II.
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ikan Lele Dumbo Clarias sp.
2.1
Ikan lele dumbo merupakan hasil persilangan antara ikan lele betina Taiwan C. fiscus dengan ikan lele jantan Afrika C. mosambicus (Suyanto, 1992). Klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1989) adalah : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Silluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
Di Indonesia berdasarkan warna disekujur tubuhnya ikan lele dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : hitam atau kelabu (biasanya dibudidayakan di kolam), belang (hitam dan putih) dan kemerahan. Secara umum morfologi ikan lele berbeda dengan ikan-ikan lainnya, misalnya ikan mas dan ikan gurame. Bagian kepala ikan lele pipih ke bawah (depressed), bagian tengah membulat dan bagian belakang pipih ke samping (compressed). Tubuhnya memanjang dan tidak memiliki sisik. Bagian tubuhnya dilapisi lendir (mucus) sehingga tetap licin dan menjaga dari kekurangan oksigen (Hamsyah, 2004). Warna tubuh bagian atas gelap, daerah perut dan sisi bawah kepala terang, kadang-kadang terdapat garis bintik-bintik terang pada sisi badan (Najiyati, 1992; Murniarti et al., 2004 dalam Abdullah, 2008). Dalam keadaan stres warna tubuh ikan lele dumbo menjadi bercak-bercak (Hernowo, 2003). Ciri-ciri morfologi ikan lele adalah jumlah sirip punggung D.68-79, sirip dada P.I.9-10, sirip perut V.5-6, sirip anal A.50-60 dan jumlah sungut sebanyak empat pasang, satu pasang diantaranya lebih panjang dan besar. Panjang baku 5-6 kali tinggi badan dan perbandingan antara panjang baku terhadap panjang kepala adalah 1: 3-4. Ikan lele memiliki patil yang dapat digunakan untuk melindungi
3
diri dari serangan atau ancaman dari luar yang dapat membahayakan keselamatan dirinya. Insang ikan lele berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang (Najiyati, 1992 dalam Abdullah, 2008) dan terdiri dari dua dinding berkantung tipis yang disatukan oleh tabung melintang. Hal ini menyebabkan ikan lele kadang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Namun, kekurangan ini dilengkapi oleh alat pernapasan tambahan (arborescent organ) berupa kulit tipis menyerupai spons, yang tumbuh pada insang ke-2 dan ke-4. Dengan adanya alat pernapasan tambahan ini, ikan lele dapat hidup pada air dengan kadar oksigen yang rendah, misalnya parit atau kolam pekarangan (Anonimous, 2000 dalam Hamsyah, 2004). Ikan lele bersifat nokturnal, artinya aktif mencari makanan pada malam hari atau lebih meyukai tempat yang gelap. Ikan lele merupakan jenis ikan pemakan segalanya (omnivora). Pada saat penebaran yang terlampau tinggi dan dalam keadaan kekurangan pakan ikan lele cenderung bersifat kanibal. Sifat dan tingkah laku lainnya yang sangat menonjol adalah apabila ikan lele menemui suasana baru, misalnya mendadak dari gelap ke terang lele cenderung meninggalkan tempat (Anonimous, 2000 dalam Hamsyah, 2004). Ikan lele dumbo memiliki keunggulan, yaitu dapat tumbuh pesat dan mencapai ukuran besar dalam waktu lebih cepat dibandingkan dengan lele lokal. Misalnya, pada umur 8 bulan lele dumbo dapat mencapai bobot 200-300 gram. Karena karakteristik inilah, ikan ini dinamakan ”lele jumbo” yang kemudian terkenal sebagai ”lele dumbo” (Hernowo, 2003).
2.2
Rumput Laut Gracilaria verrucosa Berdasarkan dari hasil studi etnobotanis dan etnofarmakologi yang
dilaksanakan mulai sejak 1988-1991 tercatat bahwa ada sekitar 61 jenis rumput laut dari 27 genera yang telah dimanfaatkan oleh penduduk pantai dibeberapa pulau sebagai bahan makanan. Sekitar 20 jenis diantaranya digunakan secara tradisional sabagai obat (Anggadiredja et al., 2006; Suwandi, 2002). Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan telah diperdagangkan sejak dulu, yaitu: Eucheuma sp., Hypnea sp., Gracilaria sp. dan Gelidium sp.
4
Klasifikasi Gracilaria verrucosa menurut Anggadiredja et al., (2006) adalah: Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Bangsa
: Gigartinales
Suku
: Gracilariaceae
Genus
: Gracilaria
Spesies
: Gracilaria verrucosa
Gambar 1. Rumput Laut Gracilaria verrucosa (www.google.com) Rumput laut atau seaweed merupakan bagian terbesar dari tanaman laut. Rumput laut adalah tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang, dan daun. Tetapi sesungguhnya merupakan bentuk thalus belaka (Anggadiredja et al., 2006). Rumput laut merupakan jenis alga, dikelompokan menjadi 4 kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau biru
(Cyanophyceae),
alga
coklat
(Phaecophyceae),
dan
alga
merah
(Rhodophyceae). Alga coklat dan alga merah hampir secara eksklusif sebagai habitat laut (Winarno, 1996). Rumput laut dapat dipertimbangkan sebagai sumber komponen bioaktif yang memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai macam karakteristik metabolisme dari aktivitas biologi. Menurut Anggadiredja et al., (2006) nama lokal dari G.verrucosa adalah bulung rambut (Bali) dan sango-sango (Sulawesi). Tumbuhan ini memiliki ciriciri thalus silindris, halus, licin, pinggir bergerigi, membentuk rumpun radial seperti umbi tanaman jahe, percabangan berseling tidak beraturan dan memusat ke
5
arah pangkal. Ukuran thalus panjang 25 cm dan diameter thalus 0,5 – 1,5 mm. Tumbuh melekat pada substrat batu, umumnya di daerah rataan terumbu karang. Di perairan laut, Gracilaria hidup di daerah litoral dan sublitoral sampai kedalaman tertentu yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahari. Beberapa jenis hidup di perairan keruh, sungai, atau tempat yang sering terjadi pengadukan yang tinggi akibat pencampuran air tawar dan air laut (Bold dan Wayne, 1978 dalam Suhardimansyah, 2004). Pertumbuhan maksimum Gracilaria diperoleh pada kisaran salinitas 15 – 38 ppt, sedangkan kisaran salinitas optimum berkisar 15 – 24 ppt. Suhu air yang baik untuk pertumbuhan Gracilaria antara 20 – 28°C. Dengan kisaran pH 6 – 9 dan kedalaman air antara 0,5 – 1,0 m. Untuk menunjang pertumbuhannya, Gracilaria melakukan fotosintesis maka diperlukan ketersediaan unsur hara dalam perairan. Unsur hara tersebut akan masuk ke dalam tubuh melalui proses difusi sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan (Anggadiredja et al., 2006; Aslan, 1998). Jenis-jenis rumput laut yang bernilai ekonomi dan mempunyai peluang untuk dikembangkan adalah karaginofit (Eucheuma spinosum dan E. cottonii) agarofit (Gracilaria), dan alginofit (Sargasum) (Ma’aruf, 2002). G.verrucosa termasuk alga merah, merupakan rumput laut yang memiliki komponen utama kimia berupa agar dan karagenan (Angka et al., 2000). Struktur molekul agar terdiri dari agarose yang tidak bermuatan dan agaropectin yang bermuatan. Agarose digunakan sebagai media kultur (mikroba, kultur sel, dan kultur jaringan) dan digunakan juga dalam proses elektroforesa, teknik imobilisasi, khromotografi, serta immunologi (Anggadiredja et al., 2006; Zatnika, 1988; Guangce W, 2002; Widiastuti, 2001). G.verrucosa merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai imunostimulan karena memiliki kandungan berupa komponen agar yang di dalamnya terdapat senyawa polisakarida (Anggadiredja, 2006). Selain itu, penggunaan bahan ini dinilai aman dalam penggunaannya karena tidak berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan serta bahan ini mudah diperoleh. Dari hasil penelitian yang dilakukan Yoshizawa et al, (1996) dalam Jasmanindar (2009) menunjukan bahwa ekstrak G. verucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst in vitro dan in vivo makrofag tikus. Castro et al., (2006)
6
menyatakan bahwa dinding sel rumput laut berisi matrix polisakarida yang berlimpah, dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga terdapat pada tumbuhan darat. Polisakarida dapat meningkatkan komponen sistem imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri. Rumput laut mengandung metabolit primer dan sekunder yang bersifat hidrokoloid seperti karagenan, agar dan alginat yang digunakan sebagai bahan additive dalam industri farmasi (Angadiredja et al., 2006).
2.3
Imunostimulan Vertebrata memiliki suatu proses pengawasan disebut sistem imun yang
menjaga mereka dari penyakit (organisme patogen), seperti bakteri, virus, dan sel kanker, protozoa dan metazoa (Weissman, 1978; Winton, 2001). Sistem imun vertebrata berasal dari 2 sistem, yaitu pertama sistem imun selular yang efektif melawan fungi, parasit, infeksi virus intraseluler, sel kanker dan jaringan asing dan kedua sistem imun humoral yang efektif sebagai respon pertahanan pertama melawan infeksi bakteri dan virus (Weissman, 1978). Untuk sistem pertahanan atau imunitas terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, sistem pertahanan tubuh ikan melawannya dengan sistem imun spesifik dan non spesifik. Sistem imun humoral yang bersifat spesifik berupa lysin, humoral non spesifik berupa antibodi (Agustina, 2006). Menurut Bratawidjaja (2006) imunostimulasi merupakan cara untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Sedangkan imunostimulan adalah suatu bahan yang dapat meningkatkan resistensi (kekebalan) organisme terhadap infeksi patogen dengan meningkatkan mekanisme respon imun non spesifik seperti sistem fagositik (Ellis, 1988).
Kerusakan dalam sistem fagositik salah satunya dapat menyebabkan
pengurangan jumlah sel fagositik itu sendiri atau pengurangan fungsi sel tersebut (Kuby, 1997). Imunostimulan mengaktifkan mekanisme pertahanan non-spesifik seperti makrofag pada vertebrata (Jasmanindar, 2009; Sakai, 1999; Weissman 1978; Treves-Brown, 2000). Penggunaan imunostimulan sekarang ini banyak dikembangkan dalam dunia budidaya ikan. Hal ini terkait dengan pengurangan
7
penggunaan bahan kemoterapi pada ikan yang dapat menyebabkan resistensi terhadap bakteri tertentu. Menurut Tizard (1988) fagositosis adalah suatu proses penjeratan sel yang mampu mengikat, menelan dan menghancurkan bahan asing. Proses fagositosis dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu (1) kemotaksis (sel bermigrasi menuju partikel, tertarik oleh faktor kemotaktik), (2) perlekatan (sel melekat pada partikel yang diopsonisasi), (3) penelanan sel (sel menelan partikel dengan menelannya di dalam sitoplasma), (4) pencernaan (partikel dicerna oleh enzim lisosim di dalam fagolisosom). Sedangkan fagosit adalah sel yang memiliki kemampuan mencerna bakteri, partikel asing dan sel terinfeksi (Winton, 2001). Penelitian Pasteur (1879) yang dikemukakan oleh Tizard (1988) menemukan bahwa zat yang menyebabkan kekebalan dapat ditemukan dalam serum darah. Faktor yang terdapat dalam serum darah dan dapat memberikan kekebalan ini adalah antibodi. Antibodi biasanya hanya berikatan khusus dengan antigen yang merangsang pembentukannya. Antigen itu sendiri adalah bahan yang merangsang pembentukan antibodi. Antibodi berfungsi menetralisasi toksik agar tidak lagi bersifat toksik. Imunostimulan dapat diberikan melalui pakan dalam jangka waktu yang lama, cara ini telah memberikan keuntungan yang nyata melebihi penggunaan vaksin di kegiatan budidaya. Penambahan bahan imunostimulan melalui pakan dapat diberikan dalam jangka waktu 2 – 6 minggu (Treves-Brown, 2000).
2.4
Bakteri Aeromonas hydrophila Bakteri A.hyrophila merupakan organisme yang terdapat dimana-mana dan
dapat menimbulkan penyakit dibawah kondisi ikan yang stres (Stevenson, 1988). Serangan bakteri A. hydrophila pertama kali ditemukan di Jawa Barat, Indonesia tahun 1980 (Angka et al., 2000). Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri yang memiliki sifat sebagai berikut: bakteri gram negatif, bersifat motil dan merupakan bakteri anaerob fakultatif. A. hydrophila memiliki panjang 1,0 – 3,5 µm dengan diameter berkisar 0,3 – 1,0 µm. Bakteri ini bergerak dengan menggunakan flagella polar (single polar flagellum) di media cair.
Bakteri A. hydrophila hidup optimum pada
8
temperatur 22 – 28 °C dan pH 5,2 – 9,8. Pada media agar, koloni bakteri ini berwarna putih atau merah muda, bulat dan cembung. (Abeyta et al., 2001; Aoki, 1999). Klasifikasi A. hydrophila menurut Holt et al. (1994) dalam Abdullah (2008) adalah Filum
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Psedomonadales
Famili
: Vibrionaceae
Genus
: Aeromonas
Spesies
: Aeromonas hydrophila
Gambar 2. Bakteri Aeromonas hydrophila. 1 cm = 10 μm Genus Aeromonas dapat dibagi ke dalam 2 kelompok yang benar-benar terpisah (Abeyta et al., 2001; Hidayat, 2005), yaitu: 1. Bakteri psikofilik nonmotil Aeromonas, seperti: A. salmonicida (bersifat patogen untuk ikan namun tidak untuk manusia) 2. Bakteri mesofilik motil Aeromonas, seperti: A. hydrophila (dapat menyerang manusia) Bakteri A. hydrophila memproduksi eksoenzim, seperti amilase, protease phospolipase, dan DNase (Abeyta et al., 2001 ). Menurut Hidayat (2005) Aeromonas sp. memproduksi berbagai produk, salah satunya adalah toksin yang dikeluarkan dalam bentuk soluble sehingga dapat langsung menginfeksi sel. Selain itu, senyawa ini dapat bertahan dipermukaan sel dan akan masuk ketika sel sudah mati. Aerolisin, GCAT (glycerophospholipid: cholesterol acyltransferase) dan satu serine protease merupakan tiga protein ekstraseluler yang erat kaitannya
9
dengan patogenitas A. hydrophila (Angka, 2001; Hayes, 2000 dalam Hidayat, 2005). Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri patogen untuk kebanyakan spesies akuatik, menyebabkan hemorrhagic septicemia di kolam budidaya air tawar dan ikan-ikan di alam (Abeyta et al., 2001; Aoki, 1999). Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan pembengkakan pada tubuh dan organ ikan. Menurut Winton (2001) dan Suyanto (1983) dalam beberapa kasus, bakteri ini dapat menyebabkan kematian tanpa disertai gejala klinis atau indikator eksternal (akut). Kerusakan mungkin terjadi sebagai infeksi lokal di tempat luka atau tempat serangan penyakit (Stevenson, 1988). Masuknya bakteri ini biasanya dibawa oleh air. Kebanyakan A. hydrophila ditemukan ketika suhu lingkungan bertemperatur hangat. Namun, bukan berarti A. hydrophila tidak dapat ditemukan pada suhu lingkungan dengan temperatur dingin. Keberadaan A. hydrophila dalam konsentrasi yang tinggi pada budidaya intensif di Hungaria dan India tercatat memiliki kemungkinan menyebabkan resiko infeksi bukan hanya pada ikan namun juga pada manusia (Stevenson, 1988). Menurut Albert et al. (2000) dalam Hidayat (2005) bakteri A. hydrophila patogen pada usus sehingga menimbulkan penyakit gastroenteritis terutama diare dan disentri persisten serta meningitis dan infeksi paru. Menurut Suyanto (1983) bentuk penyerangan bakterial dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu: 1. Acute (akut), ikan-ikan mati dalam waktu yang sangat singkat sementara tandatanda penyakit yang belum jelas terlihat. 2. Sub-acute (sub-akut), dalam waktu singkat terlihat gejala dropsy (badan ikan membengkak disebabkan terkumpulnya cairan dalam jaringan tubuh), bisulbisul, kerusakan dan pendarahan pada pangkal sirip. 3. Chronis (kronis), terlihat bisul-bisul bernanah (abses) yang berlanjut lama. 4. Latent, ikan tidak memperlihatkan gejala penyakit, tetapi di dalam darah dan jaringan tubuhnya terdapat bakteria penyebab penyakit tersebut. Hal ini disebabkan oleh daya tahan (kekebalan) alamiah dari ikan itu sendiri.
10
2.5
Hematologi Ikan Darah memegang peranan yang penting dalam proses sirkulasi dan
transportasi dalam tubuh hewan (Chinabut et al.,1991). Menurut Fujaya (2002), darah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu sel dan plasma. Sel terdiri dari sel-sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda terdiri dari eritrosit dan leukosit (limfosit, monosit, neutrofil dan trombosit). Sedangkan komponen plasma terdiri dari fibrinogen, ion-ion anorganik dan organik. Pada ikan, sel yang berperan dalam sirkulasi darah adalah eritrosit, monosit, limfosit, trombosit dan neutrofil granulosit (Chinabut et al., 1991).
A
B
C
D
Gambar 3. Diferensial leukosit (a) Monosit, (b) Limfosit, (c) Trombosit dan (d) Neutrofil. 1 cm = 10 μm Darah ikan berfungsi mengedarkan suplai makanan ke seluruh tubuh, membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh, membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukan (Angka, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman dan Brown, 1989). Volume darah dalam tubuh ikan lebih sedikit dibandingkan dengan volume darah vertebrata yang lain. Jumlahnya sekitar 5% dari berat tubuh ikan. Eritrosit (sel darah merah) merupakan bagian darah yang paling banyak jumlahnya. Eritrosi yang matang berbentuk oval hingga bundar, inti kecil dengan 11
sitoplasma dalam jumlah besar. Sel darah merah pada ikan lele berukuran 10 x 11 µm sampai 12 x 13 µm dengan diameter inti sebesar 4 – 5 µm. Jumlah sel darah merah pada ikan lele adalah 3,18 x 106 sel/mm3. Eritrosit muda disebut retikulosit, ukurannya sama dengan eritrosit yang matang namun, memiliki inti yang lebih besar. Pada pewarnaan giemsa, sitoplasma dari retikulosit (Brown, 1987) berwarna biru terang atau abu-abu. Sel retikulosit sering ditemukan pada bagian anterior ginjal dan limfa (Chinabut et al., 1991). Tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam kondisi stres dan rendahnya jumlah eritrosit menandakan ikan menderita anemia dan kerusakan ginjal (Snieszko, 1972; Wedemeyer dan Yasutake, 1977; Nabib dan Pasaribu, 1989) Leukosit (sel darah putih) dibagi dalam 2 kelompok, yaitu agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, trombosit dan monosit sedangkan granulosit terdiri dari neutrofil. Total sel darah putih dalam tubuh ikan lele adalah 64,73 x 103 sel/mm3 (Chinabut et al., 1991). Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal menandakan ikan memerlukan evaluasi pemeriksaan penyakit (Dellman dan Brown, 1989). Menurut Angka (2005) leukosit (limfosit dan granulosit) dihasilkan di organ limpa, yaitu bagian pulpa putih. Diferensial leukosit merupakan suatu nilai yang menggambarkan perbandingan jumlah sel leukosit (netrofil, eosinofil, limfosit dan lain-lain). Limfosit pada catfish memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan eritrosit. Ukurannya berkisar antara 6 – 11 µm. Sel limfosit ditandai dengan bentuknya yang bundar dengan sejumlah kecil sitoplasma non granula berwarna biru cerah atau ungu pucat dengan pewarnaan Wright dan Giemsa. Berdasarkan ukurannya limfosit dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: limfosit besar dan kecil. Keduanya memiliki fungsi yang sama. Limfosit kecil sebagian besar terdapat dalam peredaran darah, bersifat tidak aktif. Setelah ada antigen spesifik, limfosit menjadi aktif bereaksi dengan antigen dan dinamakan limfosit dewasa (Angka et al., 1990). Sel limfosit memiliki peran dalam pembentukan antibodi (Dellman dan Brown, 1989). Menurut Brown (1987) sifat limfosit yang lainnya adalah sel ini mampu menerobos jaringan atau organ tubuh lunak karena menyediakan zat kebal untuk pertahanan tubuh.
12
Populasi limfosit dalam darah mencakup 3 tipe, yaitu: Sel T, Sel B dan Sel null. Limfosit T dan turunannya berperan dalam imunitas seluler dan diperkirakan jumlahnya berkisar antara 70 – 75% dari seluruh limfosit darah. Sedangkan limfosit B sedikit jumlahnya, hanya 10 – 12%. Berperan dalam respon imun humoral, beberapa diantaranya tumbuh menjadi sel pembentuk antibodi. Limfosit null jumlahnya berkisar antara 10 – 15% dari limfosit darah (Brown, 1987). Menurut Tizard (1988) dan Brown (1987) monosit merupakan makrofag muda yang terdapat dalam aliran darah. Bekerja berlawanan dengan sel neutrofil. Monosit mampu memiliki aktivitas fagositosis yang tahan lama, memberikan kontribusi langsung pada jaringan yang rusak dengan membuang jaringan yang mati. Diameter monosit berkisar antara 10 – 14 µm. Monosit pada ikan berbentuk oval atau bundar berinti dengan sitoplasma berwarna biru keabu-abuan (Chinabut et al., 1991). Monosit dihasilkan oleh organ timus dan limpa. Sel ini berperan dalam fagositosis dengan membunuh dan melisiskan sel bakteri (Abdullah, 2008). Trombosit memiliki ciri khusus, yaitu memiliki lingkaran sitoplasma tipis di sekeliling inti yang berwarna cerah dengan pewarnaan Wright dan Giemsa. Ukuran trombosit berkisar antara 4x7 – 5x13 µm (Chinabut et al., 1991). Menurut Tizard (1988) neutrofil dibentuk di sumsum tulang belakang, masa hidupnya hanya beberapa hari saja. Neutrofil berupa sel bundar dengan diameter 12 µm. sel ini memiliki sitoplasma yang bergranula halus dan ditengahnya terletak inti bersegmen (Tizard, 1988; Chinabut et al., 1991). Fungsi utama neutrofil menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis. Neutrofil dapat dianggap sebagai garis pertahanan pertama dalam penyerangan bakteri, bergerak cepat kearah benda asing, menghancurkan segera, tetapi tidak mampu bertahan lama. Sebagai respon terhadap infeksi, neutrofil mampu keluar dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk membunuh dan membersihkan pecahan jaringan (Brown, 1987). Hematokrit adalah perbandingan antara padatan sel-sel darah (eritrosit) dalam darah yang dinyatakan dalam persen (Angka et al., 1985). Menurut Bond (1979) hematokrit adalah perbandingan antara volume sel darah dengan plasma darah. Plasma darah adalah cairan yang jernih berisikan mineral terlarut, hasil buangan jaringan, enzim, antibodi dan gas terlarut. Kisaran kadar hematokrit
13
darah ikan adalah 20 – 30%. Angka et al. (1985) menyatakan kisaran hematokrit ikan lele (Clarias batrachus) pada kondisi normal sebesar 30,8 – 45,5%. Molekul hemoglobin adalah suatu protein dalam eritrosit yang terdiri atas protoporfirin, globin dan besi (Fe) bervalensi dua (Affandi dan Tang, 2002; Brown, 1987). Hemoglobin darah merupakan alat transportasi oksigen dan karbondioksida. Menurut Angka et al. (1985) kisaran kadar hemoglobin dalam darah ikan lele (Clarias batrachus) normal adalah 10,3 – 13,5 %g. Hemoglobin merupakan indikator anemia atau dengan kata lain penurunan kadar hemoglobin adalah indikator ikan terserang anemia (Snieszko, 1972). Berdasarkan uraian di atas jenis, fungsi dan kisaran normal dari komponen darah dapat disajikan pada tabel berikut: Tabel 1. Jenis, fungsi dan kisaran normal sel-sel darah ikan lele dumbo Clarias sp. Jenis Sel Darah
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit: Monosit Limfosit Trombosit Neutrofil
Fungsi Mengedarkan makanan, membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh, membawa hormon dan enzim ke organ yang membutuhkan. Pengikat O2 dan CO2, memberi pigmen dalam darah Perbandingan antara volume darah dengan plasma darah. Memiliki peran bersamaan dengan eritrosit dan hemoglobin. Sel perlawanan terhadap serangan penyakit. Aktivitas fagositik, sebagai makrofag dan penghasil sitokin. Pembentukan antibody. Pembekuan darah. Aktivitas fagositik, penghasil sitokin.
Kisaran Normal
Sumber Pustaka
3,18 x 106 sel/mm3
Chinabut et al,. 1991
10,3-13,5 %g
Angka et al,. 1985
30,8-45,5%
Angka et al,. 1985
64,73 x 103 sel/mm3
Chinabut et al,. 1991
14