untuk menguji keterampilan membuat keputusan dan mengontrol pilihannya (Hill dan Holmbeck 1986). Intimacy dan sexuality merupakan hal yang lebih umum terjadi diantara teman sebaya dibanding antara remaja dan orang dewasa karena berbagai alasan. Hal ini mungkin saja terjadi karena kedua hal tersebut menghendaki interaksi antara dua individu yang relatif memiliki kesamaan. Lebih jauh, bahwa hubungan seksual dan keintiman di dalamkonteks keluarga lebih kepada sebagai pelaksanaan fungsi dari relasi keluarga (Hartup 1983). Untuk itulah peer group dimana remaja berada, secara umum memainkan peranan utama di dalamremaja melakukan sosialisasi terhadap perilaku seksual dan dalam perkembangan kapasitas untuk persahabatan yang lebih intim. Menurut Epstein (Steinberg 1993), bahwa teman sebaya memberikan pengaruh yang penting dalam pencapaian prestasi. Walaupun memberikan pengaruh yang kecil dibanding orang tua dan guru, peer group pastilah
40 mempengaruhi remaja dalam perencanaan pendidikan dan pekerjaan. Waktu dimana remaja menghabiskan dengan teman sebaya merupakan satu bagian yang menyenangkan dalam keseharian mereka. Salah satu alasannya adalah bahwa aktivitas dengan teman dianggap sebagai pengisian waktu yang menyenangkan dan sebaliknya aktivitas dengan orang tua dianggap sebagai hal yang ditujukan bagi pelaksanaan aturan dalam rumah tangga. Keluarga dan peer group terlihat seperti menyediakan kesempatan yang bertolak belakang bagi aktivitas dan perilaku remaja. Keluarga diorganisir sekitar pekerjaan dan pelaksanaan tugastugas lainnya dan mungkin penting dalam sosialisasi pada tanggungjawab dan prestasi. Peer group menyediakan kesempatan lebih untuk interaksi dan kesenangan yang memberikan sumbangan pada perkembangan bidang intimacy dan pencapaian mood dan keadaan psikologis remaja yang lebih baik.
Lingkungan Sekolah Sekolah memainkan peranan penting dalam menstrukturisasi hakekat dari remaja pada masyarakat modern, oleh karena itu sistem pendidikan menjadi target perhatian dari sejumlah kritikus, peneliti dan penelitian ilmu sosial. Orang tua, guru, administrator pendidikan dan para peneliti berdebat tentang hal-hal yang harus diajarkan di sekolah, cara sekolah harus diorganisir dan cara sekolah harus mengajarkan yang terbaik bagi murid-muridnya. Debat mereka seputar isu-isu apakah sekolah menengah atas harus memberikan instruksi kepada muridnya dalam bidang dasar-dasar membaca, menulis dan aritmatik atau mendisain kelaskelas untuk mempersiapkan remaja ke arah kedewasaan secara sosial dan emosional sebaik seperti aspek intelektual, atau apakah murid belajar di sekolah yang lebih kecil dan kelas yang lebih kecil atau apakah dianggap lebih efisien untuk menggabungkan sumber-sumber ke dalam sekolah yang lebih besar yang dapat mengakomodir berbagai mata ajar dan aktivitas yang lebih bervariasi. Mereka mempertanyakan apakah remaja disekolahkan di sekolah menengah pertama
yang
terpisah,
apakah
murid
harus
dikelompokkan
sesuai
kemampuannya, dan apakah situasi ruang kelas tertentu disukai oleh murid yang lainnya.
41 Menurut Friedenberg dan Hill (Steinberg 1993), para pengamat mencatat bahwa sekolah tidak dibentuk untuk meningkatkan perkembangan psikososial remaja dengan lebih memfokuskan pada kesesuaian dan kepatuhan serta kesenjangan untuk kreativitas, kemandirian dan kepercayaan diri. Akan tetapi, banyak sekolah-sekolah yang bagus yang murid-muridnya tidak hanya belajar materi akademis di dalam kelas tetapi belajar tentang dirinya, cara berelasi dengan orang lain dan masyarakatnya dengan baik. Sekolah berbeda satu dengan lainnya dan akan sulit untuk menggeneralisasi mengenai dampak sekolah pada perkembangan remaja tanpa mengetahui lebih banyak tentang sekolah. Sangat penting untuk dikenali bahwa perhatian dan tujuan murid tidak memandang sekolah dalam agenda akademisnya. Dalam suatu studi, peneliti meminta kepada murid untuk mengisi hal-hal yang baik dan buruk tentang sekolah. Menurut mereka hal yang dianggap terbaik dari sekolah adalah ”pada saat bersama-sama dengan teman-teman” dan ”bertemu dengan orang yang baru”. Hal yang terburuk menurut mereka adalah pekerjaan rumah, ujian dan pembatasan-pembatasan
dari
sekolah
(Steinberg
1993).
Orang
dewasa
mengevaluasi sekolah terbatas pada kontribusinya terhadap aspek kognitif dan perkembangan karir remaja, akan tetapi dari sisi remaja, sekolah merupakan tempat utama untuk sosialisasi. Studi lain menunjukkan bahwa pengalaman murid di sekolah dapat bervariasi tergantung pada berada di kelas berapa murid yang bersangkutan, peer group yang dimiliki dan aktivitas ekstrakurikuler yang diikutinya. Dapat dikatakan bahwa murid yang memiliki bakat akademis dan kemampuan ekonomi memiliki pengalaman yang lebih positif di sekolah . Positif di sini tidak hanya berkenaan dengan apa yang mereka pelajari di kelas, tetapi berkenaan dengan dampak sekolah pada perasaan mereka tentang dirinya sebagai individu. Guruguru mereka memberikan perhatian lebih, mereka lebih menyukai posisi pemimpin dalam organisasi ekstrakurikuler dan lebih menyukai mendapatkan pengalaman di kelas yang menyediakan tantangan. Dengan kata lain, struktur sekolah seperti ukuran, kebijakan tiap kelas dan kurikulum menyediakan kesempatan yang berbeda dalam aspek intelektual dan psikososial bagi murid yang tinggal di tempat yang berbeda di dalam struktur tersebut.
42 Bronfenbrenner (Klein dan White 1996) melihat bahwa individu tumbuh dan beradaptasi melalui pertukaran dengan ekosistem yang paling dekat (keluarga) dan lingkungan yang lebih jauh seperti sekolah. Individu selalu berhubungan mulai dari konsepsi sampai selanjutnya ke masa depan. Walaupun perkembangan anak terjadi secara genetik, namun perkembangan ini selalu dalam konteks hubungan ini dan selanjutnya perkembangan anak merupakan interaksi dengan lingkungan yang ada di sekitar kehidupan anak.
Perkembangan Psikososial Remaja Pada masa remaja awal, perubahan fisik terjadi secara cepat dan akan semakin sempurna pada masa remaja pertengahan dan remaja akhir. Menurut Cole (1963), perkembangan fisik merupakan dasar perkembangan dari aspek lain yang mencakup psikis dan sosial. Hal ini berarti bahwa jika perkembangan fisik berjalan secara baik dan lancar maka perkembangan psikis dan sosial juga akan lancar. Akan tetapi, apabila perkembangan fisik terhambat, maka perkembangan psikis dan sosial pun akan terganggu pula, sehingga menyulitkan remaja untuk mendapatkan tempat secara wajar dalam kehidupan masyarakat dewasa. Kalaulah perkembangan fisik remaja SLTA dikatakan tidak lagi menjadi masalah, tidak demikian dengan perkembangan psikososialnya. Istilah psikososial digunakan untuk menggambarkan aspek perkembangan yang meliputi psikologis dan sosial. Menurut Newman dan Newman (2006), teori psikososial menempatkan perkembangan manusia sebagai hasil interaksi yang berlangsung antara aspek biologis individu dan kebutuhan serta kemampuan psikologis pada satu sisi dan pada sisi lain antara harapan-harapan dan tuntutantuntutan sosial. Teori ini memperhitungkan pola-pola perkembangan individu yang muncul dari proses biopsikososial. Huxley (Newman dan Newman 2006) menyatakan bahwa teori psikososial berhubungan dengan evolusi psikososial, yang merupakan konstrak untuk merujuk pada rentang kemampuan manusia yang menggabungkan pengetahuan yang berasal dari leluhur dan meneruskannya pada keturunannya. Praktek-praktek pengasuhan anak, pendidikan dan model-model komunikasi sebagai contoh mekanisme yang meneruskan informasi dan cara-cara berpikir dari satu generasi
43 pada generasi berikutnya. Pada saat yang sama, orang-orang memilah informasi baru, cara-cara berpikir yang baru, dan cara-cara mengajarkan yang ditemukan kepada orang lain. Dalam hal ini, evolusi psikososial diproses dengan cepat dan membawa perubahannya dalam teknologi dan ideologi yang memberikan jalan kepada kita untuk menciptakan dan memodifikasi aspek fisik dan lingkungan sosial kita. Menurut Erikson (Salkind 1985), terdapat delapan tahapan perkembangan psikososial manusia, yaitu: (1) Oral sensory (0-1 tahun), (2) Muscular-anal (2-3 tahun), (3) Locomotor-genital (4-5 tahun), (4) Latency (6-11 tahun), (5) Puberty and adolescence (12-18 tahun), (6) Young adulthood, (7) Adulthood, dan (8) Maturity. Masa remaja berada pada tahapan kelima yaitu Puberty and Adolescence. Pubertas merupakan waktu di mana beberapa perubahan yang drastis terjadi dalam semua bidang perkembangan individu. Setelah masa ini, anak tidak memiliki pengalaman perubahan kapasitas dan kebutuhan yang besar dalam aspek fisik dan psikologis. Remaja diharapkan mulai mendefinisikan minatnya dalam batas-batas pilihan karir, pendidikan selanjutnya, keterampilan berusaha dan membangun sebuah keluarga. Dalam aspek biologis dan kultural, remaja mempertimbangkan bagaimana beralih dari masa kanak-kanak untuk masuk ke dalam masa dewasa. Masa ini dianggap sebagai masa terjadinya perubahan yang besar dan mengesankan, dan masa di mana individu mengembangkan identitasnya atau mendefinisikan tentang dirinya. Pada masa ini remaja mulai menyeleksi dan mendefinisikan peran dan bersiap-siap untuk mengambil posisi sesuai pilihannya. Apabila proses perkembangan ini berhasil, maka selanjutnya remaja akan membutuhkan rasa aman. Dengan terlaluinya ke empat tahap sebelumnya, remaja akan memperoleh kepercayaan, kemandirian, kapabilitas untuk berperilaku sesuai dengan apa yang telah didefinisikannya dan memperluas kompetensinya dalam menampilkan keterampilan-keterampilan tertentu. Langkah penting berikutnya adalah perkembangan akan identitas atau bertanya tentang “Siapa saya?” dan “Ide, pikiran, atau tujuan apa yang saya rasakan untuk mempresentasikan pikiran saya?” Apabila lingkungan tidak mendukung dan apabila remaja menemukan kesulitan untuk menampilkan peran, maka hasilnya dapat menjadi suatu pendefinisian yang salah tentang konsep identitas diri yang oleh Erickson disebut
44 sebagai role confusion. Dalam beberapa hal sangat dipahami apabila remaja mengalami kesulitan besar di dalammendefinisikan peranan tertentu atau menentukan kepercayaannya. Menurut Steinberg (1993), terdapat lima aspek perkembangan psikososial yang terjadi selama masa remaja : 1.
Identity Erickson (1968) menandai masa remaja sebagai periode pembentukan identitas. Pencapaian identitas merupakan tugas utama dari remaja dan digunakan istilah ”role confusion” untuk menggambarkan kesenjangan dalam pencapaian identitas ini. Selama dalam masa remaja, individu mencoba untuk memahami siapa mereka dan mulai memasuki bidang seksual, karir dan politik. Keberhasilan dalam pencapaian identitas tergantung pada keberhasilan mereka dalam melakukan interaksi dengan lingkungan tempat mereka berada, terutama rumah, sekolah dan masyarakat. Menurut Jessor (1993), perilaku beresiko pada masa remaja merupakan hal yang penting di dalam perkembangan identitas mereka. Pendekatan ”cost-benefit” dapat digunakan untuk menganalisis perilaku beresiko yang teridentifikasi dan beberapa perilaku beresiko ini dapat mengarahkan kepada keberfungsian sosial dan personal di dalam perkembangan identitas.Untuk membantu perkembangan identitas, remaja seringkali mencari persetujuan dan mengukur dirinya sendiri. Mereka mulai ”try on” dalam gaya hidup atau perangai yang berbeda untuk mencari apa yang dianggapnya ”benar.” Di dalam pencarian identitas ini, remaja membutuhkan model peranan yang sehat dan tempat yang tepat untuk mengukur resiko yang akan diambilnya. Untuk beberapa remaja, model perannya adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. Area lain untuk pencapaian prestasi dan kompetensi di mana resiko diambil oleh remaja adalah dengan melalui keterlibatan dan pencapaian dalam berbagai kegiatan, seperti prestasi akademis, prestasi dalam bidang atletik atau dalam bidang seni. Sementara terdapat pula remaja yang kurang beruntung di mana mereka memiliki sedikit model peran dan sedikit kesempatan untuk mencapai kompetensi diri. Remaja yang berada pada kondisi ini memilih resiko dengan
45 menggunakan minuman dan alkohol, melakukan aktivitas seksual dini atau melakukan kejahatan. 2.
Autonomy Remaja berupaya untuk menentukan dirinya sebagai individu yang mandiri, menentukan dirinya sendiri di mata dirinya dan di mata orang lain, dan hal ini terjadi dalam waktu yang lama serta merupakan proses yang sulit, bukan hanya untuk para pemuda akan tetapi bagi orang-orang di sekelilingnya. Di dalam dunia remaja, autonomy diartikan sebagai sesuatu yang berbeda dari independence (Steinberg 1993). Secara umum, independence menunjuk pada kapasitas individu untuk berperilaku sesuai keinginannya. Pertumbuhan independence merupakan bagian dari perjalanan menuju autonomy selama masa remaja, akan tetapi autonomy memiliki aspek emosional dan kognitif selain juga aspek perilaku. Selama masa remaja terjadi perpindahan dari tipikal autonomy kanak-kanak ke arah tipikal autonomy dewasa, akan tetapi pertumbuhan autonomy selama masa remaja tidak jarang disalahartikan. Autonomy seringkali dikacaukan dengan pemberontakan, dan menjadi orang yang memiliki kebebasan seringkali disamakan dengan melarikan diri dari keluarga. Pandangan tentang autonomy ini muncul dengan anggapan bahwa remaja merupakan masa terjadinya stres dan kekacauan yang tidak dapat terelakkan lagi, mereka berada pada masa ”storm dan stres,” dan pada masa ini seringkali disebut sebagai masa yang spektakuler, secara aktif melakukan pemberontakan (Steinberg 1993). Pertumbuhan autonomy yang terjadi selama masa remaja ini dikatakan sebagai sesuatu yang bertahap, progresif dan walaupun penting tetapi relatif tidak bersifat dramatis. Remaja menghabiskan begitu banyak waktunya di luar pengawasan langsung dari orang dewasa dan belajar bagaimana membangun perilakunya sebagai tanggung jawab terhadap penampilan tugasnya. Beberapa remaja merasa tertekan, baik oleh orang tua, teman-teman dan media, untuk tumbuh secara cepat dan bertindak seperti orang dewasa pada usia lebih awal (Elkind 1982). Misalnya saja, remaja perempuan yang hamil dan takut untuk memberitahujan orang tuanya, harus mencari sendiri bantuan konseling yang dibutuhkannya.
46 Dalam autonomy dikenal ada tiga tipe, yaitu emotional autonomy di mana aspek independence dihubungkan dengan perubahan individu dalam hubungan emosional yang lebih dekat khususnya dengan orang tuanya. Tipe kedua adalah behavioral autonomy, yaitu kapasitas untuk membuat keputusan sendiri dan diikuti olehnya. Sementara tipe ketiga adalah value autonomy, yang berarti bahwa remaja memiliki sekumpulan prinsip benar dan salah tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting. 3. Intimacy Perkembangan intimacy selama masa remaja melibatkan perubahan di dalam kebutuhan remaja akan keakraban, perubahan dalam kemampuan untuk memiliki hubungan akrab dan perubahan di dalammemperluas cara-cara bagaimana mengekspresikan kemampuan keakraban tersebut. Walaupun perkembangan intimacy selama masa remaja seringkali dipelajari dalam hubungannya dengan pertemanan diantara peer-groups, akan tetapi hubungan intimacy remaja tidak dibatasi pada individu lain yang berumur belasan tahun. Orang tua seringkali memiliki hubungan yang akrab dengan anak remajanya, khususnya manakala anak-anak mereka mencapai tingkatan yang cukup untuk mencapai kematangan. Intimacy merupakan satu hal yang penting untuk diperhatikan di dalamrentang kehidupan individu. Teman-teman dan orang-orang yang akrab menyediakan dukungan pada saat perasaan emosional muncul, dan memberikan bantuan pada saat dibutuhkan, serta menemani di dalamberbagai aktivitas (Weiss, 1974). Apabila individu tidak memiliki teman pada masa kanak-kanaknya, dapat dipastikan bahwa individu tersebut memiliki masalah dalam aspek psikososial dan sosialnya (Hartup, 1983). Berbeda dengan individu yang berada pada masa remaja, dimana apabila mereka memiliki sedikitnya satu orang teman akrab, maka akan sangat bermanfaat bagi kesehatan individu yang bersangkutan (Myers, et al. 1975). Perkembangan intimacy, khususnya pada saat remaja menjadi penting untuk diperhatikan karena: (a) perubahan arti dan fungsi teman selama masa remaja. Hubungan yang terjadi ditandai dengan keterbukaan, kejujuran, selfdisclossure dan kepercayaan. Walaupun anak-anak tertentu pada usia sekolah
47 (7 sampai 12 tahun) menganggap penting memiliki teman, namun bentuk hubungannya berbeda dari bentuk pertemanan yang terjadi pada masa remaja. Pertemanan pada anak-anak berorientasi pada aktivitas, sebagai contoh membuat sesuatu dalam permainan dan berbagi kesenangan di antara mereka. Pada anak, teman adalah seseorang yang mempunyai kesenangan yang sama untuk melakukan sesuatu, apakah laki-laki atau perempuan. Akan tetapi pada masa remaja teman dekat adalah mereka yang memiliki dasar emosi yang kuat, yang membangun ikatan untuk membentuk teman yang peduli dan mengetahui serta saling memahami satu sama lain dalam situasi yang khusus; dan (b) terjadinya perubahan pada remaja yang berhubungan dengan dunia sosialnya. Pada masa remaja awal terjadi peningkatan akan pentingnya teman sebaya, dan selama masa remaja akhir terjadi peningkatan akan pentingnya hubungan teman sebaya dengan jenis kelamin yang berbeda. 4. Sexuality Seperti juga aspek perkembangan psikososial yang lainnya, aspek sexuality bukan merupakan hal baru yang dihadapi pertama kali oleh individu selama masa remaja. Seorang anak memiliki rasa ingin tahu tentang organ-organ seksnya dan pada awal usianya mendapatkan kesenangan melalui stimulasi genital. Aktivitas seksual dan perkembangan seksual ini akan berlanjut setelah masa remaja. Banyak dari kita sependapat bahwa masa remaja merupakan waktu penting yang mendasar untuk perkembangan seksualitas. Pada saat remaja awal terjadi peningkatan dalam dorongan seksual (Udry, 1987). Tidak saja selama pubertas individu mampu untuk melakukan reproduksi seksual tetapi juga pada saat sebelum pubertas, anak-anak sudah mampu melakukan kissing, petting, masturbation (onani) atau melakukan sexual intercourse (senggama). Peningkatan aktivitas seksual pada remaja seharusnya tidak semata-mata terjadi pada masa pubertas. Perubahan kognitif yang terjadi pada remaja memainkan peranan pada perubahan seksualnya. Hal ini terlihat jelas dalam perbedaan kegiatan seks pada anak-anak dan aktivitas seksual pada remaja di mana anak-anak tidak secara khusus melakukan refleksi terhadap perilaku seksualnya. Pengaruh perubahan fisik pada masa pubertas dan pertumbuhan
48 kemampuan berfikir tentang seksualitas pada masa remaja merupakan pemahaman sosial baru bagi remaja. Perilaku berkencan yang sudah mulai dilakukan oleh remaja akan menempatkan aspek seksual menjadi faktor psikososial penting yang harus menjadi perhatian. 5. Achievement Achievement (prestasi) merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam mempelajari remaja pada masyarakat sekarang ini. Masyarakat industri lebih menekankan aspek-aspek prestasi, kompetisi dan kesuksesan dibanding dengan aspek kerjasama atau kepuasan hubungan interpersonal (McClelland 1961). Di dalam masyarakat industri saat ini, tingkat pendidikan yang telah ditempuh oleh seseorang dan pekerjaan yang didapat merupakan dua indikator yang paling penting dari prestasi dan prestasi ini menjadi dasar untuk pembentukan konsep-diri individu dan dasar penilaian kesan orang lain pada pendidikan tersebut (Featherman 1980). Alasan lain mengapa prestasi menjadi hal penting di dalammempelajari remaja, berhubungan dengan terjadinya perubahan yang cepat pada pilihan yang dihadapi remaja saat ini. Tidak seperti yang banyak terjadi pada budaya tradisional, remaja dalam masyarakat modern dihadapkan kepada fenomena sulitnya memutuskan untuk bekerja dan berhenti menjalani pendidikan sebelum mereka berusia 25 tahun. Di samping pertanyaan mendasar seperti jenis karier apa yang akan ditempuh dan apakah akan melanjutkan sekolah menengah atas, terdapat kesulitan lain untuk dipertimbangkan seperti : pekerjaan khusus apa yang harus diraih dalam karier, jenis pendidikan apa yang paling tepat yang harus dipersiapkan untuk karier tersebut dan bagaimana masuk ke dalam dunia pekerjaan? Prestasi merupakan isu penting dalam mempelajari remaja pada masyarakat saat ini karena keluasan variasi keberhasilan di dalamtingkatan pendidikan dan pekerjaan. Walaupun telah banyak yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi selepas mereka dari sekolah menengah, namun banyak
juga
yang
meninggalkan
bangku
sekolah
sebelum
mereka
menyelesaikannya. Perbedaan yang serupa muncul pula dalam pencapaian prestasi di bidang pekerjaan. Kebanyakan pemuda mengalami transisi dari
49 sekolah kepada pekerjaan tanpa kesulitan besar, akan tetapi terdapat pula mereka yang pada akhirnya tidak mendapatkan pekerjaan. Pada populasi remaja yang mendapatkan pengalaman bekerja, muncul pertimbangan yang berhubungan dengan variasi dari upah yang didapat dan juga status dari pekerjaannya.
Masalah-masalah Psikososial Remaja Walaupun mayoritas dari pemuda dapat melalui masa remaja tanpa mengalami kesulitan yang berarti, namun beberapa melihat dengan serius masalah-masalah psikososial dan perilaku yang tidak hanya mengganggu kehidupannya akan tetapi mengganggu pula kehidupan orang-orang disekitanrnya. Masalah-masalah seperti penyalahgunaan obat-obatan, depresi dan bunuh diri, gangguan makan dan gangguan perilaku (termasuk kejahatan dan kenakalan) dirasakan oleh sejumlah remaja usia belasan. Secara tidak langsung, masalahmasalah tersebut menyentuh kehidupan kita semua, baik melalui kontak dengan orang yang bermasalah, maupun secara tidak langsung melalui peningkatan besarnya pajak untuk pelayanan masyarakat atau peningkatan kecemasan di lingkungan ketetanggaan kita: 1. Penyalahgunaan Obat-obatan dan Alkohol Di dalam kehidupan kita sehari-hari sekarang ini, para remaja dihadapkan pada pesan-pesan yang berhubungan dengan obat-obatan dan alkohol. Beberapa program di televisi memberikan pesan ”Katakan tidak” pada obatobatan dan alkohol. Akan tetapi ada juga program yang memperlihatkan permainan sepak bola yang ditonton oleh para penggemarnya yang memperlihatkan peonton membawa minuman beralkohol. Beberapa orang selebritis yang menjadi idola para remaja mengatakan akan memerangi narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba), akan tetapi bintang terkenal lainnya menggunakan obat-obatan yang sama. Remaja
yang
menyalahgunakan
obat-obatan
dan
alkohol
memiliki
karakteristik masalah sebagai berikut : a. Pemarah, impulsif, depresi dan prestasi buruk di sekolahnya (Brook, et al. 1989; Shedler dan Block 1990).
50 b. Individu yang memiliki jarak, bermusuhan atau konflik dengan keluarganya akan mengembangkan perilaku menyalahgunakan obatobatan dan alkohol daripada teman sebayanya yang memiliki hubungan dekat dengan keluarganya (Barnes 1980). Remaja pengguna obat-obatan dan alkohol memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan permisif, tidak memiliki kepedulian terhadap masalah yang terjadi pada anak atau menolak keberadaan anak (Baumrind 1991). c. Memiliki teman yang juga menggunakan obat-obatan dan alkohol dan memiliki toleransi untuk menggunakannya (Coombs, et al. 1991). d. Secara umum memiliki masalah perkembangan psikologis dan menjadi perantara untuk melakukan penyimpangan perilaku yang lain (Jessor dan Jessor 1977). 2. Kenakalan Remaja dan Gangguan Perilaku Pelanggaran terhadap peraturan lebih umum terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda daripada di kalangan usia yang lainnya. Kenakalan tertentu seperti bolos sekolah, lari dari rumah, atau mengkonsumsi alkohol merupakan perilaku yang menyebabkan penyimpangan ke arah perilaku yang lebih berbahaya. Hasil penelitian di Amerika menunjukkan bahwa violent crimes (penyerangan, perkosaan, pembunuhan) dan property crimes (perampokan, pencurian, pembakaran rumah) meningkat jumlahnya diantara usia pra remaja dan remaja atau pada tingkat sekolah menengah dan menurun jumlahnya pada usia dewasa muda. Keluarga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan remaja melakukan penyimpangan perilaku. Remaja menjadi nakal karena memiliki latar belakang perilaku agresif dan kekerasan sejak sebelum usia 8 tahun di dalam keluarganya. Selain itu juga mereka yang nakal memiliki latar belakang perilaku hiperaktif yang ditandai dengan impulsif, perhatian rendah, gelisah, aktivitas tinggi tetapi tidak jelas, khususnya dilakukan dalam situasi belajar. Bukti lain menyatakan bahwa remaja yang nakal ditandai dengan IQ yang rendah dibanding teman-temannya dan prestasi buruk di sekolah (Farrington 1991). 3. Depresi dan Bunuh Diri
51 Depresi merupakan gangguan psikologis yang umum dialami oleh remaja (Weiner 1980). Terdapat kenaikan yang dramatis dalam prevalensi perasaan depresif pada saat terjadi pubertas pada remaja laki-laki dan dirasakan oleh remaja perempuan setelah masa pubertas (Gjerde, et al. 1988). Depresi dimanifestasikan dalam emosional, termasuk kekesalan, penurunan kesenangan dalam aktivitas, dan rendahnya self-esteem. Dalam aspek kognitif, ditandai dengan pesimis dan tidak memiliki harapan. Depresi yang dialami individu juga memiliki symptom motivasional seperti apatis dan kebosanan. Selain itu juga depresi dapat dimanifestasikan dalam vegetative atau tandatanda fisik seperti kehilangan selera makan, sulit tidur dan kehilangan enerji. Depresi selama masa remaja seringkali berhubungan dengan masalah-masalah psikologis atau perilaku lainnya yang sulit didiagnosa (Kendall et al. 1989). Menurut hasil survey tahun 1987, ditemukan bahwa 15 % dari anak di kelas 10 di Amerika telah mencoba bunuh diri dan sebanyak lebih dari 98 % yang mencoba bunuh diri tetapi tidak berhasil. Upaya untuk mencegah bunuh diri dikalangan remaja difokuskan pada kegiatan untuk mengidentifikasi faktorfaktor resikonya. Empat faktor resiko untuk mencoba bunuh diri di kalangan remaja adalah masalah psychiatric terutama berkaitan dengan: (1) depresi atau penyalahgunaan obat-obatan, (2) memiliki sejarah bunuh diri dalam keluarganya sewaktu mengalami stres, (3) mengalami penolakan dari orang tua, dan (4) perceraian atau konflik keluarga. Remaja yang memiliki satu dari faktor resiko ini berpeluang untuk mencoba bunuh diri daripada teman sebayanya dan mereka yang memiliki lebih dari satu faktor resiko akan membunuh dirinya sendiri dengan cara yang dramatis. 4. Gangguan Makan Gangguan makan yang paling umum dialami oleh remaja adalah anorexia nervosa, bulimia dan obesity (kegemukan). Banyak remaja, terutama remaja perempuan sangat memperhatikan berat badannya, oleh karena itu mereka berusaha untuk menjaga berat badannya dengan cara drastis dan berbahaya. Beberapa remaja perempuan melakukannya dengan cara memakan makanan yang banyak dan berusaha memuntahkannya kembali untuk mengurangi berat badannya. Pola seperti ini disebut bulimia. Dalam beberapa kasus, remaja
52 perempuan mengalami penderitaan akibat gangguan makan yang disebut dengan anorexia nervosa yaitu upaya untuk menjaga berat badan agar tetap turun. Apabila bulimia dan anorexia tidak cepat ditangani, maka akan menyebabkan masalah-masalah fisik yang serius, dan bukti menunjukkan bahwa 20 % dari remaja penderita anorexia mengalami kelaparan hingga mati (Steinberg 1993). Obesitas merupakan gangguan makan yang paling umum terjadi. Menurut survei di Amerika, sebanyak 5 persen dari remaja mengalami obesitas dan lebih dari 20 persen mengalami kegemukan maksimum serta 15 persen mengalami kegemukan yang sangat serius. Karena masa remaja merupakan waktu dimana terjadinya perubahan yang dramatis dalam penampilan fisik, maka self-image mereka ditujukan pada body-image nya. Penyimpangan dari fisik yang ideal pada remaja akan menyebabkan kehilangan self-image nya. Obesitas yang terjadi pada masa remaja menempatkan individu pada resiko lebih tinggi untuk mengalami masalah-masalah kesehatan lainnya, seperti hipertensi, angka kolesterol tinggi dan diabetes. Hampir 80 persen remaja yang obesitas akan mengalaminya terus sampai mereka dewasa dan mengalami penderitaan yang berhubungan dengan obesitas. Walaupun faktor nutrisi dan perilaku dapat menyebabkan obesitas, namun berat badan kadangkala dihasilkan secara langsung dari perubahan fisik pada masa pubertas. Obesitas tiga kali lipat terjadi pada masa remaja dibanding pada masa kanak-kanak. Seringkali program yang intensif dalam latihan fisik dengan nutrisi yang tepat dapat membantu para remaja menurunkan berat badannya (Paulsen 1972).
Perkembangan Fisik dan Kognitif Remaja Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja akan menyertai perkembangan fisiknya (Tabel 1). Remaja akan disibukkan dengan perubahan tubuhnya dan mengembangkan citra individual mengenai gambaran tubuh mereka. Menurut Wright (Santrock 1995) bahwa kesibukan dengan citra tubuh seseorang sangat kuat selama masa remaja, akan tetapi kesibukan itu secara khusus meningkat selama masa pubertas, yaitu masa ketika remaja awal lebih
53 tidak puas dengan tubuh mereka daripada akhir masa remaja. Menurut studi yang dilakukan California Longitudinal Study (Santrock 1995) bahwa anak laki-laki yang lebih cepat matang (early maturing) memahami diri mereka dengan lebih positif dan lebih berhasil menjalin relasi dengan teman-teman sebaya daripada rekan-rekan mereka yang terlambat matang (late maturing). Anak-anak perempuan yang lebih cepat matang memiliki prestasi akademis dan pekerjaan yang lebih rendah pada masa dewasa. Tampaknya, sebagai akibat dari ketidakmatangan
sosial
dan
kognitif
mereka,
dikombinasikan
dengan
perkembangan fisik yang lebih awal, anak-anak perempuan yang lebih cepat matang lebih mudah jatuh ke dalam perilaku-perilaku bermasalah, yakni mereka tidak menyadari kemungkinan dampak-dampak jangka panjang terhadap perkembangan mereka. Menurut Santrock (1995), kekuatan pemikiran remaja yang sedang berkembang (Tabel 1) membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial yang baru. Pemikiran mereka semakin abstrak, logis dan idealistis, lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial.
Media Remaja merupakan periode dimana individu berusia antara 12 dan 18 tahun mengalami perubahan yang cepat dalam hal emosi, psikologis dan biologis. Selama masa awal remaja, mereka sangat perhatian terhadap bagaimana mereka dipandang oleh orang lain. Dalam Social Learning Model (Bandura 1970) dinyatakan bahwa remaja berperilaku seperti yang diharapkan oleh masyarakat pada mereka untuk berperilaku tertentu. Oleh karena itu, remaja mencoba untuk berperilaku, mengenakan pakaian, dan berbicara menurut apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka. Remaja pun mencari otonomi, identitas dan sosialisasi diluar keluarganya melalui modeling. Salah satu sumber dimana modeling dilakukan adalah melalui media. Media memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan para remaja karena mereka tidak menyadari tujuan media dalam
54 Tabel 1 Perkembangan Fisik dan Kognitif pada Masa Remaja Konsep Transisi ke masa remaja
Gagasan dan Karakteristik
Hakekatnya Sifat kontinuitas dan diskontinuitas adalah ciri transisi dari masa anak-anak ke masa remaja. Pada perkembangan anak-anak, faktor-faktor genetis, biologis, lingkungan dan pengalaman berinteraksi dalam perkembangan anak remaja. Perkembangan Perubahan pubertas, Pubertas ialah suatu periode kedewasaan kerangka tubuh fisik dan seksual yang cepat terutama terjadi pada awal masa remaja. Testosteron memainkan peran penting dalam perkembangan pubertas laki-laki, dan estradiol pada perkembangan pubertas perempuan. Pertumbuhan yang cepat pada anak laki-laki terjadi kira-kira 2 tahun lebih lambat daripada anak-anak perempuan, yakni 12,5 tahun usia awal rata-rata pada anak laki-laki, 10,5 tahun usia awal rata-rata pada anak-anak perempuan. Kematangan individual pada masa pubertas bersifat menyeluruh. Aspek-aspek psikologis yang menyertai perubahan-perubahan pubertas. Remaja memperlihatkan minat yang semakin besar pada citra tubuhnya. Kematangan yang lebih awal cenderung terjadi pada anak laki-laki, setidaknya selama masa remaja. Meskipun demikian, sebagai orang dewasa, anak laki-laki yang terlambat matang mencapai identitas yang lebih berhasil. Para peneliti semakin menemukan bahwa anak-anak prempuan yang lebih awal matang lebih mudah terkena sejumlah masalah. Apakah dampak masa pubertas terlalu dibesar-besarkan? Perkembangan remaja dipengaruhi oleh interaksi antara faktor-faktor biologis, kognitif dan sosial, dan tidak hanya didominasi oleh faktor-faktor biologis. Kematangan yang lebih awal atau terlambat secara ekstrim dapat menempatkan seorang anak remaja pada suatu resiko, namun dampak-dampak menyeluruh kematangan yang lebih awal dan terlambat tidaklah besar. Ini tidak berarti bahwa pubertas dan kematangan yang lebih awal atau terlambat tidak berdampak terhadap perkembangan, tetapi perubahan-perubahan pubertas selalu perlu dipertimbangkan dalam kerangka interaksi faktor-faktor biologis, kognitif, dan sosial yang lebih luas. Perkembangan Pemikiran operasional formal kognitif Menurut Piaget, pemikiran operasional formal berlangsung antara usia 11 hingga 15 tahun. Pemkiran operasional formal lebih abstrak, idealistis dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Remaja semakin mampu menggunakan pemikiran deduktif hipotetis. Perubahan-perubahan yang mengesankan dalam kognisi sosial adalah ciri perkembangan remaja. Remaja mengembangkan suatu tipe egosentrisme khusus yang meliputi penonton khalayan dan dongeng pribadi tentang mahluk yang unik. Remaja mulai berpikir tentang kepribadian sama seperti cara yang dilakukan oleh para ahli teori kepribadian, dan mereka memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang lebih canggih. Pengambilan keputusan. Masa remaja adalah masa semakin meningkatnya pengambilan keputusan. Remaja yang lebih tua lebih kompeten dalam mengambil keputusan dibanding remaja yang lebih muda. Kemampuan untuk mengambil keputusan tidak menjamin kemampuan itu akan diterapkan, karena dalam kehidupan nyata luasnya pengalaman adalah penting. Remaja perlu lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan keputusan yang realistis. Dalam beberapa hal kesalahan penambilan keputusan pada remaja mungkin terjadi ketika dalam realitas yang menjadi masalah adalah orientasi masyarakat terhadap remaja dan kegagalan ntuk memberi mereka pilihan-pilihan yang memadai. Sumber: Santrock 1995
55 masyarakat (Chapin 2000). Lebih jauh bahwa media menyediakan bagi remaja beberapa informasi yang berhubungan dengan jenis kelamin, peranan gender, hubungan dan sebagainya yang membantu mereka untuk berhubungan dengan subkultur yang berlaku di kalangan remaja (Chapin 2000; Newton 1995). Remaja percaya bahwa media merefleksikan macam kehidupan di dalam dunia yang nyata. Menurut McLuhan (Rakhmat 1992), ”The medium is the message.” Media adalah perluasan dari alat indera manusia dan secara operasional dan praktis, media adalah pesan karena membentuk dan mengendalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia. Melalui media kita dapat memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang kita tidak alami secara langsung. Dunia terlalu luas untuk manusia masuki semuanya. Oleh karena itu, media datang menyampaikan informasi tentang lingkungan sosial dan politik, televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indera kita, surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala yang terjadi waktu ini di seluruh penjuru bumi, buku kadang-kadang dapat menjadi kapsul waktu yang membawa kita ke masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, film menyajikan pengalaman imajiner yang melintas ruang dan waktu. Penggunaan media diartikan sebagai mendengarkan musik, melihat dan mendapatkan video, melihat televisi, melihat film di bioskop, membaca majalah, membeli VCD dan buku-buku serta melakukan searching di internet. Remaja yang melakukan searching di internet akan memasuki ruangan untuk chat, web site dan pornografi. Media menyediakan bagi remaja informasi tentang peranan gender, jenis kelamin, emosi dan sebagainya, akan tetapi media tidak merefleksikan segala sesuatu yang ada di masyarakat, yang berarti bahwa media hanya memfokuskan pada satu tipe orang atau sekelompok orang saja. Oleh karena itu, informasi yang disajikan melalui media tidak dapat diterapkan pada kehidupan setiap orang (Dittmar 2000; Kelly dan Donohew 1999; Stice, et al. 2001).
Paparan Media Massa Melalui media massa dapat diperoleh informasi untuk membangun konsep diri, pandangan terhadap dunia, pandangan tentang sifat-sifat manusia dan hubungan sosial. Apabila konsep-konsep tersebut telah dirumuskan, komunkasi
56 massa dapat
membantu memperkokoh konsep-konsep tersebut. Terpaan
(exposure) isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsikan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negatif pada faktor-faktor eksternal, atau memberikan kriteria pembanding yang ekstrim untuk perilakunya yang kurang baik (Rakhmat 1992). Menurut Effendy (1989), yang dimaksud dengan terpaan atau exposure adalah keadaan terkenanya pesan-pesan yang disebarkan media massa kepada khalayak sasaran. Tereksposnya seseorang pada media massa tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Tingkatan exposure pada media massa dibatasi oleh beberapa status dan peubah-peubah kekuasaan, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, kepemilikan, kekuasaan masyarakat dan kontak terhadap agen perubahan. Diduga mereka yang diterpa media massa adalah orang-orang yang lebih terpelajar, lebih tahu dan lebih stabil dalam hal kepribadian, sehingga mereka menerima pesan media dengan gagasan yang sudah terumus dengan lebih jelas (McGuire 1969). Dengan demikian penyebab penggunaan media terletak dalam lingkungan sosial atau psikologis yang dirasakan sebagai masalah dan media digunakan untuk menanggulangi masalah (pemuasan kebutuhan), seperti yang berkaitan dengan informasi, hubungan sosial, hiburan, pembelajaran, dan pembangunan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Katz, et al., (1974) yang menyatakan bahwa studi tentang audiens yang bersifat keperilakuan dan fungsionalis memusatkan perhatian pada sumber kebutuhan sosial dan psikologis yang menimbulkan harapan terhadap media massa dan sumber lainnya yang mengakibatkan perbedaan pola terpaan (exposure) media massa atau keterlibatan dalam aktivitas lain yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan dan konsekuensi lainnya. Hasil terpaan (sesuatu obyek yang dihadapkan atau dikonfrontasikan kembali melalui berbagai cara), sangat efektif untuk mempertinggi rasa suka terhadap seseorang atau suatu objek yang pada awalnya dimaknakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau setidak-tidaknya netral, tetapi tidak dimaknakan sebagai sesuatu yang sangat negatif.
57 Peranan Media Massa Media massa baik elektronik maupun cetak serta proses komunikasi massa (peran yang dimainkannya) semakin banyak dijadikan sebagai objek studi. Gejala ini seiring dengan meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai institusi penting dalam masyarakat. (Krech, et al. 1986) menyatakan bahwa keefektifan dari propaganda dipengaruhi tidak hanya oleh siapa yang mempropagandakannya tetapi dipengaruhi oleh media (radio, televisi, surat kabar, majalah, dan sebagainya) yang digunakannya. Lebih jauh lagi mereka menyatakan bahwa sikap seseorang dibentuk melalui tereksposenya orang tersebut terhadap informasi.
Fungsi Media Massa Melihat besarnya peran media massa, McQuail (1994) mengemukakan beberapa fungsi penting dari media massa, yaitu: 1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait. Media juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan normanorma yang menghubungkan indusri tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di lain pihak, institusi media diatur oleh masyarakat. 2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. 3. Media merupakan lokasi atau forum yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. 4. Media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan normanorma. 5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.
58 Menurut Noelle dan Neuman (1973), terdapat tiga faktor penting dalam media massa yang bekerjasama dalam membatasi persepsi yang selektif. Ketiga faktor itu adalah : 1. Ubiquity, artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada dimana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. 2. Pesan-pesan media besifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Pengulangan pesan yang berulangkali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan (consonance of journalists). 3. Keseragaman wartawan. Siaran berita cenderung sama, sehingga dunia yang disajikan pada khalayak juga dunia yang sama. Khalayak akhirnya tidak mempunyai alternatif yang lain, sehingga mereka membentuk perspsinya berdasarkan infomasi yang diteimanya dari media massa.
Pengaruh Media Pengaruh media terhadap perkembangan psikososial remaja sangat besar, dapat berupa hal yang positif maupun negatif (Walsh dan Gentile 1996). Memperhatikan pengaruh yang ditimbulkan seperti yang dikemukakan dalam studi klasik yang dilakukan oleh Bandura (1970) menunjukkan bahwa anak akan mempelajari agresi pada saat mereka terexpose pada isi media yang menampilkan kekerasan, walaupun mereka tidak menirunya dengan segera. Terdapat korelasi yang positif antara terexposenya individu pada iklan dengan konsumsi. Peningkatan penggunaan media berhubungan dengan relasi sosial yang minim, interaksi respon rendah, angka rendah dalam membaca, dan prestasi sekolah yang buruk (Dorr dan Rabin 1995). Disisi lain peningkatan penggunaan media pendidikan
dan
prososial
menunjukkan
bukti
adanya
pengaruh
yang
menguntungkan. Akan tetapi, hanya sedikit saja laporan yang memberikan bukti adanya pengaruh media pada anak-anak dan keluarga yang menguntungkan seperti ini. Selama masa remaja, anak-anak sangat memperhatikan penampilannya dan bagaimana mereka dapat diterima oleh lingkungannya. Mereka menggunakan
59 image dari televisi dan majalah sebagai panduan untuk berperilaku dan mencoba untuk menyamai Britney Spears sebagai penyanyi, gaya berpakaian, perilaku dan sikapnya. Tidak hanya remaja yang melakukan imitasi kepada penyanyi, aktor dan aktris, akan tetapi penjual eceran bekerja keras untuk mempengaruhi para remaja untuk menggunakan produk baju baru mereka. Penjual sangat memahami bahwa akan lebih mudah untuk mempengaruhi orang-orang yang tidak menyadari bagaimana media bekerja daripada mereka yang tidak mengetahuinya. Selama remaja tidak menyadari peranan media dalam masyarakat, mereka akan masuk dalam konsepsi yang keliru akan apa yang disajikan oleh media. Hasilnya, lebih banyak remaja putri yang menggunakan rok mini dibanding sebelumnya dan banyak sekolah yang menerapkan aturan berpakaian untuk mengurangi jumlah murid perempuan yang mengenakan pakaian tidak sesuai ke sekolah. Image dari penggunaan media tidak hanya dijadikan panduan untuk berpakaian,
tetapi
juga
untuk
pembentukan
tubuh.
Seringkali
media
memperlihatkan image orang dengan tubuh kurus dan berotot dilihat dan dianggap sebagai orang yang seksi. Akibatnya, remaja mulai mengadopsi anggapan tentang apa itu seksi sesuai dengan apa yang ditampilkan pada media. Wanita dibanding pria lebih sering mengalami gangguan makan diakibatkan keinginannya untuk terlihat seperti yang ada di media, akan tetapi hal ini tidak dihasilkan hanya dengan memandang image secara khusus dari media (Stice dan Agras 2001; Van den Bulck 2000). Remaja menerima informasi tentang bagaimana menjadi wanita dan pria dari program televisi dan film yang berbeda. Perilaku gender yang dapat diterima juga dipelajari dan diperkuat melalui interaksi dengan teman sebayanya (Grube dan Grube 2000). Para remaja akan mengadopsi aspek-aspek buruk dari peranan gender tergantung dari jenis pertunjukkan yang ditontonnya. Mereka yang mencari informasi tentang peranan gender dari media juga akan menerima moral dan panduan untuk hidup. Perkembangan moral secara abstrak dimulai sejak remaja. Muncul kemampuan untuk memikirkan tentang konsekuensi dari suatu tindakan. Selama masa remaja, mereka menyimpan pertanyaan tentang moral yang dimiliki oleh orang tuanya yang dipersiapkan untuknya. Anak-anak menaruh perhatian dalam belajar tentang ketepatan moral orang tuanya dan alasan-alasan
60 untuknya. Informasi yang berkaitan dengan ini semua mereka peroleh melalui media dan interaksi diantara teman-temannya. Remaja menerima informasi seberapa banyak teman-teman sebayanya percaya bahwa lingkungannya benar atau salah (Newton 1995). Remaja tidak hanya belajar sejauh mana persamaan perspektif dalam perilaku tertentu dengan teman-teman sebayanya, tetapi mereka pun belajar tentang perilaku mana yang akan mereka terima atau tidak. Remaja terexpose oleh sejumlah image seksual dan pesan-pesan dalam televisi dan mereka menggunakan sumber media ini untuk memperoleh pengetahuan tentang seks, obat-obatan dan kekerasan sebaik seperti bagaimana mereka harus berperilaku dalam hubungan dan pertemanan (Chapin 2000; Grube dan Grube 2000). Di Amerika Serikat, orang tua dapat memonitor anak-anaknya terexpose pada apa dari media dengan menggunakan sistem rating televisi seperti pengawasan orang tua, V-chips, dan skala rating. Penyedia pelayanan internet tertentu menggunakan tempat khusus bagi orang tua untuk mencegah anak-anak dan remaja masuk kedalam website pornografi. Akan tetapi, walaupun sistem rating ini membantu orang tua untuk memonitor macam informasi/gambar yang anak-anaknya lihat di televisi, hal ini tidak mengurangi keingintahuan remaja akan seks. Untuk itulah sangat penting bagi orang tua menemukan cara untuk berbicara dengan anak-anaknya tentang seks. Bagi sebagian orang tua, berbicara tentang seks dengan anak-anaknya tidak akan menjadi masalah, akan tetapi bagi sebagian yang lain kemungkinan hal ini akan menjadi masalah: 1. Televisi Televisi memiliki potensi pengaruh, baik yang positif maupun negatif. Banyak studi yang telah dilakukan untuk melihat dampak televisi pada masyarakat, khususnya pada anak-anak dan remaja. Tingkat perkembangan anak merupakan faktor kritis di dalammenentukan apakah media akan berpengaruh negatif atau positif. Tidak semua program televisi berpengaruh buruk, akan tetapi data menunjukkan dengan jelas pengaruh negatif akibat terexposenya anak dan remaja pada kekerasan, penerapan seksualitas yang tidak tepat, dan menggunakan bahasa sehari-hari yang kasar. Purwadi (Nursyawal 2004) membuktikan asumsi adanya pengaruh negatif tayangan televisi terhadap perilaku khalayak, dimana tingginya frekuensi menonton televisi akan
61 memberi sumbangan atas penyimpangan nilai dan perilaku. Menurutnya pula bahwa pengaruh tayangan televisi didorong oleh faktor lingkungan keluarga dan ketaatan beragama. Makin lemah faktor keluarga dan ketaatan beragama, maka akan semakin kuat pengaruh televisi. Aspek peran modeling dalam televisi sangat penting difahami pengaruhnya. Anak mempelajari perilaku melalui imitasi peran model yang muncul di televisi. Mereka akan melakukan imitasi terhadap apa yang dilihatnya di media secara langsung. Televisi menggunakan pengaruh yang halus dan tersembunyi melalui penajaman sikap dan persepsi pada norma-norma sosial (Huesmann dan Eron 1986). Sekelompok peneliti menggunakan istilah untuk pengaruh televisi ini sebagai ”Stalagmite Effects,” sebagai contoh televisi akan menawarkan anak dan remaja naskah mengenai peranan gender, resolusi konflik, pola-pola bercumbu, dan kepuasan seksual yang tidak mungkin mereka lihat disembarang tempat. Konsumen televisi mulai percaya bahwa dunia merupakan tempat yang lebih keras dibanding kehidupan sebenarnya, di mana kekerasan tersebut merupakan solusi yang dapat diterima untuk menyelesaikan berbagai masalah (Strasburger 1990), atau bahwa semua konflik dapat dengan mudah dipecahkan dalam waktu singkat. Apabila anakanak dan remaja melihat banyak opera sabun, maka mereka akan mendugaduga bahwa aktivitas seksual aktif telah dilakukan anak usia belasan dan peristiwa hubungan diluar nikah atau menduga-duga resiko penularan penyakit seksual. 2. Video Musik Video musik memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku remaja melalui penurunan kepekaan pada kekerasan dan membuat remaja lebih menyetujui sex diluar nikah. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa di atas 75 % video berisi materi tentang seksual dan lebih dari setengahnya berisi kekerasan yang seringkali dilakukan di antara wanita. Wanita seringkali digambarkan dalam posisi rendah sehingga mempengaruhi sikap anak-anak tentang peranan seks (American Academy of Pediatrics 2004).
62 Peranan model yang atraktif merupakan agresor dalam lebih dari 80 % kekerasan video musik. Laki-laki lebih dari tiga kali lipat menjadi agresor, di mana laki-laki kulit hitam lebih banyak tampil di banding laki-laki kulit putih. Video musik memperkuat stereotype yang salah. Analisis tentang video musik yang lebih rinci adalah tentang dampaknya pada harapan normatif remaja akan resolusi konflik, ras dan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Rich, et al. 1998). 3. Video Games Beberapa video games mungkin membantu perkembangan keterampilan motorik dan koordinasi yang baik, akan tetapi banyak yang berhubungan dengan pengaruh negatif dari televisi (seperti tidak aktif, perilaku asosial, dan kekerasan) juga terjadi karena terexpose secara berlebihan pada video games. Kekerasan pada video games memprihatinkan karena memiliki pengaruh yang membahayakan pada perkembangan mental anak-anak. Pengaruh kekerasan video games pada anak-anak telah menjadi perhatian kesehatan publik sejak beberapa tahun terakhir ini. Studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa isi dari video games berpengaruh secara nyata terhadap dilakukannya tindak kekerasan (64% berisi kekerasan yang disengaja dan 60% merusak karakter pemainnya) (Wals dan Gentile 1996). 4. Internet Internet memiliki potensi untuk menyediakan anak-anak dan remaja akses pada
informasi
yang
berhubungan
dengan
pendidikan
dan
dapat
diperbandingkan dengan perpustakaan rumah yang besar. Bagaimanapun terdapat kesenjangan standar editorial pada kredibilitas internet sebagai sumber informasi. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk melihat televisi dan duduk didepan komputer dapat mempengaruhi perkembangan postur tubuh anak (Salter 1983).
Jumlah waktu
yang
berlebihan pada penggunaan komputer
memberikan kontribusi pada terjadinya kegemukan, tidak berkembangnya keterampilan social dan membentuk perilaku ketagihan (Canadian Pediatric Society 2003). Walaupun jarang, namun beberapa anak lebih mudah terkena serangan sakit mata akibat sinar dari layar televisi atau komputer.
63 Pengaruh lain internet pada remaja adalah daya pikat untuk masuk kedalam suatu hubungan. Terdapat potensi pada anak-anak untuk terexpose pada materi pornografi. Para orang tua dapat menggunakan teknologi yang menghalangi akses pada pornografi dan pembicaraan tentang sex di internet, akan tetapi harus menyadari bahwa teknologi ini tidak dapat mengalihkan pada pengawasan dan bimbingannya.
Pengaruh Media pada Perkembangan Psikososial Remaja Studi tentang pengaruh media terhadap perkembangan psikososial remaja telah banyak dilakukan. Bukti menunjukkan bahwa media dapat mempengaruhi munculnya perilaku kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan, gangguan makan, sampai pada menurunnya prestasi remaja di sekolah: 1. Kekerasan Televisi dan Perilaku Agresif Lebih dari 1000 studi dan laporan yang telah dibuat untuk menunjukkan fakta bahwa
terlalu
banyak
individu
terexpose
pada
kekerasan
televisi
meningkatkan perilaku agresif, khususnya pada laki-laki (Comstock dan Strasburger 1990; Dietz dan Strasburger 1991; Huston, et al. 1992). Rata-rata anak melihat 12 000 tindakan kekerasan di televisi setiap tahunnya, termasuk pembunuhan dan perkosaan. Pembunuhan dan bunuh diri merupakan penyebab kedua dan ketiga pada kematian di antara remaja, dan kontribusi senjata sangat nyata pada keduanya. Beberapa studi tentang bunuh diri yang dipublikasikan di televisi atau surat kabar berpengaruh terhadap peningkatan resiko bunuh diri pada remaja (Gould dan Davidson 1988). Walaupun mekanisme pengaruh ini tidak diketahui, namun modeling kemungkinan besar memiliki peranan yang nyata. 2. Komersialisme dan Konsumerisme Televisi Amerika merupakan media iklan eksploitatif paling komersial di dunia Barat. Pabrik-pabrik mainan membuat perkiraan sebesar $40 juta pertahun untuk memasarkan produknya pada anak-anak yang secara psikologis tidak memahami tujuan komersial dan percaya bahwa tuntutannya nyata (Dietz dan Strasburger 1991). Di lain fihak, remaja memiliki kemampuan untuk memahami hakekat memperdaya dari iklan yang komersial,
64 dan mereka merupakan pasar potensial bagi pabrik-pabrik dan menghasilkan sebesar $71 milyar pertahun (Wall Street Journal 1990). 3. Prestasi Akademik di Sekolah Studi-studi yang dilakukan sebelumnya telah gagal mengendalikan IQ dan status sosial ekonomi sebagai peubah yang mempengaruhi penampilan akademik di sekolah. Pada studi yang dilakukan akhir-akhir ini terbukti secara signifikan pengaruh menonton televisi lebih dari 1-2 jam perhari pada penampilan akademik, khususnya pada nilai membaca (Strasburger, 1990). 4. Stereotype Bagi remaja yang mencoba menempatkan dirinya dalam dunia dewasa, dunia televisi dipenuhi oleh para dokter, pengacara dan polisi memberi kesan yang keliru bahwa hanya para profesional yang memiliki nilai dalam dunia dewasa (Strasburger 1990). Laporan tahun 1988 menemukan bukti bahwa remaja putri memiliki stereotype sebagai individu yang terobsesi dengan berbelanja dan remaja putra tidak memiliki kemampuan untuk membicarakan secara serius tujuan akademik atau karir, dan mereka menganggap bahwa penampilan lebih penting daripada kecerdasannya (Steenland 1988). 5. Prosocial Television Televisi dapat menjadi guru prososial yang kuat bagi anak dan remaja. Beberapa tayangan dapat memberikan pelajaran yang bernilai yang berhubungan dengan keharmonisan antar ras, kerjasama dan kebaikan sesederhana belajar matematika dan mengenal huruf. Beberapa program televisi memberikan contoh kinjungan ke kebun binatang, perpustakaan, toko buku, musium dan aktivitas rekreasional lainnya (Huston, et al. 1992). Untuk anak remaja, beberapa tayangan mengajarkan kepekaan akan berbagai isu seperti perceraian, kehamilan pada usia dini, penggunaan obat-obatan, alkoholisme, AIDS dan bunuh diri. 6. Kegemukan (Obesity) Studi yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bukti bahwa menonton televisi dalam frekuensi yang tinggi merupakan salah satu penyebab obesitas pada anak dan remaja (Dietz dan Strausburger 1991). Hal ini terjadi kemungkinan karena menonton televisi adalah aktivitas yang pasif, karena
65 banyak produk yang tidak menunjang kesehatan diiklankan, seperti misalkan cereal yang mengandung banyak gula, atau karena orang cenderung mengkonsumsi makanan ringan sambil menonton televisi. Gambaran tidak sehat tentang tipe tubuh tertentu (misalkan orang yang gemuk) dan seringnya menggambarkan makanan sebagai suatu asupan mungkin juga memberikan kontribusi pada prevalensi gangguan makan (Dietz dan Srasburger 1991; Kaufman 1980). 7. Sex dan Seksualitas Dengan tidak adanya pendidikan sex yang efektif di rumah dan sekolah, menyebabkan televisi menjadi penuntun pendidikan sex di Amerika pada saat ini. Sex digunakan untuk menjual segala sesuatu dari mulai shampoo sampai mobil, namun demikian saat ini iklan tentang pengendalian kelahiran tetap tabu dalam jaringan televisi nasional. Sementara di kota Bandung didapat bukti bahwa lebih banyak remaja yang mengenal seks dari media massa daripada orang tua atau sekolah dan di sisi lain aborsi di kalangan remaja cukup tinggi (Hanirono 2001). 8. Rokok dan Alkohol Antara 1000 sampai 2000 per tahun remaja di Amerika minum bir dan beberapa
pesan secara
implisit
menyuarakan
bahwa
meminum
bir
menyenangkan, dan orang yang meminumnya akan lebih senang dan seksi, serta laki-laki ”sejati” meminum bir. Pabrik bir dan wine menghabiskan sebesar $900 juta pertahun untuk iklan, dan konsumsi perkapita naik 50 persen di Amerika Serikat sejak tahun 1960. Dari fakta ini, pabrik-pabrik mengklaim bahwa mereka mencoba untuk mempengaruhi seleksi merk. Jelasnya, iklan meningkatkan konsumsi (Strasburger 1990).
Persepsi Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa melakukan komunikasi dengan orang lain yang meliputi penerimaan informasi, mengolah informasi, menyimpannya dalam memori dan menghasilkan kembali informasi. Proses pengolahan informasi terjadi salah satunya melalui persepsi, individu memberi makna pada sensasi sehingga memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain,
66 persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Menurut Desiderato (Rakhmat 1992), persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) yang tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, harapan, motivasi dan memori. Konsep persepsi tidak dapat dilepaskan dari alat indera cara individu melihat, mendengar, merasakan dan mencium suatu objek. Masing-masing individu memiliki perbedaan dalam mempersepsikan sesuatu. King dan Robinson (Isbandi 1994) meyatakan bahwa persepsi menunjuk pada cara kita melihat, mendengar, merasakan, mengecap dan mencium dunia sekitar kita. Hal ini menjelaskan bahwa persepsi sama halnya dengan sensasi yang terbentuk karena adanya input sensorik yang berasal dari daya kerja seluruh indera manusia yang kemudian diproses oleh otak. Hammer dan Organ (Indrawijaya 1986) menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Segala sesuatu yang mempengaruhi persepsi seseorang nantinya akan mempengaruhi pula perilaku yang akan dipilihnya. Pengertian ini secara tidak langsung mensiratkan unsur yang melekat pada persepsi, yaitu adanya proses kognisi, belajar dan proses pemecahan persoalan atau proses pemilihan perilaku yang diperoleh dari lingkungannya. Persepsi terbentuk atas dasar informasi atau data yang diperoleh dari lingkungannya yang diserap oleh indera manusia serta sebagian dari pengolahan ingatan, yaitu berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh manusia sehingga terjadi proses psikologis yang menyebabkan manusia sadar akan sesuatu yang dilihatnya, didengarnya dan hal-hal yang telah dialaminya tersebut akan diwujudkan dalam perilakunya.
Aspek-aspek Persepsi Persepsi dapat bersifat subjektif dan selektif, dan secara fungsional mengandung beberapa tahapan. Persepsi pun akan tergantung pada ruang dan waktu, yakni pemaknaan yang dilakukan seseorang terhadap suatu obyek tertentu akan dipengaruhi oleh ruang dan waktu pada saat obyek tersebut dimaknakan.
67 Menurut Berlyne (Wirawan 1995), persepsi memiliki beberapa aspek, yaitu: (a) hal-hal yang diamati dari sebuah rangsang bervariasi tergantung pada pola dari keseluruhan yakni rangsang tersebut menjadi bagiannya, (b) persepsi bervariasi dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu, (c) persepsi bervariasi tergantung dari arah (fokus) alat-alat indera, dan (d) persepsi cenderung berkembang ke arah tertentu dan sekali terbentuk kecenderungan itu dapat menetap. Menurut Devito (Maulana 1997), bahwa persepsi memiliki aspek-aspek : (a) pengetahuan yang diperoleh dari pikiran individu sebagai suatu keterlibatan ingatan dan situasi ingatan dari pikiran tentang obyek, (b) pemahaman yang di dalamnya mengandung unsur obyek dan perilaku atau respon yang mewakili suatu pengertian dari pesan dalam suatu komunitas, (c) penilaian seseorang individu terhadap suatu obyek, dan (d) pendapat sebagai hasil kesimpulan dari proses perseptual tentang suatu obyek.
Proses terjadinya Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang diawali dengan penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya yang diteruskan melalui pengolahan ingatan dan terjadi proses psikologis sehingga individu tersebut mengalami persepsi. Dengan kata lain persepsi terjadi melalui tahap-tahap yang setiap tahapnya dibedakan. Menurut Litterer (Asngari 1984), mekanisme pembentukan persepsi seseorang terjadi melalui tiga tahap, yaitu: (1) selectivity, (2) closure, dan (3) interpretation. Pembentukan persepsi diawali dengan didapatnya informasi oleh seseorang kemudian orang tersebut membentuk persepsi melalui pemilihan atau penyaringan informasi dan selanjutnya informasi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang memiliki makna dan pada akhirnya dilakukan interpretasi terhadap fakta yang diperoleh dari keseluruhan informasi. Pada tahap interpretasi terhadap informasi yang diperoleh oleh seseorang, pengalaman masa lalu menjadi satu hal yang sangat penting dan memiliki peranan yang besar. Informasi yang sampai kepada seseorang akan menjadi stimulus yang selanjutnya diteruskan ke otak oleh syaraf sensoris sehingga seseorang akan memahami dan menyadari akan stimulus dan
68 pada akhirnya melakukan tindakan sesuai dengan hasil pemahamannya terhadap stimulus tersebut.
Faktor-faktor yang Menentukan Persepsi Menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmat 1992), persepsi ditentukan oleh faktor personal (fungsional) dan faktor situasional (struktural). Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk sebagai faktor-faktor personal (karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli tertentu). Faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya pada sistem syaraf individu. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Anderson (Rakhmat 1992), yaitu: 1. Perhatian Perhatian adalah suatu proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal : a. Faktor Eksternal, berupa: 1) Gerakan. Manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang bergerak 2) Intensitas stimuli. Manusia akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. 3) Kebaruan. Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda akan menarik perhatian. 4) Pengulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian. b. Faktor Internal, berupa: 1) Faktor biologis, yaitu suatu kecenderungan seseorang menaruh perhatian pada hal-hal tertentu sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam dirinya. 2) Faktor
Sosiopsikologis,
yaitu
kemampuan
seseorang
menaruh
perhatian pada berbagai stimuli secara serentak. Semakin besar
69 keragaman stimuli yang mendapat perhatian, maka semakin berkurang ketajaman persepsi seseorang pada stimuli tertentu. 3) Motif Sosiogenis, yaitu kebiasaan dan kemauan seseorang yang dapat mempengaruhi apa yang diperhatikan. 2. Faktor Fungsional Faktor Fungsional berasal dari kebutuhan seseorang dimana pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor personal. Persepsi ditentukan bukan oleh jenis atau bentuk stimuli, akan tetapi oleh karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli. 3. Faktor Struktural Faktor struktural semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada saraf individu. Untuk memahami seseorang, kita harus melihat konteksnya, dalam macam lingkungan serta dalam masalah yang dihadapinya.
Pengukuran dan Instrumen Penelitian Pegukuran kuantitatif didefinisikan sebagai pekerjaan pemberian nilainilai dalam bentuk numerik terhadap konstrak-konstrak.Pengukuran kuantitatif dalam penelitian keluarga memerlukan instrumen atau alat ukur teutama untuk mengukur hubungan antar anggota keluarga seperti hubungan antara ibu dan anak. Menurut Steinglass (Boss, et al. 1993), bahwa relasi (hubungan) didefinisikan sebagai keterlibatan lebih dari satu individu dan mempunyai karakteristik sifatsifat keseluruhan, mempola berdasarkan waktu dan mempola unit-unit menurut tempat. Apabila hubungan-hubungan keluarga dipertimbangkan, maka spesifikasi waktu masa lalu, masa depan dan penerapan norma-norma kemasyarakatan dalam hubungan-hubungan tersebut merupakan aspek-aspek tambahan dfinisi tersebut. Melalui sejarah penelitian keluarga, para spesialis pengukuran mengkritik kualitas pengukuran kuantitatif keluarga atas dasar tidak tepatnya konsep-konsep kerja dan tidak memadainya bukti-bukti reliabilitas dan validitasnya. Secara umum
perkembangan
pengukuran
tidak
berjalan
dengan
tertib,
tidak
menggunakan bukti reliabilitas dan validitas internal dan eksternal, norma-norma serta prosedur administratif. Oleh karena itu semakin banyak peneliti yang
70 memasukkan lebih dari satu domain keluarga (hubungan orang tua - anak, perkawinan, keluarga sebagai suatu unit). Kritikan-kritikan serius muncul berkenaan dengan penggunaan sumber ganda sebab kesepakatan antar anggota keluarga lebih rendah dibanding standar yang diterima oleh antar penilai. Selain itu, kesepakatan antar pengukuran dari dalam dan dari luar terhadap konstrak keluarga tidak memenuhi standar validitas konstrak yang memadai. Kontras yang tajam bahwa dalam pengukuran perkawinan adalah bahwa sebelumnya para peneliti cenderung menggunakan pengukuran observasional. Menurut Bales (Boss, et al. 1993), saat ini para peneliti mengembangkan sistem coding yang diaplikasikan pada interaksi verbal tritunggal, yaitu ayah, ibu dan anak remaja karena pengaruh perspektif sistem keluarga dan pekerjaan. Asumsi yang digunakan oleh peneliti yang berorientasi pada sistem keluarga adalah bahwa suatu sistem melibatkan interaksi yang berlangsung terus menerus di kalangan anggota keluarga dan bahwa anggota keluarga tidak dapat melaporkan interaksi mereka sendiri. Masalah penggunaan pengukuran observasional untuk membedakan antara keluarga yang sedang mengalami kesusahan dan yang tidak mengalami kesusahan didokumentasikan oleh Jacob (Boss, et al. 1993), yaitu: (1) kurang validitas muka, (2) tidak mampu mengkonseptualisasikan dan menganalisis data secara efektif dari lebih tiga orang yang berinteraksi pada suatu waktu (meskipun dengan videotape atau komputer yang canggih), (3) tidak mampu menangani sejumlah orang berbeda yang berorientasi pada waktu yang berbeda, dan (4) kurang dapat diaplikasikan secara klinis - tidak ada sistem coding pada keluarga tunggal yang diterima secara luas. Dalam bidang hubungan antara orang tua-anak, instrumen self-report oleh Block telah dilengkapi dengan pengukuran-pengukuran observasional interaksi orang tua-anak. Dalam psikologi perkembangan dan klinis, pengukuranpengukuran orang tua-anak sering mengacu pada pengukuran interaksi keluarga. Pengukuran-pengukuran
observasional
lain
merupakan
tugas
untuk
mengkonseptualisasikan pengasuhan sebagai interaksi dua arah, yang banyak dipengaruhi oleh orang tua (biasanya ibu) dan anak.
71 Asumsi-asumsi Dasar Ada sembilan asumsi dasar pengukuran kuantitatif dengan menggunakan validitas konstrak logis sebagai kerangka kerjanya. Asumsi-asumsi tersebut adalah: 1. Konstrak-konstrak kunci keluarga dapat dikuantifikasikan. Konstrak-konstrak yang relevan dengan studi keluarga dapat dikuantifikasi dengan cara yang dapat menghasilkan informasi bermakna. Asumsinya adalah bahwa dalam memperoleh informasi yang diperlukan (bertanya, observasi) tidak mengubah objek studi sehingga maknanya rusak dan informasi yang diperoleh dapat diurutkan menurut garis kontinum angka yang diperlukan. 2.
Teori dan pengukuran berhubungan. Teori dan pengukuran tidak dapat dihindarkan berhubungan dan mempunyai pengaruh langsung dalam : (a) memilih
konsep-konsep,
(b)
mendefinisikan
konsep-konsep,
(c)
menginterpretasikan analisis statistika menggunakan pengukuran. Menurut Grotevant (Boss, et al. 1993) tidak ada pengukuran yang benar-benar tidak menggunakan
teori.
Konstruk
dibangun
dan
didefinisikan
dengan
menggunakan teori kritis yang menentukan operasi pengukuran. 3.
Pengukuran-pengukuran keluarga adalah dapat diandalkan. Untuk benarbenar dapat
diandalkan, pengukuran-pengukuran kuantitatif terhadap
keluarga harus stabil menurut waktu (test-retest), menurut item (konsistensi secara internal) dan menurut pengamat (kesepakatan penghitung). Konvensi dalam pengukuran kuantitatif melaporkan dugaan konsistensi internal pengukuran untuk self-report dan tingkat kesepakatan antar penghitung untuk pengukuran observasional. 4.
Pengukuran mempunyai validitas muka yang memadai. Pada umumnya pengukuran-pengukuran observasional lebih diterima dengan memiliki buktibukti validitas muka sebab lebih sedikit kesimpulan yang akan dibuat.
5.
Pengukuran-pengukuran keluarga mempunyai validitas diskriminan yang memadai. Satu cara untuk mem-frame isu validitas diskriminan adalah dengan menggunakan asumsi tentang relasi, yaitu bahwa keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Dengan kata lain, pengukuranpengukuran keluarga menangkap sesuatu yang unik tentang relasi-relasi
72 dalam keluarga. Korelasi antara pengukuran self-report terhadap konstrak keluarga, seperti kohesi dan konstrak individual, depresi, secara konsisten tinggi. 6.
Pengukuran-pengukuran keluarga memiliki validitas convergen yang memadai. Isu validitas konvergen secara umum ditujukan pada apakah pengukuran terhadap konstrak bertemu dalam lintas metoda, terutama antara self-report dan observasional.
7.
Aspek-aspek penting dalam kehidupan keluarga telah diukur. Adalah sulit untuk menangkap kompleksitas kehidupan keluarga melalui pengukuran kuantitatif. Selain itu, peristiwa-peristiwa kunci tertentu terjadi hanya bersifat sporadis dan yang lainnya sangat pribadi, sehingga mempengaruhi upaya pengukuran.
8.
Pengukuran-pengukuran keluarga memiliki validitas kriteria yang memadai. Secara umum, validitas kriteria pengukuran evaluatif terhadap perkawinan telah diterbitkan dalam penelitian tentang transisi perkawinan. Demikian pula dalam penelitian membandingkan sampel klinis dan nonklinis.
9.
Pengukuran-pengukuran keluarga menangkap perbedaan-perbedaan lintas kelompok. Kemampuan menggeneralisasikan pengukuran keluarga lintas gender, siklus hidup keluarga, tipe keluarga, ras, dan kelompok etnik tidak diterbitkan dengan baik dan tidak sering menjadi subjek penyelidikan.
Integrasi antara Teori, Pengukuran dan Analisis Data Untuk memberikan gambaran tentang masalah-masalah umum yang perlu dipenuhi dalam melakukan riset keluarga dan menyediakan petunjuk konstruktif yang dapat dipercaya untuk memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan riset keluarga tersebut, Schumm menggambarkan tentang integrasi diantara teori, pengukuran dan analisis data pada Gambar 2.
73 Aplikasi
5 3
Teori Keluarga
Analisis Data
4
1
Pengukuran
2 Gambar 2 Integrasi dan Siklus Penelitian keluarga
Kaitan Teori - Pengukuran Petunjuk yang tersedia mengenai hubungan antara teori dan pengukuran dalam studi keluarga masih terbatas, oleh karena itu orang yang melakukan pengujian masih terus melakukan pemisahan antara aktivitas pengukuran dan penyusunan teori, misalkan memikirkan hanya pada model dan proposisi teori keluarga dan pada pengukuran reliabilitas dan validitas keluarga. Bagaimanapun, reliabilitas dan validitas tidak terlepas kaitannya dengan teori dalam ilmu sosial. Masalah umum kaitan antara teori - pengukuran menyangkut: (a) instrumen survei yang menggunakan theoritical rationale (ada konsep) dan menggunakan cara yang tidak sesuai dengan original conceptualization, (b) penulis memberi label pengukuranya dengan sebutan theoritical concept, tapi instrumen terkesan seperti mengukur konsep lain, (c) dalam banyak kasus, item skala tidak menjelaskan suatu konstrak fakta secara konsisten yang diukur dengan skala, yang dicontohkan dalam Marital Satisfaction Inventory, dan (d) pemahaman bagaimana responden mengkonseptualisasikan peubah. Pemakaian teori dan konseptual yang baik penting ditetapkan sebelum membuat instrumen pengukuran. Statistik diperlukan untuk menyederhanakan data dan analisis item, dan harus hati-hati untuk tidak
74 melakukan kesalahan menyatakan kebenaran teori keluarga begitu saja selama mengukur proses penyusunan self-report.
Kaitan Pengukuran - Analisis Statistik Jika satu pengukuran tunggal gagal, maka akibatnya satu analisis tidak dapat diinterpretasikan secara bermakna. Oleh karena itu kaitan ini sebenarnya sesuatu yang lebih kompleks dibanding hanya sekedar mengetahui perbedaannya saja. Beberapa hal yang berkaitan dengan pengukuran dan analisis statistik adalah: (a) pengukuran peubah menjadi batas seberapa besar korelasi populasi yang akan dideteksi, (b) tingkat pengukuran peubah (nominal, ordinal, rasio, interval) berpengaruh terhadap ketepatan analisis statistik yang akan digunakan, (c) penggunaan uji kurva linier, dan (d) penggunaan skala item berganda untuk menduga peubah lain.
Kaitan Analisis Statistik - Teori Dalam membangun teori dan analisis, penting diingat bahwa statistik hanya ringkasan nilai-nilai yang hanya menyajikan beberapa aspek data yang kompleks. Jadi bukan hanya statistik semata yang dapat mengungkap data. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah penentuan hubungan antara ukuran sampel, power statistik, tingkat kepercayaan dan besar koefisien korelasi. Perhatian lainnya adalah interpretasi koefisien korelasi dan koefisien regresi dengan menggunakan peubah yang besar dan/atau subjek yang sedikit jumlahnya.
Kaitan Teori - Pengukuran - Analisis Statistik Beberapa aspek pada proses pngintegrasian penelitian keluarga tidak dapat dibatasi hanya pada dua area kaitan saja, karena dalam kebanyakan kasus diperlukan suatu proses menyeluruh antara teori, pengukuran dan analisis statistik. Hal lainnya adalah kegagalan yang sering dialami peneliti dalam menemukan korelasi yang nyata antara self-report dan pengukuran yang diamati dalam interaksi perkawinan atau keluarga. Banyak yang menyalahkan karena lemahnya korelasi atas satu atau dua tipe pengukuran, tetapi inti permasalahan sebenarnya
75 adalah alasan teoritikal, sedangkan masalah terakhr adalah tipologi yang saat ini semakin meningkat penggunaannya untuk pembuatan skor pasangan dan keluarga.
Kaitan Teori - Aplikasi Siklus teori - pengukuran - analisis tidak dapat dicapai efektif jika terpisah dari kebutuhan aplikasi para ahli keluarga. Seorang ahli teori memerlukan konstruksi teori untuk mengelompokkan sifat hubungan yang pasti antara peubahpeubah
dan
memperhitungkan
kemungkinan
faktor
kontingensi
yang
hubungannya tidak diketahui dalam populasi yang tidak terinci. Artinya, relevansi preposisi teori untuk kelompok yang berbeda perlu didasarkan pada ketentuan jenis kelamin, usia, suku/bangsa, siklus kehidupan keluarga atau agama. Selain itu, para praktisi harus sadar akan bahaya meluasnya hasil penelitian dari satu kelompok diaplikasikan kepada kelompok lainnya yang berbeda.
Jenis Skala Pengukuran Menurut Sugiyono (2008), skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Dengan skala pengukura, maka nilai peubah yang diukur dengan instrumen tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akrat, efisien dan komunikatif. Skala pengukuran dapat berupa: skala nominal, skala ordinal, skala nterval dan skala rasio yang akan menghasilakn data nominal, data ordinal, data interval dan data rasio.
Cara Menyusun Instrumen Titik tolak penyusunan instumen adalah peubah-peubah penelitian yang ditetapkan untuk diteliti. Dari peubah-peubah kemudian diberikan definisi operasionalnya dan selanjutnya ditentukan indikator yang akan diukur. Dari indikator kemudian dijabarkan menjadi butir-butir pernyataan atau pertanyaan. Utuk
mempermudah
penyusunan
instrumen,
maka
pengembangan instrumen” atau ”kisi-kisi instrumen”.
diperlukan
”matrik
76 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Setelah instrumen disusun, maka langkah selanjutnya adalah menguji bagaimana tingkat validitas dan reliabilitas dari alat ukur atau instrumen yang telah disusun.
1. Validitas Validitas mempersoalkan apakah kita benar-benar mengukur apa yang kita pikirkan sedang kita ukur?. Misalkan meteran yang valid dapat digunakan untuk mengukur panjang dengan teliti, kaena meteran adalah alat untuk mengukur panjang dan meteran menjadi tidak valid jika digunakan untuk mengukur berat.
Langkah kerja untuk mengukur validitas instrumen adalah sebagai berikut: 1) Mengumpulkan data dari hasil uji coba 2) Memeriksa kelengkapan data untuk memastikan lengkap tidaknya lembaran data yang terkumpul, termasuk di dalamnya memeriksa kelengkapan pengisian item angket. 3) Memberikan skor terhadap item-item yang perlu diberi skor 4) Membuat tabel pembantu untuk menempatkan skor-skor pada item yang diperoleh untuk setiap respondennya untuk mempermudah penghitungan atau pengolahan data selanjutnya. 5) Menghitung jumlah skor item yang diperoleh dari masing-masing responden 6) Menghitung nilai koefisien korelasi product moment untuk setiap item angket dari data observasi yang diperoleh 7) Membandingkan nilai koefisien korelsi product moment hasil perhitungan dengan nilai koefisien korelasi product moment yang terdapat dalam tabel 8) Membuat kesimpulan.
2. Reliabilitas Suatu instrumen pengukuran dikatakan reliabel jika pengukurannya konsisten dan akurat. Uji reliabilitas instrumen dilakukan dengan tujuan untuk
77 mengetahui konsistensi instrumen sebagai alat ukur, sehingga hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah.
Langkah kerja untuk mengukur reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut: 1) Memberikan skor terhadap instrumen yang telah diisi oleh masing-mmsing responden 2) Membuat tabel pembantu untuk menempatkan skor-skor item yang diperoleh 3) Menghitung jumlah skor item yang diperoleh oleh masing-masing responden 4) Menghitung kuadrat jumlah skor item yang diperoleh dari masing-masing responden 5) Menghitung keragaman masing-masing item 6) Menghitung varians total 7) Menghitung nilai koefisien alfa 8) Membandingkan nilai koefisien alfa dengan nilai koefisien korelasi product moment yang terdapat dalam Tabel 9) Membuat kesimpulan.
RINGKASAN UKE HANI RASALWATI. Ekologi Pengasuhan Anak : Persepsi Remaja terhadap Gaya Pengasuhan, Paparan Media dan Perkembangan Psikososial Remaja di Kota Bandung. Di bawah bimbingan: EUIS SUNARTI, UJANG SUMARWAN, DJOKO SUSANTO, PANG S. ASNGARI dan DIAH KRISNATUTI.
Remaja sebagai individu merupakan sumberdaya manusia yang memiliki potensi untuk berkembang dan menjadi aktor dalam pembangunan di masa depan. Oleh karena itu, remaja merupakan periode penting dalam perkembangan individu karena pada masa ini mereka mengalami perubahan yang mendasar dalam pubertas, kemampuan berpikir yang lebih tinggi dan transisi kepada peran-peran baru di dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi karakteristik individu remaja, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah dan peer group, 2) menganalisis paparan media, persepsi terhadap gaya pengasuhan dan perkembangan psikososial remaja menurut perbedaan karakteristik remaja, karakteristik keluarga, dan karakteristik sekolah, 3) mengkaji pengaruh karakteristik individu remaja, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah dan peer group terhadap gaya pengasuhan orang tua yang dipersepsi oleh remaja, 4) mengkaji pengaruh karakteristik individu remaja, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah dan peer group terhadap paparan media dan 5) mengkaji pengaruh karakteristik individu remaja, karakteristik keluarga, karakteristik sekolah, peer group, persepsi remaja terhadap gaya pengasuhan dan paparan media terhadap perkembangan psikososial remaja. Penelitian ini dilakukan di empat sekolah tingkat menengah atas, yaitu SMA Negeri, SMA Swasta, SM Kejuruan dan Madrasah Aliyah (MA) yang berada di wilayah Kota Bandung dan contoh diambil sebanyak 352 siswa yang berasal dari seluruh kelas secara proporsional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus 2009 sampai bulan Mei 2010. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, uji-t, Regresi dan Analisis Jalur (Path Analysis). Hasil penelitian menunjukkan : terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok usia contoh (p<0.05) dalam mempersepsi gaya pengasuhan dimensi kehangatan akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) dalam mempersepsi gaya pengasuhan dimensi emosional dan dimensi pengarahan. Gaya pengasuhan yang dipersepsi oleh remaja dipengaruhi secara nyata oleh usia remaja dan pendidikan ayah (R2=0.248; Sig= 0.000). Usia remaja dan pendidikan ayah berpengaruh nyata terhadap gaya pengasuhan yang dilakukan oleh orang tuanya. Persepsi ditentukan oleh pengalaman dan pemahaman individu tentang sesuatu fenomena. Remaja memiliki persepsi positif dikarenakan interaksi dalam bentuk pengasuhan yang diberikan oleh orang tuanya dapat diterima dan sesuai dengan yang diharapkan oleh mereka. Pendidikan ayah berpengaruh terhadap gaya pengasuhan mengandung arti bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka persepsi anak terhadap gaya pengasuhan yang dilakukan akan semakin baik.
Pendidikan yang dicapai ayah membentuk pola, cara dan pemahaman terhadap sesuatu yang terjadi di dalam keluarga. Uji korelasi menunjukkan hubungan yang nyata antara usia dengan paparan media (r=0.359; p<0.01) yang mengandung arti bahwa semakin tinggi usia contoh maka akan semakin tinggi terpapar pada media massa. Paparan media dipengaruhi secara nyata oleh usia contoh (R2=0.179; Sig= 0.000). Mayoritas contoh yang terpapar pada media massa adalah kelompok usia remaja pertengahan (15 sampai 17 tahun). Kelompok usia remaja pertengahan merupakan jumlah terbesar terpapar pada media. Hal ini menunjukkan bahwa remaja dalam kesehariannya menganggap media sebagai suatu kebutuhan yang harus selalu diakses untuk dijadikan sumber informasi yang dapat digunakan sebagai jawaban akan keingintahuan mereka tentang berbagai hal yang ada di sekitarnya Terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kelompok usia dalam perkembangan identity, autonomy, intimacy, sexuality dan achievement. Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang nyata antara usia dengan perkembangan identity (r=0.128; p<0.05), perkembangan autonomy (r=0.226; p<0.01), perkembangan intimacy (r=0.331; p<0.01), perkembangan sexuality (r=0.251; p<0.01) dan perkembangan achievement (r=0.252; p<0.01). Hal ini mengandung makna bahwa semakin tinggi usia contoh, maka akan semakin baik perkembangan identity, outonomy, intimacy, sexuality maupun achievement. Perkembangan psikososial remaja dipengaruhi secara nyata oleh usia contoh, paparan media dan gaya pengasuhan (R2=0.346; Sig= 0.000). Usia merupakan faktor penentu pada individu dalam menentukan tahap perkembangannya. Gaya pengasuhan yang dilakukan orang tua memberikan suasana hangat dan komunikasi yang efektif di dalam keluarga mempengaruhi perasaan anak. Anak merasa diterima oleh keluarga dan berkembang ke arah kehidupan yang lebih sehat dan media yang menawarkan berbagai macam informasi positif maupun negatif kepada remaja dapat digunakan sebagai model perilaku. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti memberikan saran kepada : 1) orang tua diharapkan menampilkan gaya pengasuhan yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak dan dilakukan dengan komunikasi yang efektif serta lebih banyak menyediakan waktu luang bagi keluarga; dan para orang tua agar memantau dan menyeleksi isi pesan yang diakses oleh remaja dari media; 2) kepada pihak pemerintah yang berkompeten di bidang pendidikan keluarga, agar lebih banyak menyelenggarakan program yang ditujukan bagi penguatan keluarga, seperti parenting skill bagi para orang tua dan social skill bagi anak serta menyelenggarakan lembaga-lembaga konseling yang dekat dengan masyarakat agar dapat lebih dijangkau oleh keluarga yang memerlukannya dan mendorong pelaksanaan undang-undang yang mengatur penyiaran; 3) kepada pihak sekolah agar menganjurkan siswa siswinya memanfaatkan Guru BP sebagai tempat untuk membicarakan permasalahan yang dialaminya, menyelenggarakan kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai kebutuhan siswa, menyediakan media pembelajaran yang memadai dan menyelenggarakan kegiatan social gathering dengan sekolah lain; dan 4) kepada peneliti lain agar melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam di bidang remaja khususnya dalam perkembangan psikososial remaja.