TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Hama
Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Family
: Noctuidae
Genus
: Spodoptera
Spesies
: Spodoptera litura F. Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan hama yang
penting pada tanaman pangan maupun pada tanaman perkebunan, karena larva hama ini bersifat polifag. Larva hama ini sering menyebabkan kerusakan daun pada tanaman kacang-kacangan, jagung padi, bawang, slada, sawi, kapas, tembakau, dan tebu (Kalshoven, 1981). Siklus hidup berkisar antara 30 −60 hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 20−26 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000 -3.000 telur (Prayogo, dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Telur
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang - kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi, kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Gambar 1 : telur Spodoptera litura Sumber : http://www.telur gambar telur Spodoptera litura.ac.id Larva
Larva yang baru keluar dari kelompok telur pada mulanya bergerombol sampai instar ketiga. Larva berwarna hijau kelabu hitam. Larva terdiri 5-6 instar (Balai Penelitian Tembakau Deli, 2004). Lama stadia larva 17 - 26 hari, yang terdiri dari larva instar 1 antara 5 - 6 hari, instar 2 antara 3 - 5 hari, instar 3 antara 3 - 6 hari, instar 4 antara 2 - 4 hari, dan instar 5 antara 3 - 5 hari (Cardona, et all, 2007). Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral
Universitas Sumatera Utara
dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah makan, larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembab dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Gambar 2 : larva Spodoptera litura Sumber : http:/larva gambar larva Spodoptera litura.ac.id
Pupa
Pupa berada di dalam tanah atau pasir. Pupa berbentuk oval memanjang dan berwarna cokelat mengkilat. Tubuh pupa memiliki panjang dan lebar antara 22,29 + 0,7 mm dan 7,51 + 0,36 mm. Lama stadia pupa 9-14 hari (Cardona, et all, 2007) . Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Siklus hidup berkisar antara 30 - 60 hari (lama stadium telur 2 - 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20 - 46 hari, pupa 8 - 11 hari (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3 : pupa Spodoptera litura Sumber : http://www.pupa gambar pupa Spodoptera litura.ac.id Imago
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km (Marwoto dan Suharsono, 2008). Ngengat aktif pada malam hari dan serangga betina bila meletakkan telur dalam bentuk paket dan satu paket bisa mencapai 200-300 butir. Seekor betina bisa meletakkan telur mencapai 800-1000 butir. Dan lama masa hidup imago 5-9 hari. Lama siklus dari hama ini adalah 24 - 41 hari (Subandrijo, dkk, 1992).
Gambar 4 : imago Spodoptera litura Sumber : http://www.imago gambar imago Spodoptera litura.ac.id
Universitas Sumatera Utara
Gejala serangan
Kebanyakan larvae kupu-kupu dan ngengat makan tumbuh-tumbuhan tetapi jenis yang berbeda makan dengan cara-cara yang berbeda. Larvae yang lebih besar biasanya makan di pinggiran daun dan makan semuanya kecuali rangka-rangka daun yang lebih besar, larvae yang kecil makan daging daun (yang menyebabkan daun tinggal rangkanya) atau membuat lubang-lubang yang kecil di dalam daun (Borror, et all, 1992). Kerusakan daun yang diakibatkan larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Larva instar lanjut merusak tulang daun. Pada serangan berat menyebabkan gundulnya tanaman (Gambar 5) (Sudarmo, 1992).
Gambar 5. Gejala serangan S. litura Sumber: http://www.repository.ac.id.biopestisida-spodoptera-litura-f&catid=43 Diakses pada 22 Februari 2012 Serangan yang ditimbulkan akan kelihatan daun transparan karena daging daun habis dimakan. Pada instar ke-4 dan ke-5 larva menyebar ketanaman didekatnya
terutama
bila
daun
untuk
dimakan
sudah
berkurang
(Balai Penelitian Tembakau Deli, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Bioinsektisida
Bioinsektisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak dipakai (Deptan, 2010). Bioinsektisida yang digunakan berbahan aktif Bacillus thuringiensis dan Bacillus chitinosporus. Bioinsektisida ini dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian secara terpadu karena efektif terhadap hama sasaran
dan
relatif
aman
terhadap
parasitoid
dan
predator
(Nurdin dan Kiman, 1993).
Bacillus chitinosporus
Menurut Weber (1973) taksonomi bakteri Bacillus chitinosporus yaitu: Kingdom
: Eubacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Family
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus chitinosporus
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6. Bacillus chitinosporous Sumber : www.http. Bacillus sp.co.id Bacillus chitinosporus merupakan salah satu bakteri yang memproduksi metabolit enzim kitinase yang mampu menghancurkan, mengurai dan mencerna zat kitin yang terdapat pada sel telur nematoda, kulit serangga, larva dan pupa serangga. Hal ini
juga yang diduga mampu mengendalikan
jamur
dari
golongan basidiomycetes (Sudharto, dkk, 2001). CM (Crops Mikrobia) mengandung bakteri gram positif yang dapat hidup di permukaan akar yang mempunyai strain spesifik yang jelas dan terkendali. Bakteri itu yaitu : Bacillus chitinosporous, yang memproduksi metabolit enzim chitinase yang mampu menghancurkan, mengurai dan mencerna zat kitin yang terdapat pada sel telur nematoda, kulit serangga, larva dan pupa serangga. Bacillus subtilis dan Bacillus pumulus yang memproduksi metabolit yang menghambat fungi (cendawan) Bacillus lateroporous yang memproduksi metabolit spesifik (auksin dan gibrelin) yang mampu menstimulir benih, akar, batang, bunga dan buah (Deptan, 2010). Pemberian inokulum secara sengaja, besarnya persentase serangga yang terkena pengaruhnya meningkat bersama dengan meningkatnya dosis. Dimana semakin besar dosis yang diberikan maka akan semakin
cepat
larva mati
(Messenger and Huffaker,1989).
Universitas Sumatera Utara
Bakteri berkembang biak dengan kecepatan yang luar biasa. Di bawah kondisi yang menguntungkan bakteri membelah setiap 20 menit, satu bakteri menjadi dua, dua menjadi empat, dan seterusnya. Dengan kecepatan yang demikian satu bakteri akan menghasilkan satu juta bakteri dalam 10 jam. Tetapi karena keterbatasan ketersediaan makanan, akumulasi buangan metabolik dan faktor pembatas lainnya, maka laju produksi akan menurun dan akhirnya berhenti (Agrios, 1996).
Bacillus thuringiensis
Menurut Kalshoven (1981), Bacillus thuringiensis diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Eubacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacteriales
Family
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus thuringiensis
Gambar 7 : Bacillus thuringiensis Sumber : http://biochronica.blogspot.com/pbioteknologi.html
Universitas Sumatera Utara
B. thuringiensis merupakan bakteri gram-positif berbentuk batang. Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif, namun bila suplai makanannya menurun maka akan membentuk spora dorman yang mengandung satu atau lebih jenis Kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang disebut δ-endotoksin, yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka (Bahagiawati, 2002). Bacillus thuringiensis merupakan spesies bakteri dari genus Bacillus yang sudah banyak dikembangkan sebagai insektisida. Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan patogen (penyebab penyakit) bagi berbagai jenis serangga yang sangat spesifik. Bacillus thuringiensis merupakan insektisida racun perut. Saat sporulasi, bakteri menghasilkan kristal protein yang mengandung senyawa insektisida αendotoksin yang bekerja merusak sistem pencernaan serangga. Serangga akan berhenti makan dan mati dalam 1 – 4 hari (Djojosumarto, 2008). Umumnya,
bio-insektisida
berbahan
aktif
Bacillus
thuringiensis
merupakan racun perut yang menyerang saluran pencernaan serangga yang terinfeksi. Dalam saluran pencernaan, toksin bakteri yang mengalami penguraian (hidrolisis). Fraksi-fraksi toksin tersebut akan dibebaskan dari kristal dan meracuni sel-sel epitel saluran makanan (Soenandar, dkk, 2010). B. thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat
membunuh
serangga
(insektisidal)
sewaktu
mengalami
proses
sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989). Pada umumnya kristal Bacillus thuringiensis di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat
Universitas Sumatera Utara
toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bacillus thuringiensis ini menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat kecil) di sel membrane di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte and Whiteley, 1989). Kristal – kristal parasporal yang dicerna hanya meracuni larva Lepidoptera dimana pH ususnya tinggi. Serangga – serangga yang diracuni oleh kristal – kristal beracun dengan segera menjadi lumpuh, menunjukan adanya perubahan patologis dalam jaringan – jaringannya, dan kemungkinan akan mati sebelum pertumbuhan yang sesungguhanya atau infeksi oleh B. Thuringiensis terjadi. Serangga - serangga menunjukan tanda – tanda keracunan (misalnya berhenti makan)
dan
rusaknya
epitelium
midgut
(perut
bagian
tengah)
yang
memungkinkan masuknya bakteri ke dalam darah dan berakibat suatu septicemia yang mematikan dengan atau tanpa terjadinya pertumbuhan bakteri sebelumnya di dalam perut (Messenger and Huffaker, 1989). Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati (Suwahyono, 2010).
Universitas Sumatera Utara