2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Penaeid 2.1.1 Sistematika dan identifikasi udang penaeid Kedudukan udang penaeid secara taksonomi menurut Racek dan Dall (1965), Kubo (1949), Naamin et al., (1992) diacu oleh Nelly (2005) adalah sebagai berikut : Filum :
Arthrophoda
Kelas
: Crustacea
Sub-Kelas : Malacostraca Series
: Eumalacostraca
Super-Ordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Sub-Ordo
: Natantia
Tribe
: Penaeidea
Famili
: Penaeidae
Sub-famili : Penaeinae Genus
: Penaeus, Metapenaeus, Parapenaeus, Parapenaeopsis,dll
Morfologi udang penaeid antara lain ditandai dengan warna badannya yang putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit yang tipis dan tembus cahaya dengan bintik coklat dan hijau. Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam seksi penaeidea dapat dibedakan dari jenis udang lainnya oleh dua ciri utama yaitu pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua ditutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan yang pertama (periopod) mempunyai capit (chelae) dan hampir sama besarnya. Hampir sebagian besar jenis-jenis udang lainya termasuk ke dalam seksi caridea, dengan ciri antara lain kulit bagian depan dan bagian belakang pada segmen kedua menutupi kulit pada segmen pertama dan ketiga, sedangkan pasangan ketiga kaki jalan (periopod) tidak mempunyai capit (chelae) dan biasanya besarnya tidak sama (Naamin,1984).
8
Genus Penaeus mempunyai rostrum dengan gigi-gigi pada bagian ventral (ventral rostral teeth) dan pada bagian distral (last or distral rostral teeth). Genus Parapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, telson mempunyai sepasang duri tetap (fixed spines) dekat ujung. Genus Metapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, tidak terdapat sepasang duri tetap (fixed spines) pada telson dan jika terdapat duri pada telson, duri tersebut dapat bergerak (movable spines), tidak terdapat exopod (kaki kecil tambahan yang muncul pada pangkal kaki udang) pada ruas (segment) kaki kelima. Genus Parapenaeopsis tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, jika terdapat duri pada telson, merupakan movable spines, terdapat exopod pada ruas kaki kelima (Grey et al., 1983 diacu oleh Nelly 2005). Morfologi udang penaeid disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Morfologi udang penaeid (www.hk-fish.net). 2.1.2 Habitat dan penyebarannya Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara-muara sungai. Udang memasuki lingkungan perairan pantai sebagai pasca-larva. Yuwana ditemukan pada lingkungan muara-muara sungai dan gobah-gobah (Naamin, 1984). Udang bersifat bentik hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai ialah dasar
9
laut yang lumer (soft), biasanya terdiri dari campuran pasir dan lumpur. Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai besar merupakan daerah udang yang baik. Udang penaeid adalah termasuk jenis decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi. Sedangkan jenis-jenis decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva (Soegiarto et al., 1979). Pada umumnya udang tertangkap dalam jumlah banyak di perairan yang agak dangkal terutama di daerah-daerah muara-muara sungai. Udang penaeid senang tinggal di daerah dimana terjadi percampuran air sungai dan air laut, karena disini banyak terdapat makanan dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan udang.
Hutan
mangrove
merupakan
daerah
dimana
tempat
terjadinya
pencampuran antara air sungai dan air laut, disamping itu hutan mangrove juga merupakan ekosistem yang khas dan mempunyai corak tersendiri bagi komunitas sumber hayati, termasuk udang melalui jaringan makanannya (food web) yang tidak ada putus-putusnya. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah hutan mangrove merupakan habitat yang baik sebagai tempat mencari makanan dan tempat berlindung bagi kehidupan udang (Poernomo, 1968). Menurut Naamin (1984), udang penaeid hampir secara eksklusif ditemukan pada daerah masuknya air sungai (river discharge) yang biasanya ditandai oleh dasar lumpur yang lunak dan kekeruhan tinggi. Hasil tangkapan udang penaeid berfluktuasi menurut fase bulan dimana hasil tangkapan yang lebih tinggi terjadi sekitar bulan gelap, setengah purnama dan setelah purnama penuh. Sedangkan hasil tangkapan udang penaeid pada waktu siang hari lebih baik atau lebih tinggi dari pada waktu malam hari. 2.1.3 Daur hidup udang penaeid Dahuri
(2003)
menguraikan
daur
hidup
udang
penaeid
dapat
dikelompokan menjadi dua fase yaitu fase di tengah laut dan fase di estuaria (sekitar muara sungai). Menurut Naamin (1984), udang dewasa hidup dan berkembang biak di tengah laut. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama yang disebut nauplius. Setelah mengalami delapan kali ganti kulit (moulting), nauplius berubah menjadi protozoa. Kemudian protozoa berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit.
10
Tingkatan ini masih bersifat planktonis. Setelah berganti kulit sebanyak tiga kali, maka mysis berubah menjadi pasca-larva. Pasca- larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju ke dasar perairan. Pada daerah asuhan, pasca-larva secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah beberapa kali ganti kulit. Yuwana ini makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian setelah tiga sampai empat bulan tersebut, yuwana berubah menjadi udang muda dan beruaya ke laut. Pada saat di laut udang menjadi dewasa kelamin, kemudian kawin dengan udang betina dan kemudian memijah. Daur hidup udang penaeid dimulai dari saat pemijahan hingga memperoleh individu baru (Gambar 3).
Gambar 3 Siklus hidup udang penaeid (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979).
Naamin (1984) melanjutkan, daur hidup udang penaeid pada fase di laut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Seekor udang penaeid betina bertelur kira-kira 100.000 butir, yang diletakkan di dasar laut yang kedalamannya 13-20 cm. Dalam waktu satu jam telur-telur itu akan menetas menjadi larva disebut nauplius (2) Tingkat nauplius, larva nauplius itu berukuran satu millimeter. Dalam waktu 36 - 48 jam berubah menjadi zoea (3) Tingkat zoea, zoea ini ditemukan pada semua kedalaman, tapi pada tingkat selanjutnya bergerak mendekati permukaan perairan dan mulai migrasi ke arah pantai
11
(4) Tingkat mysis, pada tingkat ini nampak lebih menyerupai udang dewasa dari pada tingkat sebelumnya dimana semua anggota tubuh udang dewasa mulai kelihatan disini. Fase di estuaria dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Tingkat post larva, selama musim panas, larva-larva udang mencapai daerah pantai memasuki muara sungai sebagai post larva. Disini mereka harus menyesuaikan diri dengan suhu dan salinitas yang bervariasi antara 4-35 o/oo (2) Tingkat juvenil, setelah tinggal di muara sungai, maka post larva berkembang menjadi udang muda, yang makan dan tumbuh di muara-muara sungai sampai umur 2 bulan. Setelah dewasa migrasi ke daerah lepas pantai. Udang penaeid yang memijah di lepas pantai, akan melepaskan telur secara demersal. Setelah 24 jam telur akan menetas menjadi larva (nauplius). Nauplius ini bersifat planktonik, bergerak mengikuti arus dan gelombang menuju daerah asuhan (nursery ground) di daerah pantai, estuary atau muara sungai. Larva udang mengalami metamorfosis menjadi yuwana dalam perjalanannya menuju daerah pantai. Proses metamorfosis dari larva sampai yuwana berlangsung selama tiga sampai empat bulan, sedangkan dari yuwana untuk mencapai udang dewasa diperlukan waktu selama delapan bulan (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979).
2.1.4 Tingkah laku dan distribusi udang penaeid Udang mempunyai dua periode tingkah laku yang berbeda yaitu aktif dan pasif. Udang melakukan aktifitas pada malam hari dan membenamkan diri pada siang hari. Menjelang matahari terbit udang membenamkan diri di dalam lumpur atau pasir atau mencari tempat yang agak gelap. Juvenil yang hidup di daerah estuaria menguburkan diri selama siang hari pada dasar yang lembek untuk menghindari gangguan ikan predator sampai tumbuh menjadi udang muda. Migrasi udang dari satu tempat ke tempat lain disebabkan oleh migrasi untuk mencari makanan, migrasi untuk memijah, dan migrasi untuk mempertahankan diri dari perubahan iklim. Dalam usaha pencarian makanannya udang penaeid bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dilihat dari kenyataan bahwa udang mempunyai
12
pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makan, sedangkan udang selalu menjadi sumberdaya dan hasil tangkapan oleh manusia, maka udang dapat dikatakan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya, dengan kata lain bersifat tidak terlalu memilih-milih (Soegiarto et al., 1979). Udang dewasa biasanya terdapat pada perairan pantai yang dangkal. Bila paparan benuanya (shelf) cukup landai dapat mencapai jarak 150 km dari pantai sampai kedalam antara 15 -35 meter. Udang-udang muda (yuwana) dan udang dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10-40oC, tapi jarang ditemukan pada 36oC atau lebih. Toleransi salinitas udang-udang muda sampai 5 o/oo dan udang dewasa jarang terdapat pada perairan dengan salinitas lebih dari 33-36o/oo (Munro,1968 diacu oleh Naamin, 1984). Perairan yang disenangi adalah yang airnya agak keruh (turbid water) dengan dasar lumpur yang lumer atau campuran pasir dengan lumpur (Unar,1965 diacu oleh Naamin,1984). Larva udang ternyata melakukan ruaya secara vertikal pada jam-jam gelap, tetapi tingkah laku ini hilang setelah pasca larvanya berada di sungai. Pola kehidupan udang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi musiman. Migrasi yang dilakukan udang ini selalu terjadi dalam siklus hidupnya, mulai dari bentuk telur hingga menjadi udang dewasa. Hal ini terjadi sebagai suatu reaksi terhadap perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya, baik itu yang disebabkan faktor luar atau faktor dari dalam dirinya sendiri. Migrasi merupakan suatu upaya yang dilakukan udang untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya (Gunarso, 1985). 2.2 Teknologi Penangkapan Udang Penaeid dengan Trammel Net Menurut Purbayanto (2006), trammel net adalah alat tangkap yang terbentuk dari tiga susunan jaring yang dirangkai secara memanjang seperti jaring insang secara umum. Jaring lapisan dalam (inner net) dengan mata jaring berukuran kecil diapit oleh dua lembar jaring lapisan luar (outer net) dengan mata jaring berukuran lebih besar dan berfungsi sebagai bingkai. Tinggi jaring lapisan dalam yang dipasang melebihi tinggi jaring lapisan luar, menyebabkan jaring
13
lapisan dalam menjadi sangat kendur (high slackness) sehingga akan memudahkan ikan untuk tertangkap secara terpuntal maupun terjebak kedalam kantong (pocketing) yang dibentuk oleh jaring lapisan dalam. Trammel net udang terbuat dari bahan PA multifilament 210d/2 dan monofilament no.2 untuk jaring bagian dalam dan 2d/6 untuk jaring bagian luar. Ukuran mata jaring bagian dalam 38 mm dan 44 mm, sedangkan ukuran mata jaring bagian luar 162 mm dan 250 mm. Trammel net yang bagian dalamnya terbuat dari nilon monofilament oleh nelayan dinamakan jaring tilek. Bentuk mata jaring ditentukan oleh nilai pengerutan adalah beda panjang tubuh jaring dalam keadaan terenggang sempurna dengan panjang jaring setelah terpasang pada tali pelampung dan tali pemberat. Nilai pengerutan trammel net udang yang umumnya dipakai oleh nelayan untuk jaring bagian dalam 0.41 sampai 0.67 dan untuk jaring bagian luar 0.25 sampai 0.43. Telah dikatakan bahwa jaring bagian dalam terpasang secara kendor diantara dua panel jaring bagian luar. Ini diakibatkan oleh take up rate. Disebutkan oleh Nomura (1981) bahwa take up rate adalah perbedaan tinggi jaring bagian dalam dan tinggi jaring bagian luar setelah terpasang pada tali pelampung dan pemberat, yang mana bagian dalam lebih tinggi dari bagian luar. Nilai take up rate yang digunakan oleh nelayan di beberapa perairan di Jawa Barat berkisar antara 0.20 sampai 0.45.
Gambar 4 Alat tangkap trammel net (www.damandiri.or.id). Trammel net menurut cara pengoperasiannya terdiri dari bottom set trammel net dan sweeping trammel net. Cara pengoperasian sweeping trammel net
14
adalah salah satu bagian ujung jaring didiamkan dengan jangkar kemudian ujung jaring yang lainnya ditarik dengan kapal dalam bentuk lingkaran. Waktu untuk sekali operasi kira-kira satu jam dan kecepatan penarikan sangat lambat (Nomura dan Yamasaki, 1977). Cara pengoperasian demikian ini lebih produktif daripada cara pengoperasian dengan membiarkan jaring hanyut pada dasar perairan, demikian juga cara pengoperasian ini lebih baik dari cara pengoperasian jaring ditarik lurus menyapu dasar perairan (Puspito, 2002). Tupamahu (2006) mengatakan pengoperasian sweeping trammel net dilakukan dengan cara jaring ditarik dari salah satu ujungnya seperti yang diilustrasikan pada gambar 5. Penarikan dilakukan di bagian haluan kapal dimana arah kemudi sejajar dengan haluan kapal (kemudi disegel). Waktu yang dibutuhkan mulai dari penarikan sampai dengan hauling adalah 1 jam dengan kecepatan penarikan berkisar antara 1 sampai 1,4 knot. Sweeping trammel net ini dikonstruksikan dari bahan PA monofilament No. 20 untuk jaring bagian dalam, PA multifilament 210d/12 untuk jaring bagian luar dengan tinggi jaring sekitar 1,2 meter. Ukuran mata jaring bagian dalam bervariasi mulai dari 1,5 inch (38,1 mm) sampai 2,0 inch (50,8 mm). Cara pengoperasiannya dilakukan dengan menarik salah satu ujung jaring secara melingkar menyapu dasar perairan sehingga udang penaeid dapat tertangkap. Pelampung tanda
Arah penarikan
Gambar 5 Ilustrasi sweeping trammel net ( Tupamahu, 2006).
15
2.3 Pendugaan Stok Gulland (1983) menyatakan bahwa data hasil penangkapan per satuan upaya penangkapan (catch per unit effort; CPUE) dapat digunakan untuk memprediksi
perubahan
kelimpahan
stok.
Pengukuran
kelimpahan
dan
perubahannya adalah suatu yang penting dalam pendugaan stok. Oleh karena itu data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) merupakan langkah dasar yang penting dalam pengukuran tersebut. Metode swept area adalah metode yang digunakan untuk menduga besarnya stok ikan di suatu perairan dengan menyapu suatu area di dasar perairan tertentu dengan menggunakan alat tangkap trawl atau sejenisnya. Tujuan utama pendugaan stok ikan adalah untuk mengetahui kelimpahan stok di suatu perairan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk eksploitasi secara maksimum dari sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati tersebut tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas tetapi dapat diperbaharui, namun penangkapan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kepunahan. Pendugaan stok ikan dapat digambarkan dari tingkat pengeksploitasian dalam waktu yang cukup lama (Sparre, et al., 1989). Menurut Pauly (1979), pendugaan stok sumberdaya perikanan tergantung dari habitatnya, yaitu : 1. Ikan-ikan pelagis kecil diduga dengan menggunakan metode akustik. 2. Ikan-ikan karang umumnya diduga dengan metode pembiusan dan metode perhitungan secara langsung. 3. Ikan-ikan demersal diduga dengan metode swept area. Pendugaan stok ikan di daerah tropis lebih sulit daripada di daerah sub tropis. Hal ini antara lain dikarenakan: 1. Perkiraan di daerah tropis terutama perikanan demersal saling dieksploitasi dalam jumlah spesies yang banyak secara serentak. 2. Negara-negara di daerah tropis pada umumnya mempunyai kemampuan penelitian yang terbatas, sehingga kelestarian sumberdaya perikanan tidak diteliti dengan baik. Dalam pendugaan besarnya stok ikan terlebih dahulu ditentukan metode survei yang akan dipergunakan. Metode survei yang digunakan ialah simple
16
random sampling dan stratified random sampling. Simple random sampling digunakan untuk dristibusi horizontal stok ikan yang akan diduga kelimpahannya dengan asumsi bahwa ikan menyebar seragam dan kelimpahannya tidak dihubungkan dengan kedalaman, sedangkan stratified random sampling digunakan untuk distribusi ikan menurut kedalaman (Sparre et al., 1989). Rata-rata laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok dianggap proporsional dengan kelimpahan stok di alam. Indeks ini kemudian dikonversikan ke dalam ukuran besar biomassa secara mutlak dengan menggunakan metode swept area. Maksud dari pengkajian stok adalah memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang optimum seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas, tetapi dapat memperbaharui dirinya. Stok diartikan sebagai sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama dan menghuni suatu wilayah geografis yang sama. Untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat (terutama spesies demersal, misalnya udang penaeid) lebih mudah untuk menentukannya sebagai satu stok dari pada spesies yang beruaya jauh seperti tuna dan ikan2 pelagis lainnya (Sparre and Venema, 1999). Selanjutnya Sparre and Venema (1999) menyatakan tujuan penggunaan model schaefer adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield-MSY). Model schaefer termasuk model holistic yang lebih sederhana dibanding model analitik karena model ini memerlukan data yang lebih sedikit, sehingga model ini banyak digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model schaefer dapat diterapkan apabila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (cath per unit effort) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang cukup.
17
2.4 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid Suatu tingkat pemanfaatan yang optimum adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap sebanding dengan tambahan jumlah atau kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami. Untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus menerus secara maksimal dalam waktu yang terbatas maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan) perlu dibatasi sampai pada suatu titik tertentu. Pengetahuan akan potensi dan tingkat pemanfaatan dari perikanan di suatu perairan merupakan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan pengembangan perikanan. Tanpa didasari oleh pengetahuan tersebut, usaha untuk mencapai program perikanan belum tentu dapat dipercayai (Dahuri, 2003). Dalam pemanfaatan sumberdaya dapat pulih seperti ikan, udang atau hutan mangrove, laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode tertentu. Berdasarkan pedoman dari Direktorat Jendral Perikanan yang mengacu pada code of conduct for resposible fisheries (FAO, 1995), tingkat penangkapan/ pemanenan suatu stok sumberdaya tidak boleh melebihi 80% nilai MSY (JTB, jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Selain itu, dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut termasuk udang,
prinsip
pendekatan
berhati-hati
(precautionary
approach)
perlu
dipertimbangkan, mengingat sifat-sifat sumberdaya laut yang sangat dinamis dan rentan terhadap kerusakan lingkungan (Dahuri, 2003). 2.5 Model Produksi Model dalam suatu proses produksi merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor input yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Ada dua tahap penting dalam penyusunan model, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen yang penting dari sistem dan menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari komponen (Komarudin, 1995) Hubungan teknis antara produksi yang dihasilkan per satuan waktu dengan jumlah faktor produksi yang dipakai, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun faktor produksi itu sendiri disebut fungsi
18
produksi. Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi didefinisikan sebagai jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dengan menggunakan jumlah input tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f ( X 1 , X 2 , X 3 ,...,...,..., X n ) Keterangan : Y
= output
Xn
= input
f
= bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output.
Menurut Teken dan Asnawi (1984), dalam persamaan fungsi produksi dapat diterangkan bahwa produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor produksinya, tetapi persamaan tersebut belum dapat memberikan hubungan kuantitatif. Fungsi tersebut terlebih dahulu dinyatakan dalam bentuk yang lebih khas seperti fungsi Cobb-Douglas, fungsi linear, kuadratik dan sebagainya. Fungsi-fungsi produksi yang umum dipakai adalah fungsi linear dan analisis regresi. Dalam persamaan regresi tercakup dua variabel, yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Di dalam regresi linear berganda (multiple linear regression), variabel tak bebas (Y) tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : Y = b0 + b1 X 1 + b2 X 2 + b3 X 3 + ........... + bn X n Dimana X1, X2, X3, …, Xn melambangkan masing-masing faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan produksi senilai Y. Soekartawi (1994) menyatakan bahwa fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang satu disebut variabel dependent yang dijelaskan oleh (Y) dan yang lain disebut variabel independent yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara X dan Y biasanya dengan cara regresi, variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb-Douglas banyak dipakai oleh peneliti, yaitu :
19
1. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk linear. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus akan menunjukkan besaran elastisitas. 3. Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran skala pengembalian (return to scale). 2.6 Analisis Usaha Analisis usaha merupakan suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut (Kadariah et al., 1978). Suatu usaha dikatakan sukses bila situasi pendapatannya memenuhi syarat berikut : 1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; 2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa serta dana penyusutan modal; dan 3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja, atau bentuk-bentuk lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Seorang pengusaha dapat membuat perhitungan dan menentukan langkah untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam perusahaannya dengan analisis usaha. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi. Komponen yang digunakan dalam analisis usaha perikanan adalah biaya produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Pendapatan adalah total penerimaan (total revenue = TR) dikurangi dengan total biaya (total cost = TC). Penerimaan adalah total produksi dikalikan dengan harga per satuan produk. Biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah input tertentu.
20
2.7 Konsep dan Prinsip Pengembangan Perikanan Potensi sumberdaya perikanan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dapat memberikan sumber devisa bagi negara dari sektor non migas melalui peningkatan ekspor. Di samping itu, perikanan sebagai sumberdaya, juga rentan terhadap pemanfaatan oleh manusia secara berlebihan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat kompleks dengan berbagai macam permasalahan yang memerlukan penyelesaian sangat hati-hati dan berdimensi jangka panjang/strategis. Purwanto (2000) membagi profil perikanan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Profil perikanan produktif, perikanan yang mampu mendayagunakan sumberdayanya secara optimal, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia; 2. Profil perikanan stabil, perikanan yang mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, misalnya dalam mengatasi musim paceklik ikan yang panjang; 3. Profil perikanan berlanjut, perikanan yang mampu menyesuaikan pola dan struktur produksinya terhadap perubahan permintaan masyarakat, perubahan lingkungan hidup maupun perubahan teknologi; dan 4. Profil perikanan terpadu, perikanan yang mampu berperan positif dalam pembangunan nasional dan pembangunan wilayah; peningkatan pendapatan masyarakat nelayan/petani/pengusaha ikan dan perluasan lapangan kerja. Lebih lanjut Purwanto (2000) mengatakan bahwa perikanan yang tepat dalam mengantisipasi kondisi tersebut adalah (1) suatu profil perikanan yang dapat mendorong pelestarian usaha perikanan dengan menciptakan teknologi tepat guna sesuai daya dukung lingkungan; (2) profil perikanan yang memiliki daya saing komoditi tinggi melalui penekanan daya produksi serta menjaga produk. Untuk mendukung pembangunan perikanan berdasarkan pokok pikiran pengelolaan perikanan yang berwawasan lingkungan perlu disusun suatu konsep tata ruang wilayah pesisir dan laut dan konsep pengembangan perikanan yang mampu berusaha secara terpadu. Pengembangan perikanan dapat dilakukan melalui pelaksanaan tujuan dasar atau bidang hasil pokok pembangunan perikanan, yaitu :
21
1. Mendorong pengembangan perikanan yang berorientasi pasar (demand driven); 2. Mendorong pemanfaatan sumberdaya pantai secara optimal (efficiency); 3. Mendorong pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainability); dan 4. Mendorong berkembangnya manajemen perikanan berbudaya industri (quality). Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Haluan dan Nurani (1988), empat aspek yang harus dipenuhi suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu (1) Secara biologi tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberdaya; (2) Secara teknis efektif digunakan; (3) Secara Sosial dapat diterima oleh nelayan dan (4) Secara ekonomi bersifat menguntungkan. Satu aspek tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitu adanya izin dari pemerintah (kebijakan atau peraturan pemerintah). Menurut Kesteven (1973) pengembangan usaha perikanan harus mempertimbangkan aspek–aspek bio-technico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu : 1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberadaya; 2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk menangkap ikan; 3. Aspek sosial, dapat diterima oleh masyarakat nelayan; dan 4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan. Monintja (1987) menyatakan dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang
22
tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat pengembangan usaha perikanan tangkap : 1. Meningkatkan kesejahteraan nelayan; 2. Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein hewani; 3. Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor; 4. Menciptakan lapangan kerja; dan 5. Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik–teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing–masing tempat. Namun tidak semua moderinisasi dapat mengahasilkan peningkatan produksi, demikian pula bila tercapai peningkatan produksi, belum tentu mengahasilkan peningkatan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu penggunaan teknik– teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang meyakinkan (Barus et al., 1991). Selanjutnya Barus et al., (1991) menyatakan bahwa upaya pengelolaaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK, akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk medapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi. Kusumastanto (1984), mengemukakan bahwa hal–hal yang perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan perikanan tangkap adalah : 1. Adanya musim penangkapan ikan yang berbeda sepanjang tahun; 2. Adanya beberapa jenis perikanan tangkap dengan mengkombinasikannya dengan alat tangkap lain; 3. Adanya tingkat teknologi tertentu untuk setiap jenis usaha perikanan tangkap; 4. Adanya harga korbanan dan harga hasil tangkapan dari setiap jenis perikanan tangkap;
23
5. Terbatasnya trip penangkapan yang dapat dilakukan setiap tahunnya; 6. Terbatasnya kemampuan nelayan untuk membiayai usahanya dan melakukan invesatasi dalam unit perikanan tangkap yang dilakukan; dan 7. Terbatasnya tenaga kerja yang mengoperasikan unit penangkapan yang diusahakan. Djamali dan Burhanuddin (1995) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan perikanan, perlu didukung oleh suatu perencanaan pembangunan yang lebih didasari atas data dan informasi yang menyeluruh termasuk sumberdaya perikanannya, maupun aspek sosial dan ekonominya. Pengkajian perlu dilakukan secara berkesinambungan agar data dan informasi yang mutakhir dapat selalu tersedia yang dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijaksanaan dalam rangka pengembangan perikananya. Hartati (1996) mengatakan bahwa jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat memenuhi semua kriteria di atas pada suatu daerah perikanan dengan dilakukan penelitian terhadap unit–unit penangkapan ikan yang ada di daerah tersebut. Selain untuk mengarahkan modal nelayan ke arah alat penangkapan ikan yang lebih produktif agar diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya juga untuk pembangunan dan pengembangan perikanan di masa mendatang. Nelayan Indonesia belum dapat memanfaatkan sumberdaya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk dapat memiliki SDM bidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan. Karena itu semua pihak diharapkan ikut berperan serta. Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar untuk menyerap teknologi inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dalam kemiskinan. Selanjutnya peran bidang pendidikan sangat penting artinya bagi stimulasi daya nalar para nelayan, karena penangkapan ikan di laut tidak hanya menuntut kemauan dan ketahanan fisik tetapi juga kemampuan penggunaan teknologi peralatan yang canggih untuk setiap kapal penangkap. Oleh karena itu
24
dua masalah ini merupakan kendala utama yang sering dihadapi dalam usaha pengembangan alat penangkapan ikan di Indonesia. Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya
adalah
(1)
Pengembangan
prasarana
perikanan;
(2) Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan dibidang perikanan; (3) Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan; dan (4) Pengembangan system informasi manajemen perikanan (Ditjen Perikanan, 1994). Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan modal yang tersedia. Berdasarkan sifat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan (Syafrin, 1993). 2.8 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical hierarchy process (AHP) merupakan proses berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak terstruktur yang memungkinkan adanya interaksi antar faktor, namun tetap memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana. AHP merupakan metode analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam rancangannya terhadap suatu masalah. AHP merupakan model bekerjanya pikiran yang teratur untuk menghadapi kompleksitas. Metode ini menstruktur masalah dalam bentuk hirarkhi dan memasukkan pertimbanganpertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif (Saaty, 1991). Metode ini merefleksikan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam ini menjadi satu hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang kita buat. Proses ini membantu untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarkhi kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan
25
menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas (Saaty, 1991). Menurut Nurani (2003) AHP merupakan metode yang applicable untuk digunakan di bidang perikanan dan kelautan. Kekompleksitasan permasalahan di bidang perikanan dan kelautan serta keterbatasan data-data numerik sering menjadi faktor kendala yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, kompleksitas masalah dapat disederhanakan dengan pembuatan struktur hirarkhi, memungkinkan bagi penentu kebijakan untuk membuat struktur hirarkhi yang disesuaikan dengan pokok permasalahan. Selanjutnya Nurani (2003) menjelaskan bahwa metode analisis analytical hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan berdasarkan analisis kebijakan yang bertujuan untuk memecahkan konflik yang terjadi sehingga mendapatkan lokasi yang tepat dan optimal bagi pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable). Dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (yang tidak terukur) kedalam ukuran yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Menurut Saaty (1991) prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP yaitu: (1) menyusun hierarki, (2) menetapkan prioritas dan (3) konsistensi logis. Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang (pairwise comparison). Matriks banding berpasang diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1. Formulasi untuk menentukan vektor prioritas dari elemen-elemen pada setiap matriks dengan menggunakan rata-rata aritmetik sebagai berikut : n
Nkj = ∑ aij (k ) kj =1
Keterangan : Nkj : Nilai kolom ke j aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j n : Jumlah elemen
26
Ndij =
aij Nkj
Keterangan : Ndij : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasikan pada baris i dan kolom j aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j Nkj : Nilai kolom ke j Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen komparasi perpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai terendah. Pembobotan melalui keputusan (judgement) oleh pakar berdasarkan nilai skala komparasi antara 1-9 (Saaty, 1991). Nilai komparasi digunakan untuk mengkuantifikasi data yang bersifat kualitatif. Tabel 1 Skala banding secara berpasang (Saaty, 1991) Tingkat kepentingan 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat disokong, dominannya terlihat dalam praktek
9
Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lainnya
Bukti yang mendukung elemen satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan
2,4,6,8
Kebalikan
Jika elemen i mendapat satu angka dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan dibandingkan dengan elemen i
27
2.9
Letak Geografi, Topografi dan Iklim di Kabupaten Sorong Selatan Kabupaten Sorong Selatan merupakan kabupaten pemekaran yang diatur
berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2002.
Pemekaran Kabupaten
Sorong Selatan ini diresmikan oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003 dengan batas-batas wilayah administratif : 1.
Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Morait dan Distrik Sausapor Kabupaten Sorong;
2.
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manokwari;
3.
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram (Propinsi Maluku); dan
4.
Sebelah barat berbatasan dengan Distrik Beraur Kabupaten Sorong. Luas wilayah Kabupaten Sorong Selatan 59.578 km2 dengan luas laut
32.767 km2. Ibukota kabupaten adalah Kota Teminabuan yang terletak di kawasan pesisir dan berjarak 235 km dari Kabupaten Sorong. Terdiri dari 14 distrik, 210 kampung dan 3 kelurahan.
Secara geografis Kabupaten Sorong Selatan ini
terletak antara 131°.30’ - 132°.20’ BT dan 001° .10’LS. Hutan mangrove tersebar disepanjang garis pantai serta perairan umum (hulu/hilir sungai)
di Kabupaten Sorong Selatan, diantaranya di Distrik
Teminabuan, Inanwatan, Seremuk, Kais dan Kokoda dan kawasan Selat Sele. hutan mangrove didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Aonneratiacaeae dan Avicenniaceae. Iklim wilayah Sorong Selatan tergolong iklim tropis monsoon. Musim hujan terjadi saat berlaku monsoon Barat Laut, yaitu pada bulan Desember–Maret. Musim kemarau terjadi saat berlaku monsoon tenggara, yaitu pada bulan Mei – Oktober (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Suhu udara rata-rata berkisar antara 20° - 38° C. Fluktuasi suhu rata-rata tahunan tidak lebih dari 2°C. kecepatan angin berkisar dari lambat hingga sedang (8m/det), dengan frekuensi kejadian kurang dari 2%. Kecepatan angin terbesar umumnya bertiup dari arah barat daya (>15 m/det).Tekanan udara barometrik berkisar dari 998,6 mb – 1.013,0 mb dengan tekanan udara rata-rata 1.006,1 mb. Kelembaban udara rata-rata 84,7% dan intensitas penyinaran matahari sekitar 54,3%.
28
2.10 Unit Penangkapan dan Produksi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan Armada penangkapan udang di Kabupaten Sorong Selatan antara lain perahu tanpa motor dan perahu yang menggunakan motor yaitu ketinting, jolor, johnson dan pengangkut kapal perikanan (pkp). Ketinting dan perahu tanpa motor adalah jenis armada yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini menggambarkan usaha perikanan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan sebagian besar masih tergolong kecil atau tradisional. Jumlah armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah armada di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006)
No 1 2 3 4 5
Armada Perahu tanpa motor Kapal bermesin Ketinting Kapal bermesin Jolor Kapal bermesin Johnson Kapal pkp jumlah
Jumlah yang ada (unit) 460 97 25 30 20 632
Prosentase (%) 72.78 15.35 3.96 4.75 3.16 100.00
Jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 5 alat tangkap yaitu trammel net, gillnet, jala, hand line dan bubu. Dari kelima alat tangkap tersebut, trammel net merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan dalam usaha penangkapan udang. Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006)
No 1 2 3 4 5
Jenis alat tangkap trammel net gillnet jala hand line (unit) bubu (unit) total
Jumlah (pcs) 1071 509 887 1296 195 3958
prosentase (%) 27 13 22 33 5 100
29
Hasil tangkapan yang didapatkan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 4 komoditi yaitu udang penaeid, kepiting bakau, ikan mas dan ikan campuran. Dari keempat komoditi tersebut, komoditi udang penaeid mendominasi jumlah hasil tangkapan dibandingkan komoditi lainnya. Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006)
No 1 2 3 4
Jenis komoditi Udang penaeid Kepiting bakau Ikan mas Ikan campuran Jumlah
Jumlah (ton) 600 250 100 450 1.400
2. 11 Penduduk Menurut Anonim (2004), lebih kurang 90% penduduk Kabupaten Sorong Selatan adalah penduduk asli, dan sisanya adalah pendatang (Jawa, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan sebanyak 105.763 jiwa terdiri dari 54.163 jiwa laki-laki dan 51.598 jiwa perempuan. Dihubungkan dengan luas kabupaten, maka kepadatan penduduk rata-rata sebesar 4 jiwa /km2. Hal ini mengandung arti bahwa Kabupaten Sorong Selatan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah berdasarkan kriteria BPS (1999) karena kurang dari 200 jiwa/km2. Penduduk di Kabupaten Sorong Selatan paling banyak berada di Distrik Teminabuan yang merupakan ibukota Kabupaten Sorong Selatan yaitu sebanyak 16.576 jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit berada di Distrik Wayer yaitu sebanyak 3.386 jiwa. Distrik Teminabuan sebagai pusat dan gerbang kegiatan ekonomi lebih maju dan berkembang pesat dibanding distrik-distrik yang lain, hal ini disebabkan belum adanya sarana transportasi (jalan darat) yang menghubungkan antar distrik (Akademi Perikanan Sorong, 2004). penduduk Kabupaten Sorong Selatan disajikan pada Tabel 5.
Jumlah
30
Tabel 5
No. 1 2 3 s4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jumlah Penduduk Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan 2006)
Distrik Inanwatan Kokoda Aifat timur Aifat Aitinyo Moswaren Teminabuan Ayamaru Sawiat Mare Matemani kais Wayer Seremuk Ayamaru utara Jumlah
Laki-Laki 4,243 7,740 2,026 2,999 4,372 1,795 8,526 6,866 3,234 1,891 2,030 1,749 2,993 3,698 54,163
Perempuan 4,014 7,324 2,034 3,012 4,139 1,849 8,050 6,433 3,105 1,772 1,920 1,639 2,827 3,479 51,598
Jumlah 8,258 15,063 4,060 6,011 8,511 3,644 16,576 13,302 6,342 3,665 3,950 3,386 5,818 7,177 105,763
Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya (75 %) di sektor perikanan yaitu sebagai nelayan. Adapun Nelayan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari nelayan yang menangkap ikan di laut dengan perahu tanpa mesin, armada penangkapan ketinting, jolor, johnson, pkp, dan nelayan pembudidaya ikan. Jumlah nelayan perahu tanpa motor merupakan nelayan paling banyak dengan jumlah 43,13 % atau 710 orang dibandingkan jumlah nelayan-nelayan lainnya. Jumlah nelayan dan proporsinya di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan , 2006) No 1 2 3 4 5 6
kategori nelayan Nelayan perahu tanpa motor Nelayan perahu bermesin ketinting Nelayan perahu bermesin jolor Nelayan perahu bermesin johnson Nelayan perahu pkp Nelayan pembudidaya ikan jumlah
jumlah (orang) 710 168 164 83 95 426 1646
Prosentase (%) 43,13 10,21 9,96 5, 04 5,77 25,88 100.00