II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan lele dumbo (Clarias sp) Menurut Saanin (1984), taksonomi ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub ordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp
Berbeda dengan ikan lele lokal (Clarias batrachus), ikan lele dumbo (Clarias sp) berasal dari Mozambique (Afrika). Ikan lele dumbo masuk ke Indonesia pada tahun 1985, yang diintroduksi dari Taiwan oleh sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perikanan. Beberapa keterangan menyatakan bahwa ikan lele dumbo merupakan hasil persilangan ikan lele lokal yang berasal dari Afrika dengan ikan lele lokal dari Taiwan (Khairuman dan Khairul, 2002). Pada awalnya ikan ini dijadikan sebagai ikan hias, tetapi dalam perkembangannya menjadi salah satu ikan konsumsi unggulan pada sistem budidaya air tawar. Bentuk tubuh ikan lele dumbo memanjang, agak silindris (membulat) di bagian depan dan mengecil ke bagian ekornya. Kulitnya tidak memiliki sisik, berlendir, dan licin. Jika terkena sinar matahari, warna tubuh ikan lele dumbo berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti mozaik hitam-putih. Mulut ikan lele dumbo relatif lebar, yaitu sekitar ¼ dari panjang total tubuhnya (Khairuman dan Khairul, 2002). Di atas rongga insang terdapat
selaput
alat
pernapasan
tambahan
(aborescent
organ)
yang
memungkinkan ikan lele dumbo dapat mengambil oksigen langsung dari udara. Kepala ikan lele dumbo berbentuk gepeng dengan batok kepala sangat keras, memiliki empat buah sungut yang berfungsi sebagai alat peraba. Ikan lele dumbo memiliki beberapa buah sirip, yakni sirip ekor, sirip dada, sirip anal, dan
sirip punggung yang memanjang dari perut belakang hingga pangkal ekor. Selain itu, ikan lele dumbo juga memiliki sepasang tulang keras di depan sirip dada. Tulang ini disebut patil, berfungsi sebagai alat pertahanan diri. Walaupun berfungsi sebagai alat pertahanan diri, patil ikan lele dumbo tidak memiliki racun. Morfologi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1. Ikan lele dumbo merupakan hewan nokturnal, yakni hewan yang aktif mencari makan pada malam hari dan termasuk hewan karnivora karena pakan alaminya adalah kutu air (daphnia, cladosera, copepoda, chydorus, ceriodaphnia, moina, nauplius, rotaria), cacing, krustacea kecil, rotifera, jentik-jentik (larva serangga dan siput-siput kecil).
Gambar 1. Ikan Lele Dumbo (Clarias sp) Air yang baik untuk pertumbuhan ikan lele dumbo adalah air bersih yang berasal dari sungai, air hujan, dan air sumur dengan kisaran suhu 25-32 oC (Anonimus, 2007b). Kadar oksigen air yang dibutuhkan ikan lele dumbo berkisar antara 3 ppm. Namun, ketersediaan kadar oksigen tidak banyak berpengaruh karena ikan lele dumbo bisa mengambil oksigen langsung dari udara. Sementara itu, kandungan karbon dioksida (CO2) air harus di bawah 15 ppm, kandungan NH3 harus di bawah 0,05 ppm, kandungan NO2 sekitar 0,25 ppm, kandungan NO3 sekitar 250 ppm dan pH 6,5 – 8 (Khairuman dan Khairul, 2002). 2.2 Pepaya (Carica papaya L.) Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan. Tanaman ini menyebar ke Benua Afrika dan Asia serta negara India. Dari India, tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis, termasuk Indonesia di abad ke-17.
Menurut Steenis (1978), taksonomi tanaman pepaya adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magholiophyta
Kelas
: Magholiopsida
Ordo
: Brassicates
Famili
: Caricaceae
Genus
: Carica
Spesies
: Carica papaya L.
Menurut Kalie (2006) famili Caricaceae memiliki empat genus, yaitu Carica, Jarilla, Jacaranta, dan Cylicomorpha. Ketiga genus pertama merupakan tanaman asli Meksiko bagian selatan serta bagian utara dari Amerika Selatan, sedangkan genus keempat merupakan tanaman yang berasal dari Afrika. Genus Carica memilki 24 spesies, salah satu diantaranya adalah papaya. Tanaman dari genus Carica (Gambar 2) banyak diusahakan petani karena buahnya enak dimakan, genus lainnya hanya lazim untuk dinikmati keindahan habitusnya. Pepaya merupakan tanaman herbal dengan batang berongga, biasanya tidak bercabang, dan tinggi mencapai 10 m. Daunnya merupakan daun tunggal dan berukuran besar dengan tangkai daun panjang dan berongga. Bunganya terdiri dari tiga jenis, yaitu bunga jantan, bunga betina, dan bunga sempurna. Batang, daun, dan buahnya mengandung getah yang memiliki daya enzimatis yaitu dapat memecah protein. Pemanfaatan tanaman pepaya cukup beragam. Bagian-bagian tanaman pepaya banyak yang digunakan dalam pengobatan tradisional. Perasan daun pepaya dapat digunakan untuk meredam atau menurunkan demam akibat penyakit malaria. Menurut Kalie (2006) rasa pahit perasan daun pepaya disebabkan oleh kandungan alkaloid carpain (C14H25NO2) yang banyak terdapat pada daun muda. Alkaloid ini dapat menurunkan tekanan darah dan membunuh amuba. Menurut Ardina (2007) di dalam ekstrak daun pepaya terkandung enzim papain yang memiliki aktivitas proteolitik dan antimikroba, sedangkan alkaloid carpain berfungsi sebagai antibakteri. Selain itu ekstrak daun pepaya dapat digunakan sebagai antifungal pada powdery mildew fungi (Erysiphe cichoracearum DC)
yang menyebabkan penyakit powdery mildew pada lada (Capsicum annum L.) (Amadioha, 1998).
Gambar 2. Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain. Papain termasuk enzim hidrolase, yaitu enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis suatu substrat (protein) (Lukitasari, 2004). Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan dalam industri, di antaranya industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, tekstil, dan penyamak. Sementara itu, getah pepaya selain mengandung enzim papain juga mengandung kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferas. Analisis komposisi daun pepaya dapat dilihat pada Tabel 1. Selain mengandung enzim papain dan alkaloid carpain, daun pepaya juga mengandung psudo carpain, glikosid, karposid, dan saponin (Muhlisah, 2007), serta mengandung sakarosa, dektrosa, levulosa, tocophenol dan flavonoid (Rahman, 2008). Buahnya mengandung β-karoten, pectin, d-galaktosa, Iarabinosa, papain, papayotimin, dan vitokinose. Bijinya mengandung glukosida kasirin dan carpain. Dalam pengobatan herbal, tanaman pepaya dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya kulit melepuh karena panas, malaria, demam karena digigit ular berbisa, beruban sebelum waktunya, cacing gelang, dan sariawan.
Tabel 1. Analisis komposisi dalam 100 gram daun pepaya Unsur Komposisi Energi (kal) Air (g)
Daun (100 gram) 79 75,4
Protein (g)
8
Lemak (g)
2
Karbohidrat (g)
11,9
Vitamin A (IU)
18,25
Vitamin B (mg)
0,15
Vitamin C (mg)
140
Kalsium (mg)
353
Besi (mg)
0,8
Fosfor (mg)
63
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1979) dalam Kalie (2006)
2.3 Bakteri Aeromonas hydrophila Klasifikasi bakteri Aeromonas hydrophila menurut Kried dan Holt (1984) dalam Giyarti (2000) : Filum
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Pseudomonadales
Famili
: Vibrionaceae
Genus
: Aeromonas
Species
: Aeromonas hydrophila
Bakteri Aeromonas hydrophila adalah bakteri penyebab sakit pada ikan. Umumnya hidup di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama bakteri Aeromonas hydrophila adalah berbentuk batang, berdiameter 0,3-1,0 µm dan panjang 1,0-3,5 µm (Aoki, 1999), bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, dan bersifat motil (bergerak aktif) karena memiliki satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya (Ghufran dan Kordi, 2004). Bakteri Aeromonas hydrophila tumbuh pada pH 4,7-11 dengan temperatur 10-42
o
C, dapat
menghasilkan beberapa ekstraseluler enzim yang dapat menghidrolisis zat tepung,
kasein, DNA, gelatin, sel darah merah, serum dan tween-80 (Tanasupawat dan Saitanu, 1985 dalam Saitanu, 1986). Pada media nutrien agar koloni bakteri ini berwarna krem, bentuk bundar dan cembung, oksidase sitokrom dan reaksi katalase positif (Aoki, 1999). Kebanyakan dari galur Aeromonas hydrophila yang diisolasi dari ikan menghasilkan hemolisin, sitotoksin, faktor dermonekrotik, dan enterotoksin. Aktivitas dari toksin ini dapat dikurangi oleh asam, pH tinggi, dan panas. Aktifitas proteolitik, hemolitik, dan sitolitik akan sepenuhnya dihancurkan setelah pemanasan sampai 100 oC selama 10 menit (Saitanu, 1986). Menurut Amlachler (1961) dalam Snieszko dan Axelrod (1971) terdapat empat tingkatan serangan bakteri Aeromonas hydrophila, yaitu : 1. Akut
: Septisemia yang fatal, infeksi cepat dengan sedikit tandatanda penyakit yang terlihat.
2. Sub Akut
: Gejala dropsi, lepuh, abses, perdarahan pada sisik.
3. Kronis
: Gejala tukak, bisul, abses yang perkembangannya berlangsung lama.
4. Laten
: Tidak memperlihatkan gejala penyakit, namun pada organ dalam terdapat bakteri penyebab penyakit.
Tanda-tanda klinis infeksi Aeromonas hydrophila bervariasi, tetapi pada umumnya ditunjukkan dengan adanya hemoragi pada kulit, insang, rongga mulut, dan borok pada kulit yang dapat meluas ke jaringan otot. Secara histopatologis tampak terjadinya nekrosis pada limpa, hati, ginjal, dan jantung (Austin dan Austin, 1986). Beberapa hewan akuatik yang telah diserang oleh
bakteri Aeromonas
hydrophila menunjukkan gejala-gejala infeksi yang sama, yaitu : warna tubuh ikan menjadi gelap, kemampuan berenang menurun, mata ikan rusak dan agak menonjol, sisik terkuak, seluruh siripnya rusak, insang berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-megap di permukaan air, insangnya rusak sehingga sulit bernafas, kulit ikan menjadi kasat dan timbul perdarahan selanjutnya diikuti dengan luka borok, perut kembung (dropsi), jika dilakukan pembedahan akan terlihat perdarahan pada hati, ginjal, serta limpa (Ghufran dan Kordi, 2004). Menurut Angka et al. (1981) bakteri Aeromonas hydrophila memiliki derajat penularan penyakit (morbiditas) yang tinggi. Di kolam yang mempunyai
kepadatan tinggi, 97% ikan menunjukkan gejala klinis, sedangkan kolam yang berpopulasi rendah derajat morbiditasnya lebih rendah yaitu 45%. 2.4 Bahan Aktif Antimikroba Pada Daun Pepaya Bahan antimikroba adalah senyawa kimia atau biologi yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktifitas mikroba (Fardiaz, 1989 dalam Marsul, 2005). Sedangkan menurut Beuchot (1976) dalam Agustian (2007) bahan antibakteri merupakan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh bakteri. Daun pepaya mengandung tocophenol, flavonoid, dan enzim papain yang diduga memiliki daya antimikroba, serta alkaloid carpain yang berfungsi sebagai antibakteri (Ardina, 2007). Menurut Amadioha (1998) ekstrak daun pepaya dapat menjadi antifungal bagi powdery mildew fungi (Erysiphe cichoracearum DC). Tocophenol merupakan senyawa fenol yang khas pada tanaman pepaya. Senyawa fenol memberikan rasa dan warna pada tanaman, buah, dan sayuran, fungsinya melindungi tanaman dari serangan mikroorganisme, serangga, dan herbivora (Roller, 2003). Fenol dapat merusak membran sel bakteri dan menyebabkan lisisnya sel bakteri (Nogrady, 1992 dalam Rahman, 2008). Sisi dan jumlah gugus hidroksil pada fenol diduga memiliki hubungan dengan toksisitas relatif terhadap mikroorganisme dengan bukti bahwa hidroksilasi yang meningkat juga menyebabkan tingginya toksisitas zat ini (Naim, 2004). Kepolaran gugus hidroksil fenol mampu membentuk ikatan hidrogen yang larut dalam air sehingga efektif sebagai desinfektan (Nogrady, 1992 dalam Rahman, 2008). Sifat toksik fenol mengakibatkan struktur tiga dimensi protein bakteri terganggu dan terbuka kemudian menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan struktur kerangka kovalen, sehingga protein terdenaturasi. Deret asam amino protein tetap utuh setelah denaturasi, namun aktifitas biologisnya rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya (Hasim, 2003a). Mekanisme toksisitas senyawa fenolik pada mikroorganisme adalah sebagai inhibitor enzim bakteri, kemungkinan melalui reaksi dengan grup sulfihidril atau melalui interaksi nonspesifik dengan protein. Kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan (atau kira-kira 1 x 109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoid (Smith, 1972 dalam Markham, 1988). Sebagian besar tanin berasal dari flavonoid, sehingga flavonoid
merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga selalu ditemukan pada setiap ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Flavonoid dan flavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap
infeksi
mikroba,
sehingga
secara
in
vitro
efektif
terhadap
mikroorganisme. Senyawa ini merupakan antimikroba karena kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba. Flavonoid yang bersifat lipofilik akan merusak membran mikroba. Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi perdarahan atau pembengkakan pada luka (Rahman, 2008). Carpain merupakan senyawa alkaloid yang khas dihasilkan oleh tanaman pepaya. Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik. Alkaloid bersifat toksik terhadap mikroba, sehingga efektif membunuh bakteri dan virus, sebagai antiprotozoa dan antidiare (Naim, 2004), bersifat detoksifikasi yang mampu menetralisir racun dalam tubuh. Alkaloid diketahui mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Mekanisme kerja dari alkaloid dihubungkan dengan kemampuan berinteraksi dengan DNA (Naim, 2004). 2.5 Injeksi Aeromonas hydrophila Secara Intramuskuler Injeksi secara intramuskuler akan menunjukkan gejala serangan yang tampak dari luar berupa borok pada kulit yang menembus ke arah daging (Supriyadi dan Taufik, 1981 dalam Haliman, 1993). Selain itu pada penyuntikan secara intramuskuler, difusi antigen atau vaksin untuk merangsang antibodi dan proteksi berlangsung lambat dan konstan (Anderson, 1974 dalam Haliman, 1993). Bakteri Aeromonas hydrophila menghasilkan enzim dan toksin yang dikenal sebagai produk ekstraseluler yang merupakan racun bagi ikan. Apabila disuntikkan ke ikan, produk ekstraseluler dapat menimbulkan kematian dan perubahan jaringan. Baik galur yang virulen maupun galur yang lemah, keduanya menghasilkan hemolitik, enterotoksin, dan akivitas dermonekrotik. Hasil penelitian Haliman (1993) dan Riyanto (1993) menunjukkan hasil bahwa bakteri Aeromonas hydrophila yang disuntikkan secara intramuskuler dapat menyebabkan kematian ikan lele dumbo. Pada ikan yang mati tampak adanya tukak yang besar, ikan mengalami ascites, dan ikan yang sekarat tampak
menggantung di bawah permukaan air. Tanda-tanda ini sesuai dengan gejalagejala “bacterial haemorrhagic septicaemia” (Kabata, 1985). Hal ini diperkuat oleh penelitian Husein (1993) yang menunjukkan bahwa penyuntikan ikan lele dumbo dengan bakteri Aeromonas hydrophila galur virulen lemah yang disonifikasi (penghancuran sel secara fisik menggunakan gelombang pendek) dapat menyebabkan kematian. Penyuntikan secara intramuskuler mengakibatkan ikan tidak memiliki nafsu makan dan menyebabkan adanya perubahan patologis pada tubuh ikan. Menurut Husein (1993) penyuntikan bakteri Aeromonas hydrophila secara intramuskuler dapat menyebabkan radang pada jam ke-3 pasca infeksi hingga jam ke-12 pasca infeksi diikuti perdarahan organ hati sejak jam ke-12 hingga 120 pasca infeksi. Perdarahan pada kulit di daerah bekas penyuntikan terjadi pada jam ke-24 sampai jam ke-48 pasca infeksi, kemudian menjadi tukak pada jam ke-120 pasca infeksi. Menurut Haliman (1993) ikan-ikan yang mengalami tukak mampu bertahan hidup, karena ikan memiliki daya regenerasi yang tinggi apabila dibandingkan dengan hewan-hewan dari kelas vertebrata lainnya. Menurut Haliman (1993) dan Husein (1993) ikan-ikan yang mengalami tukak menunjukkan nilai hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit tampak menurun. Tukak menyebabkan ikan banyak kehilangan darah, sehingga jumlah eritrosit ikan uji menjadi rendah. Rendahnya jumlah eritrosit mempengaruhi nilai hemoglobin dan hematokrit. Hal ini berbeda dengan yang dinyatakan Riyanto (1993), menurutnya gambaran darah lele dumbo ukuran fingerling yang diamati menunjukkan bahwa secara keseluruhan nilai rata-rata gambaran darah yang didapatkan tidak menggambarkan hubungan gejala klinis dengan perubahan gambaran darah ikan uji. Hal ini dikarenakan pada lele dumbo ukuran fingerling, proses pembentukan imunitas di dalam tubuhnya belum sempurna. Pada lele dumbo dewasa yang disuntik bakteri Aeromonas hydrophila sel utuh, persentase limfosit menjadi rendah ketika tukak tampak pada kulit (Haliman, 1993).