II.
TINJAUAN PUSTAKA
Bio-ekologi Orangutan Klasifikasi dan Morfologi Orangutan adalah kera besar yang merupakan salah satu anggota suku Pongidae yang hanya terdapat di Asia, tepatnya di Sumatera dan Kalimantan. Kera besar lainnya ada di Afrika yaitu simpanse (Pan troglodytes) , gorila (Pan gorilla) dan banobo (Pan paniscus) yang ketiganya hidup di Afrika. Berdasarkan persamaan genetik dan biokimia, suku Pongidae ini berkembang dari leluhur yang sama selama periode waktu kurang dari 10 juta tahun (Sarich & Wilson 1967, diacu dalam Meijaard, Rijksen & Kartikasari, 1999). Linnaeus pada tahun 1760 memberi nama orangutan dengan nama Pongo pygmaeus. Van Bemmel (1968) awalnya membagi orangutan (Pongo pygmaeus ) kedalam dua sub spesies yaitu Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dalam perkembangan terakhir, kedua orangutan tersebut dinyatakan berbeda spesies (Chemnick & Ryder 1994). Menurut hasil penelitian genetika oleh Zhang at al. (2001) dan taksonomi oleh Groves (2001) bahwa spesies orangutan Sumatra (Pongo abelli) adalah spesies terpisah dengan spesies orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), begitu pula secara ekologi dan life-history (Delgado & van Schaik 2001). Secara ringkas orangutan menurut F.E. Poirier (1964, diacu dalam Grooves 1972) dapat diklasifikasikan sebagai Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebarata, Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Pongidae, Genus Pongo , Spesies Pongo pygmaeus dan Pongo abelii. Lebih lanjut Orangutan Kalimantan/Borneo terbagi menjadi tiga (3) unit taksonomi yang berbeda (Groves 2001; Warren et al. 2001), sesuai dengan pendapat para ahli lapangan dan rehabilitasi orangutan, yaitu : a. Utara Barat Borneo supspesies, mulai dari utara Kapuas sampai Sarawak (Pongo pymaeus pygmaeus);
5
b. Tengah Borneo subspesies, mulai dari selatan Kapuas sampai barat Barito (Pongo pygmaeus wurmbii); c. Utara Timur Borneo subspesies, di Sabah dan Kalimantan Timur (Pongo pygmaeus morio). Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor. Orang utan berukuran 1-1,4 m untuk jantan, yaitu kira-kira 2/3 kali ukuran seekor gorila. Tubuh orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi, mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. Telapak tangan mereka mempunyai empat jarijari panjang ditambah satu ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia. Orangutan jantan memiliki pelipis yang gemuk. Perbedaan morfologis orangutan dapat dikenali dari perawakannya dan warna rambut. Orangutan Kalimantan lebih tegap mempunyai kulit dan rambut berwarna lebih gelap daripada Orangutan Sumatera (gambar 1.)
(a)
(b)
Gambar 1. Morfologi tubuh Orangutan Borneo (Kalimantan) (a) Orangutan jantan dewasa berumur lebih dari 20 tahun (b) Orangutan anak berumur kurang dari 3 tahun
6
Ekologi Orangutan Dari hasil berbagai penelitian, bahwa pakan utama orangutan adalah buah. Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan, 11-20% waktu makannya setiap hari untuk memakan dedaunan, termasuk tunas muda, selebihnya waktu makan memanfaatkan jenis pakan lainnya seperti serangga, lapisan di bawah kulit pohon (khususnya pohon Ficus sp) dan bunga-bungaan antara lain Bombax valetonii (di Sumatera) dan Payena spp (di Kalimantan). Telur di dalam sarang burung kadang ditemukan akan dimakan, demikian pula vertebrata kecil (tokek, tupai, kukang) akan dimakan jika mudah ditangkap (Meijaard, E. 2001). Demikian juga MacKinnon (1972) menyebutkan walaupun orangutan pada dasarnya merupakan hewan frugivorous yakni pemakan buah-buahan, namun dalam keadaan tertentu juga memakan daun-daunan, bunga-bunga tumbuhan epifit, liana dan kulit pohon. Lebih lanjut Rodman (1971, diacu dalam Maple 1980) menyebutkan bahwa sebagian besar waktu makan orangutan dilakukan di tajuk-tajuk pohon atau bagian-bagian pohon yang banyak terdapat buah-buahan yakni pada ketinggian 20-30 meter.
(a)
(b)
Gambar 2. Satwa arboreal Orangutan menghabiskan waktu beraktivitasnya di kanopi pohon (a) Orangutan betina dewasa dan anak sedang duduk istirahat (b) Orangutan dengan aktivitas bergerak pindah dari satu pohon ke pohon lainnya.
7
Di hutan rawa aluvial Tanjung Puting, Kalimantan Tengah 54-60% dari semua pohon (diameter > 10 cm) merupakan sumber makanan potensial bagi orangutan (Galdikas 1978), walaupun hanya 8-17% pepohonan yang cukup tua menyediakan buah dalam jumlah yang berarti. Galdikas (1978) dalam penelitiannya mengidentifikasi kurang lebih 23 jenis pohon yang secara efektif tersebar melalui tinja, dan 12 jenis lain yang terbawa dalam jarak pendek dan sebagian biji yang utuh dibuang dari mulut. (MacKinnon 1972, diacu dalam Rijksen 1978) menyimpulkan bahwa orangutan dapat beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer dari hutan rawa, hutan dataran rendah/ dipterocarpace sampai ke hutan pegunungan dengan batas ketinggian ± 1800 dpl. Dalam penelitiannya, Galdikas (1984), mendapatkan orangutan umumnya mendiami hutan rawa gambut di Tanjung Puting. Orangutan tidak semata-mata tergantung hutan primer (Van Scheick & Azwar 1991, diacu dalam EIA, 1998). Orangutan dapat bertahan hidup di areal hutan bekas pembalakan, walaupun untuk jangka panjang kelangsungan hidupnya tidak terjamin karena kepadatannya lebih rendah (IUCN, 1982). Perilaku Orangutan Galdikas (1978) menyebutkan bahwa pada dasarnya aktivitas orangutan dibagi kedalam 7 kategori, yaitu aktivitas makan yang merupakan aktivitas tertinggi yaitu sebanyak 60.1% dari keseluruhan aktivitas hariannya, diikuti aktivitas istirahat sebanyak 18.2%, aktivitas bergerak pindah 18.7%, kopulasi 0.1%, mengeluarkan seruan panjang 0.1%, prilaku agresi 1.3 % dan aktivitas bersarang 1.1 %. Peneliti lain ada juga yang menyebutkan 60% aktivitasnya adalah makan dan 40% untuk tidur dan istirahat disarang. McKinnon (1972, diacu dalam Djojosudharmo 1978) menyebutkan bahwa aktivitas harian orangutan meliputi 3 aktivitas besar, yakni istirahat, makan dan bergerak, sementara menurut Peters (1995) aktivitas orangutan dibedakan kedalam 5 aktivitas yaitu makan, istirahat, jalan (bergerak), sosial (bermain) dan aksi (termasuk membuat sarang). Menurut Galdikas (1978), aktivitas bersarang meliputi pematahan dan perlakuan cabang-cabang dan/atau tanaman untuk menyusun sarang untuk tidur, bangunan alas untuk tempat makan atau pelindung tubuh di atas kepala untuk
8
menahan hujan di Tanjung Puting. MacKinnon (1974) menyebutkan bahwa kegiatan pembuatan sarang membutuhkan waktu sekitar 2-3 menit. Lebih lanjut tahapan pembuatan sarang diterangkan sebagai berikut: (1) Rimming: cabang dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan cabang lain. (2) Hanging: cabang dilekukkan masuk kedalam sarang untuk membentuk mangkuk sarang. (3) Pillaring: cabang dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan kekuatan ekstra dan (4) Loose: beberapa cabang diputuskan dari pohon dan diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap. Djojosudharmo (1978) menyebutkan sarang dibangun dari ranting-ranting yang daunnya masih segar, kebanyakan ranting-ranting tersebut mempunyai daun yang berukuran sedang. Pembuatan sarang relatif cepat, hanya memakan waktu beberapa menit saja.. Dikatakan lebih lanjut dalam Rijksen (1978) bahwa sarang orangutan umumnya terbuat dari sekumpulan dedaunan yang dianyam kuat. Pada beberapa sampel sarang, orangutan juga menggunakan liana dan tumbuhan pemanjat lainnya sebagai material sarang. Terkadang material tersebut harus diambil/dipetik dari pohon lain. Daun-daun diperoleh dari vegetasi yang ada disekitarnya, bahkan sampai 15 meter jaraknya dari tempat bersarang. Dalam kasus lain, dijumpai kerangka utama sarang dibuat dengan menggabungkan cabang kecil dari 2 jenis pohon berbeda. Orangutan termasuk bangsa primata yang membangun sarangnya di kanopi pohon dan menggunakannya untuk beristirahat termasuk tidur dan bermain sepanjang hari (Rijksen, 1978). Disamping fungsinya sebagai tempat beristirahat, sarang juga berfungsi sebagai tempat untuk kawin, melahirkan anak, dan mengasuh anak sampai siap disapih (Galdikas, 1988). Maple (1980) menyebutkan bahwa orangutan membangun paling tidak satu sarang per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari, dan sarang tersebut merupakan ciri terpenting, yang membedakan orangutan dari jenis primata lainnya.. Ketinggian sarang untuk orangutan borneo umumnya lebih disukai di 13-15 meter, namun itu tergantung struktur hutan. Orangutan Sumatera dalam membuat sarangnya, faktor lokasi memainkan peran utama, biasanya penempatan sarang sedemikian rupa
9
memungkinkan orangutan mendapatkan arah pandang yang baik dan jelas dan tidak terhalangi pandangannya ke sekitar hutan. Rijksen (1978) mengatakan bahwa lama bertahan sarang (relative permanence) bervariasi tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran orangutan, suasana hati (mood), lokasi dan karakteristik pohon, cuaca, kemungkinan dihancurkan oleh orangutan atau monyet lain saat bermain atau mencari serangga. Populasi Orangutan Demografi Orangutan Borneo Beberapa informasi tentang demografi orangutan borneo antara lain bahwa umur reproduksi pertama pada orangutan jantan 18 tahun (PHVA 2004), sementara menurut Galdikas (1978) kira-kira pada umur 10 tahun sudah terlihat sifat seks sekunder dan jantan muda telah mulai melakukan kopulasi (perkawinan). Lebih lanjut Galdikas menyebutkan orangutan dalam peliharaan (rehabilitasi) telah diketahui hamil saat berumur 7-8 tahun, namun untuk orangutan liar jauh lebih tua dari itu (14-15 tahun), dan umur maksimal orangutan dapat berproduksi adalah 45 tahun (PHVA 2004). Laju kematian pada orangutan umur 0-1 tahun baik jantan maupun betina sama sebesar 1.5%, perbedaan akan terlihat saat orangutan berumur diatas 15 tahun pada betina menurun menjadi 1%, sementara jantan tetap 1.5 %. Kematian karena bencana alam
biasanya terjadi disebabkan oleh banjir, kekeringan,
persediaan makanan yang ekstrim, kebakaran dan dampak El-nino akan dapat mengurangi populasi hingga sekitar 1 – 3,5 % (PHVA 2004). Sex-ratio orangutan pada saat lahir adalah 55% jantan, dengan jarak kelahiran (interbirth interval) minimal mencapai 5 tahun (dalam kondisi baik) dan maksimal (kondisi buruk) lebih dari 7 tahun, sedang Galdikas (1978) menyebutkan bahwa jarak kelahiran lebih dari 5 tahun.
10
Tabel 1. Jarak antar kelahiran antara spesies Orangutan Sumatera dan Orangutan Borneo Lokasi
IBI *) (tahun)
Suaq Balimbing Ketambe Tj. Puting Gn. Palung Kinabatangan Kutai Sungai Wain
> 8,25 9,2 7,7 7
Spesies Pongo abelii Pongo pygmaeus wurmbii Pongo pygmaeus morio
5 5 2-5
Sumber Noordwijk & Schaick 2000 Wich et al, 2004 Galdikas & Wood, 1990 Knot, 2002 Ancrenaz Suzuki, 1991 Smiths, 1993
*) Inter Birth Interval sumber: PHVA Workshop , 2004 Perkiraan populasi orangutan Pada International Workshop PHVA (Population Habitat and Vaibility Analysis) Orangutan bulan Januari 2004 di Jakarta, yang diikuti lebih dari 80 ahli dan pemerhati orangutan seluruh dunia telah dibahas dan dianalisa beberapa hal sebagai berikut: (1) potensi populasi yang ada pada kondisi terakhir, (2) faktor (problem) yang mempengaruhi keberadaan spesies dan (3) faktor apa saja yang dapat merubah/mendorong untuk memperbaiki efek besar dalam memperbaiki kondisi keselamatan spesies. Dari hasil diskusi tersebut dihasilkan informasi yang berkaitan dengan perkiraan jumlah orangutan yang dihasilkan dari penelitian dan survey dari pakar di bidang orangutan, maka diperkiraan population orangutan borneo diurut berdasarkan tahun adalah sekitar 1000 (Reynolds 1967); antara 3500-4000 (Basjarudin 1971); sekitar 37000 (International Primate Conference, San Diego 1985), K. MacKinnon (1986) menyebutkan angka 156.000; antara 10000-116000 (J. MacKinnon 1990); 61000 (K. MacKinnon 1991); 40,000 (J. MacKinnon 1991); antara 19,000 – 30,000 (Sugarjito & van Schaik 1993); 23,000 (Rijksen & Meijaard 1999) dan data terakhir diperkirakan lebih dari 50,000 (Singleton et al. 2004, diacu dalam PHVA 2004)
11
Tabel 2. Perkiraan populasi orangutan yang terdapat pada masing-masing habitat (dalam unit) No.
Lokasi
Jumlah
1.
Sumatra (13 unit habitat)
7501
2.
Sabah (17 unit habitat)
13614
3.
Kalimantan Timur (P.p. morio : 9 unit habitat)
4335
4. 5.
Kalimantan Tengah (P.p wurmbii :16 unit habitat) Kalimantan Barat & Sarawak (P.p.pygmaeus : 7 unit habitat)
32306
Total populasi orangutan Borneo
7542 57797
Total populasi di alam
65298
sumber: PHVA Workshop , 2004 Pada tabel di atas terlihat bahwa dari segi jumlah diperoleh jumlah orangutan yang lebih besar dari perkiraan 10 tahun yang lalu, perbedaan tersebut dikarenakan pelaksanaan sensus yang lebih baik
(metode survey yang lebih
tepat), kurang konservatif dalam ekstrapolasi, lebih banyak area yang dijangkau. Namun hal tersebut tidak secara pasti dapat membuktikan kalau memang ada lebih banyak orangutan dibandingkan satu atau dua dekade yang lalu. Subdivisi habitat Orangutan yang tersisa di Kalimantan ditunjukkan pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3:
Subdivisi habitat Orangutan yg tersisa di Kalimantan berdasarkan kualitas hutan Kalimantan Timur (total Orangutan habitat = 8,319 km2)
Kelas Hutan (MoF, 2002)
Kalimantan Barat (total Orangutan habitat = 15,670 km2)
Kalimantan Tengah (total Orangutan habitat = 33,517 km2)
Hutan Tanah Kering Primer
42 %
5%
20 %
Hutan Rawa Primer
1%
6%
2%
31 %
38 %
78 %
26 %
50 %
0%
Hutan Tanah Kering yang sudah terganggu Hutan Rawa yang sudah terganggu
sumber: PHVA Workshop , 2004
12
Distribusi Orangutan Borneo Gambar 3 dan 4 dibawah memperlihatkan bagaimana orangutan ter distribusi di wilayah Borneo ( Kalimantan, Sabah dan Serawak ), dan dapat pula dilihat bahwa orangutan borneo (Pongo pygmaeus) berdasarkan region di Borneo terbagi lagi menjadi 3 sub spesies :
Sebaran sub-jenis orangutan Borneo Pongo pygmaeus pygmaeus Pongo pygmaeus morio
Pongo pygmaeus wurmbii
Gambar 3. Tiga sub-jenis orangutan Borneo berikut penyebarannya
Distribusi Orangutan Borneo
Orangutan Distribution Awal Early1990-an 1990s
2002
Gambar 4. Perbandingan distribusi orangutan Borneo pada tahun 1990-an dengan tahun 2002.
13
Arsitektur pohon Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ( Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat 2) . Di dalam Flora Pohon Indonesia oleh Tantra (1981) disebutkan bahwa tipe-tipe hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan (tropical rain forest) dimana tegakan, hutan musim (seasonal forest), hutan gambut (peat forest), hutan rawa (swamp forest), hutan payau (mangrove forest) dan hutan pantai (litteral forest). Klasifikasi atas tipe-tipe tersebut antara lain didasarkan pada faktor iklim dan komposisi tegakkannya. Dan faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, angin dan intensitas cahaya. Menurut Desman (1964), Wiersum (1973), Alikodra (1983) dan Bailey (1984) bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan adalah pohon, sebab orangutan sebagai mamalia arboreal terbesar dengan berat betina 40 kg dan jantan 80 kg (Rodman 1984) sebagian besar hidup dan aktivitasnya dilakukan di atas pohon. Orangutan terutama hidup dan tersebar pada hutan-hutan primer dataran rendah namun juga dijumpai pada hutan dataran tinggi atau pegunungan yang banyak ditumbuhi tanaman dari famili Dipterocarpaceae (MacKinnon 1971, diacu dalam Rijksen 1978). Dari hasil penelitiannya, Rijksen (1978) menyatakan struktur hutan yang dihuni orangutan terdiri atas pohon-pohon tinggi berkisar 3550 meter dengan tidak adanya dominasi jenis vegetasidan lantai hutan ditumbuhi oleh herba. Secara umum pepohonan memiliki bagian-bagian yaitu batang, tajuk, dahan dan ranting, kuncup, bunga dan buah.
Penampilan pepohonan dilihat dari
morfologi batangnya dibedakan kedalam: batang silindris, berlekuk, berongga dan berbanir (sumber: Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia). Sementara tajuk
14
suatu pepohonan dewasa mempunyai bentuk tajuk yang umum dijumpai di dalam hutan yaitu berupa: tajuk berbentuk kerucut, tajuk bertingkat/ tajuk kosong disalah satu sisi, tajuk bentuk silinder, tajuk berbentuk bulat, tidak beraturan,
tajuk
bentuk payung (Sutisna et al. 1998). Beberapa jenis pohon yang digunakan oleh orangutan untuk membangun sarangnya di Taman Nasional Tanjung Puting antara lain Blangeran (Shorea belangeran), Medang (Alseodaphne insignis) , Putat (Baringtonia recemosa), Ketiau (Ganua montleyana), Ubar (Syzygium grande), Lowari (Schima wallichii), Meranti (Shorea leprosula), Pempaning (Quercus bennettii) (Suwandi, 2000).