TINJAUAN PUSTAKA
1. Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera: Noctuidae) 1.1 Biologi Hama Klasifikasi hama ulat grayak menurut Kalsoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Divisio
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Family
: Noctuidae
Genus
: Spodoptera
Spesies
: Spodoptera litura F.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat kekuning-kuningan, berkelompok (masing-masing berisi 25 – 500 butir) tertutup bulu seperti beludru (Tenrirawe dan Talanca, 2008). Stadia telur berlangsung selama 3 hari (Rahayu, dkk, 2009).
Gambar. Telur S. litura Sumber : www.biolib.cz
Universitas Sumatera Utara
Setelah 3 hari, telur menetas menjadi larva. Ulat yang keluar dari telur berkelompok dipermukaan daun. Setelah beberapa hari, ulat mulai hidup berpencar. Panjang tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 50 mm (Balitbang, 2006). Masa stadia larva berlangsung selama 15 – 30 hari (Rahayu, dkk, 2009).
Gambar. Larva S. litura Sumber : Foto Langsung Setelah cukup dewasa, yaitu lebih kurang berumur 2 minggu, ulat mulai berkepompong. Masa pupa berlangsung didalam tanah dan dibungkus dengan tanah (Kalsoven, 1981). Setelah 9-10 hari kepompong akan berubah menjadi ngengat dewasa (Balitbang, 2006).
Gambar. Pupa S. litura Sumber : www.nongyao001.com
Universitas Sumatera Utara
Serangga dewasa berupa ngengat abu-abu, meletakkan telur secara berkelompok. Ukuran tubuh ngengat betina 14 mm sedangkan ngengat jantan 17 mm (Balitbang, 2006). Imago S. litura memiliki umur yang singkat (Kalsoven, 1981).
Gambar. Imago S. litura Sumber : www.tinhdoandongthap.org 1.2 Gejala Serangan Ulat grayak aktif makan pada malam hari, meninggalkan epidermis atas dan tulang daun sehingga daun yang terserang dari jauh terlihat berwarna putih (Balitbang, 2006). Larva yang masih kecil merusak daun dan menyerang secara serentak berkelompok. dengan meninggalkan sisa-sisa bagian atas epidermis daun, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Biasanya larva berada di permukaan
bawah
daun,
umumnya
terjadi
pada
musim
kemarau
(Tenrirawe dan Talanca, 2008). Selain pada daun, ulat dewasa makan polong muda dan tulang daun muda, sedangkan pada daun yang tua, tulang-tulangnya akan tersisa. Selain menyerang kedelai, ulat grayak juga menyerang jagung, kentang, tembakau, kacang hijau, bayam dan kubis (Balitbang, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar. Gejala Serangan S. litura Sumber : Foto Langsung 2. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema indicata F.) (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Hama Klasifikasi hama penggulung daun menurut Kalsoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Divisio
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Family
: Pyralidae
Genus
: Lamprosema
Spesies
: Lamprosema indicata F.
Ngengat bertelur dibawah permukaan daun. Telur diletakkan secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 2-5 telur (Balitbang, 2006). Telur menetas setelah 7-8 hari kemudian (Singh, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Gambar. Telur L. indicata Sumber : Foto Langsung Larva yang keluar dari telur berwarna hijau, licin, transparan dan agak mengkilap. Pada bagian punggung (toraks) terdapat bintik hitam. Panjang tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 20 mm (Balitbang, 2006). Stadia larva berlangsung selama 22-28 hari (Singh, 1990).
Gambar. Larva L. indicata Sumber : Foto Langsung Masa pupa dihabiskan dengan melipat daun dan kadang-kadang jatuh dibawah daun. Namun, instar dua dan instar tiga juga ditemukan didalam gulungan daun. Masa pupa berlangsung selama 5-15 hari (Singh, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Gambar. Pupa L. indicata Sumber : www.cnak.net Ngengat berukuran kecil dan sayapnya berwarna kuning kecoklatan dengan
tiga
garis
coklat
hitam.
Panjang
rentangan
sayap
20
mm
(Rahayu, dkk, 2009).
Gambar. Imago L. indicata Sumber : www.mothphotographersgroup.msstate.edu. 2. Gejala Serangan Ulat ini menyerang tanaman dengan menggulung daun dengan merekatkan daun yang satu dengan yang lainnya dari sisi dalam dengan zat perekat yang dihasilkannya. Didalam gulungan daun, ulat tersebut memakan daun tanaman sehingga akhirnya tinggal tulang daunnya saja yang tersisa. Bila gulungan dibuka, akan dijumpai ulat atau kotorannya yang berwarna coklat kehitaman. Selain menyerang kedelai, ulat ini juga menyerang kacang hijau, kacang tunggak, kacang panjang, Calopogonium sp. dan kacang tanah (Balitbang, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar. Gejala Serangan L. indicata Sumber : Foto Langsung 3. Pengendalian Untuk mengendalikan hama tersebut, petani umumnya menggunakan insektisida kimia yang intensif (dengan frekuensi dan dosis
tinggi). Hal ini
mengakibatkan timbulnya dampak negatif seperti gejala resistensi, resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan dan gangguan kesehatan bagi pengguna. Pengurangan penggunaan pestisida di areal pertanian menuntut tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan ramah lingkungan, di antaranya dengan memanfaatkan musuh alami dan penggunaan pestisida nabati (Samsudin, 2008 dalam Rusdy, 2009). 3.1 Insektisida Botani Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber insektisida nabati didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan. Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yaitu senyawa metabolik sekunder yang bersifat penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant/feeding deterrent), penghambat perkembangan dan penghambat peneluran (oviposition repellent/deterrent) dan sebagai bahan kimia yang mematikan serangga dengan cepat (Prijono, 1999 dalam Hasnah dan Nasril, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Insektisida nabati dapat dibuat dari bahan tumbuhan yang mengandung bahan aktif insektisida. Insektisida nabati relatif mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan aman bagi manusia dan ternak, karena residunya mudah hilang. Bahan aktif insektisida nabati mampu meracuni hama hingga
2-
3
hari,
tergantung
kondisi
lapangan
dan
keadaan
cuaca
(Taruningkeng, 1992 dalam Santosa, 2009). 3.1.1 Pepaya (Carica papaya L.) Tanaman pepaya mengandung enzim papain, alkaloid karpaina, psudo karpaina, glikosid, karposid, saponin, beta karotene, pectin, d-galaktosa, l-arabinosa, papain, papayotimin papain, vitokinose, glucoside cacirin, karpain, papain, kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferase. Zat ini dapat berfungsi sebagai insektisida, fungisida dan rodentisida serta sebagai penolak makan bagi berbagai jenis ulat, cendawan, mosaik virus, dan embun tepung (Setiawati, dkk, 2008). Daun pepaya mengandung zat aktif enzim papain, alkaloid, dan glikosid sehingga efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap. Papain adalah enzim hidrolase sistein protease yang ada pada getah tanaman papaya baik di daun, batang maupun buahnya. Getah pepaya mengandung sedikitnya tiga jenis enzim yaitu papain (10%), khimopapain (45%), dan lisozim (20%). Komponen paling aktif dari getah pepaya adalah khimopapain, yaitu enzim yang mampu menggumpalkan susu dan mengempukkan daging (Fachraniah, dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Gambar. Biji Pepaya Sumber : Foto Langsung 3.1.2 Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Tanaman mengkudu (Morinda citrifolia L.) mengandung minyak atsiri, alkaloid,
saponin,
flavonoid,
polifenol
dan
antrakuinon.
Kandungan
lainnya adalah terpenoid, asam askorbat, scolopetin, serotonin, damnacanthal, resin, glikosida, eugenol dan proxeronin yang berfungsi sebagai racun perut bagi serangga (Bangun dan Sarwono, 2005 dalam Hasnah dan Nasril, 2009).
Gambar. Biji Mengkudu Sumber : Foto Langsung 3.1.3 Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.), bahan kimia yang terkandung dalam tumbuhan ini adalah saponin dan flavonoida yang berfungsi sebagai penghambat makan (antifeedant), penghambat perkembangan serangga (growth regulator), dan penolak makan (repellent) (Setiawati, dkk, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Gambar. Biji Mahoni Sumber : Foto Langsung 3.2 Insektisida Hayati Pengendalian hayati seperti pemanfaatan parasitoid, virus, predator dan cendawan patogen mempunyai harapan besar dimasa mendatang untuk menggantikan insektisida karena tidak mempunyai dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Cendawan patogen merupakan salah satu komponen pengendalian
yang
dapat
memberi
peluang
yang
cukup
baik
(Surtikanti dan Yasin, 2009). 3.2.1 Bacillus thuringiensis Salah satu keunggulan Bacillus thuringiensis sebagai agens hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik misalnya untuk mengendalikan serangga hama dari golongan Ordo Lepidoptera, namun diketahui juga mampu menginfeksi ordo yang lain seperti Ordo Diptera dan Coleoptera. Cara kerja bakteri B. thuringiensis adalah kristal bakteri yang berupa matriks protein didalam saluran makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga yang rentan akan mengalami hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan fraksi-fraksi yang lebih kecil yang menyebabkan toksik tehadap dinding saluran makanan. Kerusakan dinding saluran makanan mengakibatkan serangga sakit yang dapat menyebabkan kematian serangga (Korlina, 2011).
Universitas Sumatera Utara
3.2.2 Beauveria bassiana Cendawan entomopatogen yang sudah banyak penggunaannya adalah Beauveria bassiana. Di dalam tubuh serangga hifa berkembang dan masuk ke dalam pembuluh darah. Selain itu B. bassiana mengeluarkan toksin seperti beaurerisin, beauverolit, bassianalit, isorolit dan asam oksalat yang menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya peredaran darah serta merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan pernafasan yang pada akhirnya menyebabkan kematian. Gejala serangan pada serangga yang terinfeksi B. bassiana terlihat larva menjadi kurang aktif kemudian kaku dan diikuti oleh perubahan warna tubuh karena dinding tubuhnya sudah ditutupi oleh hifa yang berwarna
putih
seperti
kapas
(apabila
lingkungan
menguntungkan)
(Korlina, 2011). Menurut Fuxa dan Tanada (1987) dalam Susanto, dkk (2006), faktor penting untuk terjadinya infeksi jamur entomopatogen pada serangga adalah populasi jamur entomopatogen, populasi inang dan kondisi lingkungan. Umumnya unit infektif dari jamur adalah spora. Banyaknya inokulum menentukan keberhasilan infeksi jamur. Banyaknya inokulum dinyatakan sebagai banyaknya spora/konidia per satuan volume larutan yang dikenal dengan kerapatan spora. 3.3 Insektisida Kimia Di Indonesia pada umumnya, pengendalian hama masih banyak menggunakan insektisida sintetik yang dilakukan secara intensif, yang dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif, terutama terbunuhnya musuh alami dan akumulasi residu pestisida (Hasnah, dkk, 2012), sedangkan dari hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
Shahabuddin dan Mahfudz (2010) diketahui bahwa insektisida kimia tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hama Spodoptera exigua. Timbulnya strain yang tahan terhadap insektisida kimia adalah fenomena yang sering muncul pada serangga yang sering terpapar oleh insektisida kimia. Fenomena ini akan menurunkan keefektifan pengendalian kimiawi. Seperti yang dilaporkan oleh Marwoto dan Bedjo (1996) ketahanan/resistensi S. litura terhadap beberapa golongan insektisida telah ditemukan hampir di seluruh daerah produsen kedelai di Jawa Timur, karena 90% petani yang menggunakan insektisida sejenis dilakukan secara terus menerus dengan takaran yang kurang tepat (Suharsono, 2011). 3.3.1 Dimetoat Insektisida dimetoat adalah insektisida golongan organofosfat dan bersifat racun kontak. Nama kimia dimetoat adalah O,O-dimetil S-metilcarbomoil metilfosforoditioat dengan rumus molekul C5H12NO3PS2 yang mempunyai bobot molekul 229,2 dan bentuk rumus bangun
(Chairul dan Kuswadi, 2007).
Universitas Sumatera Utara