4
TINJAUAN PUSTAKA
Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus, dan Spesies R. argentiventer Rob. & Klo. (Boeadi 1979). Tikus sawah merupakan hewan terestrial yang memiliki tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus. Selain itu, tikus sawah memiliki rambut agak kasar, moncong berbentuk kerucut, badan berbentuk silindris, warna badan pada bagian punggung coklat kelabu kehitaman, dan warna badan pada bagian perut kelabu pucat atau putih kotor. Ciri khusus dari tikus sawah yaitu ekor relatif lebih pendek daripada panjang kepala dan badan. Panjang kepala dengan badan 130-210 mm, ekor 120-200 mm, dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu tikus betina 12 buah, 3 pasang di bagian dada dan 3 pasang di bagian perut (Priyambodo 2009).
Biologi dan Ekologi Tikus sawah (R.argentiventer) merupakan hama utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam yang intensif. Tikus sawah dapat merusak tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen, bahkan di dalam gudang penyimpanan (BB Padi 2009). Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar sawah. Tikus sawah memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain itu, tikus sawah juga suka menggali liang untuk berlindung dan berkembangbiak, membuat terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi (Rochman 1992). Tikus sawah memiliki panca indera yang berkembang dengan baik sehingga dapat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan nokturnal, penglihatan tikus sawah telah berkembang dan beradaptasi untuk melihat dalam intensitas cahaya rendah. Tikus dapat mengenali bentuk benda hingga jarak
4
5
pandang 10-15 m (Anggara et al. 2008). Namun tikus sawah dianggap buta warna sehingga sebagian warna terlihat abu-abu (Rochman 1992). Indera penciuman berkembang baik sehingga tikus dapat mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain, jejak anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak atau tidaknya suatu pakan. Indera peraba juga berkembang baik, misai dan rambut-rambut panjang pada sisi tubuhnya digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang dilalui (BB Padi 2009). Sebagai hewan nokturnal, tikus memiliki orientasi mencari makan, pasangan, dan kawasan (Brooks & Rowe 1979). Selain itu, tikus memiliki kemampuan
fisik
seperti
menggali,
memanjat,
meloncat,
melompat,
menggerogoti, berenang, dan menyelam (Rochman 1992). Tikus telah memiliki otak yang berkembang sempurna sehingga mampu belajar dan mengingat dengan baik. Tikus sawah dapat mengingat sarang, sumber pakan yang aman ataupun beracun, dan sumber air (Anggara et al. 2008). Tikus sawah termasuk hewan omnivora (pemakan segala jenis makanan), seperti biji-bijian (beras, gabah, jagung), umbi-umbian, serangga, dan sebagainya. Pada saat makanan berlimpah, tikus sawah akan menjadi lebih selektif dan memilih makanan yang paling disukai, yaitu biji-bijian atau padi yang tersedia di sawah (Rochman et al. 1982). Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling suka memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo 2009). Tikus sawah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Di lahan yang ditanami padi secara terus menerus (2 kali per tahun) puncak populasi akan terjadi 2 kali, yaitu pada saat tanaman fase generatif. Di lahan yang ditanami padi 1 kali
6
per tahun, puncak populasi hanya terjadi 1 kali, yaitu pada fase generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan ratarata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (± 1 bulan) dibandingkan dengan tikus jantan (± 2-3 bulan). Cepat atau lambatnya kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan serta tempat berlindung dan bersarang yang memadai. Apabila hal tersebut terpenuhi maka tikus sawah dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau disebut juga ledakan populasi (Macdonald & Fenn 1994). Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus) (Southwhick 1969; Meehan 1984). Terdapatnya padi yang belum dipanen dapat memperpanjang periode reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut, anak tikus dari kelahiran pertama sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total sebanyak 80 ekor tikus dalam satu musim tanam padi. Secara teoritis dari 1 pasang tikus dapat berkembang menjadi + 2.000 ekor dalam waktu 1 tahun (Meehan 1984). Pada saat tanaman fase padi vegetatif, tikus hidup soliter dan di luar liang, sedang pada fase generatif, tikus hidup berpasang-pasangan dan tinggal di dalam liang persawahan dengan pematang yang sempit (Sudarmaji 2005). Luas wilayah dan jarak jelajah harian tikus dipengaruhi oleh jumlah sumber pakan dan populasi tikus. Bila sumber pakan berlimpah, jelajah hariannya pendek (50-125 m) dan bila sumber pakan sedikit, jelajah harian panjang (100-200 m) (BB Padi 2009). Keberadaan tikus di lapang dapat diketahui dengan cara pengumpanan tanpa racun yang dipasang minimal sebanyak 20 titik umpan per hektar atau pengamatan jejak dan jalan lintas tikus. Selain itu, keberadaan tikus di suatu tempat dapat diketahui dengan adanya benda yang rusak. Penentuan yang akurat akan adanya investasi tikus dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap bahan makanan atau aktivitas sarang dan tanda-tanda pergerakan tikus dari sarang ke daerah makanan (Chandra 2005).
6
7
Metode Pengendalian Tikus Sawah Pengendalian tikus sawah sering dilakukan oleh manusia. Beberapa metode pengendalian yang dapat dilakukan antara lain kultur teknis, sanitasi, fisikmekanis, biologis atau hayati, dan kimiawi. Elemen penting yang harus diperhatikan untuk mengendalikan tikus di persawahan adalah sanitasi lingkungan dan monitoring populasi tikus di sekitar persawahan (Priyambodo 2009). Sanitasi dapat menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan alternatif terutama saat periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan populasi tikus sawah (Sudarmaji 2004). Pengendalian secara hayati (biologi) terhadap populasi tikus dilakukan dengan menggunakan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Namun cara ini kurang efektif dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian populasi tikus secara hayati dengan penggunaan parasit, patogen, dan manipulasi genetik telah dirintis, namun belum dapat diterapkan secara luas (Fall 1977). Pengendalian secara kultur teknis dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam, dan penggunaan tanaman perangkap, sedangkan pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penggunaan umpan beracun, penggunaan bahan fumigasi, dan bahan kimia penarik (attractant) (Priyambodo 2009). Metode pengendalian terhadap tikus yang sering digunakan oleh manusia yaitu secara mekanik dengan menggunakan perangkap dan secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida (Mutiarani 2009). Umumnya pengendalian hama dengan menggunakan rodentisida dapat dikatakan berhasil. Pengendalian dengan bahan kimia dapat memberikan efek positif maupun negatif. Efek positif berupa hasil yang cepat dan efektif sedangkan efek negatifnya antara lain pencemaran lingkungan dan resistensi hama.
Rodentisida Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis hewan pengerat, misalnya tikus. Rodentisida dapat membunuh tikus (hewan pengerat) dengan cara meracuni
8
makanannya (tanaman). Menurut Prakash (1988) berdasarkan kecepatan kerjanya, rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida akut (bekerja cepat) dan rodentisida kronis (bekerja lambat). Rodentisida akut adalah racun yang bekerja cepat dengan merusak sistem syaraf tikus. Rodentisida akut dapat menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Berdasarkan toksisitasnya, rodentisida akut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu highly toxicity (toksisitas tinggi), moderately toxicity (toksisitas sedang), dan lower toxicity (toksisitas rendah) (Priyambodo 2009). Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler. Rodentisida kronis dapat dikelompokkan berdasarkan kelompok kimia bahan aktifnya dan berdasarkan saat diproduksinya (Priyambodo 2009).
Rodentisida Kronis Rodentisida kronis (antikoagulan) merupakan rodentisida yang bersifat tidak langsung mematikan setelah tertelan oleh hewan sasaran, namun memerlukan waktu beberapa lama untuk bereaksi dan menimbulkan kematian terhadap target. Hal ini disebabkan rodentisida memiliki daya kerja yang lambat (Buckle 1994). Berdasarkan
kelompok
bahan
kimia
aktifnya,
rodentisida
kronis
(antikoagulan) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hydroxicoumarin dan indanedione (Priyambodo 2009). Selain itu rodentisida kronis (antikoagulan) juga dapat dikelompokkan berdasarkan saat diproduksinya, yaitu rodentisida antikoagulan generasi I dan generasi II. Rodentisida antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap rodentisida antikoagulan generasi I (Priyambodo 2009). Penggunaan rodentisida yang bersifat kronis bertujuan untuk menghindari sifat jera umpan yang dimiliki oleh tikus, sehingga pengendalian dengan pengumpanan dapat berjalan lebih efektif. Pengendalian dengan rodentisida semacam ini memerlukan pemberian yang berulang selama 3 hari atau lebih, namun pemakaian rodentisida kronis secara terus-menerus dapat menyebabkan
8
9
terbentuknya populasi tikus yang resisten di beberapa negara sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh rodentisida kronis yaitu terhambatnya pembentukan protrombin yang menyebabkan kerapuhan kapiler darah sehingga terjadi pendarahan (Chandra 2005). Rodentisida ini membuat darah menjadi berkurang kekentalannya dan semakin lama semakin encer sehingga pada akhirnya tikus akan mati karena pendarahan didalam tubuhnya (Syamsuddin 2007). Tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007).
Bromadiolon Bromadiolon merupakan salah satu golongan antikoagulan generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya (Bennet 2002). Struktur kimia
dari
bromadiolon
yaitu
3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-3-hydroxy-1-
phenylpropyl]-4-hydroxycoumarin [28772-56-7], C30H23BrO4 (Buckle 1994). Bromadiolon diproduksi dalam berbagai bentuk yaitu bentuk umpan siap saji, bentuk tepung atau bubuk, dan bentuk blok. Secara umum bromadiolon digunakan dengan konsentrasi 0.005% dan sudah efektif di lapangan terhadap tikus yang sudah resisten terhadap antikoagulan generasi pertama. Bromadiolon merupakan racun antikoagulan dengan dosis tunggal 50 mg/kg dengan LD50 kurang dari 2 mg/kg. Penggunaan bromadiolon harus dilakukan dengan tepat dan aman karena seringkali ditemukan bau bangkai tikus yang sulit terdeteksi (Pardosi & Sukana 2005).
Gabah Gabah merupakan bulir padi yang termasuk tahap penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi. Menurut Priyambodo (2009), tikus dapat menyerang padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada stadia generatif, tikus dapat menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi.
10
Gabah tersusun dari 15-30% kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% bekatul, 65-67% endosperm, dan 2-3% lembaga. Lapisan bekatul paling banyak mengandung vitamin B1. Selain itu, bekatul juga mengandung protein, lemak, vitamin B2, dan niasin. Endosperm merupakan bagian utama butir beras, dengan komposisi utama adalah pati. Selain itu endosperm mengandung protein cukup banyak, serta selulosa, mineral, dan vitamin dalam jumlah kecil (Lasztity 1986).
Beras Beras merupakan salah satu padi-padian terpenting di dunia yang dikonsumsi oleh manusia. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Asia. Sekitar 1.75 milyar dari ± 3 milyar penduduk Asia termasuk ± 300 juta penduduk Indonesia menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras. Beras merupakan gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta penyosoh (polisher). Struktur beras terdiri dari beberapa bagian yaitu kulit gabah, lapisan perikarp, lapisan aleuron, bakal kecambah, dan bagian endosperm (Lasztity 1986). Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak. Beras sebagai komoditas pangan menyumbang energi, protein, dan zat besi masing-masing sebesar 63.1%, 37.7%, dan 25-30% dari total kebutuhan tubuh. Setelah dimasak kandungan protein yang dimiliki beras menurun sampai 2% (Tasar 2000). Lebih dari 50% penduduk dunia juga tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Pangan, khususnya beras yang dikonsumsi harus sehat dan aman (Wahyudin 2008).
10