TINJAUAN PUSTAKA Potensi Limbah Udang Limbah udang adalah hasil samping industri pengolahan udang beku. Hasil samping tersebut berupa kepala, kulit keras (carapace), dan ekor (uropod) yang dibuang pada industri pembekuan udang (Arlius 1991). Produksi Limbah Udang Badan Pusat Statistik (2003), melaporkan bahwa ekspor udang Indonesia tahun 2002 sebesar 118750 ton dalam bentuk beku.
Udang yang diekspor
tersebut adalah hasil pengolahan industri pembekuan udang yaitu kepala, kulit keras, dan ekornya dibuang. Wanasuria (1990) mengemukakan bahwa pada proses pengolahan udang beku dihasilkan limbah udang sebesar 30–40% dari berat total udang. Jadi dari ekspor udang itu terdapat limbah udang sekitar 35625–47500 ton basah atau 8881-11400 ton kering, karena bobot keringnya 24.93% (Batubara 2000). Salah satu pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang yang terdiri dari kepala dan kulit udang. Proporsi kepala dan kulit udang diperkirakan antara 3040% dari bobot udang segar. Faktor positif bagi tepung limbah udang adalah produk ini merupakan limbah, kesinambungan penyediaannya terjamin sehingga harganya akan cukup stabil dan kandungan nutrisinya pun bersaing dengan bahan baku lainnya. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim 1994) Pemanfaatan limbah udang sampai saat ini masih terbatas, diantaranya pada pembuatan terasi, kerupuk udang, petis, pembuatan sosis, sebagai flavor, dan lain-lain (Bastaman 1989).
Namun jumlah yang
dimanfaatkan tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah yang ada. Berarti masih tersedia cukup banyak dan sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak.
6 Kualitas Limbah Udang Kualitas limbah udang terutama ditinjau dari kandungan nutrien dan komposisi kimianya cukup baik. Bila dilihat dari komposisi kimianya, maka cukup layak dijadikan sebagai sumber protein dalam pakan ternak. Hasil uji di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, memperlihatkan bahwa protein kasarnya cukup tinggi yaitu 41.58%, hampir sama dengan bungkil kedelai (45.6%). Begitu juga bahan keringnya (88.32% : 88.0%). Akan tetapi terdapat perbedaan pada serat kasarnya yaitu 13.72% dalam limbah udang sedangkan bungkil kedelai 4.58%, sehingga menjadi faktor pembatas karena kecernaannya yang rendah. Oleh sebab itu, pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak sebaiknya dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu.
Perbandingan
komposisi kimia antara tepung limbah udang dengan tepung ikan dan bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai. Nutrien
Limbah Udanga
Tepung Ikanb
Bungkil Kedelaic
----------------------% bahan kering------------------------Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Abu a
41.58 13.72 3.08 22.06
52.6 2.2 6.8 20.7
45.6 4.58 2.79 6.84
Hasil uji di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB Hartadi et al. (1997) c Sutardi (2001) b
Kualitas protein limbah udang sangat bagus karena mengandung semua asam amino esensial.
Asam amino metionin yang sering menjadi faktor
pembatas pada protein nabati, kandungannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bungkil kedelai dan hampir sama dengan tepung ikan bahkan mikroba rumen.
Perbandingan komposisi asam amino antara tepung limbah udang
dengan tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan mineral tepung limbah udang terutama kalsium (Ca) lebih tinggi dari tepung ikan, perbandingannya lebih dari 3 : 1. Kandungn phosfornya
7 (P) lebih sedikit, perbandingannya 1 : 2. Perbandingan antara Ca dan P dalam tepung limbah udang sendiri jauh lebih besar yaitu hampir 10 : 1. Oleh sebab itu, bila digunakan dalam pakan domba perlu diperhatikan karena yang dapat ditolerir perbandingannya sampai 7 : 1 (NRC 1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa besaran nisbah harga/protein untuk tepung limbah udang dan tepung ikan adalah 19.87 dan 23.79. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Wiliam 1982). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%), dan khitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15.60% - 23.90%), kalsium karbonat (53.70 – 78.40%), dan khitin (18.70% - 32.20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al. 1992) Khitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen dari total berat udang. Kadar chitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi khitosan menghasilkan 15-20 persen. Khitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Secara keseluruhan tepung limbah udang dapat dipakai sebagai pengganti tepung ikan atau bungkil kedelai sampai batas tingkatan 12%. Perbandingan komposisi mineral antara tepung limbah udang dengan tepung ikan dan bungkil kedelai yang dikutip dari beberapa sumber atau literatur yaitu (Shahidi 1992; Purwantiningsih (1990); Hartadi et al. 1997; Thomas dan Beeson 1977; Clark et al. 1992) dapat dilihat pada Tabel 3.
8 Tabel 2. Komposisi asam amino tepung limbah udang, tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen. Tepung Limbah Udang Asam Amino
Udang Merah Jambu (Pandalus borealis)a
Udang Windu (Paneaus monodon)b
Tepung Ikanc
Bungkil Kedelaid
Mikroba Rumene
--------------------------------(gram/100 gram protein)------------------------------Alanin
5.25 ± 0.05
2.14
-
4.6
7.5
Arginin
6.13 ± 0.07
4.67
6.46
7.0
5.1
Asam spartat
11.17 ± 0.01
7.52
-
10.9
12.2
Asam Glutamat
12.8 ±0.14
11.36
-
14.3
13.1
Fenilalanin
5.13 ± 0.07
5.52
4.64
3.9
5.1
Glisin
4.11 ± 0.03
17.76
7.70
3.5
5.8
Histidin
2.24 ± 0.09
2.35
2.78
1.8
2.0
Isoleusin
5.78 ± 0.13
4.16
4.30
2.1
5.7
Leusin
7.01 ± 0.02
8.65
7.20
7.3
8.1
Lisin
6.58 ± 0.07
4.58
7.55
5.9
7.9
Metionin
2.41 ± 0.08
-
2.47
0.7
2.6
Prolin
4.20 ± 0.10
-
-
-
-
Serin
4.11 ± 0.05
1.65
-
4.8
4.6
Sistein
0.91 ± 0.01
-
1.01
0.7
-
Tirosin
4.53 ± 0.01
12.13
3.46
3.0
4.9
Treonin
4.14 ± 0.20
-
4.28
3.5
5.8
Triptophan
1.19 ± 0.07
-
0.85
-
-
Valin
5.95 ± 0.06
-
5.29
4.6
6.2
a
Shahidi (1992) Purwantiningsih (1990) c Hartadi et al. (1997) d Thomas dan Beeson (1977) e Clark et al. (1992) b
9 Tabel 3. Kandungan Mineral Tepung Limbah Udang, Tepung Ikan, Dan Bungkil Kedelai. Mineral Ca (%) Na (%) K (%) Mg (%) P (%) Sr (%) Mn (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) As (ppm) Ba (ppm)
Tepung Kepala Udanga 15.30 2.05 0.20 0.95 1.66 0.22 29 82 13 21 27 54
Tepung Ikanb
Bungkil Kedelaic
4.20 0.97 0.68 0.22 2.80 10.24 14.76 -
0.3 2.1 0.71 45 -
a
Shahidi dan Synowiecki (1992) Hartadi et al. (1997) c Parakkasi (1999) b
Tabel 4. Perbandingan nutrisi tepung limbah udang dengan tepung ikan Nutrisi Air Abu Protein Methionin Lisin Sistin Triptophan Lemak Serat Kasar Kalsium Phospor Energi Bruto
Tepung limbah udang 10.32 18.65 45.29 1.26 3.11 0.51 0.39 6.62 17.59 7.76 1.31
Tepung ikan 10.32 14.34 54.63 1.30 3.97 0.53 0.43 9.85 1.99 3.34 2.18
3577 kkal/kg
4679 kkal/kg
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB
10 Khitin dalam Limbah Udang Khitin sebagai prekursor khitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1811 oleh orang Prancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur. Khitin dari kulit serangga ditemukan pada tahun 1820. Khitin merupakan polimer kedua terbesar di bumi selelah selulosa. Khitin adalah senyawa amino polisakarida berbentuk polimer gabungan. Khitosan ditemukan C. Roughet pada tahun 1859 dengan cara memasak khitin dengan basa. Perkembangan penggunaan khitin dan khitosan meningkat pada tahun 1940-an. Penggunaan khitosan untuk aplikasi khusus, seperti farmasi dan kesehatan dimulai pada pertengahan 1980 – 1990 (AHA 2005) Selain potensi jumlah, dalam limbah udang juga terdapat khitin antara 20–30% (Wanasuria 1990) yang di dalamnya terkandung Nitrogen (N) antara 6.6-6.7% (Stelmoch et al. 1985). Penggunaan limbah udang dalam pakan ternak ruminansia, N tersebut berpotensi sebagai sumber N bukan protein (NPN) bagi mikroba rumen, begitu juga khitinnya yang berupa polisakarida, bentuk molekulnya mirip selulosa, potensial sebagai sumber energi. Polimer khitin bersifat tidak mudah larut dalam pelarut biasa dan di alam terdapat bermacammacam mikroorganisme, tumbuhan dan hewan yang memilki kemampuan untuk mendegradasi senyawa ini. Enzim khitinase yang dihasilkan mikroorganisme, tumbuhan dan hewan tersebut merupakan enzim yang mampu merombak polimer khitin menjadi unit monomer N-asetil glukosamin. Khitosan multiguna tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia khitosan sama dengan khitin tetapi yang khas antara lain: (i) merupakan polimer poliamin berbentuk linear, (ii) mempunyai gugus amino aktif, (iii) mempunyai kemampuan mengkhelat beberapa logam. Sifat biologi khitosan antara lain: (i) bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable), (ii) dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif, (iii) mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan tulang. (iv) bersifat hemostatik, fungistatik,
11 spermisidal, antitumor, antikolesterol, (v) bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan kedua sifat tersebut maka khitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan serat. yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya khitosan banyak digunakan oleh berbagai industri antara lain industri farmasi, kesehatan, biokimia, bioteknologi, pangan, pengolahan limbah, kosmetik, agroindustri, industri tekstil, industri perkayuan, industri kertas dan industri elektronika. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang dimiliki antara lain untuk: pengolahan limbah cair terutama sebagai bahan bersifat resin penukar ion untuk meminimalisasi logam– logam berat, mengoagulasi minyak/lemak, serta mengurangi kekeruhan, penstabil minyak, rasa dan lemak dalam produk industri pangan (AHA 2005) Penggunaan limbah udang sebagai sumber protein dan khitin dalam pakan ternak sudah dilakukan banyak peneliti, terutama pada monogastrik. Hasilnya terbukti dapat meningkatkan bobot badan dan protein daging serta menurunkan kadar kolesterol serum darah dan daging ayam (Supadmo 1997), menurunkan kadar kolesterol pada telur ayam (Sudibya 1998).
Penelitian
pendahuluan yang dilakukan terhadap tikus putih, dapat meningkatkan bobot badan dan menurunkan kadar LDL (low density lipoprotein) dagingnya masingmasing hingga penggunaan 15% dan 20% dalam pakannya, baik pada jantan maupun betina. Khitin yang lolos dari rumen atau tidak dimanfaatkan oleh mikroba rumen maka di pascarumen akan mengikat asam empedu karena dapat dianalogikan sebagai serat, sehingga asam lemak yang diemulsi oleh asam empedu ikut terikat. Khitin tidak dapat diabsorpsi pada usus halus sebagaimana (Djojosubagio dan Piliang 1996) selanjutnya dikemukakan bahwa serat pakan selain lignin dan selulosa juga mengandung hemiselulosa, gum, dan pektin serta beberapa karbohidrat lain yang biasanya tidak dapat dicerna, maka bersama asam empedu dan asam lemak dikeluarkan melalui feses. Kondisi ini dapat menurunkan kolesterol pada serum darah ayam (Supadmo 1997). Khitosan mampu menurunkan kolesterol LDL (kolesterol jahat) sekaligus meningkatkan komposisi perbandingan kolesterol HDL (kolesterol
12 baik) terhadap LDL, sehingga peneliti Jepang menyebutnya hypocholesteromic agent yang efektif, karena mampu menurunkan kadar kolesterol darah tanpa efek samping. Setidaknya ada dua tahap mekanisme pengikatan lemak dan kolesterol oleh khitosan. Pertama, melibatkan tarik menarik dua muatan yang berbeda/berlawanan, layaknya tarikan kutub-kutub magnet. Khitosan yang mempunyai gugus-gugus bermuatan positif akan menarik muatan negatif dari asam-asam lemak dan membentuk ikatan yang tak bisa dicerna. Kedua penetralan muatan, pada model ini khitosan akan menyelubungi sisi aktif lemak dan melindunginya dari serangan dan penguraian enzim-enzim lipida (Muzzarelli 1997). Hidrolisis dan Pemanasan pada Protein Hidrolisis protein diartikan sebagai pemecahan banyak ikatan menjadi satu ikatan atau putusnya ikatan peptida yang menghubungkan asam-asam amino.
Reaksi hidrolisis dapat dilakukan dengan asam, basa dan enzim
(Girindra 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa hidrolisis secara kimia (asam dan basa) menyebabkan destruksi triptofan serta pelepasan amonia pada pemecahan group amida asparagin dan glutamin menjadi asam aspartat dan asam glutamat. Selain itu group amino hidroksin (serin dan threonin) mengalami kerusakan sekitar 5-10%, sedangkan sistein, asam aspartat, asam glutamat, lisin, arginin, tirosin, dan prolin terdegradasi sebagian.
Pada proses hidrolisis selain
menghidrolisis protein juga menghidrolisis karbohidrat, lemak dan kandungan lain yang menghasilkan senyawa volatil dan non volatil seperti asam amino, peptida, asam lemak, ester, alkohol, dan senyawa karbonil. Hidrolisis protein yang terbaik adalah dengan konsentrasi HCI 6 M pada suhu 110oC selama 24 jam. Selain itu dapat pula dilakukan dengan konsentrasi HCI yang lebih rendah yaitu 4 M HCI pada suhu 110oC selama 24 jam dan 3 M HCI pada suhu 100oC selama 18 jam. Pada limbah udang hidrolisis yang baik adalah dengan HCl 6% disertai pemanasan tekanan tinggi menggunakan pressure cooker selama 45 menit untuk meningkatkan kecernaannya (Sudibya
13 1998). Pemanasan mengakibatkan terjadinya perubahan pada suatu protein yang dikenal sebagai denaturasi (Lehninger 1982). Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat pula diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan atau wiru molekul (Winarno 1991). Ada dua macam denaturasi, yaitu (1) pengembangan rantai peptida dan (2) pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul.
Terjadinya kedua jenis denaturasi ini
tergantung pada keadaan molekul.
Pertama terjadi pada rantai polipeptida,
sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder (Winarno 1991). Proses denaturasi tidak merusak ikatan peptida yang terdapat antara asam amino dalam struktur primer (Girindra 1986). Lehninger (1982) mengemukakan bahwa jika protein mengalami denaturasi, tidak ada ikatan kovalen pada kerangka rantai polipeptida yang rusak, sehingga deret asam amino khas protein tetap utuh setelah denaturasi. Rantai polipeptida yang berikatan kovalen pada protein asli (natif) melipat dalam tiga dimensi dengan suatu pola yang khas bagi tiap jenis protein. Protein yang terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari rantai polipeptida terganggu dan molekul ini terbuka menjadi struktur acak, tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen (Gambar 1).
Gambar 1. Sketsa proses denaturasi protein (Winarno 1991)
14 Denaturasi dan koagulasi protein yang terjadi selama pemanasan mengakibatkan menurunnya kelarutan protein (Cheftel et al. 1985). Besarnya tingkat kelarutan protein setelah pemanasan dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan yang digunakan (Hultin 1985). Proses pemanasan protein yang tidak sampai merusak kandungan nutrisinya dilakukan dengan maksud agar kurang soluble dalam rumen. Cara ini biasa disebut heat treated protein (HTP). Konsep ini dilakukan karena protein tidak dapat dipenuhi dari mikroba rumen (terutama pada ternak yang berproduksi tinggi) maka tambahan asam-asam amino akan dapat dipenuhi dengan pemberian HTP yang langsung dapat digunakan pada pascarumen (Prawirokusumo 1994). Proses Pencernaan pada Ruminansia Pencernaan adalah serangkaian proses perubahan fisik dan kimia dari bahan makanan di dalam alat pencernaan sampai memungkinkan terjadinya proses penyerapan. Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antar pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri (Mertens 1993). Prosesnya terdiri atas pencernaan mekanis di mulut, pencernaan fermentatif oleh mikroba di rumen dan pencernaan hidrolisis oleh enzim pencernaan di pascarumen (Sutardi 1977).
Gambar 2. Alat pencernaan pada ruminansia
15
Pak an Kh it osa n
se llu losa
H em iselulo sa
T iss ue R um en
V FA PP P
A setat P ropi onat
Hex os a
Is oB utirat
Hati
B uti rat M ik roba
Isov aler at Valerat
U sus
Khitosan P rotei n Mik roba
F es es Khitosan, lem ak dan k oles terol
M etabolism e
Depos it jar ingan
Gambar 3. Proses pencernaan pakan dalam ternak, (Haryanto et al. 2008). Hewan ruminansia memiliki empat bagian perut dengan fungsi yang berbeda yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Gambar 2). Rumen dan retikulum tidak terpisah secara sempurna sehingga dipandang sebagai satu kesatuan (retikulorumen). Retikulorumen berfungsi sebagai tempat fermentasi makanan melalui aktivitas sejumlah mikroba dengan produk akhirnya berupa amonia (NH3), asam lemak terbang (volatile fatty acid= VFA), gas metan dan air. Omasum fungsinya belum jelas, tetapi pada organ ini terjadi penyerapan air, NH3 dan VFA, diduga juga memproduksi VFA dan NH3. Abomasum fungsinya sama dengan perut monogastrik (Church dan Pond 1982; Forbes dan France 1993). Makanan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini makanan bercampur dengan saliva, kemudian masuk ke rumen melalui oesofagus untuk selanjutnya mengalami proses pencernaan fermentatif. Di rumen bolus dicerna oleh enzim mikroba, hasil pencernaan fermentatif
16 berupa VFA, NH3 dan air.
Selama di rumen makanan yang masih kasar
dikembalikan lagi ke mulut (regurgitasi dan remastikasi). Partikel makanan yang tidak tercerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan yang sama pada monogastrik.
Hasil
pencernaan tersebut diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam sistem peredaran darah (Sutardi 1979). Pertumbuhan Ternak Domba Secara sederhana Butterfield (1988) mendifinisikan pertumbuhan sebagai terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam suatu organisme sebelum mencapai dewasa, sedangkan perkembangan adalah produk hasil perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian tubuh dari suatu organisme. Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu (Edey 1983 dan Soeparno 1984). Pertumbuhan adalah bertambahnya bobot hingga ukuran dewasa tercapai atau lebih spesifik pertumbuhan dapat dijelaskan dengan bertambahnya produksi unit biokimia baru oleh pembagian sel, pembesaran sel atau persatuan dari bahan-bahan
(material)
yang
berasal
dari
lingkungan.
Perkembangan
menunjukkan koordinasi berbagai proses hingga kematangan (kedewasaan) tercapai, seperti diferensiasi selular dan perubahan bentuk tubuh. Pertumbuhan pada umumnya dinyatakan dengan mengukur kenaikan bobot hidup yang mudah dilakukan dan biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot hidup harian atau average daily gain (ADG). Pertumbuhan yang diperoleh dengan memplotkan bobot hidup terhadap umur akan menghasilkan kurva pertumbuhan (Tillman et al. 1984 dan Taylor 1984). Pertumbuhan ternak terdiri atas tahap cepat yang terjadi mulai awal sampai pubertas dan tahap lambat yang terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai (Tillman et al. 1984). Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurva pertumbuhan hampir tidak berubah. Dalam hal ini
17 pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting mulai berhenti, sedangkan penggemukan (fattening) mulai dipercepat (Judge et al. 1989). Tumbuhkembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen (Judge et al. 1989). Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan domba sebelum lepas sapih adalah genotipe, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak per kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih (Edey 1983). Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (hybrid vigour) dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen (pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim. Batubara et al. (1993) menyatakan bahwa pertambahan bobot hidup domba Lokal Sumatera jantan muda dengan menggunakan pakan konsentrat komersial yang dicampur bungkil inti sawit (40%), molases (20%) dan urea (0.5%) adalah sebesar 106 g/ekor/hari dan konversi pakan adalah 8.2, sedangkan dengan pakan konsentrat kualitas tinggi (pakan komersial) pertambahan bobot hidup adalah 100 g/ekor/hari dan konversi pakan sebesar 9.4. Perbedaan bangsa memberikan keragaman dalam kecepatan pertumbuhan dan komposisi tubuh. Ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas dan menghasilkan karkas dengan sifat tersendiri, sehingga merupakan sifat khas bangsanya (Judge et al. 1989). Hasil penelitian Yulistiani et al. (1999) pada domba Sungei Putih dan Barbados Blackbelly Cross didapat bahwa total pertambahan bobot hidup anak pra sapih kedua bangsa domba tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu masing-masing sebesar 119.66 dan 101.2 g/induk/hari, walaupun ada kecenderungan bahwa total bobot lahir domba Sungei Putih lebih rendah dibandingkan dengan bangsa domba Barbados Blackbelly Cross yang masing-masing bobotnya adalah 3.8 dan 4.1 kg. Karkas dan Non Karkas Komponen Karkas Bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam sistem evaluasi karkas. Sebagai indikator, karkas bukanlah merupakan
prediktor
produktivitas karkas yang baik karena adanya variasi tipe bangsa, nutrisi dan
18 jenis pertumbuhan jaringan sehingga mengakibatkan penurunan tingkat akurasi (Johnson dan Priyanto 1991). Untuk memperkecil sumber keragaman tersebut bobot karkas perlu dikombinasikan dengan variabel lain seperti tebal lemak subkutan dan luas urat daging mata rusuk (loin eye area) dalam memprediksi bobot komponen karkas dan hasil daging (Priyanto et al. 1993). Estimasi komposisi karkas dapat dilakukan dengan memprediksi jumlah produk yang layak dimakan (edible product). Hasil tersebut terdiri atas proporsi daging, lemak dan tulang, Keseluruhan proporsi karkas tersebut ditentukan oleh pertumbuhan jaringannya. Besarnya jumlah edible product yang dihasilkan ini juga ditentukan oleh keahlian dari orang yang menangani rangkaian pemotongan ternak serta kesukaan konsumen dalam memilih bagian-bagian dari produk tersebut setelah diperdagangkan. Perbedaan yang menjadi hubungannya dalam hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar lemak dan tulang yang terdapat dalam jaringan daging dapat diterima oleh konsumen sebagai edible product. Daging dalam hal ini merupakan komponen karkas yang terpenting sehingga dalam penerapannya, total daging secara kuantitatif dipergunakan sebagai titik akhir sarana penduga atau pengukur komposisi karkas (Berg dan Butterfield 1976). Menurut Berg dan Butterfield (1976) persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, selanjutnya dikatakan bahwa persentase karkas domba Priangan adalah sebesar 55.1% dan domba Ekor Gemuk adalah sebesar 55.3% pada bobot potong 40 kg. Persentase karkas bervariasi karena umur dan perlemakan dari domba tersebut, sedangkan persentase tulang, otot dan lemak dalam karkas dipengaruhi oleh umur, bangsa dan perlemakan pada domba. Hasil penelitian Sugiyono (1997) mendapatkan bahwa bobot karkas domba lokal yang diberi pakan konsentrat biasa adalah sebesar 7.5 kg dari bobot hidup 19.3 kg dan persentase karkasnya 39.1%. Johnston (1983) menyatakan bahwa persentase karkas pada domba yang kurus dan kondisinya buruk kurang dari 40%, sedangkan pada kondisi gemuk persentase karkas dapat melebihi 60 %. Pendapat lain dikemukakan Tulloh (1978) bahwa apabila ternak tidak diberi makan atau minum untuk suatu periode
19 tertentu (dua hari misalnya) maka persentase karkas akan meningkat karena berkurangnya jumlah urin dan feses selama periode tertentu. Komposisi pakan juga berpengaruh terhadap besarnya persentase karkas. Ternak yang mendapat pakan hijauan dengan mutu yang rendah, mengandung lebih banyak digesta di dalam saluran pencernaannya dari pada ternak yang diberi pakan bermutu tinggi dengan proporsi biji-bijiannya yang tinggi. Ternak yang dipuasakan keragaman persentase karkasnya dapat mencapai 4% lebih besar (Tulloh 1978). Menurut Soeparno (1992) perbedaan komposisi tubuh dan karkas diantara bangsa ternak disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan bobot pada saat dewasa. Komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot, tulang dan lemak (Berg et al. 1978). Kualitas karkas sangat ditentukan oleh imbangan ketiga komponen tersebut. Tulang sebagai kerangka tubuh, merupakan komponen karkas yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling akhir oleh jaringan lemak (Soeparno 1992). Proporsi komponen karkas dan bagian karkas yang dikehendaki konsumen adalah karkas atau bagian karkas yang terdiri atas proporsi daging tanpa lemak (lean) yang tinggi, tulang yang rendah dan lemak yang optimal (Natasasmita 1978). Kerbau mempunyai proporsi daging tanpa lemak (lean) atau otot dan lemak lebih rendah dan tulang serta jaringan ikat lebih tinggi dibandingkan dengan sapi. Komponen karkas yang dapat memberikan nilai ekonomis adalah lemak, karena lemak berfungsi sebagai pembungkus daging dan memberikan keempukan pada daging (Berg dan Butterfield 1976). Hasil penelitian Sugiyono (1997) mendapatkan bahwa domba lokal yang diberi pakan konsentrat biasa, persentase daging tanpa lemak (lean), lemak dan tulangnya berturut-turut adalah sebesar 62.63%, 5.42% dan 24% dari bobot setengah karkas. Herman (1993) dan Rachmadi (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas segar dan persentase karkas akan semakin tinggi, Herman (1993) menyatakan bahwa pada bobot potong 17.5 kg, bobot karkas, otot, tulang dan lemak pada domba Priangan berturut-turut adalah sebesar 8.290, 2.554, 720 dan 598 gram sedangkan untuk domba Ekor Gemuk
20 berturut-turut 8.530, 2.521, 724 dan 794 gram. Rachmadi (2003) menyatakan bahwa domba yang diberi pakan konsentrat mengandung bungkil inti sawit sebanyak 45% mempunyai bobot tubuh kosong, bobot karkas dan persentase karkas berturut-turut adalah sebesar 14.30 kg, 6.24 kg dan 43.57% dengan masa penggemukan enam bulan. Murray dan Slezacek (1976) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam proporsi daging, tulang dan jaringan ikat maupun perlemakan pada tingkat pemberian pakan yang berbeda pada domba, tetapi berbeda dalam depot lemak tubuhnya. Domba yang mendapat pakan lebih banyak mempunyai lemak subkutan lebih banyak, namun lemak intramuskuler lebih rendah. Potongan Komersial Karkas Karkas domba dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : Prtama foresaddle (bagian depan) meliputi neck (leher), shoulder (bahu), shank (paha depan), rack (dada) dan breast (bagian bawah dada). Kedua hindsadle (bagian belakang) meliputi leg (paha belakang), loin (pinggang) dan flank (bagian bawah perut) (Judge et al. 1989). Domba lokal jantan mempunyai komposisi potongan karkas komersil pada bobot potong 15 kg adalah sebagai berikut : leg (34.47%), loin (9,40%), rib (9.46%), shoulder (21.87%), shank (3.74%), breast (9.01%) dan neck (8.98%). (Triatmojo 1988). Judge et al. (1989) menyatakan bahwa komposisi leg (39%), loin (7%), rib (9%), shoulder (26%), shank (5%), breast (10%), flank (2%), ginjal dan lemak ginjal (2%). Herman (1993) menyatakan bahwa pada irisan karkas utama, memperlihatkan bahwa domba Priangan mempunyai potongan shoulder yang lebih besar dengan persentase otot lebih tinggi dan lemak lebih rendah dibandingkan dengan irisan shoulder domba Ekor Gemuk. Domba Ekor Gemuk mempunyai potongan leg yang lebih besar daripada domba Priangan, tetapi persentase lemaknya lebih tinggi dan ototnya lebih rendah. Persentase potongan leg pada domba Priangan (30.8%), Ekor Gemuk (32.3%), loin pada domba Priangan (9.1%), Ekor Gemuk (10.1%), rack pada domba Priangan (9.4%), Ekor Gemuk (8.6%) dan shoulder pada domba Priangan (28.2%), Ekor Gemuk
21 (27.3%). Ngadiyono (1995) melaporkan bahwa potongan komersial karkas sapi menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan bobot potong, yaitu semakin berat dengan meningkatnya bobot potong. Adanya perbedaan bobot potongan komersial karkas disebabkan oleh adanya perbedaan bobot karkas berdasarkan bobot potong tersebut. Adanya keragaman potongan karkas ini dapat pula disebabkan oleh keragaman bobot komponen penyusunnya termasuk ketebalan lemak subkutan. Jika potongan komersial karkas dinyatakan sebagai persentase terhadap bobot karkas layu pada masing-masing bangsa sapi didapat bahwa persentase potongan komersial karkas diantara bangsa sapi juga menunjukkan keragaman, sebagian berbeda nyata dan sebagian lainnya tidak berbeda nyata, sedangkan diantara bobot potong ternyata persentase bagian komersial karkas tidak menunjukkan perbedaan nyata. Owen dan Norman (1977) menyatakan bahwa proporsi leher, bahu dan paha berkurang, sedangkan dada dan pinggang meningkat dengan semakin bertambahnya umur pada kambing dan domba Boswana kastrasi, dalam hal ini kalau umur bertambah maka bobot tubuh juga akan bertambah. Beermann et al. (1986) melaporkan bahwa peningkatan bobot karkas segar akan meningkatkan bobot leg, neck, loin, rack dan shoulder, dimana persentase peningkatan bobot terbaik ditunjukkan oleh potongan leg disusul oleh loin, rack dan shoulder. Saparto (1981) menyatakan bahwa persentase shank meningkat dengan menurunnya bobot karkas, sebaliknya persentase loin dan rack meningkat dengan naiknya bobot karkas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada domba jantan, otot pada shoulder, leg, loin dan breast mengalami
masak
dini
sehingga
pertumbuhannya
relatif
lebih
cepat
dibandingkan dengan bagian bagian tubuh lainnya. Sugana et al. (1983) melaporkan bahwa persentase loin meningkat (b>1), persentase leg berkurang (b<1) dengan meningkatnya bobot karkas. Menurut Soeparno (1994) dan Ouhayoun (1998) perlemakan dipengaruhi oleh bobot karkas dan konsumsi pakan khususnya energi. Ouhayoun (1998) menyatakan bahwa makin tinggi bobot karkas, lemak karkas makin meningkat.
22 Komponen Non Karkas Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah. Dinyatakan pula bahwa dijumpai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragma dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak ginjal atau lemak pelvis termasuk ke dalam karkas atau tidak. Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urine) dikali 100 % (Judge et al. 1989; Berg dan Butterfield 1976 ; Tulloh, 1978) Proporsi bagian-bagian non karkas, dan pakan yang diberikan dan cara pemotongan mempengaruhi komposisi karkas (Herman (1993). Sedangkan Hudallah et al. (2006) menyatakan bahwa non karkas terdiri dari kepala, darah, organ-organ dalam kecuali ginjal, keempat kaki bagian bawah, kulit, ekor dan bulu. Tabel 5. Produksi non karkas domba jantan dan betina. Non karkas Bobot potong(kg) Karkas Kepala Leher Dada Shoulder Flank Loin Leg Ekor Hati Jantung Paru-paru Ginjal Otot Tulang Lemak Goliomytis (2005)
Jantan Betina ----------------------%.-------------------101.25 76.50 56.49 56.84 2.82 2.54 6.01 4.80 15.63 16.08 8.81 9.44 3.01 3.07 4.48 4.65 12.64 13.01 0.83 1.30 1.18 1.10 0.26 0.24 0.59 0.54 0.19 0.20 24.79 20.82 9.01 7.43 16.23 21.16
23 Menurut Adiwinarti et al. (1999) persentase non karkas adalah 57%, sedangkan hasil penelitian Hudallah et al. (2007) persentase non karkas berkisar antara 53.05-55.58% (bruto) dan 34.34-44.43% (netto). Selanjutnya dikatakan bahwa makin tinggi bobot non karkas makin rendah nilai ekonomisnya. Kepala, kaki, kulit, darah, dan ekor tidak berbeda nyata. Kulit, darah, dan ekor tidak berbeda nyata karena bagian tersebut berkembang sesuai dengan bobot potong. Makin tinggi bobot potong makin banyak darah dan makin luas kulit serta makin tinggi bobot kepala, kaki dan ekor. Produksi karkas dan non karkas domba dapat dilihat pada Tabel 5 Goliomytis (2005). Lemak Lemak merupakan subtansi yang dapat ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Lemak tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzene, eter dan chloform. Lemak mengandung karbon, oksigen dan hydrogen dengan rumus C12H22O11 (Mc Donald et al. 2002). Lemak biasa disebut ester lemak murni dari gliserol yaitu trigliserida. Lemak merupakan ikatan organik yang masuk ke dalam klasifikasi lipid bersama-sama dengan ikatan kimia lainnya termasuk lilin, fosfolipid dan sterol (Wahju 1985). Frandson (1992) menyatakan bahwa lemak digolongkan menjadi lemak sederhana, lemak gabungan dan lemak derivat. Lemak sederhana adalah ester dari asam-asam lemak dan alkohol termasuk macam-macam lemak (ester asam lemak dan gliserol) dan wax (ester asam lemak dan alkohol selain gliserol). Lemak gabungan mengandung beberapa gugus selain alkohol dan asam lemak seperti fosfor, nitrogen dan karbohidrat. Lemak derivat merupakan senyawa yang dihasilkan oleh hidrolisa lemak sederhana ataupun lemak gabungan. Setelah umur ternak dewasa, terjadi penimbunan lemak di beberapa bagian tubuh seperti di bawah kulit dan di sekitar organ dalam. Urutan-urutan perkembangan deposisi lemak tubuh adalah lemak intermuskuler, perirenal (canel), ginjal, subkutan dan omental (Soeparno 1994). Penderita jantung koroner yang semakin meningkat tiap tahunnya dan penyakit ini menempati urutan pertama penyebab kematian bagi manusia Indonesia untuk usia di atas 40 tahun (Purbowati et al. 2005). Oleh karena itu banyak konsumen yang
24 menginginkan daging rendah lemak (lean meat). Di Eropa telah dibuat sistem penilaian karkas domba berdasarkan kelas lemak untuk memenuhi tuntutan konsumen tersebut, sebagai berikut: (1) kelas lemak 1: lemak 14.3%, daging 64.8%, dan tulang 20.9%; (2) kelas lemak 2: lemak 20.5%, daging 60.5%, dan tulang 19.0%; (3) kelas lemak 3: lemak 26.6%, daging 56.2%, dan tulang 17.2%; (4) kelas lemak 4: lemak 32.7%, daging 51.9%, dan tulang 15.4 %; dan (5) kelas lemak 5: lemak 38.9%, daging 47.6%, dan tulang 13.5%. Kisaran bobot karkas domba yang diinginkan oleh masyarakat Eropa tersebut adalah 8−23 kg Lemak dalam daging terdapat dalam bentuk trigliserida. Trigliserida merupakan komponen utama asam lemak dalam makanan yang dibentuk dari fraksi katalisa gliserol dengan 3 molekul asam lemak. Trigliserida merupakan bentuk lemak yang paling efisien untuk menyimpan kalori (Piliang dan Djojosoebagjo 2006a). Selanjutnya dikatakan bahwa kelebihan energi terjadi jika energi melebihi metabolis yang dibutuhkan, kelebihan energi menyebabkan akumulasi lemak yang berlebihan sehingga disimpan dalam jaringan adipose dalam bentuk cadangan lemak. Beberapa trigliserida berbentuk butir-butir kecil pada jaringan yang digunakan untuk metabolisme energi. Asam lemak adalah komponen terbesar dari beberapa lipida kompleks yang mengndung 12 – 24 atom C yang sebagian besar umumnya terdapat pada jaringan hewan. Sebagai contoh adalah asam linoleat yang diketahui dapat menurunkan taraf kolesterol dalam darah juga dipertimbangkan sebagai asam lemak esensial, tetapi ternyata dalam publikasi bahwa asam linoleat dapat meransang pembentukan tumor dan tumor spread ( metastatiw ) (Enser 1984). Konsumsi yang berlebihan dari lemak yang mengandung asam linoleat tinggi dipercaya dapat merangsang kanker payudara, prostat dan kanker usus besar (Adnan 1994). Kolesterol Kolesterol adalah suatu sterol hewani dan menyusun 17% bahan kering otak (Tillman et al. 1986) serta terdapat dalam semua sel hewani, sehinnga tersebar luas dalam tubuh. Kolesterol merupakan zat alami yang terdapat dalam tubuh diperlukan dalam proses-proses penting dalam tubuh. Kebutuhan
25 kolesterol sebagian besar dipenuhi melalui sintesa kolesterol dan dibentuk di dalam hati (Piliang dan Djojosoebagjo 2006a; Frandson 1992). Kurang dari separoh jumlah kolesterol tubuh berasal dari sintesis (sekitar 700 mg/hari), dan sisanya berasal dari makanan sehari-hari. Pada manusia, hati menghasilkan kurang lebih 10% dari total sintesis, sementara usus sekitar 10% lainnya. Pada hakekatnya semua jaringan yang mengandung sel-sel berinti mampu mensintesis kolesterol. Fraksi mikrosomal (reticulum endoplasma) dan sitosol sel terutama bertanggung jawab atas sintesis kolesterol (Mayes 2003). Kolesterol merupakan sterol utama dalam jaringan tubuh manusia. Kolesterol mempunyai rantai hidrokarbon dengan delapan atom karbon yang diberi nomor 20 sampai 27 sebagai lanjutan nomor pada inti steroid (Ismadi 1993).
Kolesterol merupakan subtansi lemak khas hasil metabolisme yang
banyak diketemukan dalam struktur tubuh manusia maupun hewan. Oleh karena itu kolesterol banyak terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti daging, hati otak dan kuning telur (Martin and Ahle 1984). Pada konsumsi makanan yang beraneka ragam, kurang lebih setengah kolesterol berasal dari biosintesis tubuh sendiri yang berlangsung dalam usus, kulit dan terutama dalam hati (kira-kira 50%), selebihnya kolesterol diambil dari bahan makanan. Sebagian besar kolesterol membentuk lapisan lemak dari membran plasma. Perubahannya menjadi asam empedu juga menggunakan jumlah kolesterol yang sangat besar. Selain itu kolesterol juga disekresikan ke dalam empedu dalam bentuk yang tidak diubah. Sejumlah kecil kolesterol berfungsi pada biosintesis hormon steroid. Keseluruhannya setiap hari digunakan atau dieliminasi kurang lebih 1 gram kolesterol (Koolman and Rohm 2001). Piliang dan Djojosubagjo (2006a) mengemukakan bahwa kolesterol disintesa dalam tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal meskipun seluruh sesl-sel tubuh mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sterol. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kolesterol digunakan untuk sintesis hormon-hormon steroid, garam-garam empedu dan vitamin D. Zat-zat tersebut ditranspor diantara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutam cylomicron-
26 cylomikron dan lipoprotein-lipoprotein dengan densitas rendah (LDL). Kebutuhan yang tepat akan kolesterol belum diketahui, tapi para ahli sependapat bahwa meskipun dalam bentuk sedikit saja kolesterol yang disintesa dalam tubuh, telah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Tabel 6. Kadar kolesterol, trigliserida, LDL, HDL serum darah dan kadar lemak daging domba dan kambing Jenis Ternak Kambing Domba
Kolesterol (mg/dl) 145 70* 108 110*
LDL (mg/dl) 65 40
Uraian Trigliserida (mg/dl) 40 36
HDL (mg/dl) 76 61
Lemak (mg/dl) 0.31 0.52
Soraya (2006) * Mitruka et al. 1977
Tabel 7. Kadar lemak dan kolesterol daging berbagai jenis ternak Jenis ternak Kambing Domba Sapi Babi Ayam a
Kadar Kadar Kolesterol Energi a Lemak (kal/100gr) b c (mg/dl)a (mg/dl)d a (mg/100g) (mg/3ons) (%) 55-210 7.9 55-140 85 79 70 145 2,4 80-170 57 59 125 144 2.9 76-170 75 69 70-105 147 1.2 52-148 67 60-90 114
Lawrie (2003) Girindra (1986) c Aberle et al. (2001) d Anggorodi (1979) b
Kolesterol bebas maupun dalam bentuk esternya memiliki fungsi fisiologis yang penting. Fungsi kolesterol adalah : (1) komponen esensial membran sel tubuh, yakni untuk regulasi cairan tubuh, (2) unsur dari myelin dalam jaringan saraf, precursor beberapa jenis biomolekul seperti hormon streroid, asam empedu dan vitamin D (Beitz dan Allen 1984; McDonald et al. 1995; Boyer 2002) Ada lima kelompok hormon steroid, semua merupakan turunan dari kerangka karbon kolesterol. Adapun kelompok hormon tersebut adalah : (1) progesteron yang mempersiapkan uterus untuk penanaman ovum dan perubahan fisiologi selama kehamilan, (2) glukokortikoid yang mempengaruhi metabolisme
27 dengan glukoneogenesis, pembentukan glikogen dan degradasi lemak, (3) mineralokortikoid yang meregulasi penyerapan Na+ , Cl- dan HCO3- dalam ginjal yang dapat meningkatkan volume dan tekanan darah, (4) estrogen yang merupakan penggerak pengembangan karakteristik jenis kelamin betina (Beitz dan Allen 1984). Kolesterol dalam tubuh dikeluarkan melalui dua cara, yaitu diubah menjadi empedu sebagai garam-garam kolesterol dan sterol netral yang dibuang melalui feses (Mayes 1995). Awalnya asam empedu disintesa dalam hati dengan bahan dasar kolesterol. Asam empedu ini digunakan dalam proses pencernaan, khususnya lemak dengan cara pembentukan kilomikron (Lehniger 1975). Hampir 80% kolesterol diubah menjadi berbagai macam asam empedu (Chambell et al.1988). Berbagai studi telah membuktikan bahwa rendahnya kadar kolesterol High Density Lypoprotein (kol-HDL) dan tingginya kadar Trygliserida (TG), Low Density Lypoprotein (kol-LDL), dan kolesterol total berperan sebagai faktor risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) pada diabetes melitus tipe 2. Keadaan dislipidemia ini akan memicu akumulasi jaringan adiposa diberbagai kompartemen tubuh, dalam hal ini akumulasi jaringan adiposa abdominal terutama lemak viseral memiliki efek langsung terhadap atherosclerosis (Supadmo 1997). Asam lemak tak jenuh rantai tunggal, mono unsaturated fatty acid (MUFA) merupakan lemak baik yang bermanfaat bagi tubuh. Berbagai penelitian membuktikan bahwa konsumsi MUFA lebih baik daripada saturated fatty acid (SAFA). MUFA mempunyai efek terhadap kadar lipid dengan meningkatkan kol-HDL dan menurunkan TG serta kol-LDL (Sulistiani 1996). Khitosan mempunyai kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan khitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang," Kadar lemak, kolesterol, trigliserida dan LDL serum darah tidak pernah lebih tinggi dari kadar lemak, kolesterol, trigliserida dan LDL daging (Supadmo 1997)