II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistematika dan Biologi Udang Jerbung Udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis de Man) sebelumnya memiliki nama ilmiah Penaeus merguiensis de Man (Farfante & Kansley, 1997). Dalam dunia perdagangan udang jerbung mempunyai banyak nama dagang misalnya di Hongkong dinamakan white prawn, di Australia banana prawn atau white shrimp, di Malaysia udang kaki merah, dan di Indonesia dikenal dengan nama udang putih, menjangan, udang perempuan, udang popet, udang kelong, udang peci, udang pate, udang cucuk, pelak, kebo, angin, haku, wangkang, pesayan, besar, manis, kertas, dan udang tajam (Martosubroto, 1977). Jenis udang jerbung terdiri atas 3 kelompok yang secara visual sulit untuk dibedakan, yaitu F. indicus, F. chinensis, F. orientalis, dan F. merguiensis. Taksonomi udang jerbung adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Subkelas
: Malacostraca
Seri
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Natantia
Seksi
: Penaeidae
Famili
: Penaeinae
Genus
: Fenneropenaeus, Fabricius 1878
Spesies
: Fenneropenaeus merguiensis de Man (1888) Secara umum morfologi udang jerbung (Gambar 1) tidak berbeda dengan
udang yang lain. Tanda-tanda khusus yang membedakannya antara lain warna badan yang putih kekuning-kuningan dengan bintik coklat dan hijau. Ujung ekor dan kakinya berwarna merah, antennula bergaris-garis merah tua, dan antena berwarna merah. Gigi rostrum bagian atas 5 – 8 dan bagian bawah 2 – 5, ada juga yang mempunyai gigi rostrum atas 6 – 7 dan bawah 4 – 5. Pada karapas gastro orbital carinanya tidak ada atau tidak jelas. Pada periopoda pertama mempunyai duri isshial dan pada eksopoda terdapat pada periopoda kelima. Pada abdomen,
somit kelima mempunyai satu cicatrice, dan yang keenam mempunyai tiga cicatrace. Telson pada udang ini tidak berduri. 3-4 cm 70-80 mm
Gambar 1.
Karapas halus
Rostrum atas 5-8 gigi, bawah 2-5
Morfologi secara umum udang jerbung, Fenneropenaeus merguiensis
Habitat udang jerbung tersebar di seluruh perairan Indonesia mulai dari Aceh sampai Irian dan merupakan udang yang umumnya tertangkap dalam kumpulan yang cukup besar. Udang ini bersifat bentik; hidup pada permukaan dasar laut. Udang jerbung mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, namun lebih suka untuk menghuni perairan yang lempung lumpur dan berpasir. Perairan yang berbentuk teluk dengan aliran sungai besar merupakan daerah yang baik untuk udang jerbung.
Udang dewasa banyak
ditemukan di perairan selasar (shelf), terutama perairan yang dekat dengan muara sungai, kadang-kadang dapat mencapai 60 – 80 mil dari pantai pada kedalaman 8 – 40 m (Naamin, 1975). Dalam daur hidupnya, udang jerbung menempati dua daerah, yaitu di laut dan di air payau. Pemijahan terjadi di laut sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan Maret dan Desember.
Induk udang yang matang telur biasanya
memijah pada malam hari dan telur diletakkan di dasar laut. Kira-kira 12 jam
setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva pada stadia pertama yang disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, nauplius berubah menjadi stadia zoea atau protozoea. Pada stadia ini, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya, dan selanjutnya bentuk zoea berubah menjadi mysis. Dari stadia mysis, larva bermetamorfosis menjadi stadia pasca larva yang bermigrasi ke perairan estuarin. Di perairan ini udang membenamkan diri pada siang hari di dasar yang lembek untuk menghindari gangguan predator sampai menjadi yuwana. Setelah berumur 3 – 6 bulan di daerah estuarin, yuwana turun kembali ke laut, tumbuh dan berkembang sampai matang gonad di perairan laut dalam. Di sini udang muda mencapai tingkat kematangan dan bertelur. Beberapa spesies kadang-kadang hanya mencapai umur 12 – 14 bulan dan udang dewasa mati setelah kembali ke perairan dalam dan bertelur (Gulland, 1971 dalam Koswara, 1985). Menurut Naamin (1975) udang jerbung yang normal dapat hidup selama 12 bulan dan kadang-kadang dapat mencapai 2 tahun. Alat reproduksi udang jerbung bersifat heteroseksual. Jenis kelamin baru dapat dibedakan setelah tingkat post larva terakhir selesai. Petasma sebagai alat kelamin jantan terletak antara pasangan pertama kaki renang kelima, sedangkan telikum sebagai alat kelamin betina terletak antara pasangan kaki jalan keempat dan kelima. Udang dewasa memperlihatkan perbedaan ukuran yang jelas, karena udang betina lebih besar dari udang jantan pada umur yang sama (Kirkegaard et al., 1970 dalam Koswara, 1985). Menurut Tuma (1967) dalam Naamin (1984) udang jerbung tidak mempunyai pasangan seks tertentu (promiscuous). Perkembangan telur dibagi menjadi
lima
tingkatan
yaitu
dara
(quiscent/undeveloped),
berkembang
(developing), hampir matang (early maturity/nearly ripe), matang (ripe), dan salin (spent). Pada tingkat dara dan berkembang ovari bening (translucent). Warna berubah menjadi kuning pada tingkat hampir matang, berwarna hijau gelap selama tingkat matang, dan hijau keabu-abuan selama tingkat salin. Sedangkan udang yang matang kelamin berada pada tingkat antara nearly ripe dan ripe. Pada tahap ini udang siap untuk bertelur. Pertumbuhan udang jerbung secara umum sama dengan krustase yang lain, yaitu mulai dari ganti kulit. Prosesnya meliputi melepaskan dirinya dari kulit luar
(eksoskeleton), air diserap, ukuran udang menjadi bertambah besar, kulit luar yang baru terbentuk dan air dalam jaringan secara bertahap diganti oleh jaringan yang baru. Nauplius mempunyai panjang sekitar 1 mm, terdapat di atas dasar laut terbuka dengan salinitas 35 ppt selama 36 – 48 jam, kemudian berubah menjadi protozoea dengan panjang total sekitar 3 mm. Stadium protozoea selama 7 hari bersifat planktonik bergerak menuju permukaan laut dan terbawa arus ke arah pantai. Protozoea berubah menjadi mysis berukuran panjang 4 – 10 mm dan bersifat planktonik selama 7 hari.
Pasca larva adalah perubahan dari mysis
dengan panjang 1 – 2 cm, setelah berumur 1 bulan berubah menjadi yuwana dengan panjang 2 – 10 cm dan merupakan fase muara sungai selama 3 – 4 bulan. Udang dewasa merupakan fase lautan dengan panjang 10 – 24 cm umur sampai 8 bulan (Munro, 1968 dan Walker, 1974 dalam Naamin, 1984). 2.2. Morfometrik Udang Menurut Suwardi (2007) pada umumnya struktur populasi suatu spesies ditentukan oleh stok yang berbeda (distinct), yang dicirikan oleh perbedaan morfologi, habitat, dan daru hidupnya. Organisme akuatik seperti ikan, moluska, dan crustacea memiliki variabilitas yang tinggi, baik inter maupun intra populasi. Koefisien perbedaan yang tinggi dari karakter morfometrik menunjukkan variasi antar individu dalam populasi yang sama. Yatim (1986) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mengetahui keragaman genetik adalah dengan mempelajari perbedaan fenotipenya. Fenotipe ialah bentuk luar atau bagaimana kenyataannya karakter yang dikandung oleh suatu individu. Karakter merupakan sifat fisik bagian-bagian tubuh atau jaringan. Karakter bisa diatur oleh banyak macam gen atau hanya satu gen saja. Sehubungan dengan banyaknya gen yang memunculkan karakter, maka dibuat dua kelompok karakter yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dilihat ada atau tidaknya suatu karakter. Karakter kualitatif pada udang merupakan salah satu keragaman individu yang kebanyakan digambarkan oleh bentuk tubuh, warna, dan jenis kelamin yang disebabkan oleh aksi beberapa pasangan gen. Pada karakter kualitatif tidak dapat dibuat gradasi atau diskontinyu. Karakter kuantitatif merupakan fenotipe dengan satu kategori yang dapat diukur berdasarkan distribusi secara berkelanjutan dalam
bentuk kurva dari panjang tubuh, bobot tubuh dalam perbedaan usia, jumlah telur per kilogram bobot induk betina dan konversi pakan atau efisiensi pemberian pakan yang disebabkan oleh adanya segresi individual yang dikontrol oleh lebih banyak gen dan keragaman lingkungan (Tave, 1995). Pada karakter kuantitatif ada urutan gradasi dari yang rendah sampai yang tinggi (kontinyu). Identifikasi udang dapat dilakukan dengan mengetahui karakteristik morfometrik dan meristik udang. Ciri morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran atau bagian tubuh yang diperoleh dari pengukuran dimensi fisik, misalnya panjang total, panjang karapas dan sebagainya. Sedangkan ciri meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh udang yaitu penghitungan jumlah dimensi fisik, misalnya jumlah duri rostrum (Sirajudin, 1997). Menurut Imron (1998) perbedaan morfologis antar populasi atau spesies digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau dengan ciri-ciri anatomis tertentu. Jika suatu spesies mempunyai bentuk tubuh lebih sempit dan lebih dalam daripada spesies lainnnya atau memiliki mata yang relatif lebih besar ukurannya merupakan deskripsi kualitatif.
Deskripsi kualitatif
dianggap belum memadai, sehingga seringkali diperlukan ekspresi kuantitatif dengan mengambil berbagai ukuran dari individu-individu dan dinyatakan dengan nilai statistik seperti rata-rata, kisaran, ragam dan korelasi. Strauss & Bond (1990) mengemukakan bahwa sifat morfometrik dan meristik berbeda, dimana ciri-ciri meristik lebih stabil jumlahnya selama masa pertumbuhan sampai ukuran tubuh mantap tercapai.
Karakter morfometrik
(panjang badan dan bobot badan) berubah secara kontinyu seiring dengan ukuran dan umur. Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat yaitu : 1. Dapat membedakan individu antar jenis kelamin atau spesiesnya, 2. Menggambarkan pola-pola keragaman morfometrik antar populasi maupun spesies, 3. Dapat mengklarifikasi hubungan filogenik. Analisis morfometrik dapat juga digunakan untuk mengukur efek dari sejumlah besar gen. Namun biasanya tidak diketahui berapa banyak gen yang terlibat untuk satu karakter morfologis yang terukur. Problem lain adalah bahwa teknik ini juga mengukur keragaman non-genetik. Namun dengan pengujian yang
seksama, karakter-karakter yang dipengaruhi oleh faktor non-genetik ini kadangkadang dapat diidentifikasi dan dihilangkan dari analisis. Shaklee & Tamaru (1981) dalam Hadie (1997) mengatakan variasi morfologi dapat dipertimbangkan sebagai indikator perbedaan genetik antar spesies, strain, jenis kelamin, atau populasi. menyesuaikan dengan kondisi perairan.
Bentuk tubuh udang berbeda
Selanjutnya dikatakan pula, ikan
mempunyai variasi karakter morfologi pada letak geografi yang berbeda. Perbedaan sering ditandai dengan adaptasi lingkungan dan variabel biologi yang menandai masing-masing lokasi. Karakterisasi morfometrik dari spesies yang sama mencakup penentuan perbedaan yang kecil dalam variasi bentuk dan ukuran. Kebiasaan pengukuran secara tradisional (panjang standar, panjang total, panjang karapas, bobot total, panjang karapas, panjang rostrum, dan lain-lain) cenderung mendapatkan ukuran yang tertumpu pada satu daerah tertentu. 2.3. Keragaman Genetik Diferensiasi genetik merupakan tingkatan yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Keragaman hayati mencakup segala aspek yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi, dan jenis. Perbedaan genetik ini dianggap penting dibanding jenis dan ekosistem.
Hal ini disebabkan karena
sumber daya genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai generasi berikutnya. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati dimulai dari semakin menurunnya tingkat keragaman genetik dari suatu jenis. Menurut Sumantadinata (1980) keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik maupun terhalang secara ekologis, terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Keragaman genetik suatu populasi memiliki arti penting, karena faktor yang mempengaruhi respon suatu populasi terhadap seleksi alam maupun buatan yang dilakukan oleh manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut sesuai kebutuhannya. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi
maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Ryman & Utter, 1987). Keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua populasi yang berbeda tempat (Soelistyawati, 1996).
Keragaman
genetik mempunyai arti penting dalam stabilitas dan ketahanan populasi seperti pencegahan terhadap kehilangan fitness individu yang disebabkan oleh inbreeding yang dapat mengakibatkan kepunahan karena sifat yang seragam (Ferguson et al., 1995). Leary et al. (1985) memaparkan bahwa keragaman genetik yang rendah akan berakibat negatif terhadap sifat penting dalam makhluk hidup seperti kecilnya sintasan suatu organisme, berkurangnya pertumbuhan, dan keragaman ukuran, serta turunnya kemampuan adaptasi. Leary et al. (1985) mengungkapkan bahwa rendahnya keragaman genetik berhubungan dengan terjadinya silang dalam populasi yang meningkat sehingga akan
terjadi
perubahan
morfologi
pada
individu
akibat
meningkatnya
homozigositas. Homozigositas ini akan menyebabkan berkurangnya kemampuan individu untuk berkembang secara normal. Menurut Frankham (1999) kehilangan keragaman genetik akan mengurangi kemampuan spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Individu dengan keragaman genetik yang tinggi akan mempunyai komponen fitness yang besar yang meliputi laju pertumbuhan, fekunditas, viabilitas, dan daya tahan terhadap perubahan lingkungan dan stress. Ada beberapa metode untuk mengukur keragaman genetik di dalam atau antar populasi. Menurut Chambers & Bayless (1983) dalam Imron (1998), ada tujuh cara untuk mengetahui keragaman genetik yaitu pengukuran asam inti, sekuensing protein, elektroforesis, imunologi, kromosom, hubungan antar lokus, morfometrik, dan studi breeding. Dengan istilah yang berbeda, Allendroff & Phelp (1981) dalam Imron (1998) mengajukan cara untuk menduga keragaman genetik populasi dengan metode biometrik yaitu keragaman karakter fisiologis atau morfologis yang terukur seperti bobot, panjang, umur kematangan, ketahanan terhadap penyakit, toleransi salinitas, metode studi kromosom, dan marka genetik
biokimia. Sedangkan Powers (1991) mengajukan cara protein pengkode lokus (elektroforesis) dan pendeteksian keragaman genetik melalui metode asam inti. Metode-metode yang dimaksud adalah DNA mitokondria, DNA fingerprinting, amplifikasi DNA dengan polymerase chain reaction (PCR), sekuensing, dan DNA mikrosatelit. Metode untuk mengukur keragaman genotipe yang sekarang ini banyak digunakan oleh para ahli genetika salah satunya adalah DNA mitokondria. Pengukuran tingkat DNA ini mempunyai hasil yang lebih akurat (Ryman & Utter, 1987).
DNA tersusun dari rangkaian linier nukleotida.
Masing-masing
nukleotida mengandung basa organik yaitu gula, pentosa, dan fosfat. Di samping itu terdapat pula empat basa nitrogen yang berbeda yaitu adenin, timin, sitosin, dan guanin. Keragaman genetik dapat dideteksi dengan bantuan enzim yang dapat mengenali rangkaian nukleotida yang spesifik 4 – 6 pasangan basa dari DNA (Watson & Crick, 1953 dalam Warwick et al., 1995). Menurut Ryman & Utter (1987) untuk mengetahui genom suatu hewan yang bertujuan untuk kepentingan studi populasi dan evolusi adalah dengan menggunakan DNA mitokondria yang merupakan genom mitokondria yang berbentuk lingkaran ganda terdiri atas 5 – 10 untai setiap organel. Dua sifat penting yang dimiliki oleh DNA mitokondria dalam studi dinamika populasi yaitu memiliki kecepatan evolusi yang sangat tinggi, sekitar 1% per satu juta tahunnya. Selain itu, bersifat haploid atau hanya mewarisi sifat dari ibunya saja sehingga sel telur yang menyumbangkan DNA mitokondria. Dengan demikian kemungkinan tidak terjadi perbedaan DNA mitokondria pada keturunan yang berasal dari induk betina yang sama. Mitokondria sangat potensial digunakan sebagai sistem pengamatan hubungan genetik antar spesies maupun di dalam spesies.
Peranannya dalam studi
keragaman genetik cukup besar, karena mempunyai derajat polimorfisme yang tinggi serta hubungan yang jelas antara polimorfisme dengan subsitusi basa-basa penyusun genomnya. Penelitian mengenai keragaman genetik pertumbuhan udang telah banyak dilakukan.
Moria et al. (2002) menganalisis keragaman pertumbuhan udang
windu dari sumber induk Sumbawa, Aceh, dan Jawa Timur dengan mtDNARFLP. Hasil yang didapat dengan perhitungan frekuensi alel dan heterosigositas
dari lokus yang polimorfik melalui pemotongan DNA udang windu kecil, sedang dan besar. Hasilnya menunjukkan bahwa udang yang mempunyai ukuran besar tidak selalu mempunyai pertumbuhan yang cepat. Heterozigositas udang tambak yang berasal dari Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan Sumbawa dan Jawa Timur. Sementara itu penelitian keragaman genetik udang windu di beberapa lokasi di Indonesia yang dilakukan oleh Moria et al. (2002) dengan menggunakan metode RAPD memberikan hasil bahwa keragaman induk asal Aceh jauh lebih tinggi dibandingkan induk dari daerah lain. Hal ini sesuai pula dengan penelitian Sugama et al. (1996) dengan teknik isozyme terhadap udang windu. Dikatakan lebih lanjut metode marka RAPD juga sangat potensial untuk digunakan pada udang penaeid. Lester (1983) menganalisis keragaman genetik beberapa spesies udang di Teluk Meksiko dengan metode allozyme diantaranya adalah Penaeus aztecus, P. seiferus, dan P. duororum. Diantara ketiga spesies yang diuji tidak ditemukan perbedaan genetik antara populasi tersebut. Sunden & Davis (1991) mengevaluasi keragaman Penaeus monodon populasi alam dari Meksiko, Panama, dan Ekuador dibandingkan dengan populasi budidaya yang tertutup sejak tahun 1983. Populasi-populasi tersebut dianalisis pada 26 lokus. Hasil analisa menunjukkan bahwa tingkat keragaman dan heterozigositas pada populasi budidaya dan alam sangat rendah, dengan heterozigositas rata-rata hanya 0,017.
Perbandingan
frekuensi alel di antara populasi alam menunjukkan tingkat yang sangat rendah, dan analisis struktur populasi menunjukkan rendahnya subdivisi populasi. Populasi budidaya menunjukkan tingkat heterozigositas yang sedikit lebih rendah dan mempunyai lebih sedikit alel daripada populasi di alam, tetapi tidak terbukti adanya silang dalam atau penurunan dalam ukuran populasi breeding efektif (Ne). Benzie et al. (1992) juga telah melakukan penelitian keragaman genetik populasi Penaeus monodon di Australia dan ditemukan adanya perbedaan genetik yang nyata antar populasi yang tersebar luas, yaitu di pantai barat, utara, dan timur Australia. Sedangkan beberapa lokus yang menyumbangkan perbedaan genetik yang nyata antar populasi adalah Gpi, Pgm, dan Mpi.
2.4. DNA Mitokondria Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua membran yaitu membran luar dan dalam, sehingga memiliki dua kompartemen yaitu matriks mitokondria yang diselimuti langsung oleh membran dalam dan ruang antar membran.
Matriks mitokondria berupa cairan kental serupa gel,
dengan campuran ratusan jenis enzim dengan konsentrasi yang sangat tinggi, untuk proses oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak, dan untuk menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks mitokondria juga mengandung salinan identik DNA genom mitokondria, ribosom mitokondria, tRNA, dan berbagai jenis enzim yang diperlukan untuk ekspresi gen mitokondria (Artika, 2003). Molekul DNA mitokondria mempunyai banyak kelebihan sebagai penanda molekuler dalam mempelajari hubungan evolusi hewan pada berbagai tingkat. Hal ini disebabkan ukurannya relatif kecil, mengandung 13 gen penyandi protein, 22 gen penyandi tRNA, 2 penyandi rRNA, dan satu ruas DNA berukuran besar yang tidak menyandi protein.
Pola pewarisan melalui garis ibu yang
menyebabkan tidak ada rekombinan dan laju mutasi tinggi, sehingga mempunyai keunggulan tersendiri sebagai penanda molekuler (Avise, 1994).
Genom
mitokondria mempunyai variasi sekuens DNA yang beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti dan kecepatan evolusi 5 – 10 kali lebih cepat. 2.5. Hubungan Kekerabatan dan Jarak Genetik Filogenetik
merupakan
studi
tentang
hubungan
antar
organisme
berdasarkan penanda genetik. Di antaranya menguraikan hubungan secara evolusi antara organisme atau molekul, karena semua organisme antara satu dan lainnya ada hubungan keturunan. Pada periode sebelumya, hubungan kekerabatan diduga berdasarkan karakter morfologi organisme hidup atau dari fosil (Hall dalam Nuryanto, 2007). Walaupun demikian pada saat ini data molekuler, khususnya data sekuens DNA lebih banyak diminati untuk mengetahui studi filogenetik karena lebih akurat. Selain itu, dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan antara organisme.
Ditambahkan, data molekuler lebih mudah
digunakan sebagai pengukuran kuantitatif daripada karakter morfologi.
Menurut Li, 1997 dalam Nuryanto, 2007, hubungan evolusi antar organisme digambarkan dengan pohon filogenetik.
Pada filogeni molekuler,
pohon filogenetik dibuat berdasarkan perbedaan sekuens DNA antar individu atau sekuens alel dari gen individu tersebut. Ada 4 macam metode untuk membentuk pohon filogeni dari protein maupun data sekuens DNA. Metode tersebut adalah neighbour joining (NJ), maximum parsimony (MP), maximum likehood (ML), dan Bayesian (BAY). Beberapa penelitian tentang hubungan kekerabatan krustase khususnya udang telah bayak dilakukan, meskipun masing-masing penelitian menggunakan bagian DNA mitokondria yang berbeda. Sebagai contoh, Remigio et al. (2003) menganalisis hubungan kekerabatan fairy shrimp dari genus Branchinella berdasarkan 16S RNA, beberapa spesies Cherax dengan keragaman nukleotida berdasarkan 16S RNA, 12S RNA, COI, dan Cyt b (Munasinghe et al., 2003). Selanjutnya, Wilson et al. (2006) meneliti hubungan kekerabatan udang windu berdasarkan sekuens genom mitokondria.
Hubungan kekerabatan Penaeus
chinensis, P. japonicus, P. Penicillatus, P. vannamei, P. canaliculatus berdasarkan COI dan 16S rRNA DNA mitokondria (Quan et al., 2004).