TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Orangutan Klasifikasi Perkataan "orangutan" berasal dari bahasa Melayu yang berarti manusia yag hidup di dalam hutan. Penggunaan istilah "orangutan" dalam bahasa ilmiah pertama kali dilakukan oleh Tulp pada tahun 1941 dan selanjutnya digunakan Poirier pada tahun 1964. Linnaeus pada tahun 1760 memberi nama orangutan dengan llama Pongo pyginaezis yang terbagi kedalam dua sub spesies yaitu orangutan Sulnatera (Pongo pygmaezcs abelii) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygntaeus pygnaeus). Klasifikasi orangutan menurut F.E. Poirier (1964) dalam Groves (1971) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Sub Kingdom : Metazoa Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Klas
: Mamalia
Ordo
: Primata
Sub Ordo
: Primata
Famili
: Pongidae
Genus
: Pongo
Spesies
: Pongopygntaeus Linneaus
Sub Spesies
: Pongopyginaeus abelii Lesson, 1872
Pongo pyginaeus pyginaeus Linneaus, 1760 Sedangkan menurut Zhang dkk (2001) dan Groves (2001) kedua sub spesies tersebut adalah berbeda spesies, yaitu Spesies Sumatera (Pongo abelii) dan Spesies Borneo (Pongopygmaeus ). Napier dan Napier (1967) menyatakan bahwa secara morfologi orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, sekalipun individu kedua subspesies ini
kerapkali dapat dibedakan dengan dasar wama bulunya. Lebih lanjut menurut Galdikas (1978) Orangutan Kalimantan yang telah dewasa bulunya mengarah kepada wama coklat kemerah-merahan, sedangkan Orangutan Sumatera benvarna lebih pucat. Perbedaan ini tidak bersifat mantap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar. Orangutan Sumatera kadang-kadang mempunyai bulu putih pada mukanya. Orangutan Sumatera biasanya mempunyai bulu yang lebih lembut dan lemas, sedangkan bulu orangutan Kalimantan kasar dan jarang-jarang. Menurut Mackinnon (1974) perbedaan bulu tersebut dapat dilihat secara mikroskopis. Paling sedikit ada 3 subspesies orangutan Kalimantan; Pongo pygn~aeus
pygnlaetis (baratlaut), Pongo pyg~naezrswurn~bii(tengah), Pongo pygmaetcs morio (timurlaut). Subspesies di Kalimantan Tengah paling besar, diikuti di barat laut, dan timur laut (McConkey 2005 dalanz Nellemann 2007).
Morfologi Secara morfologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunya (Napier & Napier 1967). Orangutan Kalimantan bila telah dewasa warna bulunya mengarah pada warna coklat kemerahan dan orangutan Sumatera benvarna lebih pucat (Galdikas 1978). Hidung orangutan sangat pesek dan bibir atasnya tidak mempunyai parut bibit. Kupingnya yang sangat kecil tidak ditumbuhi oleh rambut. Dahi orangutan muda masih diliputi rambut, tetapi lambat laun rambut tersebut tidak berkembang sejalan dengan bertambah umur. Orangutan jantan dewasa mempunyi kantung udara (air sac) yang terdapat pada lehernya, dapat mengambil serta mengumpulkan beberapa liter udara, yang digunakan untuk membuat seruan panjang atau long call (MacKinnon 1972). Perbedaan orangutan jantan dan betina dewasa adalah pada bantalan pipi dan kantung udara (Saccus-laringeus). Orangutan jantan mempunyai bantalan pipi dan kantung udara yang besar pada lehernya (Groves 1971). Kantung udara tersebut dapat digunakan untuk membuat suara yang disebut long call, caranya adalah dengan mengumpulkan udara terlebih dahulu ke dalam kantung dan seruan panjang dapat terjadi selama satu sampai dua menit (MacKinnon 1972). Berat badan kedua spesies tersebut tidak ada perbedaan nyata. Orangutan betina dari
Sumatera maupun dari Kalimantan mempunyai berat badan rata-rata 37 kg, sedangkan berat orangutan jantan Sumatera rata-rata 66 kg dan orangutan jantan Kalimantan rata-rata 73 kg (Eckhardt 1975 dalam Galdikas 1978). Menurut Rijksen (1978) orangutan digolongkan berdasarkan umur dan jenis kelamin, dan dalam perkeinbangan hidupnya dibagi ke dalam 4 tahap pada orangutan betina (bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa) dan 5 tahap pada orangutan jantan (bayi, anak-anak, remaja, pradewasa dan dewasa), sedangkan Galdikas (1978) menggolongkan orangutan jantan dan betina dewasa ke dalam jantan, betina dewasa umur muda dan jantan, betina dewasa tlmur lanjut. Penggolongan tersebut sebagai berikut : 1. Bayi (infant). Umur 0 - 4 tahun. Warna rambut jauh lebih pucat dari hewan tua, sangat putih di sekeliling mata dan moncong, bercak putih meliptiti seluruh tubuh. Selalu berpegang pada induknya kecuali pada waktu makan di pohon atau saat menyusui. 2. Anak (jmenil). Umur 4 - 7 tahun. Wajah masih lebih putih dibandingkan
hewan dewasa tetapi lebih gelap dibandingkan bayi, bercak putih dibadan kabur.
Berpindah bersama, tetapi terlepas dari pegangan induknya,
menggunakan sarang bersama induknya dan masih menyusu. 3. Remaja (adolescenr). Umur 7 - 15 tahun (jantan) dan 7 - 12 tahun (betina).
Ukuran tubuh lebih kecil dari hewan dewasa, sangat sosial, benar-benar lepas dari induknya, tetapi masih sering terlihat berpindah bersama induknya. Pada wajah jantan pra-dewasa (12 - 15 tahun) mulai terlihat gelap, bantalan pipi dan kantong leher mulai berkembang.
Ukuran tubuhnya lebih besar dari
betina tetapi masih lebih kecil dari jantan dewasa. 4. Dewasa (adult). Umur 15 - 35 tahun (jantan) dan 12 - 35 tahun (betina)
Jantan Dewasa (male adult). Usuran tubuh sangat besar, memiliki bantalan pipi, kantung leer, berjanggut, Kadang-kadang punggung gandul. Hidup soliter, berpasangan dengan betina hanya pada saat tanggap seksual, sering mengeluarkan seruan panjang (long call). Betina Dewasa lfemale adult).
Telah beranak dan diikuti oleh
anaknya, kadang-kadang berpindah bersama betina lain. Pada masa estrus berpasangan dengan jantan.
5. Tua Berumur 35 tahun ke atas (jantan dan betina)
Jantan tua. Rambut tipis dan jarang, berkeriput dalam, bantalan pipi menyusut.
Tidak mengeluarkan serum panjang atau berpasangan
dengan betina, gerakan sangat lambat. Betina tua. Rambut tipis dan jarang-jarang, berkeriput, tidak lagi diikuti oleh bayi atau remaja, berpasangan tetapi tidak lagi mengandung, lebih sering bergerak di permukaan tanah dibandingkan dengan betina dewasa, gerakan lambat.
Habitat dan Populasi Habitat
Di hutan hujan tropis, habitat primata dibagi atas beberapa tingkatan secara vertikal, yaitu strata atas, strata pertengahan dan strata bawah yang erat hubungannya dengan penyediaan makanan bagi primata (Rijksen 1978). Menurut Rodman (1973) dalam Sinaga (1992), suatu jenis kera akan menunjukan spesialisasi makanan maupun habitat yang tertentu sebagai relung ekologi yang mernbedakan mikro habitat jenis lainnya. Rijksen (1978) mengungkapkan bahwa karakteristik habitat orangutan di Ketambe adalah tidak adanya dominasi dari satu jenis pohon atau vegetasi. Stratifikasi hutan terutama terdiri dari strata B dan C, dan pada lantai hutan terutama ditumbuhi oleh herba. Menurut Galdikas (1978), habitat orangutan di Tanjung Puting terdapat di hutan rawa begambut.
Untuk lokasi pembuatan
sarang, orangutan lebih suka menempatkannya di daerah rawa dan di tepi sungai karena merasa lebih aman dari gangguan manusia ataupun hewan lainnya. Orangutan hidup dan tersebar pada hutan-hutan primer dataran rendah sampai hutan dataran tinggi atau pegunungan yang banyak ditumbuhi tanaman dari famili Dipterocarpaceae (MacKinnon
1971 dalarn Rijksen
1978).
Seianjutnya Rijksen (1978) menyatakan struktur hutan yang dihuni orangutan terdiri atas pohon-pohon tinggi berkisar 35-50 meter.
MacKinnon (1974)
menyatakan orangutan mempakan hewan arboreal, yakni hewan yang segala aktivitasnya dlakukan di atas pohon.
Populasi P e n e l i t i a n kerapatan orangutan sulit dilakukan karena masalah praktis dan konseptual.
M a s a l a h praktis ini berkaitan dengan kesulitan mengestimasi jumlah
individu persatuan luas, dan kemudian mengekstrapolasinyan untuk wilayah yang lebih luas.
M a s a l a h konseptual berkaitan dengan estimasi luas habitat yang
dibutuhkan o l e h sebuah komunitas lokal orangutan. Jika perkiraan kerapatan lokal p o p u l a s i diekstrapolasikan untuk seluruh daerah, pengabaian variasi habitat yang dihuni
d a p a t menyebabkan kesalahan yang fatal dalam menilai ukuran
populasi ( M a c k i n n o n 1986 dalam Meijaard 1999). Karena itu diperlukan teknikteknik a l t e m a t i f untuk memperoleh angka kerapatan yang lebih akurat dalam berbagai orangutan.
h a b i t a t , termasuk hutan-hutan kecil yang tidak sering didatangi W a l a u p u n orangutan terkenal sangat sulit diditeksi di hutan basah,
kehadirannya
cukup mudah dipastikan dalam suatu kawasan, yaitu dengan
mencari p a n g g u n g atau sarang-sarang khas yang dibangun setiap hari untuk beristirahat p a d a sore hari, dan kdang-kadang untuk bermain atau istirahat pada siang hari ( H a r r i s s o n 1961; Schaller, 1961; Milton, 1964 dalam Meijaard dkk. 1999). Van
S c h a i k dkk.
(1995) mempertajam metode penghitungan sarang
sepanjang t r a n s e k , yang telah disahkan di dua lokasi berbeda.
Metode ini
diketahui m e n g h a s i l k a n nilai kerapatan yang cukup akurat. Hasil penghitungan kerapatan o r a n g u t a n di kedua tempat tersebut seperti pada Tabel 2. Pada t a h u n 1993 diperlcirakan jumlah orangutan di Indonesia dan Malaysia telah m e n u r u n sejauh 30-50% dalam k u ~ waktu n 10 tahun terakhir, sementara habitat~yatelah menyusut sebanyak 80% da!am kurun wakk 20 tahun terakhir. Sampai saat i n i belum banyak terkumpul data sensus yang akurat mengenai kerapatan o r a n g u t a n di alam. Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada beserta konsesus yang dikembangkan dari pendapat para ahli diduga di pulau Kalimantan terdapat
1 9- 0 0 0 sampai 30.000 orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus),
sementara dZ Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) berjumlah antara 7.000 sampai 11.000 icdi-~i&-; (Tilson dkk. 1993 dalaiil Piiinack !SSS).
Tabel 1.
Ikhtisar laporan-laporan penelitian orangutan terbaru berdasarkan metode pernghitungan sarang sepan,'ang transek. Daera" Krpt Rj Krpt Rj Sumatera Tipe habitat Pengamatan
Dataran bmjir dan rawgnmbut
Sebangau Kulamba Tmj. Puting D. Sentarum
Hutm Aluviall daenh sepenjmg sungai
Gunung Palung Lokan Ulu Ssgama Mid KinabaVdngm~ Low Kinnbotmgao
KutaiISangatta Dataran tinggi (hutan perbukitan dan Dipterocarpawe)
a
Sunq-Balimbing
63
f
3,O
b
Tmmon
7,O
j
3,O
c
Bahbah Rot
4,5
j
3,5
n
d
Ketambe
5,5
e
Kompas
3,O
b
Mamas hilir
3,2
b b I;
Ulu Scgarna
h
Renun
I,o
Kawaq
b
Bohorok
1,O
b
Bohorok
2,2
Tabin
1
!,I 0,3
I
Bengkung
Daerah Crocker
%I
b
Manggala
28 1.2
Meliau
03
??
Bukit-Suaq B.
1,o
Danwn Valley
Hutm sub-pewlungan dan pegunungan
1
2,2
-
Kapi Ketambe sobpeg. Ketambe peg. Mamas-subpeg. Dg. Megaro
Hutan tebang pilihl hutnn sekunder
Sebangau
Sikundur
Katingan
P. Lembmg
Sumber : Meijaard (1999) Keterangan :
Rj = rujukan
Kprt = kerapatan per km2
(a) Page dkk. (1995); (b) Payne (1988); (c) Galdikas (1978); (d) Leighton dan Leighton (1993); (e) Horr (1975); (f) van Schaik dkk. (1995); (g) Reijksen (1978); (h) MacKinnon (1971); (i) MacKinnon (1973); 6) van Schaik dkk. tidak dipublikasikan; (k) Suzuki (1992); (1) Johns (1992); (m) Rieley dkk. (kom. Pri); (n) Russon d ~ k(i996j .
Sosiologi Tipe dau ukurau kelompok Sosiologi
orangutan tetap
merupakan
teka-teki
sampai
sekarang.
Sebenarnya tidak ada pola hubungan sosial baku untuk kera ini, jika hanya didasarkan pada kondisi lingkungan tempat hidupnya. Jika ada pola umum atau pola dasar dalam berbagai bentuk organisasi sosial Pongidae, maka pola ini lebih bersifat sebagai suatu masyarakat terbuka yang beranggotakan siapa saja yang ada di dalam kisaran distribusi jenis ini, dimana individu-individunya melakukan sosialisasi karena dalam kondisi tertentu yang ada, inilah yang paling mudah dilakukan (Goodall 1963). Sebagaian besar satwa primata hidup dalam suatu kelompok sosial, dengan kelompok seperti itu mereka mendapat manfaat yang potensial misalnya perlindungan dari predator, bersama-sarna mempertahankan sumber pakan dan juga dapat secara bersama-sama membesarkan anak-anak keturunannya. Berdasarkan jumlah individu dan komposisi seks, secara umum primata dapat digolongkan dalam lima kelompok (Chalmers 1979), yaitu : 1. Jenis yang soliter ("solitary species"), tidak membentuk kelompok, jenis yang
termasuk dalam kategori ini adalah sebagain jenis dari famili Lemuridae. Satwa ini hidup menyendiri dengan luas home range 0,2 - I ha. 2. Kelompok monogami ("monogamous family"), membentuk kelompok yang terdiri dari 3 - 4 ekor dengan sepasang induk dan home range-nya berkisar antara 20 - 50 ha. Jenis yang termasuk dalam kelo~npokini adalah jenis dari famili Indriidae, Cebidae, dan Hylobatidae. 3. Kelompok dengan satu jantan dewasa ("uni male groups"), dimana dalam satu
kelompok hanya terdapat satu jantan dewasa. Jenis yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah Cercopithecus mitis, Erythrocebus paras,
Presbytis entellus, dan Gorilla gorilla beringei. 4. Kelompok yang terdiri dari beberapa ekor jantan dewasa ("multi males
groups").
Jenis yang termasuk dalam kelompok ini adalah Macaca spp.,
beberapa jenis dari famiii Cebidae seperti Aioutatta viiiosa, dan dari famili Lemuridae seperti LernuJirlvus,Lemurcatta.
5. Kelompok yang tidak tetap ("difficult to classify"). Jenis-jenis yang sulit untuk digolongkan menurut elnpat golongan di atas, seperti Papio hamad>yas,
Theropithecus gelada, Pan troglodytes dan pongo pygmaeus, yang jantan umumnya soliter tetapi ada juga yang berkelompk dalam jumlah kecil. Hasil penelitian Rodman (1973) menyatakan bahwa satuan dasar populasi orangutan terdiri atas : 1) jantan dewasa soliter, 2) betina dewasa yang biasanya disertai satu atau dua anak yang belum mandiri, 3) hewan muda dalam masa peralihan antara hidup dalam satuan yang melahirkannya dan hidup secara mandiri. Disamping ketiga kelompok ini, susunan umum kehidupan sosialnya masih agak tidak jelas dan belum ada kesepakatan antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain (Galdikas 1978). Menurut Meijaard dkk. (1999) bagi pengamat biasa, tidak terlalu jelas bahwa orangutan hidup dalarn kelompok, dalam pengertian bahwa individu-individunya sering berada di daerah yang berdekatan dan biasanya dalam jarak pandang satu sama lain. Hasil penelitian lapangan mengungkapkan bahwa individu yang sama sering terlihat dalam suatu daerah tertentu, sedangkan pada waktu lainnya sebagaian besar tidak kelihatan. Beberapa peneliti lapangan mengalami kesulitan karena sejumlah orangutan yang tampaknya tidak berhubungan ternyata mempunyai keserempakan dalam pergerakan hariannya. Sebenamya, anggota komunitas orangutan sering menjaga jarak dengan individu lainnya, sehingga terbentuknya kelompok hanya dapat disimpulkan setelah anggota yang berbeda diikuti secara serempak.
Jarangnya interaksi menunjukkan ada unsur saling
mengenal atau status social yang mantap, atau adanya ikatan batin. Pengamatan jangka
panjang
terhadap
suatu
komuniras
orangutan
mengungkapkan bahwa beberapa individu, khususnya betina dewasa (dengan bayinya) teriihat hidup menetap di daerah teitentu selama beberapa tahun. Individu ini yang lebih sering terlihat dalam periode beberapa minggu. Sebaliknya, sebagaian besar anggota komunitas tampaknya menggunakan waktu lebih lama pergi dari tempat berkumpul, sementara ada sedikit yang kadang atau hanya sekali ditemukan di pangkz!an ini. (h<eijaa:d l999). Keterpencaran menurut ruang dan waktu serta variasi kualitasnya dapat menjelaskan mengapa sebagaian besar anggota komunitas orangutan bersifat
nomadis musiman. Secara umum ada tiga kelas kegiatan jelajahnya: (1) penetap, yang selama beberapa tahun berada dengan sebagaian besar waktunya dalam satu tahun di satu daerah tertentu, (2) penglaju, yang secara teratur selama beberapa minggu atau beberapa bulan setiap tahun hidup "nomadis", dan (3) pengembara, yang tidak pemah atau sangat jarang (atau hanya sekali) kembali ke tempatnya yang semula dalam waktu paling sedikit tiga tahun. Jaringan sosial orangutan meliputi betina dewasa dan anak-anaknya, mungkin termasuk sejumlah jantan dewasa dan pradewasa. Sepintas "kelompok" terbuka ini tidak berbeda dengan organisasi sosial beruk Macaca nemestrina yang berada di habitat yang sama. Sifat dasar interaksi sosial ini mengesankan bahwa penetap dan penglaju tennasuk dalam suatu jaringan sosial tunggal, karena mereka kelihatan mengenal baik satu sama lain, dan terbukti mempunyai hubungan sosial tertentu yang mantap, mirip hubungan yang bisa dikatakan sebagai ikatan "persahabatan" (Rijksen 1978). Pola interaksi yang terlihat dalam suatu pertemuan semacam ini memperlihatkan bahwa penggembara biasanya adalah pihak asing bagi anggota-anggota lainnya dalam jaringan sosial.
Kegiatan dan Perilakn Rodman (1 977) dalarn Maple (1980) menyatakan bahwa aktivitas harian orangutan yang utama di penuhi oleh kegiatan makan.
Selanjutnya istirahat,
bermain-main, berjalan-jalan diantara pepohonan dan membuat sarang. Menurut MacKinnon (1974) aktivitas harian orangutan meliputi 3 aktivitas besar yaitu makan, istirahat dan bergerak. Orangutan mulai bergerak sejak matahari terbit sampai matahari terbenam dan selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak rata-rata 500 meter per hari. Periiaku makan Orangutan dikenal sebagai pemakan buah.
Pola makan sangat
mempengamhi kondisi biologis dan cara hidupnya. Oleh karena itu, distribusi j n ~ l a hdan k~alitaspakaniiya menurn: w a h daii tempat teteii?~ merupakail faktor penentu utama perilaku pergerakan, kepadatan populasi dan akhirnya menentukan organisasi sosialnya. Di habitat yang berkualitas baik, antara 57%
Cjantan) dan 80% (betima3 w a k t u makanannya dihabiskan untuk memakan buahbuahan.
Lama w a
rnencari buah yang tercatat paling rendah, ketika
ketersediaan buah s a n g a C r e n d a h , masih 16% dari waktu total. Walaupun ada sekitar 200 jenis b u a h yserng dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih tinggi dalam k o r n p e s i s i makanannya (Meijaard 1999). Komposisi persentase waktu inakan danjenis p a k a n orangutan seperti terlihat dalam Gambar 2.
Serangga Kulit batang
6%
Lain-lain
2%
Gambar 2. K o m p o s i s i persentase waktu makan dan jenis pakan orangutan
Pakan orangutem w n e m p u n y a i variasi yang jelas dari bulan ke bulan, tetapi buah yang berkualtas r i n g g i hampir selalu ada di beberapa tempat. Jenis makanan dan variasinya bahkarn
b e r b e d a nyata dari satu lokasi ke lokasi lain. Di suatu
tempat, buah ara d;ari
s e k i t a r delapan jenis pohon ara-pencekik merupakan
makanan pokok dan t e r s e d i a selama paling sedikit delapan bulan dalam setahun, namun di tempat l a i n b u a h ini merupakan sumber makanan yang tidak penting (misalnya di T a n j u n g
P u t i n g dan di Suaq-Balimbing), dan jenis pohon ara-
pencekik sebenarnya r r n e h u p a k a n jenis yang langka (Meijaard 1999). Di daerah-daerah S e r t e n t u orangutan kadang-kadang juga menelan tanah, memakan liang r a y a p permukaan tanah urn diambilnya.
Orangu
i
sepanjang batang pohon, bahkan sampai turun ke memungut dan nlemakan segumpal tanah yang j u g a sering mengunjungi "tempat penjilatan mineral"
yang didatangi b a n y a k m a m a l i a lainnya untuk memeakan bongkahan lempung
atau bongkahan tebing karang terjal. Tanah ini nampaknya mengandung mineral tertentu atau kaolin dalam konsentrasi tinggi (Payne et al. 1985), yang penting untuk menetmlkan jumlah tanin beracun dan asam fenolat yang tinggi dalam makanan yang berasal dari daun.
Peritaku bersarang Orangutan membangun paling tidak 1 sarang per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari (Maple 1980). Umur satwa juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku bersarang. Orangutan muda
cenderung
membangun sarang dalam jumlah banyak atau "bermain sarang" setiap hari (Rijksen 1978). Sarang jugs sering digunakan sebagai tempat untitk kawin (Galdikas 1978). Dalam membangun sarang, orangutan memilih tempat yang strategis dengan mempertimbangkan letak pohon berbuah terdekat dan topografi daerah sehingga tempat bersarang terdistribusi secara acak. Orangutan mencari lokasi bersarang pada tempat-tempat yang dikenali, baik untuk digunakan sendiri maupun besamasama, dengan mempertimbangkan hubungan antara posisi sarang dan keuntungan yang diperoleh (MacKinnon 1974). Umumnya orangutan membuat sarang pada tempat-tempat yang dapat memberikan pandangan lebih luas ke sebagaian besar areal hutan (Rijksen 1978).
Menurut MacKinnon (1974), konsentrasi sarang
terutama berada pada punggung bukit sebelah barat.
Posisi ini dipilih untuk
menhindari panas matahari, sebagai pelindung dari angin malam, dan memeperluas jangkauan pandangan. Faktor penentu lainnya adalah keberadaan sarang-sarang orangutan lainnya (Rijksen 1978). Orangutan selalu berpindah-pindah dalam membuat
sarang untuk
memudahkan memperoleh sumber-sumber makanan yang baru. Hal ini dilakukan karena pohon-pohon di hutan hujan tropika memiliki spesies yang beraneka ragam, tetapi dalam jumlah sedikit dengan musim berbuah yang berbeda. Galdikas (1978) mengungkapkan bahwa jika suatu pohon buah dianggap paling menguntungkan, maka orangutan akan menggunakan kembali sarangnya selama beberapa hari beI'tuNt-tIINt di tempat tersebut atau kembali ke sarang-sarang tersebut dalam 2 - 8 bulan kemudian Maple (1980). Orangutan membuat sarang untuk bermalam di dekat pohon pakan terakhir (Mackinnon 1974). Kadang-
kadang sarang orangutan ditemukan di pohon pakan, tetapi hanya beberapa sarang harian (day-nest) yang digunakan untuk beristirahat di siang hari untuk mempermuda proses pengumpulan buah atau untuk bersosialisasi (Rijksen 1978) Wilayah jelajah Dalam kegiatan hariannya, orangutan mulai bergerak sejak matahari terbit sampai matahari terbenam dan selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan jarak rata-rata 500 meter per hari (Mackinnon 1974). Kegiatan bergerak orangutan di dalam hutan sangat lamban dan malas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan lambannya pergerakan mereka ialah karena berat badannya yang cukup besar dan pohon-pohon di dalam hutan yang sangat bemariasi baik tinggi maupun letaknya, hingga mereka harus berhati-hati dalam pergerakannya. Jarak yang ditempuh orangutan dalam seharinya berkisar antara 300 meter sampai 1300 meter. Jauh dekatnya jarak yang ditempuh sangat dipengaruhi oleh persentase aktivitas makan dan beristirahat (Djojosudharmo 1978). Home range orangutan betina saling tumpang tindih atau overlape (Rodman dan Horr 1972 dalarn Sinaga 1992), demikian juga dengan home range orangutan betina dengan jantan juga dapat tumpang tindih (Djojosudharmo 1978).
Pola Penggunaan Ruang dan Waktu Menurut Legay dan Debouzie (1985); Santosa (1990) dalam Alita (1993), pola penggunaan ruang merupakan suatu keseluruhan interaksi antara satwa dengan habitatnya.
Adapun paiametei poia penggunaan mang yang paling
banyak diteliti ada dua, yaitu daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan
.
Daerah jelajah (home range) merupakan daerah pergerakan nom~alsatwa dalam melakukan aktivitas-aktivitas rutin.
Sedangkan core area merupakan
bagian dari home range yang sering dipergunakan dan dengan keteraturan yang lebih besar daripada bagr;:, yang n-- UAU b I Y I.II +--:+--: A:A-G-:-:I~-L b l l l Y l l ULUbIIIIIDIILLLII YW.
sebagai suatu daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar (Chalmers 1980).
Menurut Santosa (1990) dalam Alita (1993), aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya.
Dalam ha1 ini
"mobilitas" dan "luas" serta "komposisi daerah jelajah" mempakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Setiap jenis sahva menunjukan pola kegiatan harian yang tertentu, demikian juga dengan jenis primata. Kegiatan primata berupa makan, bergerak, istirahat, menelisik dan kegiatan sosial lainya sudah terpola dalam kegiatan sehari-hari yang dikenal dengan budget kegiatan.
Galdikas (1978) membagi aktivitas
orangutan kedalam tujuh kategori utanla : I) makan, 2) beristirahat, 3) bergerak pindah, 4) kopulasi, 5) mengeiuarkan seruan panjang, 6 ) agresi, 7) bersarang.