7
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan lele (Clarias gariepinus) Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele sangkuriang (Clarias sp). Pada tahun 2005, lele menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007). Lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sejenis lele budidaya yang berasal dari Afrika. Dibandingkan dengan lele lokal (lele kampung Clarias batrachus, dan Clarias macrocephalus) lele dumbo berukuran lebih besar dan patilnya tidak tajam sehingga disukai konsumen. Kelemahannya adalah dagingnya lunak dan mudah hancur bila digoreng. Nama "dumbo" diberikan karena ukurannya yang lebih besar daripada rata-rata lele lokal Asia Tenggara. Secara alami ikan lele dumbo banyak ditemukan di berbagai tempat di Afrika dan Timur Tengah. Ikan jenis ini menyukai air tawar yang tenang serta kubangan buatan manusia, bahkan mampu bertahan hidup dalam saluran air buangan. Ikan ini sekarang dibudidayakan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sebagai sumber pangan. Persilangannya dengan lele lokal Asia Tenggara telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas daging dan telah dibudidayakan dengan nama sama. (Anonim 2011b) Lele termasuk ke dalam Kerajaan Animalia, Fillum Chordata, Kelas Actinopterygii, Ordo Siluriformes, famili Clariidae, Genus Clarias dan spesies C.gariepinus. Ikan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies berbeda, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias
mossambicus dari Afrika.
Lele dumbo memiliki ukuran yang besar,
sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah dilepas
kepasaran
melalui
Keputusan
Menteri
No.
KEP.26/MEN/2004
(Mahyuddin 2007). Ikan lele dumbo varietas sangkuriang memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai
8
hitam.
Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan
mandibula dalam, masing-masing terdapat sepasang kumis, hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil, patil lele ini tidak beracun (Suyanto dan Rachmatun 2007). Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nokturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempattempat yang terlindungi (Suyanto dan Rachmatun 2007). Menurut Astawan (2008) lele banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernafasan tambahan yang disebut arborescent, sehinga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah. Ikan lele dumbo memiliki perbedaan sifat jika dibandingkan dengan ikan lele lokal yang berasal dari Indonesia. Perbedaan terletak pada ukuran ikan lele dumbo lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat, warna kulit lebih gelap dan relatif lebih hitam, gerakan ikan lele dumbo lebih agresif, serta ikan ini tidak memiliki racun pada patilnya (Suyanto 1990 diacu dalam Utama 2008). Terdapat sekitar 55–60 spesies anggota marga Clarias, dari jumlah itu di Asia Tenggara kini diketahui sekitar 20 spesies lele, kebanyakan di antaranya baru dikenali dan dideskripsi dalam 10 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri terdapat enam jenis ikan lele yang yang dikembangkan (Anonim 2011a) yaitu : 1)
Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatera Barat), ikan maut (Sumatera Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan).
2)
Clarias teysmani, dikenal dengan sebutan lele kembang (Jawa Barat), kalang putih (Sumatera Barat).
3)
Clarias melanoderma, dikenal dengan sebutan lele wais (Jawa Tengah), ikan duri (Sumatera Selatan), dan ikan wiru (Jawa Barat).
4)
Clarias nieuhofi, yang juga dikenal dengan ikan hindi (Jawa), limbat (Sumatera Barat) dan, Kaleh (kalimantan Timur).
9
5)
Clarias loiacanthus, juga dikenal dengan istilah ikan keli (Sumatera Barat), ikan penang (Kalimantan Timur).
6)
Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai ikan lele dumbo (lele domba), king catfish yang berasal dari Afrika. Ikan lele dumbo memiliki rendemen daging sekitar 35% dari keseluruhan
tubuhnya, ikan jenis ini memiliki bagian kepala dan tulang yang cukup besar yaitu kepala sekitar 27,49% dan tulang sebesar 14,61%, secara utuh, rendemen dari ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Bagian ikan
Kandungan (%)
Daging merah Daging putih Tulang Kepala Kulit Sirip Insang Jeroan Total
3,00 32,82 14,61 27,49 6,06 3,47 6,06 6,49 100,00
Sumber : Erlangga (2009)
Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambahan jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi daging ikan lele disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi gizi daging ikan lele Senyawa Protein Lemak Abu Air Karbohidrat (by- different) Sumber:
Jumlah (%) 1 2 17,80 17,71 0,84 0,95 1,65 1,47 79,45 79,73 0,26 0,14
1. Erlangga (2009) 2. Utama (2008)
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan air dan protein merupakan dua unsur penyusun utama dari tubuh ikan lele. Selain itu, protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Kandungan lemak pada daging ikan lele dumbo segar dibawah satu
10
persen. Hal ini dipengaruhi oleh proses pemisahan bagian daging badan yang dilakukan dengan proses fillet dan pemisahan bagian kulit.
Ikan lele segar
memiliki asam amino lengkap yang dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Susunan asam amino esensial ikan lele Asam amino Arginin Histidin Asoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Triptopan Total esensial Non esensial
Kandungan protein (%) 6,3 2,8 4,3 9,5 10,5 1,4 4,8 4,8 4,7 0,8 49,9 50,1
Sumber: FAO (1997) diacu dalam Astawan (2008)
2.2 Hewan percobaan mencit (Mus mucuslus) Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Pemanfaatan hewan percobaan menurut pengertian secara umum ialah untuk penelitian yang mendasarkan pengamatan aktivitas biologi tergantung pada bidang ilmu yang dibina dan lingkungan apa suatu laboratorium bernaung sehingga pemanfaatan hewan percobaan ini akan mengarah ke suatu tujuan khusus. Kesamaan filogeni antara manusia dengan primata mendorong para ilmuwan memilih hewan primata sebagai model dalam percobaan laboratorium. Akan tetapi karena dari segi pengadaannya sulit dan pemeliharaannya juga memerlukan biaya yang besar maka mencit (Mus mucuslus) dapat dipilih sebagai alternatif (Malole dan Pramono 1989). Hewan percobaan digunakan untuk menguji keamanan atau efek samping dari suatu bahan kimia atau alami yang sering dibubuhkan pada bahan. Tujuan akhir dari pengujian adalah untuk keselamatan manusia maka hewan percobaan yang digunakan adalah hewan-hewan yang mempunyai sifat-sifat respon biologi dan adaptasi mendekati manusia. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyusun data biologis mencit seperti tertera pada Tabel 5.
11
Tabel 5 Data biologis mencit (Mus musculus) Hasil Pengamatan
Parameter
Lama hidup Lama produksi ekonomis Lama bunting Kawin sesudah beranak Umur sapih Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus kelamin poliestrus (birahi) Lama estrus Saat perkawinan Berat lahir Berat dewasa jumlah anak perkelahiran Kecepatan pertumbuhan
1-2 tahun, bisa mencapai 3 tahun 9 bulan 19-21 hari 1-24 jam 21 hari 35 hari 8 minggu (jantan dan betina) 4-5 hari 12-24 jam Waktu estrus 0,5-1 g 20-40 g jantan dan 18-35 betina Rata-rata 6 ekor bisa sampai 15 ekor 1 gram/hari
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
Mencit pada umumnya adalah binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal). Mencit bila diperlakukan dengan halus akan mudah dikendalikan, sebaliknya bila diperlakukan dengan kasar mereka akan menggigit. Mencit dapat mencapai umur 1-3 tahun tetapi terdapat perbedaan besar usia maksimum dalam berbagai galur tikus putih terutama karena perbedaan dalam kepekaan terhadap penyakit (Malole dan Pramono 1989). Mencit yang digunakan di laboratium umumnya ditempatkan dalam kotak yang terbuat dari plastik dan diberi alas kandang secukupnya, kotak tersebut diberi tutup berupa kawat. Alas kandang yang baik, dapat berupa sekam padi atau serbuk gergaji, bila digunakan serbuk gergaji harus bebas debu, bila digunakan
sekam
padi
harus
diperhatikan
kebersihannya
agar
tidak
terkontaminasi urin dan feses (Smith dan Mangkoewijojo 1988). Mencit yang dipelihara sebagai hewan percobaan biasanya diberikan makanan berupa pelet dalam jumlah tanpa batas. Minuman harus selalu tersedia pada kandang tikus putih, tempat minum biasanya menggunakan botol yang terbuat dari kaca, dari botol tersebut tikus putih dapat minum melalui pipa gelas. Botol dan selang harus dibersihkan minimal satu atau dua kali dalam seminggu (Smith dan Mangkoewijojo 1988).
12
2.3 Tepung ikan Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan pengeringan mekanis. Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan merupakan faktor penentu daya simpan ikan, pengurangan kadar air pada ikan akan membantu menghambat proses pembusukan. Dengan proses pengeringan secara terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti sehingga tepung akan lebih tahan terhadap bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pengeringan ikan menjadi tepung ikan selain menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi (Moeljanto 1982). Tepung ikan merupakan sumber kalsium (Ca) dan phosphor (P) dengan kandungan vitamin B dan mineral yang tinggi. Disamping memiliki kandungan serat yang rendah, pada tepung ikan lele juga terdapat kandungan trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982). Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah pencincangan, pemasakan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan. Tepung ikan yang baru saja diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan.
Setelah disimpan,
terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan komposisi kimia pada ikan segar, yaitu air, protein, lemak, mineral, dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermolprocessing) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi seperti tercantum pada Tabel 6.
13
Tabel 6 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan Zat gizi Air Lemak Protein Abu Serat Calcium (Ca) Fosfor NaCl
Kandungan (%) 10 - 12 8– 12 45-65 20-30 1,5-3 2,5-7,0 1,6-4,7 2-4
Sumber: BSN (1996)
Menurut Moeljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6 sampai 10%.
Sejenis
jamur (mold) dapat tumbuh pada tepung ikan dengan kadar air seperti ini. Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah.
Sebagian besar abu dan
mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan protein sebesar 60–65%. 2.4 Protein Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsurunsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, serta ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Kualitas protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplit atau protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan (Almatsier, 2001). Oleh karena itu, semakin lengkap kandungan asam amino esensial yang terkandung dalam protein suatu bahan makanan dan semakin tinggi nilai
14
biologinya, maka semakin tinggi kualitas protein yang terdapat dalam bahan makanan tersebut. Protein
merupakan
zat
gizi
makro
yang
dibutuhkan
tubuh
untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Protein penting bagi kehidupan manusia, mulai dari masa anak-anak, remaja yang sedang tumbuh, pada masa hamil dan menyusui pada wanita dewasa, orang yang sakit dan dalam taraf penyembuhan serta orang dewasa dan lansia. Protein juga berfungsi sebagai pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh, serta memberikan tenaga jika keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Suharjo dan Kusharto 1992). Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses kehidupan. Semua hayat hidup sel berhubungan dengan zat gizi protein. Nama protein berasal dari kata Yunani yaitu protebos yang artinya pertama atau terpenting (Almatsier 2001). Di dalam sel protein terdapat sebagai protein struktural maupun sebagai protein metabolik. Protein struktural merupakan bagian integral dari struktur sel dan tidak dapat diekstraksi tanpa menyebabkan disintegrasi sel tersebut. Protein metabolik ikut serta dalam reaksi-reaksi biokimiawi dan mengalami perubahan bahkan mungkin distruksi ataupun sintesis protein baru. Protein metabolik dapat diekstraksi tanpa merusak integritas struktur sel itu sendiri (Almatsier 2001). Di dalam tubuh protein juga mengalami siklus, yang artinya protein dipecah menjadi komponen-komponen yang lebih kecil yaitu asam amino dan atau peptida. Terjadi pula sintesa protein baru untuk mengganti yang lama. Praktis tidak ada sebuah molekul protein yang disintesa untuk dipakai seumur hidup. Semuanya akan dipecah dan diganti dengan yang baru dengan laju yang berbeda-beda tergantung jenis dan keperluannya dalam tubuh (Winarno 1997). Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. umumnya
lebih
tinggi
dibandingkan
menghasilkan kalori lebih tinggi.
dengan
Kandungan protein ikan hewan
darat
yang
akan
Dalam tubuh manusia protein memegang
peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan metionin.
Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola
15
mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Ikan mempunyai nilai biologis yang tinggi. 2.5 Fortifikasi asam folat Asam folat merupakan salah satu dari kelompok vitamin B, merupakan zat yang larut dalam air dan cepat rusak bila terpapar panas. Folat berasal dari Bahasa Latin folium (artinya daun) yang umumnya mengandung banyak zat folat. Asam folat dapat ditemukan secara alami pada sayuran hijau seperti bayam, brokoli, pok coy, asparagus.
Kini asam
folat dibuat secara sintetis sebagai
suplemen atau ditambahkan sebagai fortifikasi makanan tambahan seperti sereal dan susu.
Penelitian awal yang dilakukan Lucy Wills pada tahun 1931
menyatakan bahwa asam folat sebagai nutrisi penting untuk mencegah anemia selama kehamilan (Untoro 2002). Asam folat memiliki dua efek fisiologis utama yaitu sebagai kofaktor enzim sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) yang berperan dalam replikasi sel. Disamping itu asam folat juga dibutuhkan untuk mengubah homosistein menjadi metionin yang berperan pada sintesa protein. Asam folat penting dalam pembentukan sel-sel baru dan pemeliharaan sel, khususnya dalam kehamilan, karena pada masa itu terjadi pertumbuhan sel-sel
baru
dengan sangat pesat. Asam folat sangat penting terutama pada masa-masa awal kehamilan yaitu dalam replikasi sel, karena pada masa itu sistem saraf bayi sedang terbentuk (Untoro 2002). Asam folat adalah turunan vitamin B kompleks (B-9) yang berguna untuk mengurangi risiko cacat bawaan pada bayi (neural tube defects-NTD), spina bifida dan anenchepaly. Ibu hamil atau perempuan yang tengah merencanakan kehamilan, dianjurkan mengonsumsi makanan mengandung folat. Sebab, neural tube defects terjadi pada masa kehamilan belum disadari, yaitu antara minggu kedua hingga keempat masa pertumbuhan janin (Anonim 2004) Sumber folat dapat diperoleh secara sintetik pada suplemen makanan atau makanan terfortifikasi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan vitamin dan mineral lain. Dalam bentuk tunggal, khasiat kegunaan yang disetujui antara lain membantu memelihara kesehatan tubuh; suplementasi asam folat untuk wanita hamil berperan dalam pertumbuhan janin dan memelihara kesehatan tubuh.
Sedangkan dalam bentuk campuran dengan vitamin, atau
mineral lain khasiat kegunaannya antara lain membantu memenuhi kebutuhan vitamin, mineral, dan asam folat pada masa prenatal (Untoro 2002).
16
2.6 Fortifikasi zat besi (Fe) Menurut Husain et al, (1989) konsumsi zat gizi yang sangat rendah merupakan faktor utama yang menyebabkan keadaan kurang gizi. Hal tersebut dapat disebabkan karena konsumsi pangan yang rendah atau pangan yang dikonsumsi kurang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Salah satu cara peningkatan konsumsi zat-zat gizi adalah dengan peningkatan kosumsi zat gizi yang dapat dicapai dengan peningkatan mutu gizi pangan itu sendiri, seperti dengan cara fortifikasi pangan dengan zat gizi tertentu. Fortifikasi makanan bermanfaat sekali terutama dalam pemberian tambahan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Zat besi yang ditambahkan harus cukup dapat diserap dan tidak mengubah rasa, warna, bau dan penampakan bahan pangan pembawa. Senyawa besi yang larut adalah yang paling mudah diserap, namun zat besi ini juga sangat mudah bereaksi sehingga sering menimbulkan efek yang tidak dikehendaki (Husaini et al. 1989). Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih jenis zat besi sebagai fortifikan yaitu keamanannya, harganya terjangkau, stabil (sifat kimianya tidak berubah-ubah), nilai biologinya tinggi (bioavailability), reaksi terhadap senyawa lain dan efikasinya dalam meningkatkan kadar hemoglobin (Husaini et al. 1989). 2.7 Fortifikasi vitamin A Fortifikasi vitamin A adalah penambahan zat gizi mikro vitamin A ke dalam bahan pangan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan mutu konsumsi vitamin A yang ditambahkan dalam rangka memperbaiki status gizi mikro dari masyarakat yang mengkonsumsinya. Secara umum fortifikasi vitamin A bertujuan untuk : (1) menjaga agar vitamin A tetap berada dalam jumlah yang signifikan dalam pangan; (2) mencegah defisiensi vitamin A dalam populasi yang besar atau kelompok berisiko defisiensi vitamin A (orang tua, ibu hamil, vegetarian, dan anak-anak); (3) meningkatkan kualitas gizi produk makanan; dan (4) sebagai sarana teknologi pangan sehingga dapat dihasilkan pangan yang bisa disubtitusi dengan pangan lain (Lotfi et al. 1996). Bentuk vitamin A komersial yang paling penting adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retinol atau karoten dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan dalam pangan.
Ada beberapa pangan
sebagai pembawa vitamin A seperti minyak dan lemak, gula, garam, teh, sereal, dan MSG (Lotfi et al. 1996). Beberapa pangan yang sudah difortifikasi disajikan pada Tabel 7.
17
Tabel 7 Pangan potensial untuk fortifikasi Pangan Potensial Garam Susu, margarin Gula, MSG, teh Makanan bayi dan cookies Campuran sayuran dan asam amino, protein Sereal siap saji Minuman diet Larutan enteral dan parenteral
Fortifikan Yodium, besi Vitamin B1, B2, niacin, besi Vitamin A dan D Zat Besi Vitamin dan mineral Vitamin dan mineral Vitamin dan mineral Vitamin dan mineral
Sumber : Mejia (2002)
2.8 Biskuit Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan proses pemanasan dan pencetakan (BSN 1992). Biskuit terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau pemeraman. Bentuk crackers pipih, rasanya lebih mengarah ke rasa asin dan relatif renyah serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Biskuit yang berkualitas tinggi mempunyai lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda coklat. Biskuit simetris, lembut, bagian atas rata dan sisi-sisi lurus. Lapisan kulit renyah dan lembut, butiran halus dan lunak. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992, syarat mutu biskuit adalah seperti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 Karakteristik
Syarat Mutu
Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Logam berbahaya Serat kasar Energi (Kal/100 g) Jenis tepung Bau dan rasa Warna
Maksimum 5 % Minimum 9 % Minimum 9,5 % Minimum 70 % Maksimum 1,5 % Negatif Maksimum 0,5 % Minimum 400 Terigu Normal, tidak tengik Normal
Sumber : BSNI (1992)
18
2.8.1 Bahan Baku Bahan-bahan utama dalam pembuatan biskuit adalah gula, lemak, tepung, dan air. Bahan-bahan pembentuk biskuit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur yang akan mempengaruhi produk akhir. Bahan yang berfungsi sebagai pengikat atau pembentukan adonan yang kompak adalah terigu, susu, air dan putih telur.
Sedangkan yang termasuk dalam bahan pelembut adalah gula,
margarin, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978). 1)
Tepung terigu Tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain dan pendistribusi bahan lain tersebut agar merata serta berperan sebagai pembentuk cita rasa dalam adonan kue (Matz dan Matz 1978). Tepung yang biasanya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu. Tepung yang cocok untuk biskuit dan kue-kue kering adalah jenis tepung soft protein (8-9%), karena sifat gluten yang dimilikinya kurang baik sehingga cocok untuk biskuit, cake dan kue kering yang tidak menghendaki terbentuknya gluten (Labib 1997). Terigu mengandung protein sebesar 7-22%. Minimal terigu tersusun dari lima jenis protein, yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease yang larut dalam garam tetapi tidak atau sedikit larut dalam air, gliadin yang larut dalam alkohol 70-90% dan glutenin yang larut dalam asam atau basa tetapi tidak larut dalam air, garam maupun alkohol (Fennema 1996). Adanya air dalam adonan dapat menyebabkan pembentukan massa yang bersifat ekstensible dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari gliadin dan glutenin. Karena sifat fisik dari glutenin elastis dan juga ekstensible maka adonan mempunyai kemampuan menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan adonan (Winarno 1997). Untuk membuat adonan suatu produk yang dapat mengembang maka dipilih tepung terigu berkadar gluten tinggi. Dengan adanya kadar gluten yang tinggi maka ada kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya kembang yang baik, elastis tetapi lengket (Fennema 1996).
19
2)
Gula Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan menempel terus pada cetakan, biskuit menjdi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz 1978).
3)
Telur Telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dan lesitin yang terdapat dalam kuning telur.
Pembentukan adonan yang kompak
terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz 1978).
Menurut
Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan chepalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida. 4)
Mentega Mentega merupakan lemak hewani yang biasa digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki struktur fungsi seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta flavour (Matz dan Matz 1978). Mentega dan margarin merupakan emulsi air dalam minyak (W/O). margarin atau lemak nabati dapat memberikan volume biskuit yang rendah dan membentuk butiran yang kasar.
5)
Susu Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, pembentukan flavor, bahan pengisi dan pengikat air.
Susu bubuk lebih
banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama.
Susu dapat meningkatkan kandungan
energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978). 6)
Bahan Pengembang Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leaving agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat (soda
20
kue). Menurut Wheat Associates (1981) diacu dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO 2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartat, fosfat dan sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0,47% dan dengan rentang antara 0,04% sampai dengan 1,77%. Sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam resep biskuit, dan rata-rata digunakan antara 0,18% sampai dengan 1,92%. 7)
Garam Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan biskuit.
Sebagian besar formulasi biskuit
menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah pelarutannya (Matz dan Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan tergantung dari beberapa faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang relatif rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak. 8)
Air Dalam pengolahan produk, air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan, air juga berfungsi untuk membentuk adonan dan mempengaruhi tekstur produk.
2.8.2 Proses pembuatan biskuit Ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim (creaming methode) dan all in methode. Pada metode krim bahan-bahan tidak dicampur secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan pencampuran, yaitu lemak, telur dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essence, dimasukkan susu, diikuti penambahan garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Pada metode all in, semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang (Whiteley 1971).
21
Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari gula, lemak dan telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan food processor berkecepatan tinggi sampai mengembang, setelah mengembang ditambahkan secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, tepung dan air sehingga terbentuk adonan biskuit. diperhatikan
Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran harus
untuk
mendapatkan
adonan
pengembangan gluten yang diinginkan.
yang
homogen
dan
dengan
Pengadukan yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan kurang elastis dan mudah patah (Sunaryo 1985). Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan menentukan tekstur biskuit yang dihasilkan.
Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah air yang
ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur pengadukan. Jika jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan akan menjadi basah dan lengket, sehingga menyulitkan dalam proses selanjutnya.
Lama pengadukan
yang baik biasanya antara 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari 15 menit atau lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan kering. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40 0C (Manley 1998). Alat yang digunakan dalam pengadukan (pengadonan) sangat bervariasi. Alat pengaduk (mixer) sangat berperan terhadap sifat reologi dari adonan dan biskuit yang dihasilkan. Alat pengaduk yang dapat digunakan antara lain: vertical spindle mixers, high speed mixers, weigh mixers, cotinuous mixers, small batch mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat disesuaikan dengan jenis biskuit yang akan dibuat (Manley 1998). Adonan kemudian digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai keinginan dan disusun pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven. Penggilingan (pelempengan) dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah adonan terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang agar dihasilkan adonan yang halus dan kompak (Sunaryo1985). Tahap pemanggangan merupakan proses yang kritis dalam produksi biskuit. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah tipe oven, metode pemanasan dan tipe-tipe bahan yang digunakan.
Kondisi
22
pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur yang diinginkan serta kandungan airnya minimal 1% (Whiteley 1971). Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang diantara 25 menit sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204 0C). Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada suhu 220 0C dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak (Sunaryo 1985). Setelah
proses
pemanggangan
selesai,
proses
selanjutnya
adalah
pendinginan yang bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat. Pendinginan juga dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena sesaat setelah pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair sehingga tekstur biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan gula kembali menjadi padat dan tekstur mengeras (Manley 1998). 2.9 Daya cerna protein Penentuan nilai gizi suatu bahan pangan tidak hanya dilihat dari kandungan nutrisi di dalamnya saja, tetapi juga dapat dilihat sejauh mana nutrisi tersebut dapat digunakan oleh tubuh. Sifat fisik dan sifat kimia suatu produk dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh. Secara fisik, semakin keras suatu bahan akan menyebabkan menurunnya daya cerna protein oleh tubuh, karena semakin kuat ikatan kompleks yang menyusun bahan tersebut. Secara kimia daya cerna protein biasanya dipengaruhi oleh adanya senyawa anti gizi seperti inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989). Analisis daya cerna protein bisa dilakukan melaui dua cara, yaitu kimia (in vitro) dan biologis (in vivo). Salah satu metode biologis yang dapat digunakan adalah indikator Protein Efficiency Ratio (PER). PER adalah perbandingan anatara kenaikan berat badan dengan jumlah protein yang dimakan, penentuan ini biasanya dilakukan pada tikus yang masih tumbuh. Prinsip dari penentuan PER adalah menganggap bahwa semua protein yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan. Beberapa jenis mutu cerna protein dalam bahan pangan disajikan pada Tabel 9.
23
Tabel 9 Mutu cerna protein dalam bahan pangan Sumber protein Telur Daging, Ikan Kacaang Tanah Jagung, Sereal Millet Wheat Whole Wheat Flour, White Rice Cereal Meize Susu, keju Rice (Polished) Tepung Kedelai Beans Isolat Protein Kedelai Oatmeal Gluten Gandum Wheat Cereal Peas Sumber : WNPG (1998)
Mutu cerna (%) 97 94 94 70 79 86 96 75 85 95 88 86 78 95 86 99 77 88