TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Spodoptera litura Ulat grayak (Spodoptera litura F.) merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar,kentang, dan lain-lain. Spodoptera litura disebut sebagai ulat grayak karena ulat ini dalam jumlah yang besar (mencapai ribuan) beramairamai menyerbu dan memakan tanaman pada malam hari dan tanaman akan habis dalam waktu yang singkat (Pracaya 2007). Ulat dan imago S. litura hanya keluar pada malam hari dan bersembunyi pada waktu siang hari, menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif yaitu memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan pada fase generatif dengan memangkas polong– polong muda (Direktorat PerlindunganTanaman Pangan 1985).
Menurut
Adisarwanto & Widianto (1999) serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hst. Spodoptera litura digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera famili Noctuidae, dan termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari 4 stadia hidup, yaitu telur, larva, kepompong, dan imago (Kalshoven 1981). Ngengat bertelur dalam 2-6 hari. Telur diletakkan dalam kelompok telur dengan bentuk yang bermacam-macam dan tertutupi oleh bulubulu halus sebagai pelindung telur. Masing-masing kelompok telur berisi ±350
butir. Telur akan menetas sesudah 3-5 hari.
Stadia larva terdiri atas lima instar dan instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Larva instar I dan II akan tinggal berkelompok di sekitar kulit telur dan memakan epidermis daun bagian bawah (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 1985). Larva muda berwarna kehijauan umumnya mempunyai dua bintik hitam dengan bentuk bulan sabit pada ruas abdomen keempat dan kesepuluh yang dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal berwarna kuning yang memanjang sepanjang badan (Kalshoven 1981). Larva instar akhir akan memakan helaian daun sehingga tinggal tulang-tulang daun saja dan juga memakan bunga dan polong muda (Arifin 1991). Lama stadia larva berkisar antara 20-26 hari (Departemen Pertanian 1981). Hama ini suka bersembunyi di
4
tempat gelap. Biasanya larva bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis daunnya menuju tanaman lainnya. Setelah dewasa ulat mulai berkepompong di dalam tanah dan pupanya terbungkus tanah. Pupa berbentuk oval memanjang berwarna coklat muda dan mengkilap, dan pada saat akan menjadi imago, pupa menjadi berwarna coklat kehitaman. Pupa bertipe obtekta dan berada didalam tanah dengan kedalaman 1 cm dari permukaan tanah. Lamanya masa berpupa adalah 5-8 hari tergantung dari ketinggian tempat.
Imago memiliki panjang tubuh 10-14 mm dengan jarak
rentang sayap 24-30 mm. Sayap depan berwarna putih keabu-abuan, pada bagian tengah sayap depan terdapat 3 pasang bitik berwarna keperakan dan sayap belakang berwarna putih dengan bagian tepi berwarna coklat gelap (Kalshoven 1981). Setelah menjadi imago, hama ini bisa terbang sejauh 5 km pada malam hari. Pengendalian Spodoptera litura Dalam Pracaya 2007, pengendalian yang dilakukan oleh petani antara lain secara teknis yaitu dengan mengambil telur dengan daun tempat menempelnya sebelum telur menetas; secara kimiawi yaitu dengan menggunakan insektisida Azodrin; secara sanitasi yaitu dengan pembersihan gulma disekitar tanaman dan pembuatan perangkap ulat grayak. Sampai saat ini pengendalian S. litura masih mengandalkan insektisida kimia, dan cara ini berdampak buruk terhadap fungsi dan kelangsungan hidup musuh alami serangga. Selain itu penggunaan insektisida dapat menimbulkan masalah resistensi maupun resurgensi terhadap ulat grayak maupun hama lainnya (Endo et al. 1988) dan mengakibatkan munculnya hama-hama yang sudah lama menghilang sebagaimana dengan munculnya hama baru (Armes et al., 1995). Oleh karena itu digunakan cara pengendalian alternatif yaitu dengan pemanfaatan patogen serangga. Patogen yang dapat digunakan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian ulat grayak yaitu Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV).
SlNPV
berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati karena memiliki sifat menguntungkan yaitu (a) mempunyai daya bunuh spesifik, (b) tidak berdampak
5
negatif terhadap serangga bukan sasaran seperti parasitoid dan predator, (c) tidak mencemari lingkungan hidup dan persisten di alam, (d) efektif juga terhadap serangga yang telah resisten terhadap insektisida kimiawi dan (e) kompatibel dengan komponen pengendalian hama yang lain termasuk insektisida kimia (Bedjo 2005). Struktur dan Morfologi NPV Nucleopolyhedrovirus (NPV) termasuk dalam family Baculoviridae. NPV merupakan patogen yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan sejumlah arthropoda. Dari beberapa genera yang menyerang arthropoda, NPV merupakan genus terpenting karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus ini. NPV pada umumnya menyerang ordo Lepidoptera (86%), Hymenoptera (7%) dan Diptera (3%). Selain itu virus juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera dan Neuroptera. Umumnya NPV menginfeksi stadia larva Lepidoptera, dan sedikit sekali laporan yang menyebutkan bahwa NPV dapat menginfeksi pupa dan imago. Sebagian besar NPV bersifat spesifik inang sehingga penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang dimana pertama kali diisolasi dan diidentifikasi (CAB 2000). Nucleopolyhedrovirus bereplikasi didalam inti sel serangga inang. Agar NPV dapat menginfeksi sel serangga inang maka polihedra harus tertelan bersama pakan yang dikonsumsinya. NPV berbentuk batang dan terdapat di dalam badan oklusi yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan terdapat di dalam inti sel yang rentan, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea. Polihedra berukuran 0,5-15 µm dan mengandung partikel virus yang disebut virion (Tanada dan Kaya, 1993). Virion berbentuk batang, berukuran 40-70 nm X 250-400 nm, dan berisi nukleokapsid yang mengandung molekul deoxy-ribonucleic acid (DNA) (Smits 1967). Virion yang mengandung satu nucleokapsid disebut single-enveloped NPV, sedangkan yang mengandung beberapa nukleokapsid disebut multiple-enveloped NPV tergantung jenis NPV (Maddox 1982). Morfologi polihedra dan virion dapat dilihat di bawah mikroskop elektron dengan pengecatan negatif atau dengan teknik irisan jaringan yang terinfeksi NPV.
6
Proses dan Gejala Infeksi Nucleopolyhedrovirus biasanya ditemukan pada permukaan tanaman dan tanah. Saat termakan oleh ulat dan masuk ke dalam saluran pencernaan yang memiliki pH tinggi (>10), polihedra akan pecah melepaskan virion infektif. Virion yang terlepas dari matrik protein menembus dinding saluran pencernaan untuk masuk ke rongga tubuh dan memulai infeksi ke dalam sel – sel saluran pencernaan ulat yang rentan. Untai DNA bereplikasi didalam inti sel (Dirjenbun, 2010). Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh.
Ulat tampak berminyak, disertai membran
integumen yang membengkak dan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut kemudian akan menghitam. Kemampuan makan ulat menurun, sehingga pertumbuhannya lambat. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati menggantung dengan posisi terbalik dengan tungkai semu pada pucuk tanaman. Hoffmann & Frodsham (1993) mengatakan bahwa penyakit yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau penyakit ulat ujung pohon (tree top). Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi, sehingga sangat rapuh. Apabila integumen robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa berwarna putih-kecoklatan yang mengandung polihedra.
Ulat muda (instar I-III) mati dalam 2 hari,
sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (lgnoffo dan Couch, 1981). Sebelum mati, ulat masih dapat merusak tanaman, namun kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat rendah, karena terjadi penurunan kemampuan makan dari ulat grayak yang mencapai 84%. Infeksi juga dapat terjadi pada larva instar awal akibat kontaminasi pada telur.
Hal ini tejadi karena larva yang keluar akan memakan korion untuk
membuat lubang. Apabila korion mengandung NPV, virus ini masuk kedalam tubuh larva dan menginfeksi organ tubuhnya maka kematian akan terjadi 1-2 hari kemudian (Narayanan 2004).
7
Kelemahan Pemanfaatan SlNPV Untuk Pengendalian Spodoptera litura Beberapa keunggulan penggunaan NPV untuk mengendalikan hama tanaman dibandingkan dengan insektisida kimia antara lain efektif mengendalikan hama sasaran, spesifik inang sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup musuh alami dan serangga berguna lainnya serta dihasilkannya inokulum yang dapat mengendalikan populasi hama selanjutnya (Lacey et al. 2001). Dalam pemanfaatannya, bioinsektisida SlNPV mempunyai beberapa kelemahan.
Hal ini merupakan tantangan yang harus dapat diatasi sehingga
keefektifannya dapat dipertahankan. Beberapa kelemahan pada saat diaplikasikan di lapangan antara lain SlNPV peka terhadap pengaruh sinar matahari terutama sinar ultraviolet; kecepatan dalam mematikan inang relatif rendah yaitu 3-9 hari sehingga selama waktu tersebut larva yang telah terinfeksi masih bisa menimbulkan kerusakan walaupun intensitasnya menurun; SlNPV kurang efektif terhadap larva yang berukuran besar; dan penggunaan SlNPV ini memerlukan ketepatan waktu aplikasi yaitu pada waktu pagi (06.00-08.00) maupun sore hari (16.00 – 18.00) (Bedjo, 2005). Menurut Granados dan Federici (1986) Salah satu kelemahan utama dalam penggunaan mikroorganisme sebagai insektisida adalah ketidakaktifan mereka setelah terpapar sinar matahari langsung terutama sinar ultraviolet.
Dengan
panjang gelombang 280 - 320 nm, UV B merupakan penyebab utama ketidakaktifan mikroba (Jacques 1977; Jones dan McKinley 1986 dalam McIntosh AH et al, 2004). Ultraviolet A (320-400 nm) dapat juga berkontribusi terhadap penurunan keefektifan Baculovirus (Shapiro dan Domek 2002 dalam McIntosh et al. 2004) dan UV C (250-280 nm) lebih merusak DNA. Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus, yang sangat patogenik untuk larva S. litura mulai kehilangan keefektifannya setelah 12 jam paparan sinar matahari langsung (Sajap et al. 2007). Seperti yang diungkapkan oleh Young (2003) dalam Bedjo (2005) bahwa NPV tidak tahan terhadap radiasi sinar ultraviolet maka berbagai upaya telah dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja NPV di lapangan yaitu dengan manambahkan bahan perekat, perangsang makan, pemicu
8
kinerja dan mencampur dengan bahan tambahan (adjuvant) yang dapat melindungi NPV terhadap sinar ultraviolet (CAB 2000). Beberapa bahan yang telah diuji untuk mempertahankan persistensi NPV terhadap paparan sinar ultraviolet antara lain penambahan pencerah flourescen pada Lymantria dispar NPV(dougherty et.al 1996), dan pada S. exigua NPV (Lasa et al. 2007), penambahan adjuvan pada H. armigera NPV (HaNPV) (Mehrvar et al. 2008), penambahan ekstrak teh hijau pada S. exigua NPV (SeNPV) (Shapiro et al 2008) dan penambahan Titanium dioksida (TiO 2 ) pada Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) (Farrar et.al 2004).
Farrar et al. (2004)
menyatakan bahwa Titanium dioksida dapat memantulkan cahaya UV dan dapat meningkatkan persistensi polihedra Helicoverpa zea Nucleopolyhedrovirus (HzNPV) dilapangan.
Selain itu, pendekatan yang telah digunakan dengan
harapan penurunan keefektifan oleh UV B adalah penambahan UV protektan, seperti pewarna dan optik brighteners untuk formulasi (Shapiro dan Vaughn 1995 dalam McIntosh AH et al. 2004). Sel-sel serangga dapat melindungi virus dari ketidakaktifan oleh UV B (Grasela et al. 2002 dalam McIntosh et al. 2004). Bahan pelindung alami juga diujicobakan untuk melindungi NPV dari paparan UV seperti Tinopal, gula sederhana, minyak kelapa, riboflavin (Sajap et al. 2008), polyvinil, tween 80, kaolin, tetes tebu, dan sukrosa (Bedjo 2005). Gula, seperti sukrosa, fruktosa dan sorbitol, juga dapat meningkatkan keefektifan NPV (Ballard et al. 2000). Bahan Kimia Pelindung Radiasi Ultraviolet Radiasi UV adalah bagian dari spektrum elektromagnetik (cahaya) yang mencapai bumi dari matahari. Radiasi ini memiliki panjang gelombang yang lebih pendek daripada cahaya tampak, sehingga tak terlihat dengan mata telanjang. Panjang gelombang ini diklasifikasikan sebagai UVA, UVB, dan UVC. Ultraviolet A terpanjang dari ketiga jenis UV, di 320-400 nm. UVA dibagi menjadi dua rentang panjang gelombang, UVA, yang mengukur 340-400 nm dan UVA II membentang dari 320-400 nm. UVB berkisar antara 290 dan 320 nm. Dengan sinar yang lebih pendek, UVC diserap oleh lapisan ozon dan tidak mencapai bumi (Epstein dan Wang 2011).
9
Tabir surya merupakan penghalang antara kulit dan matahari, dapat berupa fisik, kimia atau keduanya. Tabir surya terbuat dari bahan kimia yang dapat menyerap panjang gelombang spesifik dari spektrum matahari. Pelindung fisik seperti seng oksida, mencerminkan sinar UVA, sedangkan pelindung kimia yang paling menyerap sinar UVB menggunakan blok Ming Oktil Metoksisinamat, Parsol 1789, Octisalate, dan Titanium dioksida. Ada beberapa agen kimia yang menyerap sinar UVA, seperti Parsol 1789; namun, tidak mampu untuk memblokir semua dari sinar UVA. Oktil metoksisinamat merupakan senyawa sinamat dari kelompok bahan kimia minyak larut, menyerap cahaya dengan panjang gelombang dari 290 nm – 320 nm, dalam kisaran UVB. Bahan ini tidak melindungi dari UVA. Ketika terkena sinar matahari metoksisinamat oktil diubah menjadi bentuk yang kurang menyerap UV (dari E metoksisinamat-oktil--p-Z menjadi oktil-p-metoksisinamat). Konversi ini dapat dicegah dengan beberapa UV blocker tertentu lainnya, terutama bemotrizinol (Tinosorb M). Etilheksil metoksisinamat adalah cairan bening yang tidak larut dalam air. Etilheksil metoksisinamat digunakan dalam formulasi berbagai jenis produk termasuk tabir surya dan produk make up yang mengandung bahan-bahan untuk melindungi kulit dari matahari. Di Amerika Serikat, produk ini diatur sebagai obat bebas (Over-the-Counter).
Administrasi Obat dan Makanan (FDA)
melakukan peninjauan OTC Etilheksil metoksisinamat menyetujui penggunaan bahan ini sebagai bahan aktif dalam produk tabir surya sampai dengan konsentrasi 7,5%. Di Kanada, Etilheksil metoksisinamat diijinkan dalam produk tabir surya pada konsentrasi hingga 8,5%. Menurut petunjuk Kosmetika Uni Eropa, Etilheksil metoksisinamat dapat digunakan pada konsentrasi maksimum 10% pada produk tabir surya. Etilheksil metoksisinamat atau Octinoxate digunakan dalam produk yang diterapkan pada kulit untuk menyerap, mencerminkan atau menyebarkan sinar UV. Bahan ini berfungsi untuk melindungi kulit dari sinar matahari serta efek merusak lainnya dari cahaya matahari. Etilheksil metoksisinamat juga melindungi kosmetik dan produk perawatan pribadi dari kerusakan yang disebabkan oleh sinar UV. Benzofenon adalah kelompok keton aromatik, yang semuanya mengandung
10
unsur difenilketon struktural, meningkatkan kelarutan keton dan mengubah kemampuannya untuk menyerap sinar ultraviolet. Bahan ini digunakan sebagai photostabilizers produk kosmetik dan perawatan pribadi serta memiliki efek photoprotektif pada kulit bila digunakan dalam produk sunblock. Benzofenon terdiri dari beberapa jenis antara lain Benzophenone-1, Benzofenon-3, Benzofenon-4, Benzofenon-5, Benzofenon-9 dan Benzofenon-11 yang berfungsi melindungi kosmetik dan produk perawatan pribadi dari kerusakan dengan menyerap, mencerminkan, atau memantulkan sinar UV. Benzofenon-3, terdaftar sebagai oksibenzon. Sebagai bagian dari produk sunblock, Benzofenon3 melindungi kulit dari efek berbahaya dari matahari. Tereksposnya kulit yang tidak dilindungi (terutama dalam kisaran UV-B) dapat mengakibatkan kulit terbakar dan dapat mempercepat penuaan dini pada kulit bahkan dapat menyebabkan kanker kulit. Oksibenzon dapat digunakan pada konsentrasi hingga 10%. Titanium dioksida memiliki rumus TiO 2 .
Bahan ini digunakan dalam
berbagai kosmetik dan produk perawatan pribadi yaitu makeup, sabun mandi, dan juga terdapat dalam produk-produk sunblock.
Titanium dioksida merupakan
bahan yang berasal dari mineral. Karena senyawa ini yang berasal dari tubuh bumi, kemungkinan mengandung sejumlah kecil logam berat. Tingkat logam berat dalam Titanium dioksida diatur oleh FDA (The Food and Drug Administration) dalam jumlah kecil dalam produk kosmetik atau perawatan sehingga tidak mengganggu kesehatan manusia.
Titanium dioksida bekerja
sebagai pelindung sinar matahari dengan memantulkan radiasi UV. Produk ini mengurangi sengatan sinar matahari, penuaan kulit serta mengurangi risiko untuk kanker kulit.
Titanium dioksida terdaftar sebagai CI 77891 dalam kosmetik
direktif Uni Eropa dan dapat digunakan tanpa batasan sebagai bahan pewarna ketika kemurnian persyaratan terpenuhi. FDA juga telah menyetujui penggunaan Titanium dioksida untuk digunakan dalam sunblock pada konsentrasi hingga 25%.