2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lele Dumbo (Clarias gariepenus) Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai di pasaran adalah lele dumbo (Clarias gariepenus). Ikan lele dumbo secara umum mirip dengan lele lokal, akan tetapi ikan lele dumbo memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan ikan lele lokal. Pada tahun 2005 ikan lele dumbo menjadi salah satu komoditas perikanan unggulan pada program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyudin 2007). Ikan lele dumbo termasuk jenis ikan karnivora dan termasuk hewan scavenger, yaitu ikan yang menyukai makanan yang telah busuk dan bersifat nocturnal karena aktif mencari makan pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Ikan lele dumbo pada siang hari lebih suka diam dalam lubanglubang atau tempat-tempat gelap yang terlindung (Suyanto 1999). Ikan lele dumbo termasuk ke dalam filum Chordata, kelas pisces, subkelas teleostei, ordo ostariophysi, subordo siluroidea, dan genus Clarias. Ikan lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik dan mulut besar, berwarna kelabu sampai hitam serta disekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula. Bagian mandibula terdapat kumis yang dapat digerakkan dan berfungsi untuk meraba makanannya. Kulit ikan lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil (Suyanto 1999) Morfologi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Ikan lele dumbo (koleksi pribadi). Lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai terutama didataran rendah sampai sedikit payau. Ikan lele dumbo mempunyai alat pernafasan tambahan yang disebut aborecent, sehingga mampu hidup dalam air yang berkadar oksigen rendah (Astawan 2007). Protein ikan secara umum merupakan protein yang istimewa karena berfungsi sebagai penambah jumlah protein hewani yang dikonsumsi dan sebagai pelengkap mutu protein dalam menu makanan. Komposisi gizi ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 1. 2.2 Konsentrat Protein Ikan (KPI) Menurut Windsor (2008), konsentrat protein ikan (KPI) atau fish protein concentrate (FPC) adalah bahan pangan konsumsi manusia dari hasil olahan ikan yang telah dihilangkan kandungan lemak dan airnya, sehingga memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Ibrahim (2009) mendefinisikan KPI sebagai suatu bentuk bahan pangan untuk konsumsi manusia yang dibuat dari ikan utuh atau bagian-bagiannya, dengan cara menghilangkan sebagian besar lemak dan airnya sehingga kandungan protein produk menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bahan segarnya. Konsentrat protein ikan dapat dibuat dari limbah ikan atau bagian ikan yang tidak terpakai seperti ekor, kepala, sirip dan isi perut (Buckle et al. 1987).
Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele dumbo Proksimat Air Protein Lemak Mineral Karbohidrat Asam amino* Lisin Histidin Arginin Asam aspartat Treonin Serin Asam glutamat Prolin Glisin Alanin Metionin Sistin Valin Isoleusin Leusin Penilalanin Tirosin
Kandungan (%bb) 76,0 17,7 4,8 1,2 0,3 Kandungan (mg/g protein) 50,2 11,8 47,8 70,4 20,8 19,2 118 24,5 31,1 24,8 23,4 7,3 28,0 25,8 64,7 38,7 24,6
Sumber : Astawan (2007) *Adeyeye (2009)
Finch (1977) diacu dalam Koesoemawardani dan Nurainy (2008) menyatakan KPI adalah produk ekstrak dari ikan dengan menggunakan pelarut organik seperti iso propanol, metanol, etanol atau 1,2 dikloroetan dengan variasi waktu dan suhu yang berbeda untuk menghilangkan lemak dan air, sehingga diperoleh kadar protein yang tinggi. Proses untuk menghilangkan air dan lemak tersebut dapat dilakukan dengan pengepresan, pengeringan atau ekstraksi. Untuk menghasilkan KPI yang bermutu tinggi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain jenis ikan, cara ekstraksi, tahap proses dan bahan baku. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan pelarut yang digunakan untuk memisahkan protein, yaitu memiliki efek presipitasi yang baik, aman (uapnya tidak berbahaya) dan dapat digunakan pada suhu dingin (Scopes 1987). FAO (1976) diacu dalam Buckle (1987) mengklasifikasikan KPI menjadi 3 tipe, yaitu tipe A, tipe B dan tipe C. Spesifikasi KPI dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Spesifikasi KPI Komponen Kandungan protein minimum (%) Daya cerna pepsin minimum (%) Jumlah lisin minimum (%) Kadar air maksimum (%) Kadar lemak maksimum (%) Bau
Tipe A 67,5 92 6,7 dari protein 10 0,75 lemah bila dibasahi dengan air panas
Tipe B 65 92 6,5 dari protein 10 3
Tipe C 65 92 6,5 dari protein 10 10
Sumber: FAO (1976) diacu dalam Buckle et al. (1987)
Pembuatan konsentrat protein ikan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode lama dan metode baru. Konsentrat protein ikan yang dibuat dengan metode lama dimulai dengan penyiangan, pencucian, pemisahan daging ikan dan penggilingan, kemudian daging ikan dikeringkan dengan oven bersuhu 45 oC setelah itu dilakukan penepungan. Tepung ikan kemudian diekstrak dengan menggunakan pelarut isopropanol untuk menghilangkan kandungan lemaknya, setelah itu disaring dan dikeringkan kembali (Astawan 1990). Konsentrat protein yang dibuat dengan metode kedua dimulai dengan pemisahan daging, penghancuran dan pencucian daging dengan air dingin dan perendaman dengan larutan NaCl 0,5-1% pada pH 7,4-7,8, pengurangan lemak dengan larutan organik pada suhu 5 oC kemudian dilakukan pengeringan dan penepungan (Suzuki 1981). Kelebihan utama metode pembuatan KPI cara baru dibandingkan dengan cara lama adalah kemampuan rehidrasinya yang sangat tinggi sehingga lebih mudah untuk diolah lebih lanjut serta mempunyai kecernaan yang sangat tinggi, yaitu hampir setara dengan protein telur (Suzuki 1981). Kadar protein tinggi yang dikandung KPI, menjadikan KPI sangat cocok untuk digunakan sebagai bahan suplementasi bahan pangan berprotein rendah. Konsentrat protein ikan telah diaplikasikan ke dalam bermacam-macam bentuk bahan pangan antara lain ditambahkan pada pembuatan biskuit (Ibrahim 2010) dan makanan ibu menyusui serta makanan sapihan bayi (weaning food) (Adeleke 2010).
2.3 Tepung Tulang Ikan dan Kalsium Tepung tulang ikan merupakan limbah hasil pengolahan ikan (non-edible portion) yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam industri pengolahan hasil pangan. Unsur utama penyusun tulang ikan adalah kalsium, fosfat dan bahanbahan yang mengandung nitrogen seperti asam-asam amino pembentuk protein kolagen. Menurut Subangsihe (1996), keberadaan kalsium dan fosfor dalam bentuk kalsium fosfat dalam tulang ikan mencapai 14% dari total susunan tulang ikan, sisanya merupakan unsur lain seperti magnesium, natrium dan flourida. Malde et al. (2010) menambahkan bahwa tulang ikan kaya akan mineral kalsium dan fosfor yang keberadaannya dalam tubuh sekitar 2% (bk). Mineral kalsium pada tulang ikan dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan, tetapi terlebih dahulu perlu dilakukan proses pembuatan tepung tulang ikan. Prinsip pembuatan tepung tulang ikan dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pemanasan, pengeringan dan pengecilan ukuran. Pembuatan tepung ikan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) dengan pengukusan, pengeringan dan penggilingan; (2) dengan pemasakan tulang ikan dengan uap dibawah tekanan tertentu, sehingga diperoleh tulang ikan dalam bentuk remah dan digiling; (3) pengabuan tulang ikan dengan pembakaran (Anggorodi 1985). Martinez et al. (2000) menyatakan bahwa tulang ikan yang sudah diolah dapat dijadikan bahan supplemen mineral untuk makanan bayi (weaning food) karena mengandung Ca dan F serta Mg. Hampir seluruh kalsium di dalam tubuh terdapat dalam tulang yang berperan penting dalam pembentukan struktur dan kekuatan tulang dan gigi. Sebagian kecil kalsium (1%) berada dalam jaringan lunak, cairan ekstra sel dan plasma yang berperan dalam metabolisme dan pengaturan dalam tubuh. Kalsium mempunyai dua fungsi, yaitu penyusunan dan pengaturan. Kalsium bersama fosfor berperan sebagai penyusun utama tulang dan gigi. Kalsium juga berperan dalam fungsi pengaturan seperti pengaturan metabolisme darah, penghantar impuls saraf, produksi dan aktivitas enzim, pengaturan permiabel membran, pengaturan siklus kontraksi otot jantung dan pemeliharaan keseimbangan dan pemeliharaan asam basa dan elektrolit. Kalsium tulang dalam bentuk garam (hidroksiapatit) membentuk matriks pada protein kolagen,
sedangkan pada struktur tulang membentuk rangka yang mampu menyangga tubuh serta tempat bersandarnya otot sehingga memungkinkan terjadinya gerakan tubuh (Goulding 2000). Anak yang sedang tumbuh memerlukan kalsium sebagai pembentuk tulang yang lebih banyak daripada orang dewasa. Kalsium diperlukan pada usia dewasa untuk mengatur keseimbangan kalsium di tulang, sedangkan pada usia tua kalsium diperlukan untuk mengganti kehilangan kalsium di tulang akibat proses demineralisasi. Proses pembentukan gigi mengikuti pembentukan pola tulang, akan tetapi perombakan kalsiumnya tidak secepat pada tulang. Hal ini, dikarenakan adanya unsur fluor yang dapat membantu gigi lebih mudah bertahan dari pengeroposan sehingga membuat gigi lebih keras (Almatsier 2003). Kalsium dalam cairan tubuh hanya berkisar 1% dan beredar sebagai ion kalsium. Ion kalsium bertanggung jawab pada kontraksi otot, pembekuan darah, penerusan impuls syaraf, sekresi hormon dan mengaktifkan reaksi enzim (Muctadi 2008). Angka kecukupan gizi kalsium rerata perhari dapat dilihat pada Tabel 3. Kekurangan kalsium pada orang dewasa dapat menyebabkan osteoporosis, yaitu gangguan pada tulang yang dapat menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan jumlah kalsium tersebut disebabkan oleh terjadinya proses demineralisasi, yaitu tubuh yang kekurangan kalsium sehingga akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi untuk digunakan pada bagian yang kekurangan kalsium tersebut. Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan pengurangan massa dan kekerasan tulang yang sedang dibentuk. Kelebihan kalsium yang diasup dalam tubuh dapat berpengaruh negatif terhadap penyerapan seng, besi dan mangan. Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat kelebihan kalsium dapat menyebabkan pembentukan batu ginjal dan gejala hiperkalsemia (WNPG 2004).
Tabel 3 Angka kecukupan gizi kalsium Kelompok Bayi (bulan) 0-6 7-11 Anak-anak (tahun) 1-3 4-6 7-9
Kecukupan kalsium (mg/hari) 200 400 500 500 600
Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65+
1000 1000 1000 800 800 800 800
Wanita (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65+
1000 1000 1000 800 800 800 800
Ibu hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3
+ 150 + 150 + 150
Ibu menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua
+ 150 + 150
Sumber : WNPG (2004)
2.4 Makanan Bayi Pendamping ASI (MP-ASI) Makanan bayi pendamping ASI, yaitu makanan tambahan yang diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Makanan bayi pendamping ASI harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Peranan makanan pendamping ASI, yaitu berguna untuk menutupi dan melengkapi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI tetapi tidak untuk menggantikan ASI sebagai makanan utama bayi. Makanan pendamping
ASI berbeda dengan makanan sapihan karena makanan sapihan diberikan ketika bayi tidak lagi mengkonsumsi ASI (Krisnatuti dan Yenrina 2007). Pemberian makanan pendamping ASI bertujuan untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi untuk perkembangan dan pertumbuhannya, karena dengan pemberian ASI saja tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi secara terus menerus seiring dengan pertambahan usianya. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang tidak normal dapat diketahui dengan cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. Hal ini, disebabkan antara lain oleh asupan makanan bayi yang hanya mengandalkan ASI atau pemberian makanan tambahan yang kurang memenuhi syarat. Pemberian makanan tambahan selain ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan bertujuan untuk mengajari makan berbagai macam jenis makanan (Krisnatuti dan Yenrina 2007). Pemberian makanan pendamping ASI perlu memperhatikan sifat-sifat bahan makanan yang akan digunakan dalam MP-ASI. Pembuatan makanan pendamping untuk bayi perlu memperhatikan beberapa hal antara lain, jumlah zat gizi yang diperlukan bayi seperti kandungan protein dan kualitasnya, energi, lemak, vitamin, mineral dan zat tambahan lainnya. Bahan makanan seperti telur, daging, susu dan ikan mengandung mutu protein yang lebih tinggi dibandingkan mutu protein bahan makanan nabati seperti kacang-kacangan dan biji-bijian (Krisnatuti dan Yenrina 2007). Makanan pendamping ASI juga harus mempunyai sifat fisik yang sesuai dengan penerimaan bayi, yaitu penampakan dan bau yang dapat diterima oleh bayi. Makanan pendamping ASI untuk bayi sebaiknya mudah disiapkan dalam waktu pengolahan dan penyajian yang singkat. Pemberian MP-ASI harus memenuhi beberapa persyaratan (Zakaria 1999), yaitu: (1) Makanan pendamping ASI harus memberikan semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi selain dari pemberian ASI untuk menjamin kecukupan kebutuhan gizi bayi serta MP-ASI harus mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur, (2) bayi memerlukan lebih dari dua kali makan sehari sebagai komplemen terhadap ASI, (3) volume makanan yang diberikan tidak boleh terlalu banyak karena kapasitas perut bayi yang masih kecil,
(4) bayi yang berumur kurang dari 6 bulan perlu diberi ASI sampai 6 kali sehari, (5) Makanan bayi pendamping ASI sebaiknya diberikan setelah bayi selesai menyusui agar bayi tidak terhambat untuk terus menyusu secara penuh, (6) pada permulaan pemberian MP-ASI harus diberikan dalam bentuk halus sampai umur 9 bulan, kemudian setelah 2 tahun sedikit demi sedikit diberikan makanan seperti orang dewasa normal karena pada masa tersebut bayi sudah mulai menyukai makanan orang dewasa. 2.4.1 Bahan MP-ASI Makanan pendamping ASI dalam pembuatannya perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu bahan-bahan pangan yang digunakan aman untuk dikonsumsi bayi dan perlu memperhatikan cara mencampurkan bahan-bahan untuk membuat MP-ASI tersebut. Campuran bahan pangan untuk makanan bayi menurut (Cameron dan Hovander 1983 diacu dalam Krisnatuti dan Yenrina 2000), terdiri dari dua jenis, yaitu campuran pertama adalah campuran dasar (basic mix), terdiri dari serealia (biji-bijian), umbi-umbian dan kacang-kacangan. Campuran bahan ini belum memenuhi kandungan zat gizi yang lengkap sehingga masih perlu tambahan zat gizi yang lainnya, terutama kebutuhan zat vitamin dan mineral. Campuran yang kedua adalah campuran ganda (multi mix), terdiri dari empat kelompok bahan pangan, yaitu: a) makanan pokok sebagai bahan utama yang merupakan sumber karbohidrat lebih dianjurkan berupa serealia, b) sumber protein (hewani maupun nabati) misalnya susu, daging sapi, ayam, ikan, telur dan kacang-kacangan, c) sumber vitamin dan mineral, berupa sayuran dan buah-buahan yang berwarna (terutama hijau tua dan jingga), d) sumber tambahan energi berupa lemak, minyak atau gula yang berfungsi untuk meningkatkan kandungan energi makanan campuran. 2.4.2 Karakteristik MP-ASI Makanan bayi pendamping ASI harus memiliki sifat-sifat fisik tertentu selain nilai gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Sifat fisik tersebut antara lain, yaitu densitas kamba dan kapasitas pengikatan air. Makanan yang bersifat kamba
akan cepat memberikan rasa kenyang pada bayi, padahal ada kemungkinan bahwa energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi belum terpenuhi. Sifat kamba ini terdapat pada bahan karbohidrat atau bahan yang mengandung pati tinggi seperti serealia dan umbi-umbian (Winarno 1990). Zat gizi lain yang dibutuhkan bayi adalah lemak. Lemak berfungsi sebagai sumber energi dan dapat memperbaiki cita rasa (memberikan rasa gurih). Menurut Walker dan Rolls (1994) terdapat beberapa cara untuk meningkatkan densitas energi makanan bayi, yaitu melalui penambahan energi dengan minyak dan penambahan gula. Pedoman umum di dalam mengembangkan formula makanan bayi pendamping ASI adalah komposisi energi, protein dan lemak. FAO (1991) menetapkan standar kecukupan gizi makanan bayi pendamping ASI untuk older infant, yaitu setiap 100 g bahan produk harus mengandung 400 kkal, protein sekitar 15 g, dan lemak 10 sampai 25 g. Persyaratan standar nilai gizi secara lengkap terdapat pada Tabel 4. Tabel 4 Standar makanan tambahan untuk bayi (per 100 gram bahan) Komposisi gizi Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Vitamin A (µg) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Vitamin B6 (µg) Vitamin B12 (µg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Kalsium (mg) Besi Seng Asam linoleat (g) Asam folat (µg) Serat makanan (g) Sumber: FAO (1991)
Jumlah per 100 g Minimal 400 ±15 10-25 Minimal 266,7 Minimal 6,67 Minimal 3,33 Minimal 13,3 Minimal 0,6 Minimal 0,67 Minimal 0,33 Minimal 0,53 Minimal 6,67 Minimal 533,3 Minimal 8 Minimal 6,67 Minimal 1,4 Minimal 33,3 Maksimal 5
Sebagai acuan perbandingan antara komponen gizi yang dikandung ASI terhadap angka kecukupan gizi bayi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat dijadikan pertimbangan pemberian makanan pendamping ASI dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi harian bayi yang direkomendasikan. Tabel 5 Komposisi kimia ASI Komposisi gizi Air Energi (kkal) Protein Lemak (g) Laktosa (g) Vitamin D (µg) Vitamin C (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B12 (µg) Asam folat (µg) Kalsium (mg) Besi (mg) Sumber: WNPG (2004)
ASI (per 100 mL) 89,7 66-75 0,95-1,72 4,2 7,4 0,01 3,8 0,02 0,03 0,62 0,01 5,2 35 0,08