TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Ostariophysi
Family
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias gariepinus (Burchell, 1822) Ikan lele dumbo mempunyai ciri-ciri morfologi antara lain: jumlah sirip
punggung D.68-79, sirip dada P.9-10, sirip perut V.5-6, sirip anal A.50-0 dan jumlah sungut sebanyak 4 pasang, 1 pasang diantaranya lebih panjang dan besar. Panjang baku 5-6 kali tinggi badan dan perbandingan antara panjang baku terhadap panjang kepala adalah 1: 3-4. Kepala pipih, simetris dan dari kepala sampai punggung berwarna coklat kehitaman, mulut lebar dan tidak bergerigi, bagian badan bulat dan memipih ke arah ekor, memiliki patil serta memiliki alat pernapasan tambahan (accesory breathing organ) berupa kulit tipis menyerupai spons, yang dengan alat pernapasan tambahan ini lele dapat hidup pada air dengan kadar oksigen rendah (Teugels, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Ikan lele menghuni segala habitat, mulai dari kolam yang kecil, sungai berair jernih dan berarus lambat serta danau buatan. Ikan ini dapat mentoleransi berbagai kondisi lingkungan dan sangat mudah beradaptasi. Kisaran suhu yang disukai ikan ini adalah 23.8-26.6 oC (Sutton, 2000). Ikan ini memiliki kulit berlendir dan tidak bersisik (mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi pucat bila terkena cahaya matahari), dua buah lubang penciuman yang terletak di belakang bibir atas, sirip punggung dan anal memanjang sampai ke pangkal ekor namun tidak menyatu dengan sirip ekor, mempunyai senjata berupa patil atau taji untuk melindungi dirinya terhadap serangan atau ancaman dari luar yang membahayakan, panjang maksimum mencapai 400 mm (Teugels, 1986). Teknologi Transgenesis Transgenesis
merupakan
teknik
rekayasa
genetik
dengan
cara
mengintroduksi gen pengkode karakter unik yang dapat memberikan nilai tambah bagi organisme target. Sebagai contoh, transfer gen pengkode hormon pertumbuhan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan hingga beberapa kali lipat dan untuk meningkatkan resistensi ikan terhadap bakteri patogen (Alimuddin dkk., 2003). Istilah teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika secara ringkas dapat diartikan sebagai teknik molekuler yang dengan tepat mampu mengubah suatu molekul DNA, atau menggabungkan molekul DNA tertentu dari sumbersumber yang berbeda. Rekombinasi DNA dilakukan dengan enzim (restriksi dan ligase) yang dapat melakukan pemotongan dan penyambungan molekul DNA dengan tepat dan dapat diprediksi. DNA rekombinan selanjutnya dimasukkan ke
Universitas Sumatera Utara
dalam organisme sasaran melalui introduksi langsung (transformasi), melalui virus, atau bakteri (Suwanto, 1998). Transgenik adalah suatu teknik yang dilakukan dengan memasukkan gen yang dikode untuk tujuan yang spesifik ke dalam organsime baru sehingga individu baru tersebut mempunyai sifat yang spesifik sesuai yang diharapkan dengan menggunakan gen. Keuntungan dari teknik ini adalah memungkinkan ekspansi akuakultur ke lingkungan baru atau menciptakan organisme dengan tujuan baru serta meningkatkan produksi. Namun kerugiannya mungkin produk baru tersebut akan bersifat merugikan terhadap ekologi lingkungannya, genetik, health safety dan risiko sosial lainnya seperti tidak disukai oleh konsumen karena ada perubahan rasa, bentuk dan sebagainya (Rustidja, 2007). Ikan transgenik adalah ikan yang telah mengalami perubahan secara buatan pada genomnya dengan cara menambahi, mengurangi atau mengubah susunan asli dengan teknik rekombinan DNA (Deoxyribonucleic Acid). Teknologi transgenik ini telah dicoba terhadap berbagai spesies ikan budidaya dengan tujuan utama untuk peningkatan kualitasnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1998). Metode elektroporasi adalah suatu metode yang berhasil dalam transfer gen pada sel jaringan yang dikultur dan metode ini pada tahun 1990 dianggap metode terbesar yang berhasil dalam transgenik ikan (Faqih, 2011). Metode elektroporasi adalah metode transgenik dengan menggunakan rangkaian kejutan listrik untuk membuka pori-pori membran sel, dan menyebabkan transgen dapat masuk ke dalam sel (Subyakto dkk., 2010). Potensi bahaya yang mungkin timbul dari organisme hasil rekayasa genetika adalah: 1) Transgenik mungkin mengubah hubungan antara predator dengan
Universitas Sumatera Utara
mangsa. Hal ini terjadi jika ikan transgenik mengandung hormon pertumbuhan beberapa kali lipat lebih besar dari individu lain. 2) Transgenik mungkin dapat memperluas adaptasi lingkungan. 3) Transgenik dapat menghilangkan faktor pembatas biotik. Kepadatan populasi ikan dibatasi oleh faktor biotik seperti nutrisi (mineral, vitamin, karbon, protein, asam amino), predator, parasit, dan penyakit. Jika faktor pembatas biotik menghilang atau berkurang secara bertahap pada ikan transgenik, maka dapat menyebabkan peningkatan ukuran dan persaingan antara ikan transgenik dengan spesies lain (Muir dan Richard, 2004). Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi berantai (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. PCR pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis (Yusuf, 2010). Menurut Erlich (1989), PCR adalah suatu teknik yang sangat tepat dan teknik yang paling sering digunakan untuk biologi molekuler karena mudah, cepat dan murah. Teknik amplifikasi DNA dari sumber DNA yang dihasilkan merupakan DNA yang spesifik dari sejumlah kecil gen-gen yang berbeda. Pada proses amplifikasi DNA oleh PCR diperlukan enzim yang dinamakan dengan “taq polymerase”. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50-100 µl. Pada umumnya PCR dilakukan dengan mengulangi siklus reaksi pelipatgandaan sebanyak 20-30 siklus. Akan tetapi, banyaknya siklus yang diperlukan tergantung pada konsentrasi awal molekul DNA target yang akan dilipatgandakan (Yuwono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Amplifikasi DNA pada PCR dapat dicapai dengan menggunakan primer oligonukleotida yang disebut amplimers. Primer DNA suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA. PCR memungkinkan dilakukannya pelipatgandaan suatu fragmen DNA. Umumnya primer yang digunakan pada PCR terdiri dari 20-30 nukleotida. DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan berasal dari patogen yang terdapat dalam spesimen klinik. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’ primer ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polymerase (Yusuf, 2010). Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA, sebagai contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik. Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu annealing DNA dalam mesin PCR (Aris dkk., 2013). PCR asimetris pertama kali dijelaskan dengan menggunakan primer PCR konvensional dalam konsentrasi yang tidak sama untuk menghasilkan sejumlah besar amplikon DNA beruntai tunggal. Amplikon DNA berantai ganda dihasilkan selama fase awal reaksi, tetapi reaksi beralih ke sintesis helai primer ketika konsentrasi primernya berlebih (Wang dkk., 2015).
Universitas Sumatera Utara
Alat PCR terdiri dari dua macam yaitu gel based dan real time. Keunggulan alat PCR gel based adalah dapat mengetahui ukuran sampel melalui elektroforesis agar selain itu harga alat dan reagennya juga lebih murah, namun kurang sensitif, lebih beresiko terhadap kontaminasi dan prosesnya membutuhkan waktu yang lebih lama (Hariastuti, 2008). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melalukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95 oC) selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 oC sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Suhu 55 oC yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37 oC), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (55oC), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun (Yuwono, 2006). Perilaku Predator Keberadaan hewan-hewan liar termasuk di dalamnya ikan-ikan liar yang menjadi pemangsa (predator) jelas merugikan, karena umumnya ikan-ikan pemangsa tersebut merupakan hewan-hewan yang rakus dan sangat merugikan keberadaannya. Hewan pemangsa umumnya lebih besar ukurannya dibandingkan hewan-hewan yang dimangsanya. Kanibalisme adalah aksi membunuh dan mengkonsumsi seluruh atau sebagian tubuh individu dari spesies yang sama. Kanibalisme dapat terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
saudara sedarah ataupun lain yang tidak mempunyai hubungan darah. Kanibalisme sangat dipengaruhi oleh kepadatan stok ikan, umur ikan dan rasio berat dari individu. Kanibalisme akan berkurang jika terdapat makanan lain sebagai alternatif (Fessehaye dkk., 2006). Penghindaran predator adalah salah satu ciri utama pertumbuhan yang menentukan risiko lingkungan yang potensial. Kemampuan ikan transgenik untuk menghindari predator mungkin melibatkan perilaku baik mangsa atau predator. Agresi atau retardasi akan menyebabkan perbedaan mortalitas antara ikan transgenik dan non-transgenik (Dunham dkk., 1999). Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa peran sifat genetik sangat berpengaruh pada kualitas benih sehingga berdampak pada pertumbuhan, sintasan, ketahanan terhadap penyakit, dan perubahan lingkungan. Oleh karena itu, peranan sifat genetik sangat penting untuk memperoleh induk dan benih yang unggul (Benzie dkk., 1997). Ikan lele non-transgenik memiliki penghindaran predator yang lebih baik dari ikan lele transgenik. Jika ikan lele transgenik yang mengandung hormon pertumbuhan rainbow trout atau hormon pertumbuhan cohogen sengaja dilepaskan dari tempat budidaya, kemungkinan besar gen transgen akan menurun jumlahnya karena terjadinya peningkatan kerentanan terhadap predator dan akhirnya transgen akan hilang (Dunham dkk., 1999).
Universitas Sumatera Utara